Kecubung menjamah musim sepi. Tidak lagi mekar dan memesona mata siapapun. Tumbuh subur di pelataran rumah seorang [1]rondo. Ada kalanya menguncup, layu, dan gugur sebagai tanda kematian. Tidak ada duka mendalam, hanya menyisakan kerinduan dan penantian pada harapan musim semi dan gugur selanjutnya, seperti hari ini.
Perempuan paruh baya
duduk di [2]pawon, depan perapian, sambil mencoba
menyalakan api, meniup lewat cerobong bambu untuk membakar ubi hasil panen
sawahnya. Sambil mengunyah dengan giginya yang tinggal dua buah di bagian depan
itu, dalam lamunannya tergambar mendiang suaminya makan lahap selepas
mencangkul di sawah. Sangat terburu-buru dan tidak teratur. Sedang dirinya
duduk memangku putrinya dan sambil makan ubi bakar. Kemudian menuangkan air
putih dari kendil ke dalam gelas suaminya.
***
Beberapa tahun silam,
lelaki berkulit legam yang kini menjadi suami Sariyayi adalah lelaki yang tidak
lagi beristri semenjak mengalami kegagalan perkawinan hingga keempat kalinya.
Para istrinya meninggal bersama dengan bayi yang dikandung setiap akan
melahirkan. Rumor akhirnya merebak seperti wangi kecubung yang menyedihkan
dibawa oleh angin ke udara lepas milik tetangga kampung. Para perawan maupun rondo saling gemetaran dan pucat pasi
saat melihat lelaki itu. Seluruh warga meyakini bahwa lelaki itu pembawa
kematian pada siapapun yang mau dijadikan istri. Lelaki itu pun menjalani
kesunyian dalam hidup. Keadaan tersebut membawa pikirannya untuk mengasingkan
diri dari kampung halamannya. Selama tujuh tahun akhirnya ia mengasingkan diri
keluar Jawa, suara burung mengatakan bahwa lelaki itu bertaruh hidup di
Sumatera.
Keadaan mulai berubah
ketika ia kembali ke kampung halaman dan melihat seorang rondo. Rumahnya yang berdinding [3]getek dan terletak dekat sungai –tempat
warga kampung sibuk mandi, mencuci, mengisi air ke kendil, dan membuang hajat,
ditempatinya kembali. Dinding rumahnya semakin habis dimakan rayap dan tikus.
Tetapi ada keberuntungan ketika ditemukannya lubang kecil di sana, di sela-sela
dinding geteknya. Lubang yang
memberinya kesempatan mengintip seorang rondo
bernama Sariyayi. Meski rondo,
perempuan itu masih memesona dan membuat jantung berdebar. Tidak perlu menatap
wajahnya tetapi cukup mendengar suara lembutnya ketika [4]guyon dengan anak perempuannya yang
masih balita, Purni namanya, ia sudah mabuk kepayang.
***
Sariyayi bernasib
sangat sial saat akan melahirkan Purni, suaminya yang seorang supir truk
tembakau mengalami kecelakaan. Mayatnya sudah tidak utuh dibungkus kafan ketika
dibawa pulang sebelum di makamkan ke gunung Sempu, pemakaman warga kampung
Sosoran. Sariyayi yang belum mengenal cinta apalagi kehilangan seorang kekasih
itu hanya berdiri lemas melihat situasi rumahnya yang penuh jeritan tangis
keluarga. Ibu Rasinah, ibu dari suaminya itu secara tiba-tiba dengan gemetaran
memeluknya sambil memandang iba karena ketuban yang ternyata telah pecah dari
perut menantunya itu. Semenjak itulah perempuan yang dinikahi di usia sebelas
tahun itu harus menjadi seorang ibu sekaligus menyandang gelar “rondo”.
Sebenarnya dahulu, ia
dicap perawan tua oleh warga kampung karena perempuan-perempuan sebayanya telah
menikah di usia sembilan tahun. Kemudian hidup bahagia ala kadarnya sebagai
istri seorang buruh tani.
Kata
orang-orang desa, perempuan yang kini menjadi rondo itu bukan dari kalangan priyayi, tapi cukup [5]sugeh. Rumahnya berdinding tembok,
memiliki dua sawah yang siap panen, dan memiliki beberapa buruh bayaran untuk
mengolah sawahnya. Beberapa buruh yang tidak lain merupakan lelaki sekampung,
terkadang melongo dan matanya tidak berkedip saat melihat Sariyayi.
Banyak
orang menasehatinya untuk kawin lagi karena masih muda dan tubuhnya masih
montok, tetapi ia tidak sudi kawin lagi. Pikirannya menuju pada masa depan
anaknya. Anak sebagai harta berharga baginya untuk terus menjalani hidup. Ia
bukan hanya berpikir tentang uang untuk membeli susu, baju, atau golek di
pasar, tetapi untuk biaya sekolah anaknya, setinggi-tingginya.
Ia teringat akan
harapan yang telah dikubur hidup-hidup dalam dadanya yang dulu gugur dan
terkubur seketika kembali bergemuruh seperti sebuah dendam. Ia tidak di
sekolahkan oleh kedua orangtuanya karena ia perempuan. Belajar mengaji di surau
dekat gapura kampung pun tidak dialaminya. Orangtuanya hanya memfokuskan
sekolah dan mengaji pada adik lelakinya yang berusia empat tahun lebih muda
dari dirinya. Kata orangtuanya, lelaki adalah tumpuan hidup dalam keluarga dan
penentu martabat sebuah keluarga di mata masyarakat. Kenangan itu selalu
mengganggu alam bawah sadarnya dan ketika ia bersedia untuk dinikahkan, maka ia
mulai keras terhadap dirinya, membunuh harapan-harapan di dada.
***
Lambat laun, lelaki
yang pulang dari merantau itu sangat dekat dengan anaknya karena sering
membelikan permen. Dan orang-orang mulai bergunjing kencang akan kedekatannya
dengan Dakir. Pergunjingan itu membuatnya menuruti kemauan warga kampung, yaitu
kawin dengan Dakir. Perempuan itu memiliki permintaan yang diutarakannya
sebagai syarat sebelum menikah.
“aku mau kawin sama kamu mas, asal kamu
mau berjanji”
“bukan Dakir namanya kalo tidak menepati
janji, [6]opo janjimu itu dek ?”
“jangan minta harta kalo sampai terjadi
apa-apa pada perkawinan kita, karena semua yang ada ini adalah milikku dan kamu
datang mengawini aku tanpa membawa apa-apa. Dan tolong sayangi Purni seperti
kamu menyayangi anak-anakmu dari mendiang istrimu dulu, dan tolong sekolahkan Purni sampai tamat SMA”.
“demi mendapatkan kamu apapun akan aku
lakukan, bahkan jika kamu memintaku meminum air kencingmu itu pun akan aku
lakukan.”
***
Kecubung
di pelataran rumahnya telah tumbuh dan mati berkali-kali menuruti kehendak
alam. Seperti kehendak yang menginginkan perempuan itu untuk kedua kalinya
menjadi seorang rondo, tepatnya setahun yang lalu. Suami keduanya meninggal
karena sakit disentri akut dan berkepanjangan. Dokter puskesmas tidak dapat
lagi menolongnya. Bahkan Purni, anak semata wayangnya yang telah menamatkan
SMA, menikah dengan seorang tentara, dan
tinggal di Bandung, belum sempat datang untuk membawa ayah tirinya berobat.
***
Suara kambing mulai
mengembik sore itu, membuyarkan lamunan dikepala Sariyayi, rondo ayu yang telah
keriput. Jam makan para kambing telah tiba, dan bergegaslah ia mengambil rumput
hijau dari hasil merumputnya di sawah miliknya dan rumput liar di pinggiran
jalan. Jalan yang yang tidak lagi membuat kakinya becek dengan tanah basah
sehabis hujan turun, karena pemerintah telah membangun jalan aspal. Jalan itu
dahulu hanya dijamah oleh kaki telanjang para petani, kini dijamah oleh
roda-roda kokoh truk. Beberapa sawah tetangga pun sudah dibeli dengan harga
ratusan juta untuk dibangun perumahan, begitu kata pak Bayan.
Buruh-buruh tani yang
setia menanami sawahnya dengan tembakau, cabai, padi, dan jagung telah beralih
menjadi buruh-buruh pabrik dan tukang-tukang bangunan untuk mendirikan
rumah-rumah petakan seperti di kota-kota yang dilihatnya melalui televisi.
***
Pergantian warna
kecubung di pelataran rumahnya menjadi merah laksana gemuruh di dadanya karena
menanti kedatangan anak semata wayangnya dan keempat cucunya sepanjang hari.
Mereka selalu pulang saat hari raya lebaran. Namun sayangnya, penantian dari
satu hari sampai pada hari raya bukanlah penantian yang sebentar dan dengan
hati suka. Penantian itu begitu lengang, sunyi, dan sepi. Hanya suara-suara
kambing dan televisi yang selalu menemani setelah pulang merumput.
“owalah, Gusti Allah [7]paringono sabar, paringono rejeki anak [8]putu biar mereka bisa datang dan
berkumpul di rumah ini lagi.”
Tetangga-tetangga rumah
nyaris bernasib sama seperti dirinya; menua seorang diri. Yang beruntung adalah
jika masih dapat berdua dengan pasangannya sambil menunggu giliran gugur.
Beberapa anak para sesepuh di kampungnya menyisihkan uang untuk membayar tanah
berukuran 3 meter di Gunung Sempu untuk makam orang tuanya. Terlalu [9]sembrono rasanya, tetapi begitulah
kehidupan tidak ada yang lebih baik dari sembrono
untuk mempersiapkan diri demi masa depan atau terus hidup dengan renta di rumah
yang semakin sepi ditinggalkan orang.
Tubuh anggun seorang
Sariyayi muda yang tangguh berperan sebagai ibu sekaligus ayah telah dibatas
layu, bara hidupnya untuk terus berharap dan mempertahankan martabat hidup kini
telah perlahan gugur seperti kecubung yang sesekali dipetik bocah-bocah,
suruhan ibunya untuk dirangkai dalam karangan bunga ke Gunung Sempu.
Surabaya, 22 Juni 2014