Rabu, 07 Januari 2015

Cerpen Kecubung di Musim Gugur oleh Nila Mega Marahayu

(Harian Satelit Post Purwokerto-Jawa tengah)

           
Kecubung menjamah musim sepi. Tidak lagi mekar dan memesona mata siapapun. Tumbuh subur di pelataran rumah seorang [1]rondo. Ada kalanya menguncup, layu, dan gugur sebagai tanda kematian. Tidak ada duka mendalam, hanya menyisakan kerinduan dan penantian pada harapan musim semi dan gugur selanjutnya, seperti hari ini.
Perempuan paruh baya duduk di [2]pawon, depan perapian, sambil mencoba menyalakan api, meniup lewat cerobong bambu untuk membakar ubi hasil panen sawahnya. Sambil mengunyah dengan giginya yang tinggal dua buah di bagian depan itu, dalam lamunannya tergambar mendiang suaminya makan lahap selepas mencangkul di sawah. Sangat terburu-buru dan tidak teratur. Sedang dirinya duduk memangku putrinya dan sambil makan ubi bakar. Kemudian menuangkan air putih dari kendil ke dalam gelas suaminya. 
***
Beberapa tahun silam, lelaki berkulit legam yang kini menjadi suami Sariyayi adalah lelaki yang tidak lagi beristri semenjak mengalami kegagalan perkawinan hingga keempat kalinya. Para istrinya meninggal bersama dengan bayi yang dikandung setiap akan melahirkan. Rumor akhirnya merebak seperti wangi kecubung yang menyedihkan dibawa oleh angin ke udara lepas milik tetangga kampung. Para perawan maupun rondo saling gemetaran dan pucat pasi saat melihat lelaki itu. Seluruh warga meyakini bahwa lelaki itu pembawa kematian pada siapapun yang mau dijadikan istri. Lelaki itu pun menjalani kesunyian dalam hidup. Keadaan tersebut membawa pikirannya untuk mengasingkan diri dari kampung halamannya. Selama tujuh tahun akhirnya ia mengasingkan diri keluar Jawa, suara burung mengatakan bahwa lelaki itu bertaruh hidup di Sumatera.
Keadaan mulai berubah ketika ia kembali ke kampung halaman dan melihat seorang rondo. Rumahnya yang berdinding [3]getek dan terletak dekat sungai –tempat warga kampung sibuk mandi, mencuci, mengisi air ke kendil, dan membuang hajat, ditempatinya kembali. Dinding rumahnya semakin habis dimakan rayap dan tikus. Tetapi ada keberuntungan ketika ditemukannya lubang kecil di sana, di sela-sela dinding geteknya. Lubang yang memberinya kesempatan mengintip seorang rondo bernama Sariyayi. Meski rondo, perempuan itu masih memesona dan membuat jantung berdebar. Tidak perlu menatap wajahnya tetapi cukup mendengar suara lembutnya ketika [4]guyon dengan anak perempuannya yang masih balita, Purni namanya, ia sudah mabuk kepayang.
***
Sariyayi bernasib sangat sial saat akan melahirkan Purni, suaminya yang seorang supir truk tembakau mengalami kecelakaan. Mayatnya sudah tidak utuh dibungkus kafan ketika dibawa pulang sebelum di makamkan ke gunung Sempu, pemakaman warga kampung Sosoran. Sariyayi yang belum mengenal cinta apalagi kehilangan seorang kekasih itu hanya berdiri lemas melihat situasi rumahnya yang penuh jeritan tangis keluarga. Ibu Rasinah, ibu dari suaminya itu secara tiba-tiba dengan gemetaran memeluknya sambil memandang iba karena ketuban yang ternyata telah pecah dari perut menantunya itu. Semenjak itulah perempuan yang dinikahi di usia sebelas tahun itu harus menjadi seorang ibu sekaligus menyandang gelar “rondo”.
Sebenarnya dahulu, ia dicap perawan tua oleh warga kampung karena perempuan-perempuan sebayanya telah menikah di usia sembilan tahun. Kemudian hidup bahagia ala kadarnya sebagai istri seorang buruh tani.
            Kata orang-orang desa, perempuan yang kini menjadi rondo itu bukan dari kalangan priyayi, tapi cukup [5]sugeh. Rumahnya berdinding tembok, memiliki dua sawah yang siap panen, dan memiliki beberapa buruh bayaran untuk mengolah sawahnya. Beberapa buruh yang tidak lain merupakan lelaki sekampung, terkadang melongo dan matanya tidak berkedip saat melihat Sariyayi.
            Banyak orang menasehatinya untuk kawin lagi karena masih muda dan tubuhnya masih montok, tetapi ia tidak sudi kawin lagi. Pikirannya menuju pada masa depan anaknya. Anak sebagai harta berharga baginya untuk terus menjalani hidup. Ia bukan hanya berpikir tentang uang untuk membeli susu, baju, atau golek di pasar, tetapi untuk biaya sekolah anaknya, setinggi-tingginya.
Ia teringat akan harapan yang telah dikubur hidup-hidup dalam dadanya yang dulu gugur dan terkubur seketika kembali bergemuruh seperti sebuah dendam. Ia tidak di sekolahkan oleh kedua orangtuanya karena ia perempuan. Belajar mengaji di surau dekat gapura kampung pun tidak dialaminya. Orangtuanya hanya memfokuskan sekolah dan mengaji pada adik lelakinya yang berusia empat tahun lebih muda dari dirinya. Kata orangtuanya, lelaki adalah tumpuan hidup dalam keluarga dan penentu martabat sebuah keluarga di mata masyarakat. Kenangan itu selalu mengganggu alam bawah sadarnya dan ketika ia bersedia untuk dinikahkan, maka ia mulai keras terhadap dirinya, membunuh harapan-harapan di dada.
***
Lambat laun, lelaki yang pulang dari merantau itu sangat dekat dengan anaknya karena sering membelikan permen. Dan orang-orang mulai bergunjing kencang akan kedekatannya dengan Dakir. Pergunjingan itu membuatnya menuruti kemauan warga kampung, yaitu kawin dengan Dakir. Perempuan itu memiliki permintaan yang diutarakannya sebagai syarat sebelum menikah.
“aku mau kawin sama kamu mas, asal kamu mau berjanji”
“bukan Dakir namanya kalo tidak menepati janji, [6]opo janjimu itu dek ?”
“jangan minta harta kalo sampai terjadi apa-apa pada perkawinan kita, karena semua yang ada ini adalah milikku dan kamu datang mengawini aku tanpa membawa apa-apa. Dan tolong sayangi Purni seperti kamu menyayangi anak-anakmu dari mendiang istrimu dulu, dan tolong  sekolahkan Purni sampai tamat SMA”.
“demi mendapatkan kamu apapun akan aku lakukan, bahkan jika kamu memintaku meminum air kencingmu itu pun akan aku lakukan.”
***
            Kecubung di pelataran rumahnya telah tumbuh dan mati berkali-kali menuruti kehendak alam. Seperti kehendak yang menginginkan perempuan itu untuk kedua kalinya menjadi seorang rondo, tepatnya setahun yang lalu. Suami keduanya meninggal karena sakit disentri akut dan berkepanjangan. Dokter puskesmas tidak dapat lagi menolongnya. Bahkan Purni, anak semata wayangnya yang telah menamatkan SMA, menikah dengan seorang tentara,  dan tinggal di Bandung, belum sempat datang untuk membawa ayah tirinya berobat.
***
Suara kambing mulai mengembik sore itu, membuyarkan lamunan dikepala Sariyayi, rondo ayu yang telah keriput. Jam makan para kambing telah tiba, dan bergegaslah ia mengambil rumput hijau dari hasil merumputnya di sawah miliknya dan rumput liar di pinggiran jalan. Jalan yang yang tidak lagi membuat kakinya becek dengan tanah basah sehabis hujan turun, karena pemerintah telah membangun jalan aspal. Jalan itu dahulu hanya dijamah oleh kaki telanjang para petani, kini dijamah oleh roda-roda kokoh truk. Beberapa sawah tetangga pun sudah dibeli dengan harga ratusan juta untuk dibangun perumahan, begitu kata pak Bayan.
Buruh-buruh tani yang setia menanami sawahnya dengan tembakau, cabai, padi, dan jagung telah beralih menjadi buruh-buruh pabrik dan tukang-tukang bangunan untuk mendirikan rumah-rumah petakan seperti di kota-kota yang dilihatnya melalui televisi.
***
Pergantian warna kecubung di pelataran rumahnya menjadi merah laksana gemuruh di dadanya karena menanti kedatangan anak semata wayangnya dan keempat cucunya sepanjang hari. Mereka selalu pulang saat hari raya lebaran. Namun sayangnya, penantian dari satu hari sampai pada hari raya bukanlah penantian yang sebentar dan dengan hati suka. Penantian itu begitu lengang, sunyi, dan sepi. Hanya suara-suara kambing dan televisi yang selalu menemani setelah pulang merumput.
“owalah, Gusti Allah [7]paringono sabar, paringono rejeki anak [8]putu biar mereka bisa datang dan berkumpul di rumah ini lagi.”
Tetangga-tetangga rumah nyaris bernasib sama seperti dirinya; menua seorang diri. Yang beruntung adalah jika masih dapat berdua dengan pasangannya sambil menunggu giliran gugur. Beberapa anak para sesepuh di kampungnya menyisihkan uang untuk membayar tanah berukuran 3 meter di Gunung Sempu untuk makam orang tuanya. Terlalu [9]sembrono rasanya, tetapi begitulah kehidupan tidak ada yang lebih baik dari sembrono untuk mempersiapkan diri demi masa depan atau terus hidup dengan renta di rumah yang semakin sepi ditinggalkan orang.
Tubuh anggun seorang Sariyayi muda yang tangguh berperan sebagai ibu sekaligus ayah telah dibatas layu, bara hidupnya untuk terus berharap dan mempertahankan martabat hidup kini telah perlahan gugur seperti kecubung yang sesekali dipetik bocah-bocah, suruhan ibunya untuk dirangkai dalam karangan bunga ke Gunung Sempu.

Surabaya, 22 Juni 2014   




[1] Rondo : janda
[2] Pawon  dapur
[3] Getek : rumah dari bambu atau rotan
[4] Guyon : bercanda
[5] Sugeh : kaya
[6] Opo : apa
[7] Paringono : berikanlah
[8] Putu : cucu
[9] sembrono: tidak sopan
         (Dimuat dalam Harian Satelit Post,9 November 2014)