A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya yang bersifat fiktif atau rekaan meskipun bahannya diambil dari kenyataan. Potret kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat menjadi bahan perenungan bagi pembaca atau masyarakat. Sastra dan masyarakat berada dalam kaitan dialektis. Sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat karena sastra lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra dalam peradaban tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Sastra lahir dari masyarakat dan akan kembali pula ke dalam masyarakat (Semi, 1993:1). Hubungan antara karya sastra dan lingkungannya tersebut dapat dikaji dengan analisis sosiologi sastra.
Analisis sosiologi sastra menurut Ratna (2003:11) merupakan analisis yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, yaitu menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi gejala sosial. Sosiologi dalam suatu karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis, yaitu menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra. Hal tersebut menunjukkan adanya gambaran tentang hubungan antara masyarakat dan teks sastra, baik yang serasi atau menyimpang dari kenyataan (Noor, 2006:90).
Pengarang atau penyair adalah pencipta karya sastra. Pengarang atau penyair tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial dalam menciptakan karya sastra. Bahkan bagi pengarang, masyarakat sebagai pedoman lahirnya suatu bentuk ekspresi untuk dituangkannya dalam segala permasalahannya ke dalam karya sastra. Hal ini bertujuan untuk mencoba mengungkapkan ide, pemikiran, ataupun solusi yang seharusnya dilakukan untuk merdeka dari segala kemerosotan hidup. Pengarang tidak akan diam dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Ryan Rachman, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985 adalah seorang sastrawan yang belum memiliki nama besar dalam kesusasteraan tanah air, tapi di Purwokerto namanya sudah cukup diperhitungkan. Gelar Zombie menjadi akrab dengannya sejak ia sering mementaskan puisi-puisinya dengan gaya deklamasinya yang khas. Tidak hanya gaya Zombie yang menjadikannya termasyur di ranah sastra Purwokerto, tetapi seorang pendiri komunitas Wedhang Kendi di Purwokerto ini juga menunjukkan sepak terjang kepengarangannya di beberapa media massa. Karyanya baik cerpen, puisi, maupun esai telah turut meramaikan kolom-kolom di media massa. Karya-karyanya juga telah diwujudkan dalam sebuah buku, meskipun hanya diterbitkan oleh penerbit dari komunitasnya.
Perjalanan seorang Zombie Purwokerto yang sempat menjadi delegasi Banyumas di atas, menjadi alasan lahirnya makalah Kesastrawanan si Zombie- Ryan Rachman dalam Dunia Sastra Purwokerto (Perspektif Sosiologi Sastra-Pierre Bourdieu) ini.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Ryan Rachman dapat menjadi Zombie dalam dunia sastra Purwokerto.
C. Landasan Teori
Pierre Bourdieu, adalah seorang sosiolog Perancis. Bourdieu melalui teorinya menyatakan bahwa tindakan sosial merupakan struktur tindakan itu sendiri-keduanya dapat saling dipertukarkan. Genosiasi di dalam budaya, misalnya berasal dari benak kesadaran habitus. Dia berbicara tentang berbagai strategi yang mencuat dari habitus, dan perubahan itu dianggap berasal dari ‘benak primitif’. Menurut Bourdieu, “Pada tingkatan individu, habitus juga berarti sistem perilaku dan disposisi yang relative permanen dan berpindah dari satu objek ke objek lainnya, yang secara simultan mengintegrasikan antara seluruh pengalaman sebelumnya dari cara individu melihat dan menilai benda dengan tindakan (Harker, dkk, 2009:x).
Metode analisis Peirre Bourdieu menjadi pilihan yang tepat dalam menyelesaian permasalahan dalam makalah ini. Peirre Bourdieu dalam menganalisis arena produksi kultural sebagai sebuah kajian sosiologi budaya dengan mengembangkan konsepnya yang terkenal yaitu arena, habitus, trajektori atau lintasan, dan modal.
1. Arena
Arena adalah ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri. Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Bourdieu, 2010: xvii-xviii). Arena atau ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah atau arena yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang berlokasi di dalam ranah tersebut.
2. Modal
Modal (capital) sebagai konsentrasi kekuatan, yaitu suatu kekuatan khusus yang beroperasi di dalam ranah. Bourdeou membagi dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Kedua, modal kultural adalah modal yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural. Ia menyatakan bahwa sebuah karya seni mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural, yaitu kode, tempat di mana karya itu dikodekan (encoded). Kepemilikan terhadap kode atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-anggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan) (Bourdieu, 2010 : xix-xx).
3. Habitus
Bourdieu (2010:xv) mendefinisikan habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan represantasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap atutran-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku. Habitus kadang kala digambarkan sebagai ‘logika permainan’(feel for the game), sebuah ‘rasa praktis’ yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Bourdieu, 2010: xvi). Habitus dapat dikatakan juga sebagai pengalaman.
4. Trajektori atau Lintasan
Trajektori adalah rute atau jalur ekonomi, sosial tertentu baik agen atau masyarakat. Lintasan merupakan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang juga silih berganti. Ini berarti bahwa posisi-posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan dan ditentukan di dalam struktur sebuah arena. Lintasan adalah satu cara di mana hubungan antara agen dan arena diobjektivasikan. Lintasan menyoroti posisi-posisi objektif yang silih berganti di tempati di dalam arena (Bourdieu, 2010: xxxxvii).
D. Pembahasan
1. Arena Kesastrawanan si Zombie-Ryan Racman di Purwokerto
Arena merupakan wadah atau tempat bernaungnya para penulis, penyair, dramawan, atau sastrawan. Melalui arena inilah para agen tersebut melakukan kreativitasnya dalam dunia sastra demi sebuah legitimasi atau pengakuan. Arena sastra di Purwokerto cukup menghasilkan banyak sastrawan yaitu penulis, penyair, maupun dramawan. Meskipun beberapa dari mereka hanya berkutat pada komunitasnya masing-masing. Hal ini terbukti dengan ada banyaknya komunitas di Purwokerto. Namun komunitas yang cukup populer di Purwokerto adalah komunitas teater. Komunitas teater diantaranya, teater Texas, teater Suntik, teater Si Anak, dan lain-lain.
Komunitas khusus sastra sedikit sulit dijumpai karena kurang populer dan kurang diminati. Namun bukan berarti tidak ada komunitas yang cukup besar. Komunitas sastra yang cukup hidup atau memiliki kepopuleran dibandingkan komunitas sastra lainnya hanyalah komunitas Beranda Budaya. Komunitas sastra tersebut cukup populer karena dianggap berkualitas oleh para pengamat dan pecinta seni atau sastra di Purwokerto dan Banyumas. Komunitas tersebut didirikan oleh Teguh Trianton, Abdul Aziz Rasjid, Arif Hidayat, dan Ryan Rachman. Komunitas tersebut memiliki salah satu tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali komunitas-komunitas sastra di Purwokerto. Menurut Ryan Rachman, komunitas sastra lainnya kurang hidup karena kurangnya kagiatan-kegiatan sehingga komunitas tersebut lambat-laun tidak terdengar. Oleh sebab itulah Ryan Rachman dan kawan-kawan berinisiatif untuk membangun Beranda Budaya. Ia juga bercita-cita untuk membawa komunitas tersebut sampai ke wilayah Bacakap, yaitu Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purbalingga. Kegiatan yang sering menjadi agenda dari komunitas ini adalah bedah buku, penerbitan antologi, dan saat ini sedang mengumpulkan data untuk leksikon Banyumas Raya.
Eksistensi Ryan Racman tidak hanya terfokus pada komunitas itu saja. Ia juga mendirikan sebuah komunitas atau sanggar sastra bersama temannya, Eka Braja Permana. Komunitas itu bernama Sanggar sastra Wedhang Kendi yang didirikan pada 2007 yaitu semenjak mereka masih duduk dibangku kuliah di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Namun bukan berarti komunitas sanggar tersebut berada di bawah naungan kampus. Komunitas tersebut didirikan dan berada lokasinya di Jl Gunung Slamet Gg Flamboyang no 11 Purwokerto. Anggota dari komunitas ini lebih banyak mahasiswa baik mahasiswa Unsoed, UMP, Unwiku, dan sekitarnya, maupun para pelajar sekolah.
Pada awalnya, kegiatan yang mereka lakukan di bawah naungan Sanggar Sastra Wedhang Kendi adalah membuat karya lalu didiskusikan, dan selang berjalannya waktu beberapa orang bergabung untuk ikut diskusi bersama. Hasil dari diskusi tersebut untuk memperbaiki karya sebelum diterbitkan atau dikirim ke media massa. Salah satu karya-karya yang berhasil dikumpulkan dalam antologi bersama berjudul Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu pada 2008.
Buletin sastra Wedhang Kendi ini terbit berkala satu bulan sekali. Karya-karya sastra yang diterbitkan tidak hanya karya sastra yang diciptakan oleh para pendiri, anggota, tetapi juga terbuka untuk umum. Dalam hal ini, masyarakat umum yang ingin karyanya dimuat di buletin tersebut dapat menghubungi alamat atau contact person yang tertera didalamnya. Selang berjalannya waktu, komunitas ini menjadi lebih berfokus pada dunia penerbitan. Buletin ini sudah dipasarkan tidak hanya di kampus-kampus atau sekolah-sekolah di Purwokerto, tetapi juga sampai ke luar Jawa, meskipun masih sekedar kecil-kecilan. Kegiatan lainnya yang dilakukan komunitas ini adalah pementasan monolog atau hanya sekedar pembacaan puisi.
Berbagai aktivitas di atas membawa nama Ryan Rachman menjadi tidak asing di ranah sastra Purwokerto. Hal ini karena Ryan Rachman juga selalu gencar dan bersemangat dalam pementasan teater, pembacaan puisi, temu sastrawan ataupun bedah buku di beberapa kegiatan sastra dan teater kampus di Purwokerto, seperti teater Texas di Unsoed dan teater di UMP ( universitas Muhamadiah Purwokerto). Melalui pementasan-pementasan tersebutlah seorang Ryan Rachman memiliki karakteristik tersendiri dalam ber-akting di mata teman-tamannya. Ryan Racman dalam hal ini lebih sering melakukan pentas monolog. Ryan Rachman yang memiliki tubuh yang kurus dan berambut “gondrong” ini menjadikannya memiliki kesan tersendiri di mata penonton dan teman-temannya. Tidak hanya dari penampilannya yang dapat dikatakan sebagai “nyeniman” tetapi didukung dengan karakteristiknya dalam bermonolog atau membaca puisi, yaitu ia bergaya dengan tangan yang tidak pernah diam atau bergerak kesana-kemari bahkan lebih sering menggunakan media cat atau media lampu yang berwarna merah atau hijau untuk menciptakan nuansa tersendiri dalam pementasannya. Dalam pementasan monolog berjudul Dajjal yang disutradarainya sendiri di bawah naungan teater Texas Unsoed, ia menciptakan empat karakter dalam pementasan monolog yang juga diperankan oleh empat orang, diantaranya Ryan Rachman itu sendiri, Eka Braja Permana, Andy, dan Nila Mega Marahayu. Pada pementasan ini, seluruh pemain harus memainkan perannya dengan sekujur tubuhnya dilumuri cat merah. Hal ini pula yang sering dilakukan Ryan Rachman dalam pementasan-pementasan monolog lainnya. Oleh sebab itu nama Zombie secara tidak sadar menjadi populer mengikuti namanya.
Kepopuleran si Zombie ini tidak hanya sampai pada tahap aktif dalam diskusi-diskusi sastra di dua komunitas (Beranda Budaya dan Wedhang Kendi), pementasan teater Texas, pembacaan puisi di berbagai kegiatan temu sastrawan dan penyair. Namun, ia juga aktif dalam menulis. Beberapa karyanya yang telah dibukukan di antaranya antologi bersama seperti Bangka, CPNS (Calon Penyair Negeri Sastra) 2006, Orang-Orang Tak Terkenal, 142 Penyair Nusantara Menuju Bulan, Tentang Duka, Sepotong Cinta Tertinggal Di Ujung Sepatu, Beranda Senja, Puisi Menolak Lupa, Harmoni dalam Kesederhanaan, Bukan Perempuan, Mata Boneka, Antologi Puisi Penyair Jawa Tengah 2011 dan Sebatang Rusuk Untukmu. Antologi puisinya dikumpulkan dalam Makan Malam (2007), Belajar Menulis Sajak Cinta (2008) dan Senandung Kupu-Kupu (2011), sedangkan antologi cerpennya dibukukan dengan judul Cerita Menjelang Subuh (2011). Karya-karyanya tersebut diterbitkan secara indie atau diterbitkan oleh komunitas sanggar sastra Wedhang Kendi yang telah dipasarkan tidak hanya di Purwokerto, tetapi juga Bacakap (Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga) tetapi juga sampai di luar Jawa seperti Sumatera. Buku terakhirnya Cerita Menjelang Subuh yang terakhir dilauncing pada pertengahan 2011 berhasil terjual dengan jumlah penjualan mencapai lebih dari dua ratus eksemplar.
Karya-karya si Zombie ini juga dimuat dalam media masa. Karya-karya dan media massa tersebut, yaitu :
1. Kompas Jateng, Selasa ,8 Desember 2009 yaitu berupa esai budaya yang berjudul “Ngapak-tainment, Wajah Baru Bahasa Banyumasan”.
2. Suara Merdeka, yaitu berupa esai dengan judul “Romantisme Sokaraja Mbigar” dimuat pada 28 januari 2010.
3. Kedaulatan Rakyat, yaitu berupa esai tentang “Bahasa Banyumasan Bagai Albasia di Padang Pasir”, “Pengadilan Puisi Penyair Banyumas”, “Bahasa Banyumasan di Rumahnya Sendiri” yang dimuat pada kolom rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, Edisi Selasa 30 Oktober 2007.
4. Seputar Indonesia, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi daun euphorbia”, dan “Senandung Kecil”.
5. Radar Banyumas yaitu berupa esai dengan judul “Misi Sederhana Pasukan Berani Berpuisi (Menyoal kembali) Pengadilan Puisi Penyair Banyumas. Esai ini dimuat pada minggu 12 juli 2009.
6. Radar Banyumas, yaitu beberapa cerpen dengan judul “Petir Menyambar di Kemarau”. Cerpen ini dimuat pada Minggu, 3 Jnauari 2010.
7. Koran Merapi, yaitu sebuah esai dengan judul “Komunitas dan Perkembangan Kesusastraan Di Purwokerto”. Esai ini dimuat pada Minggu, 23 Agustus 2009.
8. Koran Merapi, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi Pulang 1”, “Puisi Pulang 2”, dan puisi “Kepada Kertas dan Pena”.
9. Koran Sumut Pos, yaitu beberapa puisi seperti “Lahirlah Puisi”, “Kasur”, “Amplop Merah”, dan “Aku Bertanya Kepada Api”.karya-karya tersebut dimuat pada Agustus 2010.
Karya-karya tersebut menunjukkan bahwa si Zombie-Ryan Rachman ini tidak hanya memfokuskan sepakterjangnya pada dunia akting dan kepenyairan tetapi juga dunia penulis. Oleh sebab itulah si Zombie ini cukup populer sebagai sastrawan muda Purwokerto, meskipun belum dapat sebanding dengan seorang Ahmad Tohari. Namun, si Zombie ini telah dianggap sebagai sastrawan yang berhasil lahir dari Unsoed, oleh sebab itulah setiap diadakannya kegiatan seminar sastra ataupun kegiatan temu sastra baik di Unsoed ataupun UMP, maka ia tidak pernah absen untuk mendapatkan undangan sebagai pembicara. Hal ini juga diakui langsung oleh seorang dosen drama di Prodi sastra Indonesia Unsoed dan UMP bernama Edon. Ia sering meminta si Zombie ini datang pada acara pementasan-pementasan yang diadakan pada mata kuliah Drama yang diampunya, maupun kegiatan seminar temu sastra Banyumas bersama Ahmad Tohari.
2. Modal yang Dimiliku si Zombie-Ryan Rahman di Dunia Sastra Purwokerto
Modal dalam makalah ini mengacu pada modal kultural dan simbolik. Modal kultural yang dimiliki oleh Ryan Racman adalah selera yang berasal baik dari habitus maupun arena. Dalam hal ini, arena memiliki peranan penting bagi kesastrawanan si Zombie ini.
Modal yang pertama dimiliki oleh seorang Ryan Rachman adalah menjadi Alumni Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto. Hal ini dikatakan sebagai modal karena melalui profesinya tersebut ia dapat meiliki pengalaman atau habitus dalam dunia sastra maupun teater dan sebagai arena dalam mendapatkan tempat di mata teman-teman yang sebagian besar juga sebagai penikmat seni atau sastra. Di mana Unsoed ini memiliki peranan penting dalam dunia sastra di Purwokerto. Hal ini karena nama Unsoed itu sendiri menjadikan seseorang terlihat lebih dalam status sosial di Purwokerto.
Modal kedua yang dimiliki oleh Ryan Rachman adalah ia sebagai orang yang cukup penting dari suatu komunitas. Dalam hal ini, dua komunitas yang cukup hidup di Purwokerto seperti Beranda Budaya dan Wedhang kendhi adalah komunitas yang didirikannya. Secara tidak langsung modal kekuasaan akan kepenulisannya dapat lahir dari adanya kesempatan di komunitas tersebut. Selain itu, Ryan Rachman juga bekerja sebagai seorang juru warta di surat kabar Suara Merdeka tentu hal ini juga menjadi jalan atau modal baginya untuk terus berkiprah dalam dunia sastra yang kemudian membesarkan namanya. Disinilah ia dapat melahirkan karya-karya yang kemudian dimuat atau diterbitkan di media massa. Hal ini menjadi peluang yang cukup besar. Terbukti dengan beberapa karyanya yang dimuat juga dalam kolom di Suara Merdeka.
Setelah lulus dari Unsoed, ia menjadi dosen tamu mata kuliah Dramaturgi di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unsoed. Oleh sebab itulah jalan baginya untuk populer dalam dunia sastra menjadi cukup besar pula. Hal ini juga dapat menjadikan alasan mengapa si Zombie ini cukup menjadi incaran dalam acara-acara seminar temu sastra di Purwokerto atau Banyumas.
Modal selanjutnya adalah hubungan dekatnya dengan seorang sastrawan besar Banyumas, yaitu Ahmad Tohari. Kegiatan-kegiatan seminar menjadi kesempatan baginya untuk sering berdiskusi dengan seorang penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut. Selang berjalannya waktu, kedekatan mereka menjdi semakin kuat. Dalam hal ini, Ahmad Tohari juga sering menganggapnya sebagai cucu dan turut mensupportnya sebagai seorang sastrawan muda dari Purwokerto.
Dengan demikian, modal simbolik dari Ryan Rachman ini adalah berupa pengakuan dari penikmat sastra Purwokerto tentang keunikannya sehingga dijulukinya ia sebagai si Zombie. Dengan julukan itu tentu mampu membuatnya tetap bertahan di arena sastra Purwokerto. Modal kutural akan selera Ryan Rachman dalam membaca puisi, bermonolog atau berteater ini dapat menciptakan modal simbolik yaitu berupa pengakuan dari para penikmat maupun kumunitas sastra Purwokerto, bahkan seorang Ahmad Tohari terhadap Ryan Rachman.
3. Habitus dan Trajektori dalam Kesastrawanan si Zombie-Ryan Rachman
1. Habitus
Habitus merupakan sebuah tali yang mengikat agen dalam sebuah arena. Dalam hal ini, Ryan Rachman memiliki habitus yang sangat berpengaruh terhadap sepak terjangnya dalam dunia sastra di Purwokerto. Ryan racman yang juga dapat dikatakan sebagai penulis ini mulai menulis serius sejak tahun 2004. Meskipun pada waktu kecil belum bercita-cita menjadi sastrawan tetapi menjadi atlet renang. Semenjak menjadi mahasiswa sastra, ia semakin mencintai dunia sastra. Hal inilah yang membuka peluang berupa semangat untuk terus menulis, membaca puisi, dan memainkan drama atau teater bahkan ia sutradarai sendiri. Serta menjadi tokoh penting dalam seminar-semianar atau dialog-dialog sastra di Purwokerto-Banyumas ini.
Pengalaman yang pernah dilalui oleh si Zombie ini juga memberikan makna betapa berartinya habitus dalam kesastrawanannya. Berikut ini beberapa pengalamannya adalah ; membuat esai “Karya Sastra yang Baik”. Esai ini kemudian dibahas dalam makalah yang disampaikan dalam Workshop Penulisan Karya Sastra pada Workshop Anggota Baru Teater DIDIK bertempat di STAIN Purwokerto pada 3 Desember 2008.
Pengalaman selanjutnya adalah menjuarai beberapa perlombaan karya sastra. Cerpen Durga Gugat merupakan cerpen yang membawanya menjadi juara Harapan I pada Peksiminas di Jambi. Berikut ini beberapa penghargaan lain yang didapatkan si Zombie adalah sebagai berikut :
1. Juara Harapan 1 pekan seni mahasiswa nasional 2008 jambi tangkai penulisan cerpen.
2. Juara 2 pekan seni mahasiswa daerah 2008 Semarang tangkai penulisan cerpen dan puisi.
3. Juara 1 pekan seni mahasiswa Unsoed 2008 tangkai penulisan cerpen dan puisi.
4. Sepuluh besar lomba cerpen mahasiswa Unsoed LPM sketsa 2008 dan 2010.
5. Juara 2 lomba menulis cerpen islami UKKI Unsoed 2010.
6. Nominator lomba penulisan puisi dan cerpen LPM Obsesi STAIN Purwokerto 2009-2010.
7. Juara 2 penulisan cerpen HMPS Sasindo Unsoed 2009.
Habitus yang dimiliki seorang Zombie Purwokerto ini tidak berhenti sampai pada sebuah kejuaraan karya sastra saja, tetapi ia juga pernah menjadi Delegasi Banyumas dalam beberapa kesempatan, diantaranya, yaitu :
1) Temu Penyair Indonesia 70 Tahun Presiden Penyair Indonesia, Jakarta 2007.
2) Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2 Kudus 2008
3) Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, dan
4) Temu Sastrawan Indonesia 2 Tanjung pinang 2009
2. Trajektori atau lintasan
Trajektori merupakan lintasan yang dilalui Ryan Rachman dalam arena sastra Purwokerto. Adapun tarjektori dari Ryan Rachman adalah alasannya dalam menulis karena kegiatannya yang sering berdiam diri atau teman-temannya mengatakan “membatu” atau merenung. Dengan hal itulah ia mendapatkan inspirasi-inspirasi untuk menulis, membaca puisi, dan mementaskan teater. Tujuan-tujuan dibalik eksistensinya ini, ia memiliki keinginan luhur, yaitu ingin membawa dan memperkenalkan bahasa Banyumas dalam dunia kesusasteraan melalui karya-karyanya. Ia pun dalam beberapa esainya sangat menunjukkan kepeduliannya terhadap bahasa ngapak tersebut untuk dapat digunakan dalam kepenyairan atau dalam penulisan puisi. Ia mengaharapkan adanya penulis, penyair, ataupun dramawan muda (sastrawan) besar lahir di Purwokerto untuk menemani sang Ahmad Tohari.
Alasan lain ia menulis adalah karena dari kampus sastra Unsoed tidak ada yang menjadi penulis. Maka ia ingin menjadi pendobrak dalam dunia sastra tersebut. Tentu hal ini agar dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman khususnya mahasiswa Unsoed untuk tidak terus menerus menjadi sastrawan kamar, yaitu menulis, membaca puisi, dan berteater di tempat yang kecil atau malu dan tidak percaya diri untuk menjadi besar. Baginya saat ini adalah waktu yang baik untuk menghidupkan dunia kesastrawanan di Unsoed, Purwokerto. Ia berharap dengan adanya karya-karyanya yang dimuat di beberapa media massa mampu menjadi motivasi bagi temen-temen sastra Unsoed untuk ikut menjadi penulis. Tentu hal ini sebagai lintasan emas baginya untuk menjadi penyair, penulis, dramawan, bahkan kritikus besar di Purwokerto.
E. Kesimpulan
Ryan Rachman dapat tetap menunjukkan eksistensinya dalam arena sastra di Purwokerto karena keunikan gayanya yang “nyeniman” maupun gayanya dalam berpentas teater maupun mendeklamasikan puisi yaitu dengan gaya Zombie-nya. Selain itu ia juga sangat memiliki kekuasaan atau modal karena profesinya sebagai juru warta di Suara Merdeka dan eksistensinya dalam seminar-seminar temu sastrawan. Profesinya sebagai dosen Dramatologi di Unsoed juga menjadi peluang tersendiri baginya untuk terus berkarir di ranah sastra Purwokerto.
Belum adanya sastrawan khususnya penulis yang lahir dari Unsoed, memberikan jalan atau sebagai lintasan baginya untuk bersaing dalam arena sastra di Purwokerto. Habitus berupa kejuaraan-kejuaraan juga cukup kuat untuk memberikannya peluang dalam arena sastra Purwokerto dan dalam melancarkan lintasannya.
F. Lampiran
Puisi si Zombie-Ryan Rachman
Senandung Kecil
ah dinda
aku tahu
pasti malam ini ada bunga air yang mekar di mata kacamu
lalu perlahan kelopaknya yang berat gugur helai demi helai
jatuh dan lenyap seketika tak sempat menjadi telaga di kapas-kapas empuk mimpimu
ah dinda
aku tahu
pasti kali ini ada api gelisah yang pijar di kisi-kisi hati beningmu
lalu perlahan merayap dan menelusup dalam daging lewat celah-celah kapiler
pijar dan terus pijar
hingga kau tahu rasa lemah dan lunglai di setiap sendi dan seluruh
ah dinda
malam ini di sini gerimis telah lebat sejak pertengahan hari tadi
dan aku benar-benar terkotak di sini
aku seperti manusia di belantara sunyi
tanpa kabar tanpa mengabar
darimu untukmu
o dinda
aku gelisah segelisah hujan yang memukul atap rumahku
aku gelisah padamu
aku merindu
merindu pagi ayam bersiul dan membawa ketepianmu
dinda
aku tahu
malam ini kau dipukul tanpa kasihan oleh tangan-tangan kasar sang rindu
kau terlempar
kau menggelempar
kau tak sadar
* Puisi ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia Minggu, 17 Februari 2007
G. Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Sastra: Terjemahan Yudi Santosa. Bantul: Kreasi Wacana.
Harker, Richard, dkk (Ed.). 2009. (Habitus x Modal)+Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, judul asli An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory: Terjemahan Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra.
Noor, Redyanto. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.