Kamis, 14 Juni 2012

Opini tentang Film Soegija oleh Nila Mega Marahayu



       


        Lewat film Soegija saia meresapi makna didalamnya,, bahwa benar juga kalo penjajah atau musuh sekalipun akan luruh jika diadu dengan cintakasih lewat peran seorang ibu, seorang Maria, dan seorang perempuan. sebuah sudut pandang berbeda dari perang & penjajahan yg pernah ada dalam film atau cerita sebelumnya; tentang kekejaman, kengerian, dan kekerasan. Ada Tentara jepang & belanda dlm keadaan genting tidak jd menembak karena ternyata hatinya terketuk pada ingatan tentang ibu dan bayi. hal ini menunjukkan adanya dekonstruksi terhadap cerita-cerita yang pernah ada. Bahwa benar kata Romo Soegija : semua berasal dari kemanusiaan yg satu.


    Memandang Cintakasih dalam katolik dalam perjuangan Indonesia lewat permainan hati/kemanusiaan cukup masuk akal juga,, sayangnyaa peran Romo Sugijo dlm perjuangan kemerdekaan kurang di ekspose di film ini, sepertinya benar kata Arswendo atmowiloto bahwa film ini terlalu takut untuk menyebut Romo, terlalu takut untuk melihat pasar karena melihat dari sudut pandang agama. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan adanya penolakan-penolakan pemutaran film maupun peluncuran buku boigrafi Soegija oleh kalangan tertentu. Melihat ini, saia setuju dengan Romo Soegija secara tidak langsung; bahwa indonesia juga milik katolik, bahwa indonesia berbeda-beda tapi tetap satu.

      yaa, bagaimanapun itu, film ini cukup menakjubkan juga, di zaman genting seperti itu,zaman indonesia belum merdeka; Seorang Romo Soegija telah dihormati oleh para umat bahkan yg berlatarbelakang Belanda sekalipun. ia telah menjadi tokoh yg disegani dan didengar bahkan sampai Vatikan. ia membantu peralatan obat, selimut, dengan mengirim surat sampai vatikan. mungkin, karena satu faktor itu pulalah ia juga dekat dengan Soekarno.

*begitu kiranya bagiku,, dan apa bagimu ??

      owyaa,, sekedar catatan saja,, waktu saia berangkat ke bioskop untuk beli tiket jam 14.00 ternyata tiket sudah habis tinggal tersisa untuk jam 21.00wib.. demi nonton saya putuskan untuk ambil jam malam tersesbut di bioskon 21 ambarukmo plasa yogyakarta. taukah anda, ternyata saya jauh lebih beruntung karena antrian dibelakang saya sudah tidak kebagian tiket untuk hari tersebut. alhasil mereka yang sebagian besar adalah para kakek dan nenek serta rombongan keluarga itu, membeli tiket untuk besok pagi. pada hari itu serentak pada jam yang sama film fenomenal tersebut ditayangkan di bioskop tersebut. ternyata film ini masih laris diminati penonton sampai tanggal 15 juni besok lhoo,, waahh semakin bertambah kiranya penonton yang memang sebagian besar adalah beragama nasrani tersebut yang menonton. terlepas dari itu, saya mendapatkan informasi dari teman, bahwa pemutaran film ini telah diumumkan melalui gereja, sehingga tiket dapat dipesan juga melalui gereja. waah luar biasa sekali. mungkin inilah film perjuangan pertama di Tanah Air kita yang notabenenya adalah non muslim. sehingga menjadi incaran minat penonton meskipun penuh penlakan di pihak lain yang tentu saja berdasarkan agama. bagi saya, film ini membuktikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, indonesia ya indonesia. kemerdekaan ya milik para pejuang, entah tokohnya itu berlatarbelakang katolik, islam, hindu, maupun budha. dan semoga film ini menjadi inspirasi bagi sineas lainnya untuk mengungkap perjuangan para tokoh kemerdekaan Indonesia dari berbagai agama maupun suku. sehingga dapat memberikan tambahan wawasan sejarah sesempurna mungkin bagi bangsa dan negara kesatuan Indonesia tercinta.



(Ini foto membludaknya penonton di bioskop 21 Ambarukmo Plasa)

Tentang WS. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa


Nama : Nila Mega Marahayu (11/323090/PSA/02448)
Tugas : Sastra Indonesia Modern 1, diampuh oleh Prof. Dr. Faruk H.T.
 
Tentang WS. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa
Sajak-sajak yang lahir pada angkatan 1970-an merupakan sajak yang memiliki wawasan estetika berbeda dari angkatan Chairil Anwar atau angkatan 45. Hal ini terlihat pada kata atau bahasa yang digunakan dalam sajak. Pada sajak-sajak Ws. Rendra, lebih menekankan pada penghayatan atau pemahaman sajak yang langsung dan utuh. Sajak-sajak tersebut tidak lagi memfokuskan diri pada kepercayaan kata atau bahasa seperti sajak-sajak Chairil Anwar yang terasa sulit untuk dipahami. Rendra dalam sajaknya lebih mementingkan bagaimana menghadirkan emosi atau keterpukauan pembaca dengan bahasa yang mudah untuk dipahami. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa berikut.      
“kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami punya maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik saudara untuk siapa ?"

            Pada kutipan tersebut terlihat jelas bahwa emosi mencoba dihadirkan Rendra untuk memukau pembaca. Ia seolah ingin mengajak kepada pembaca untuk menghayati sajak secara langsung dan utuh bahkan melalui Pathos, yakni bahasa adalah objek pengalaman itu sendiri. Pada kutipan terlihat jelas, bahwa ia mengajak pembaca—dalam hal ini lebih berfokus pada mahasiswa untuk kembali bertanya atau mengoreksi suatu keadaan (kita bertanya).  Kenapa maksud baik atau penawaran untuk hidup yang lebih baik atau layak tidak kunjung dirasakannya atau juga dirasakan rakyat. Maksud baik yang ditawarkan pemerintah tersebut sebenarnya untuk siapa. Pembaca diajak untuk berkontemplasi bahwa apakah maksud baik tersebut benar-benar maksud baik untuk kesejahteraan rakyat atau pemerintah itu sendiri (“maksud baik saudara untuk siapa”).
            Tanpa bahasa yang bertele-tele atau dengan bahasa yang langsung dan seolah menawarkan emosi pada pembaca, bahwa selama ini ketimpangan sosial selalu ada dalam kehidupan sekitar. Bahwa ketidakadilan, kesewenang-wenangan, masih jelas ada dalam kehidupan. Kesewenang-wenangan disini lebih ditunjukkan oleh Rendra kepada pemerintah yang menindas rakyat. Kemudian pertanyaan kembali diberikannya kepada pemerintah, bahwa sebenarnya bagaimana nasib rakyat jika pemerintah itu sendiri lebih mementingkan dirinya dibandingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Terlihat jelas dalam kehidupan sekitar bahwa yang kaya makin jaya dan yang miskin makin terpuruk. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa berikut.   
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

            Rendra dalam sajaknya tersbebut sangat perduli pada kehidupan rakyat, seolah ia memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertinggal, yakni rakyat di desa. Rendra mengharapkan pergerakan dari pembaca atau mahasiswa untuk membantu merubah keadaan. Pembaca diajaknya untuk kembali kritis terhadap jalannya kehidupan yang semakin tidak adil dan menindas rakyat, kembali kritis dalam memanfaatkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah untuk kepentingan yang baik. Bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang membawa keadaan bangsa yang lebih baik dengan memahami atau menghayati bangsa itu sendiri (mencari identitas bangsa). Kemudian mencari jalan keluar dari segala permasalahan bangsa (alat pembebasan) dengan cara sendiri bukan cara yang ala barat (penindasan), yang asing bagi bangsa itu sendiri. Bahwasanya ilmu yang diajarkan akan dan harus memupuk pola pikir mahasiswa untuk bergerak merubah keadaan dengan memihak rakyat dan ilmu-ilmu yang diajarkan haruslah ilmu-ilmu yang berkaca pada rakyat atau bangsa sendiri, agar ilmu tidak terasa asing untuk diterapkan dalam penuntasan permasalahan di negeri atau bangsa sendiri.
Kita mahasiswa tidak buta
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu yang diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah akan menjadi alat penindasan ?
Kita menuntut jawaban

Ia mencoba meletakkan perhatiannya pada rakyat di desa yang semakin terancam karena tanahnya atau sawah dan perkebunannya menjadi semakin berkurang, penyebabnya adalah para orang-orang kaya (orang-orang di kota atau pejabat dan pemerintah) yang menguasai tanah rakyat di desa. Rendra mengajak pembaca atau mahasiswa kembali mempertanyakan maksud atau tujuan apa yang tengah direncanakan pemerintah terhadap nasib rakyat di desa khususnya petani. Pemerintah menawarkan kehidupan baru yang asing bagi rakyat di desa (rakyat kecil) yang mayoritas petani dengan alat-alat impor yang dianggapnya canggih dan mampu merubah tatanan perekonomian yang lebih baik, tetapi pada kenyataannya hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
“kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung sudah menjadi milik orang - orang di kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"

            Rendra melalui sajak tersebut terus memberikan perhatiannya pada kesejahteraan rakyat yang nyaris lumpuh karena pemerintah. Sajaknya tersebut jelas mengangkat permasalahan antara rakyat dan pemerintah yang kemudian coba untuk membawa nama mahasiswa sebagai alat untuk merubah pemikiran secara kritis dan merubah keadaan. Rendra melalui sajaknya tersebut mencoba untuk dekat dengan rakyat sampai ke desa-desa. Kedekatannya ini dilakukannya dengan memperdulikan nasib rakyat di desa meski dengan sajak yang tidak berbahasa daerah. Sajak ini tidak menjadi sajak yang melupakan masa lalu. Hal ini terlihat pada perhatian Rendra pada kehidupan di desa atau petani—sebagai salah satu ciri Indonesia, yakni masyarakat yang agraris dan asing dengan alat-alat impor atau modern. Dalam hal ini seolah Rendra memiliki sedikit ketakutan akan keberhasilan perekonomian dengan cara baru yang direncanakan pemerintah—pemerintah seolah ingin menghapuskan peranan besar pertanian dan menggantinya dengan perekonomian ala negara barat.
            Sajak- Rendra yang lahir pada tahun 1977 ini memiliki ciri yang sama dengan sajak-sajaknya yang lain, yakni selalu ingin mendekatkan diri pada masyarakat. Sajaknya seolah menjadi lonceng peringatan bagi jalannya kehidupan bangsa dan negara yang dikuasai oleh pemerintahan. Ia selalu mengajak pembaca untuk kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Ia juga mengangkat mahasiswa sebagai simbol kekuatan kedua setelah pemerintahan yang mampu merubah keadaan rakyat. Emosi-emosinya dalam sajak ini seolah membawa pembaca sedang dalam barisan atau berorasi untuk perubahan yang memihak rakyat. Hal ini akan terus dilakukan seiring lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak seimbang dengan keadaan rakyat. Ia juga mengingatkan bahkan mengancam pemerintahan ; jika kehidupan tidak lebih baik, maka pertanyaan-pertanyaan tidak akan mereda dan siap untuk menjadi ombak di samodra—pembaca seolah tengah didoktrin untuk siap turun ke jalan dan menuntut perubahan kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Rendra melalui sajaknya ini seolah turun ke jalan dan merangkul pembaca atau mahasiswa untuk melakukan pergerakan untuk perubahan keadaan bangsa dan negara yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa sebagai berikut.
sebentar lagi matahari akan tenggelam
dan malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
rembulan berlayar
tetapi pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan mereda
ia akan muncul di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru akan menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke kali
akan menjadi ombak di samodra

di bawah matahari yang ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
memihak yang mana !

Kesimpulan
            Ws Rendra sebagai penyair yang menyuarakan aspirasi rakyat yang tertindas atau mengalami kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terlihat pada sajak-sajaknya, yang juga terlihat dalam sajak Pertemuan Mahasiswa. Rendra mengajak pembaca atau mahasiswa untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, atau kebijakan-kebijakan yang terasa asing untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, bangsa, atau negara. Dengan demikian Rendra menjadi salah satu dari penyair lainnya yang dekat dengan masyarakat.
            Kepopuleran Rendra pun semakin terlihat lebih besar daripada penyair lainnya karena posisinya yang berada di pusat atau kota Jakarta—dekat pusat pemerintahan. Keadaan itu dimanfaatkannya untuk bergerak lebih menonjol atau terekspos ketimbang penyair-penyair lainnya di daerah-daerah. Namun, Rendra pun tidak berbeda dengan mereka, yaitu sama-sama menyuarakan aspirasi rakyat. Hanya saja posisi keberadaan Rendra membuatnya lebih cepat disorot media dan menjadikannya lebih populer. Rendra juga aktif dalam menggelar pembacaan sajak-sajaknya di mana-mana dengan gaya teatrikalnya yang semakin membuatnya seolah sebagai penyair terbesar mengalahkan penyair-penyair lainnya. Sampai akhir hayatnya pun, Rendra tetap populer sebagai penyair yang menuliskan sajak-sajak untuk rakyat.
***

 Lampiran

Sajak Pertemuan Mahasiswa

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami punya maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik saudara untuk siapa ?"

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung sudah menjadi milik orang - orang di kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
Kita mahasiswa tidak buta
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu yang diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah akan menjadi alat penindasan ?
Kita menuntut jawaban

sebentar lagi matahari akan tenggelam
dan malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
rembulan berlayar
tetapi pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan mereda
ia akan muncul di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru akan menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke kali
akan menjadi ombak di samodra

di bawah matahari yang ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
memihak yang mana !

( Jakarta, 1 desember 1977 )



Analisis terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis


Mata Kuliah : Sastra Indonesia Modern 1, diampuh oleh Prof. Dr. Faruk, H.T.
Catatan Analisis terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami :
·         Adakah pengaruh kedatangan si Aku terhadap kematian kakek atau apakah kedatangan si Aku menjadi salah satu faktor penyebab kematian si kakek ?
Jawabannya adalah ya, si aku menjadi salah satu faktor penyebab kematian si kakek. Alasannya adalah :
1.      Si aku tidak dapat memberikan solusi atau hiburan atau nasihat kepada kakek ketika si kakek bertanya atau melakukan pembelaan terhadap dirinya. Si aku hanya diam dan mendengarkan atau membiarkan si kakek bertanya-tanya sendiri akan dirinya, dimana dalam hatinya sesungguhnya si kakek semakin ragu terhadap kebenaran dirinya. Ia secara tidak langsung tengah terpengaruh dongeng atau perkataan Ajo sidi. Hal inilah yang kemudian membuat si kakek semakin bermuram durja. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Tapi aku tidak perlu menjawabnya lagi. Sebab, aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnya, dia tidak akan diam lagi. Aku biarkan kakek pada pertanyaannya sendiri.”
Tidak selamanya diam adalah sebagai suatu perilaku yang pasif dan dalam hal ini, diamnya si Aku seakan memberikan ruang terhadap kebenaran atau membenarkan dongeng atau perkataan Ajosidi dan juga mulai tidak percaya atau juga menyalahkan si kakek. Sebenarnya si kakek cukup lega atau senang dengan adanya kedatangan si aku sehingga ia dapat mencurahkan isi hatinya atau kekesalannya kepada si aku, tetapi ditengah-tengah ceritanya ia bertanya kepada si aku perihal tindakannya selama ini benar atau salah. Si kakek dalam ceritanya pun sudah mulai untuk meminta dukungan kepada si aku untuk membenarkan dirinya. Namun, hal itu tidak disambut dengan perkataan nasihat atau jawaban yang diinginkan si kakek dari si aku. Alhasil si kakek terus tersudut dengan pertanyaannya sendiri dan semakin ragu akan kebenaran dirinya dan mulai kuat kepercayaannya terhadap cerita Ajosidi.  
2.      Si aku datang kepada si kakek sudah tidak lagi sebagai individu atau tidak lagi seperti dirinya. Ia datang kepada si kakek sudah sebagai bagian dari lingkungan sosial. Hal ini terlihat jelas dengan adanya perilaku si aku yang bertanya-tanya kepada kakek yang seolah-olah ia ingin tahu terhadap sesuatu yang terjadi. Seperti cerita Ajosidi sebelumnya tentang pemimpin yang seperti katak, maka warga percaya dan ikut memanggil pemimpin itu sebagai si katak. Dalam kasus si kakek pun sama dalam anggapan atau kepercayaan warga, maka si aku sebagai bagian dari lingkungan sosial, datang kepada kakek sudah terbawa pengaruh sosial yang mempercayai cerita Ajosidi. Namun hanya saja si aku masih ragu dan tidak sepenuhnya mempercayainya tetapi dirinya tetap saja sudah meragukan kebenaran kakek. Dapat diandaikan, jika si aku tidak percaya pada cerita Ajosidi maka ia datang kepada kakek tidak dengan pertanyaan yang menggebu-gebu atau terus menekan si kakek dan si aku juga pasti akan bersikap aktif dengan memberikan jaawaban atau nasihat kepada kakek, tetapi si aku justru bersikap pasif atau diam. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“ketika kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. “ia katakan kakek begitu, kek ?”
“ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Kesimpulan :
            Kalau si aku tidak datang kepada kakek, kemungkinan kakek tidak akan bunuh diri. Hal ini terlihat pada pisau yang berserakan yang awalnya tidak terfikirkan oleh si kakek untuk membunuh si Ajosidi apalagi bunuh diri. Keadaan menjadi berubah dengan adanya hasrat untuk membunuh karena si kakek diberikan pertanyaan akan keberadaan pisau dari si aku, sehingga seolah memberikan ruang pemikirannya atau mentalnya untuk berfikir tentang “membunuh”. Dalam hal ini Ajosidi pun dapat dikatakan tidak mungkin membunuh si kakek, kendatipun pisau itu miliknya yang sedang diasah si kakek karena si kakek adalah orang yang selalu dimintai mengasah pisau oleh warga. Ajosidi tidak mingkin membunuh si kakek karena Ajosidi tidak terlihat memiliki motif atau alasan kuat untuk membunuh si kakek. Keadaan tersebut memberikan peluang pembenaran bahwa kakek benar-benar bunuh diri.
            Sebenarnya ada kejanggalan dalam cerita tersebut, bahwasanya seharusnya kakek merasa lega karena dapat menceritakan isi hatinya atau kekesalannya kepada si aku dan seharusnya membuatnya tidak jadi bunuh diri, tetapi ternyata ia tetap bunuh diri. Dalam hal ini terlihat betapa si aku tidak dapat mencegah adanya kejadian yang akan nmenimpa kakek.
            Tindakan kakek bunuh diri adalah sesuatu yang wajar karena biarpun ia seorang yang kuat imannya, tetapi hidupnya sepenuhnya untuk Tuhannya. Andaikan si kakek adalah seorang yang imannya kuat dan juga hidup dengan bersosialiasi maka mungkin ia tidak terlalu kecewa. Dalam hal ini, kakek yang begitu lurus jalan hidupnya hanya untuk Tuhan, maka ia merasa sangat kecewa akan tindakannya selama ini sebagai orang lurus jalannya kepada Tuhan, kalau ternyata toh ia akan masuk neraka juga seperti orang-orang lain yang tidak berbakti hidupnya benar-benar untuk Tuhan. Tentu saja cerita Ajosidi membuat kakek kecewa dan tidak memiliki tujuan hidup lagi.
***

  

Analisis Semiotika Riffatere dalam Sajak “Negeri yang Terpenjara” Karya Martha Sinaga oleh Nila Mega Marahayu

Negeri yang terpenjara
Suara maling teriak maling 
berhias diri Tontonan untuk anak bangsa 
Menu bagi pemilik negeri 
Kue dalam adonan petinggi siap untuk dibagi 
Maling teriak maling menjadi judul cerita 
 Gunjingan Olok-olok 
 Bahasan Diskusi yang dibayar tunai 
 Berita utama
 Catatan kaki
 Rubrik opini
 Seragam judul 
Maling teriak maling lagi itu kisahnya 
 Satu tuding yang lain 
Sumpah serapah paling jitu 
Mencibir 
Terbelalak 
Meludah
 Puihhhhh 
 Ini dia mainan gundu petinggi negeri
 Sodok sana
 Gulingkan sini
 Melirik yang itu merangkul yang ini
 Puahsisiehhh
 *** 
A. Pemaknaan sajak “Negeri yang Terpenjara” 
1. Pembacaan heuristik 
Judul dari sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik atau pembacaan dengan konvensi bahasa atau konvensi tingkat pertama adalah sebagai berikut. Judul sajak “Negeri yang Terpenjara” merupakan adanya sebuah negeri yang terdapat dalam penjara. Dapat dikatakan bahwa disebuah negeri yang memiliki penjara yang mengelilinginya. Pada bait pertama pembacaan sajak “Negeri yang terpenjara” secara heuristik adalah ada sebuah suara yang keluar dari mulut seorang maling yang setelah itu ia berhias diri agar tidak diketahui orang lain bahwa dirinya adalah maling (suara maling teriak maling berhias diri). Para anak bangsa menonton atau menyaksikan akan tindakan si maling tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Kemudian adanya menu atau suatu resep yang dimiliki oleh pemilik negeri atau raja atau presiden. Dalam menunya tersebut terdapat kue yang belum menjadi kue secara utuh, yaitu ia masih berbentuk adonan yang tinggi atau banyak. Adonan tesebut siap untuk dibagi-bagikan kepada orang lain oleh si pemilik negeri atau maling (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Entah kenapa keadaan tersebut menciptakan sebuah cerita dengan judul maling yang teriak maling. Pada bait kedua sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah terdapat gunjingan, olok-olok, dan pembahasan (bahasan) yang dilakukan di dalam sebuah diskusi. Diskusi tersebut ternyata menggunakan dana dalam pelaksanaannya (diskusi yang dibayar). Pada bait ketiga sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah bahwa adanya berita utama, catatan kaki, yang memiliki judul yang seragam atau diseragamkan atau disamakan. Keadaan tersebut mengisahkan cerita tentang maling yang teriak maling lagi (maling teriak maling lagi itu kisahnya). Pada bait keempat sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya satu tudingan yang mnuding yang lain (satu tuding yang lain). terjadilah sumpah serapah dalam tuding-menuding tersebut sebagai cara yang paling jitu (sumpah serapah paling jitu). Keadaan itu penuh dengan orang yang mencibir, adapula yang terbelalak, ada pula yang meludah hingga terdengar puihhh dari mulutnya. Pada bait kelima sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya seseorang yang atau dia yang sedang bermain gundu milik petinggi negeri (ini dia mainan gundu petinggi negeri). Dalam permainan gundu tersebut ada adegan sodok sana, gulingkan sini, melirik yang itu dan merangkul yang ini. Kemudian terdengar adegan meludah dengan mengeluarkan bunyi puahsisiehh dalam bermain gundu tersebut. 
 2. Pembacaan hermeneutik
Judul sajak “Negeri yang terpenjara” secara hermeneutik atau pembacaan dengan konvensi sastra dapat dimaknai yaitu sebagai negeri yang terkurung oleh korupsi yang merajalela atau adanya sebuah negeri yang tidak dapat terbebas dari permasalahan korupsi (Negeri yang terpenjara). Pada bait pertama sajak secara hermeneutik memiliki makna yaitu, ada pemimpin atau koruptor yang berpura-pura baik dalam mengemban jabatannya agar tidak ada yang mengetahui dirinya korupsi. Koruptor tersebut disebut sebagai maling negara yang menuduh orang lain sebagai maling agar dirinya tidak terkena sasaran pemeriksaan. Ia begitu pandai dalam menyembunyikan identitasnya sebagai maling atau koruptor (suara maling teriak maling berhias diri). Keadaan tersebut menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Seolah menjadi tontonan yang tidak ada akhirnya. Seolah tidak ada yang bersalah atau disalahkan untuk dijatuhi hukuman. Bangsa atau rakyat tidak dapat memutuskan apa-apa terhadap urusan yang tidak kunjung berakhir tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Keadaan tersebut atau tindakan melakukan korupsi merupakan menu bagi pemimpin atau pemilik negeri. Hal ini seolah halal untuk dilakukan tanpa perasaan bersalah sedikitpun (menu bagi pemilik negeri). Korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negeri tersebut dibagi-bagikan berapa bagian-bagiannya dalam menguasai harta rakyat tersebut. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dari pemimpin negeri tersebut, bahkan harta haram tersebut bagaikan kue dalam adonan yang siap untuk dibagikan merata kepada pemimpin-pemimpin atau menteri-menteri lainnya (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Sungguh tidak ada maling teriak maling dalam keadaan tersebut. Tidak ada pengakuan atas kesalahannya mencuri uang negara atau rakyat. Permasalahan korupsi tidak akan ada akhirnya dan tidak akan menjadi sebuah cerita atau kasus yang tuntas diselesaikan hukum (maling teriak maling menjadi judul cerita). Pada bait kedua sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu apabila akan adanya gunjingan, olok-olok, pembahasan (bahasan) atau diskusi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi. Maka koruptor itu telah mempersiapkan diri dengan uang untuk suap dan mungkin jabatan yang lebih tinggi untuk orang-orang yang mau menyembunyikan tindakan korupnya. Ia akan sesegera mungkin membayar diskusi tersebut agar tuduhan yang tertuju padanya tidak jadi terungkap (diskusi yang dibayar). Pada bait ketiga sajak secara hermeneutik dapat dimaknai yaitu permasalahan korupsi yang sempat didiskusikan tersebut pada keesokannya akan menjadi berita hangat untuk dibicarakan rakyat diseluruh negeri. Cerita itu akan menjadi berita utama di surat kabar atau televisi, menjadi catatan kaki di sebuah buku, menjadi rubrik opini di surat kabar. Berita yang tengah hangat diperbincangkan itu begitu hebatnya karena memiliki judul yang sama, opini yang sama, atau kisah cerita yang sama dari surat kabar satu ke surat kabar lain, dari catatan kaki yang satu ke catatan kaki yang lain, dari rubrik opini yang satu ke rubrik opini yang lain. Semua isi berita adalah permintaan si pemilik suap yang minta untuk merekayasa kebenaran hingga semua tulisan pada berita itu adalah hasil komandonya (seragam judul). Tentu hal itu terjadi dari keberhasilan suap yang dilakukan atau diskusi yang dibayar. Maka, koruptor yang dapat dikenai hukuman dengan mengakui kesalahannya adalah impian atau sindiran (maling teriak maling itu kisahnya). Pada bait keempat sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu adanya tuduhan-tuduhan yang dilakukan kepada rekan kerjanya si koruptor agar mereka saling lempar kesalahan dan tanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai cara menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor (satu yuding yang lain). sumpah serapah dilakukan pula sebagai cara yang dianggap pas untuk menolak atau memungkiri tuduhan telah berkorupsi (sumpah serapah paling jitu). Keadaan yang kacau tersebut penuh dengan orang-orang yang saling mencibir. Ada pula yang terbelalak dengan keadaan saling tuding tersebut jika tudingannya tertuju padanya. Para pemimpin negeri itu akan saling melindungi diri atau identitas kesalahannya dengan berpura-pura marah atau tersinggung. Mereka pun akan meludah dengan penuh kebencian karena takut kesalahannya terungkap. Kebencian tersebut jelas nyata terlihat dengan adanya ekspresi meludah ; puihhh dalam sajak ini. Pada bait kelima sajak dapat dimaknai secara hermenutik yaitu keadaan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan yang dilakukan pemimpin negeri bagaikan mainan gundu petinggi negeri. Hal ini terlihat dengan adanya tuduhan atau saling tuding pada si ini dan si itu. pemimpin tertinggi pun siap dengan strategi-strategi baru, barangkali salah satu dari mereka yang jujur akan mendapatkan fitnah atau tudingan sebagai koruptor atau barangsiapa yang berani membongkar identitas si koruptor maka akan mendapatkan hukumna. Hukuman tersebut berupa diberhentikan atau dipecat dari jabatannya (sodok sana, gulingkan sini). Kemudian si koruptor akan kembali mencari kawan untuk diajaknya bekerjasama baik dalam berkorupsi dengan membagi hasil atau dengan memberikan suap agar tidak membongkar identitasnya sebagai koruptor (melirik yang itu merangkul yang ini). Kebencian si koruptor terhadap orang-orang jujur tersebut atau kebencian orang jujur terhadap koruptor tersebut terlihat jelas dengan meludah yang jelas diwujudkan dalam sajak ini dengan ekspresi “puahsisieh”. 
a) Matriks
Matriks dalam sajak ini adalah ‘korupsi menguasai segalanya atau korupsi menguasai negeri’. 
b) Model
Matriks diatas ditranformasikan menjadi model yaitu “Negeri yang terpenjara”. Dalam hal ini, makna dari terpenjara tersebut adalah terkurung oleh suatu masalah yaitu korupsi. Dengan kata lain, negeri tidak dapat terbebas dari korupsi. 
c) Varian
Model diatas merupakan kiasan metafora inplisit. Matriks dalam sajak ini sebagai hipogram intern yang ditransformasikan menjadi varian-varian pada setiap bait dalam sajak. Varian pertama pada bait pertama, mengungkapkan adanya koruptor yang disimbolkannya dengan “maling”. Koruptor tersebut dengan bebas atau merdeka dalam melakukan aksi korupsinya. Ia membagi-bagikan nhasil korupsinya atau bersekongkol, sehingga banyak orang yang akan membantunya dalam menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor. Kata “maling” menunjukkan nada kecurangahn atau kelicikan dalam melakukan berbagai cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Penggunaan metafora ”maling” merupakan tanda yang mengekspresikan kecurangan atau kelicikan yang diungkapkan pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan kekacauan di negeri tersebut, sehingga menjadikan negeri tidak dapat membebaskan diri dari korupsi yang menguasainya. 
Varian pada bait kedua adalah menggambarkan kelicikan atau kecurangan dengan melakukan suap agar korupsi yang dilakukan si koruptor tidak terungkap. Hal ini terlihat dalam baris yang mengatakan “diskusi yang dibayar”. Keadaan ini adalah suatu gambaran hubungan tidak sehat dalam kebebasan berpendapat untuk mengungkapkan kebenaran. “diskusi yang dibayar” merupakan metafora yang menunjukkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan tidak berjalannya suatu kebenaran atau sesuatu yang seharusnya terjadi. Penggunaan metafora tersebut sebagai sarana untuk menyuarakan ketidakbebasan karena korupsi. 
Varian pada bait ketiga adalah gambaran perasaan yang tidak bebas karena kelicikan koruptor dalam mengatur segala sesuatu agar sesuai kehendaknya. Pengggunaan metafora “Seragam judul” merupakan refleksi keterbungkaman suatu nilai-nilai kebenaran dan betapa koruptor merupakan sosok yang luar biasa, yaitu mampu melakukan apapun sekehendak hatinya, dan semua tunduk padanya. 
Varian pada bait keempat adalah gambaran tentang kekuatan atau kehebatan seorang koruptor dalam memutar balikkan fakta. Dalam hal ini, penggunaan metafora “tuding yang lain” menunjukkan kekuatan seseorang yang lebih superior dari sosial lainnya. 
 Varian pada bait kelima adalah gambaran tentang kekuatan dari suatu kekuasaan karena uang meski didapatnya dari korupsi. Dalam hal ini koruptor memiliki kekuasaan dalam menentukan jabatan orang lain. ia mampu menggulingkan atau menjatuhkan lawan atau orang yang bertentangan dengannya. Penggunaan metafora “mainan gundu” menunjukkan betapa yang berkuasa mampu mendeskriminasi yang dibawahnya atau yang dianggapnya lebih rendah. Dalam hal ini menjatuhkan seseorang baginya seperti sebuah permainan yang mudah dilakukannya. 
d) Hipogram 
Sajak “Negeri yang Terpenjara” memiliki hipogram yaitu sebuah negeri yang tidak bebas, tidak merdeka dari suatu permasalahan. Negeri tersebut terkurung dalam suatu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Permasalahan yang dimaksud adalah korupsi.strike>

Untukmu yang Terasing dalam Sesat

Bagamanapun perjalananmu dibawah lampu-lampu sudut kota telah berbeda. Lampu merah, hijau, atau kuning, tikungan jalan, persimpangan jalan dan garis-garis pembatas jalan juga berbeda Keramaian kota, kemacetan, dan segala suasana malam di kota itu tetap membuatmu asing. Aku hanya tertawa kecil dan berbisik “kau bukanlah yang kemarin”. Jalan setapak yang kini kau lalui tak akan lagi memberikanmu ruang Tak ada lagi hembusan angin disana yang bakal menyejukkanmu Jalan menikung yang selalu membuatmu ngeri Tak lagi menawarkanmu kengerian lebih dari ini “Kekosongan dan keterasingan” yang akan membunuhmu kali ini Roda motormu akan berputar sesekali menggilas jalan yang pernah kau lalui Tapi kenapa kau merasa asing sendiri ? Sedangkan Pijaran lampu-lampu, suasana bising kota, lampu lalu lintas jalan, tikungan jalan, pembatas jalan, pertokoan, warung-warung pedagang kaki lima adalah bagian darimu Dan bagaimanapun kau berlari dan merentangkan jarak Pasti akan terasa selalu dekat jika kau menelusurinya lebih dalam, kiranya begitu katamu dalam hati Entah, kenapa kali ini kau begitu yakin pada keraguanku Lalu kau lanjutkan perjalananmu Yang kali ini akan membawamu dalam benturan-benturan waktu Kau pun berlutut pada Kepahitan, kejenuhan, kesunyian, kehampaan, dan kenangan Dan aku tau bahwa kau masih tersesat Tanpa ada lagi tangan hangat yang menuntunmu, maksudku tangan hangat yang kau ingini hingga bagaimanapun kau akan terasing pada perjalanan yang dulu selalu kau lewati perjalanan ini akan menenggelamkanmu pada kerinduan jalan pulang yang tak pernah menepi selamanya kau akan mengembara selamanya kau akan tergagap dalam gelap selamanya kau akan tersesat dalam dirimu sendiri akhirnya akalmu ikut bicara “aku harus memutar arah” kemudian mencari jalan setapak lain tetapi bagaimanapun roda motormu itu tetap ingin melalui sepanjang jalan dibawah lampu-lampu yang temaram dan melankoli yang akan terus membuatmu menuntut kembali menjadi kemarin aku terpingkal-pingkal menertawakanmu yang bodoh hingga akhirnya kau harus menyadari bahwa ini adalah mei bukan desember *** Yogyakarta, 26 Mei 2012 “Untukmu yang terasing dalam sesat”

Senin, 23 April 2012

sajak hidup

dan terhamparlah segala kehancuran dan segala keruntuhan menanggalkan segala bentuk kegelisahan menyiratkan segala kepahitan yang tak lagi terendam kedalaman rasa ke-Agungan hidup telah ada menyibak ke segala sudut-sudut tembok yang runtuh yang karam yang lebur jadi debu abu-abunya yang terasa dan tersisa membalutkan luka yang telah lebih dari luka mensenjakan pagi yang riuh karam segalanya menjadi lebih dari berarti atau tak berarti semua menjadi batu-batu yang berbongkah-bongkah menyisakan kemelut yang tak lagi kalut jika insan mampu mensyukuri bahwa karamnya, hancurnya, debunya, adalah ilalang yang luas tiadalah lagi bagimu keabadian yang lebih abadi dari kesejatian kesejatian hidup yang hancur yang karam yang debu yang roboh yang menyisakan senyummu hanya pada ilalang yang menyambut matahari dan pagi seperti senja maka tak akan ada lagi kata-kata tak akan ada lagi doa-doa tak akan ada lagi rasa tak ada lagi cerita walau hanya sekedar pada puing-puing sekedar pada hembusan angin dan debu walau hanya sekedar berdendang di bumi dibawah kebiruan langit hilanglah segala rasa hilanglah menyatu pada jiwa-jiwa yang jauh tiada dendam tiada rindu tiada mimpi karena hidup adalah kosong adalah kehancuran adalah puing-puing dan ilalang adalah senyum janggal adalah insan yang menopang beban pada langit segeralah melayang pada tiada dan ketiadaan pada yang ada untukmu kesejatian hidupku

sajak kehidupan oleh Nila Mega Marahayu

keruntuhan yang masih tersisa diantara sebuah senyum dan rindu
menanggalkan sebuah impian untuk mengejar keabadian
bahwasanya hidup sesungguhnya adalah kematian
dan adalah kehancuran
dan siap untuk kembali pada ketakmengertian nafas Illahi
yang dihembuskannya bagi insan yang mampu bersyukur bersyukur pada detak waktu yang tak tentu
pada kesejatian dan keabadian hidup yg semu
hanya itu,
kemudian semua akan kembali
seperti hati yang karam meninggalkan keheningan
menanggalkan segala sesak
melayangkan segala hembusan penat
itu saja, sudah
kembalilah segalanya pada tiada dan adanya ada
pada kekosongan hidup pada kesyahduan semu
kehidupan yang misteri

Minggu, 15 April 2012

Representasi Sajak Sendja di Tanah Abang Karya M.Hussyn Umar

M.Hussyn Umar dalam sajak Sendja di Tanahabang menunjukkan perhatiannya pada masalah sosial. Ia memberikan perhatiannya secara khusus kepada rakyat pinggiran, yaitu para gelandangan, pelacur, atau para perantau yang masih berumah kecil atau kumuh di sekitar tanahabang dan menjadi pedagang kecil untuk menyambung hidup. Pada sajak ini, ia memposisikan dirinya sebagai perantau di Jakarta yang belum menjadi siapa-siapa. Kata Aku dalam sajak ini dapat dikatakan sebagai simbol yang bermakna sebagai rakyat kecil.
Si Aku dalam sajak ini mengamati sekitarnya atau mengalami sendiri betapa sulitnya hidup di kota Jakarta. Hidup harus penuh dengan perjuangan untuk bertahan. Sulitnya mendapat pekerjaan, makan, dan tempat tinggal yang nyaman membuat rakyat kecil tersebut seolah dikejar-kejar waktu tetapi tidak juga mendapatkan posisi sosial yang baik. Keadaan tersebut tergambar pada kelelahan yang dialami. Ia harus berlari mengejar waktu. Kerja kerasnya yang seperti berlari secepat larinya dokar, larinya trem, atau larinya becak, tetapi belum juga mendapatkan apa yang diharapkannya atau kehidupan yang lebih baik. Orang-orang sekitarnya ada yang ingin menghindari kelam atau berkeinginan untuk terlepas dari kesulitan (kelam) dan ada pula yang pasrah dengan keadaan sulit (datang menyongsong malam). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Lusuh kaki membawa daki
Bukan djalan, bukan leha, tapi lari
Lari dokar, lari trem, lari betja
Abang buru-buru mentjari rumah dan djalan-djalannja
Ada yang menghindari kelam
Atau ada yang datang menjongsong malam-

Banyaknya gelandangan yang terlihat sulit dalam menjalani hidupnya untuk bertahan membuat mereka tergeletak di sepanjang Tanahabang. Tergambar betapa kumuhnya mereka karena tidak terurus, tanpa rumah, tanpa mengenal kebersihan hingga tercium bau dari badannya, tanpa makan yang cukup hingga kurus badannya seperti bangkai hidup yang habis digerogoti musuhnya sendiri, yaitu kesulitan atau kerasnya hidup di kota. Keadaan tersebut membuat harapan mereka sangat kecil (matahari lemah pudar). Disamping itu, ada ditengah-tengah mereka yang lebih beruntung dengan mampu memiliki modal untuk menjadi pedagang seperti tukang obat, tukang sate, tukang soto. Bau dari makanan itu memberikan mereka harapan untuk bertahan hidup, dalam hal ini betapa makanan dan pekerjaan menjadi penting. Ada pula yang bertahan hidup dengan menjadi pelcur ibu kota seperti Sinah yang mulai berdandan di malam hari. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
Di gerbong kosong, di dengkul djembatan
Aku tjium bau orang-majat terdampar jang enggan mati
Aku lihat khafilah bangkai-bangkai hidup
Hanjut tergajut-gajut di aliran pergi penuh daki
Dari pusat satu hari kekalahan jang bertubi-tubi
Pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
Tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
Dan baunja jang memaksa datang harapan jang enggan
Dan malam inipun sinah akan berdandan lagi
Mengibar bendera jang aus bolong dalam pangkuan

Kelelahan akan usaha yang coba dilakukan untuk menuntaskan kesulitan hidup belum juga berakhir dari keadaan si aku atau rakyat kecil. Setiap hari mereka berusaha dan memulai lagi harapan untuk hidup lebih baik atau layak, tetapi harapan itu selalu pupus, dapat dikatakan bahwa setiap pagi mereka berusaha dan setiap senja mereka tidak mendapatkan buah usahanya. Akhirnya keadaan tersebut membawa mereka untuk bertahan dengan membayangkan adanya harapan lagi untuk hari esok, meski harus begitu seterusnya. Keadaan tersebut tidak membuat mereka mati tetapi tidak juga dapat membuat mereka bermimpi atau berharap lebih dari itu. Mereka hanya tahu bahwa setiap hari haruslah berusaha dengan mencari dan bahkan berlari, walaupun pada akhirnya tidak tahu untuk apa dan bagaimana (usaha yang seolah sia-sia). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari mendjandjikan satu hari lagi
Satu hari lagi
Jang tidak buat mati, tidak buat mimpi
Untuk cari,
Untuk lari, untuk....

Penyair melalui sajak ini memberikan gambaran akan kehidupan yang sulit, jangankan untuk diam karena dengan usaha keras pun, belum tentu dapat mengubah keadaan yang lebih baik di kota. Keadaan kota yang kejam di tanahabang, dimana tempat itu adalah pusat pertokoan yang seharusnya mampu memberikan apa yang diinginkan rakyat sekitarnya (kebutuhan terpenuhi) tetapi justru sebagian dari rakyat tersebut harus memupuskan harapan (kebutuhan tidak terpenuhi).
Sajak Sendja di Tanahabang dapat dimaknai yaitu Tanahabang yang men-senjakan harapan rakyat sekitarnya (rakyat pinggiran atau marjinal) atau harapan hidup rakyat pinggiran yang belum juga terpenuhi di Tanahabang (ibu kota) hingga harapan itu menjadi semakin senja atau tua, rapuh, atau tidak lagi dapat menjadi harapan yang bermakna utuh, atau dapat dikatakan bahwa harapan tinggallah harapan tanpa kenyataan.
***

Minggu, 01 April 2012

kata-kata indahku untuk hidup terindah ^^

“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar-Rahman 13)
#ketika saia inginkan Surga, maka saia akan mulai membangun Surga itu dengan sebatas kemampuan saia,, Dan dengan nikmat-Mu yg tiada pernah terbatas :)
(Persembahan untuk Tuhan)


**
selalu ada mentari untuk esok,,
masih ada kehidupan utuh yg harus diperjuangkan,,
Dan Jangan pernah kembali menjadi sebutir pasir,,
Jangan pernah :)
(Persembahan untuk diri sendiri)


**
tiada yang lebih istimewa selain menyebutmu
dalam tiap kesusahan dan kerapuhan hidup,
meski jauh terasa dan tak banyak pembicaraan
tapi nasehat-nasehatmu adalah lonceng penggugah kebobrokan dalam diriku,,
sesungguhnya semua bukan untuk mu atau untuk ku,,
tapi untuk kita di hari esok,,
semoga semua niat ini tercapai, menuliskanmu dalam diari nyata, sebagai persembahanku akan sastra padamu ^^
#doa dan cintamu yang akan menghidupiku disini :)
(persembahan untuk papah dan mamah)

Rabu, 28 Maret 2012

Sebuah Catatan untuk Cerpen Godlob Karya Danarto Oleh Nila Mega Marahayu

Membaca cerpen Godlob sesungguhnya adalah sebuah pengalaman yang menarik. Bahwasanya hasrat membaca telah ada atau bermula dari membaca judul Godlob. Kata Godlob itu sendiri merupakan kata yang asing bagi saya, dan sayapun belum pernah mendengar adanya kata tersebut dalam bahasa Indonesia maupun jawa-dalam pengetahuan kosa kata jawa yang saya tahu. Salah satu hal yang ingin saya ketahui tentunya makna atau arti Godlob itu sendiri, yang kemudian oleh penulis dijadikan sebagai diksi untuk judul cerpennya tersebut. Setelah selesai membaca cerpen tersebut ada hasrat yang belum tertuntaskan, dalam hal ini adalah adanya pertanyaan yang belum terjawab, yakni apa sebenarnya Godlob itu. Penulis sama sekali tidak menyinggung kata Godlob dalam cerita. Sehingga kata tersebut sulit diterka maknanya. Namun, asumsi saya bahwa Godlob itu adalah sebuah simbol yang secara hermeneutik adalah suatu keadaan yang bobrok yang aneh yang mistik yang terjadi dalam alur cerpen tersebut. Dimana dikisahkan seorang pemuda yang ingin menjadi prajurit atau tentara tetapi dilarang oleh ayahnya. Ketika adanya peperangan di desanya maka ia (pemuda) ikut berperang dan sama-sama terluka layaknya para tentara. Hanya bedanya ia selamat karena diselamatkan oleh ayahnya, sedangkan yang lainnya tewas dan dimakan para gagak. Dalam keadaan itu ia dan ayahnya menaiki gerobak kerbau hingga tengah malam. Perjalanannya tidak bertujuan (oleh penulis tidak diceritakan akan kemana mereka). Sepanjang perjalanannya sang ayah terus berbicara dengan pemikirannya sendiri, entah sebuah penyesalan atau apa, yang jelas ia sangat bangga atas sajak pahlawan. Disinilah ia melakukan ide jahatnya, sebuah ide cerita yang nyaris tidak terduga, inilah sebuah kejutan yang diberikan Danarto dalam cerpennya tersebut. Ia membunuh anaknya yang tengah lemah menahan luka dan sempat dimakan gagak. Hal ini dilakukannya agar esok hari anaknya juga ikut dikubur secara massal oleh pemerintah dengan gelar pahlawan. Kedudukan anaknya dengan mayat-mayat lainnya yang berpangkat sebagai tentara adalah sama, yakni sama-sama menjadi pahlawan.
Keesokan harinya seorang ibu membawa mayat anak lelakinya ke balaikota. Tentu hal ini membuat para pejabat heran dan teganya seorang ibu yang mengambil mayat anaknya dari kuburan yang telah bergelar pahlawan bersama mayat-mayat yang gugur di medan perang lainnya. Sang ibu itu protes bahwa anaknya tidak berhak mendapat gelar pahlawan karena matinya karena dibunuh oleh bapaknya sendiri. Keadaan mmenjadi gaduh dan dari pinggangnya ditembakkannya peluru yang diambilnya dari peluru para mayat tentara, yang kemudian ditembakkannya ke suaminya atau bapaknya anak tersebut.
Betapa kejujuran telah dibongkar oleh seorang ibu. Ibu disini lengkap dengan keadaan yang ada seolah merupakan sebuah simbol. Simbol tersebut secara hermeneutik bermakna bahwa ia merupakan rakyat atau negara yang tidak menginginkan adanya dusta dalam perjalanan sejarah. Tidak menginginkan adanya sejarah palsu di negara tersebut. Hasrat akan adanya kejujuran dan nasionalis betapa melekat dalam cerpen tersebut melalui sosok ibu yang digambarkan penulis.
Dengan demikian cerpen tersebut dapat dikatakan sebagai wujud protes akan sebuah sejarah negara yang belum tentu benar adanya atau mungkin adanya renovasi sejarah yang dilakukan oleh orang-orang yang gila hormat, gila gelar seperti ayah pemuda tersebut. Dalam hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya yakni, sudahkah kita mengenali pahlawan yang ada di negara ini secara jelas dan pasti.
Penulis dalam hal ini tentu tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial, dimana lingkungan sosial tersebutlah yang dapat membawanya memiliki long atau kekurangan-kekurangan atas sesuatu yang ada dalam realitas. Kekurangan tersebut adalah ketidakjujuran atau adanya kepalsuan dalam sejarah negara. Atau dalam hal ini adalah adanya kemungkinan sejarah yang direnovasi oleh orang-orang tertentu. Bahkan para pemimpin pun, jika dalam cerpen tersebut adalah para pejabat kota yang tidak tahu asal-usul mayat-mayat mana yang patut atau tidak dijadikan pahlawan. Hal ini tentu terjadi karena adanya faktor kurang peduli terhadap keadaan yang ada di lapangan. Tentu penulis dalam hal ini menginginkan adanya pertimbangan atau perenungan kembali tentang adanya sejarah di negara ini. Mungkin tentang adanya kesewenangan pemerintahan yang menjadikan perenoivasian sejarah atau menjadikan tidak terbongkarnya kebenaran sejarah karena takut dianggap penghianat atau pembuat gaduh di era cerpen tersebut tercipta, mungkin pada masa orde baru.
Beberapa artikel yang membicarakan tentang Godlob, ada yang memaknai bahwa godlob itu merupakan singkatan dari kata God yang berarti Tuhan dan Lob adalah love dalam lafal orang Indonesia, sehingga menjadi cinta Tuhan. Dalam hal ini, cerpen tersebut seolah membawa kita dalam perenungan akan cinta sebagai anugerah Tuhan. Cinta yang diberikan kepada umat manusia untuk saling menyayangi antar sesama tanpa adanya sebuah peperangan apalagi pembunuhan yang dilakukan ayahnya sendiri demi sebuah kehormatan. Atau mungkin demi sebuah keuntungan karena sudah empat anaknya mati tanpa mendapat sentuhan apapun dari pemerintah, maka ia merasa rugi, dan pada naknya yang terakhir irulah ia tidak mau mendapat rugi. Gelar pahlawan adalah kehormatan yang dinantinya agar pemerintah dan mungkin masyarakat disekitarnya pun memperdulikannya, menjunjungnya atau mengelu-elukannya, dirinya sebagai ayah dari seorang pahlawan.
Pada artikel lain bahkan dosen saya mengatakan bahwa mungkin saja kata Godlob itu merupakan kata dari Bahasa Arab, yang berarti kemurkaan. Hal ini juga tidak terlepas dari cerita yang ditawarkan penulis tentang sebuah keadilan dan kemakmuran yang tidak ada dalam dunia dalam Godlob tersebut. Terlepas dari itu, Danarto adalah seseorang yang memegang teguh agama, tentunya ia mengetahui beberapa kosakata bahasa Arab, sehingga terdapat keterkaitan antara judul dan isi cerpen ini dengan sosiologi pengarangnya tersebut.
***
ditulis pada Rabu, 28 Maret 2012

Sabtu, 10 Maret 2012

Mengenangmu

Dan kereta ini berhenti sejenak di stasiun purwokerto..
Dalam hitungan detik anganku jauh pergi
ke sebuah ruang yg baru ku sadari kini telah silam..
Sulit sekali untuk dijamah bahkan hanya sekedar lewat senyuman..
Entah diantara itu ada rindu menepi di sisi terdalamku..
Entah masih terasa atau tidak baginya..
Dan bagiku, aku lepaskan semu itu..
Biarlah jejak-jejak waktu ini menghempaskan segalanya..
Hingga sepi terasa sedikit syahdu pada sesuatu yg kini kosong,
kecuali sebuah kepahitan terdalam..
Biarkanlah hembusan angin dah peluit kereta ini sedikit memberikanku ruang
untuk mengenangmu..
Meski tak peduli apa jadinya bagimu.

Kesastrawanan si Zombie- Ryan Rachman dalam Dunia Sastra Purwokerto, (Perspektif Sosiologi Sastra-Pierre Bourdieu)

A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya yang bersifat fiktif atau rekaan meskipun bahannya diambil dari kenyataan. Potret kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat menjadi bahan perenungan bagi pembaca atau masyarakat. Sastra dan masyarakat berada dalam kaitan dialektis. Sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat karena sastra lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra dalam peradaban tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Sastra lahir dari masyarakat dan akan kembali pula ke dalam masyarakat (Semi, 1993:1). Hubungan antara karya sastra dan lingkungannya tersebut dapat dikaji dengan analisis sosiologi sastra.
Analisis sosiologi sastra menurut Ratna (2003:11) merupakan analisis yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, yaitu menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi gejala sosial. Sosiologi dalam suatu karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis, yaitu menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra. Hal tersebut menunjukkan adanya gambaran tentang hubungan antara masyarakat dan teks sastra, baik yang serasi atau menyimpang dari kenyataan (Noor, 2006:90).
Pengarang atau penyair adalah pencipta karya sastra. Pengarang atau penyair tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial dalam menciptakan karya sastra. Bahkan bagi pengarang, masyarakat sebagai pedoman lahirnya suatu bentuk ekspresi untuk dituangkannya dalam segala permasalahannya ke dalam karya sastra. Hal ini bertujuan untuk mencoba mengungkapkan ide, pemikiran, ataupun solusi yang seharusnya dilakukan untuk merdeka dari segala kemerosotan hidup. Pengarang tidak akan diam dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Ryan Rachman, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985 adalah seorang sastrawan yang belum memiliki nama besar dalam kesusasteraan tanah air, tapi di Purwokerto namanya sudah cukup diperhitungkan. Gelar Zombie menjadi akrab dengannya sejak ia sering mementaskan puisi-puisinya dengan gaya deklamasinya yang khas. Tidak hanya gaya Zombie yang menjadikannya termasyur di ranah sastra Purwokerto, tetapi seorang pendiri komunitas Wedhang Kendi di Purwokerto ini juga menunjukkan sepak terjang kepengarangannya di beberapa media massa. Karyanya baik cerpen, puisi, maupun esai telah turut meramaikan kolom-kolom di media massa. Karya-karyanya juga telah diwujudkan dalam sebuah buku, meskipun hanya diterbitkan oleh penerbit dari komunitasnya.
Perjalanan seorang Zombie Purwokerto yang sempat menjadi delegasi Banyumas di atas, menjadi alasan lahirnya makalah Kesastrawanan si Zombie- Ryan Rachman dalam Dunia Sastra Purwokerto (Perspektif Sosiologi Sastra-Pierre Bourdieu) ini.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Ryan Rachman dapat menjadi Zombie dalam dunia sastra Purwokerto.

C. Landasan Teori
Pierre Bourdieu, adalah seorang sosiolog Perancis. Bourdieu melalui teorinya menyatakan bahwa tindakan sosial merupakan struktur tindakan itu sendiri-keduanya dapat saling dipertukarkan. Genosiasi di dalam budaya, misalnya berasal dari benak kesadaran habitus. Dia berbicara tentang berbagai strategi yang mencuat dari habitus, dan perubahan itu dianggap berasal dari ‘benak primitif’. Menurut Bourdieu, “Pada tingkatan individu, habitus juga berarti sistem perilaku dan disposisi yang relative permanen dan berpindah dari satu objek ke objek lainnya, yang secara simultan mengintegrasikan antara seluruh pengalaman sebelumnya dari cara individu melihat dan menilai benda dengan tindakan (Harker, dkk, 2009:x).
Metode analisis Peirre Bourdieu menjadi pilihan yang tepat dalam menyelesaian permasalahan dalam makalah ini. Peirre Bourdieu dalam menganalisis arena produksi kultural sebagai sebuah kajian sosiologi budaya dengan mengembangkan konsepnya yang terkenal yaitu arena, habitus, trajektori atau lintasan, dan modal.

1. Arena
Arena adalah ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri. Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Bourdieu, 2010: xvii-xviii). Arena atau ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah atau arena yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang berlokasi di dalam ranah tersebut.

2. Modal
Modal (capital) sebagai konsentrasi kekuatan, yaitu suatu kekuatan khusus yang beroperasi di dalam ranah. Bourdeou membagi dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Kedua, modal kultural adalah modal yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural. Ia menyatakan bahwa sebuah karya seni mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural, yaitu kode, tempat di mana karya itu dikodekan (encoded). Kepemilikan terhadap kode atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-anggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan) (Bourdieu, 2010 : xix-xx).

3. Habitus
Bourdieu (2010:xv) mendefinisikan habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan represantasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap atutran-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku. Habitus kadang kala digambarkan sebagai ‘logika permainan’(feel for the game), sebuah ‘rasa praktis’ yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Bourdieu, 2010: xvi). Habitus dapat dikatakan juga sebagai pengalaman.

4. Trajektori atau Lintasan
Trajektori adalah rute atau jalur ekonomi, sosial tertentu baik agen atau masyarakat. Lintasan merupakan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang juga silih berganti. Ini berarti bahwa posisi-posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan dan ditentukan di dalam struktur sebuah arena. Lintasan adalah satu cara di mana hubungan antara agen dan arena diobjektivasikan. Lintasan menyoroti posisi-posisi objektif yang silih berganti di tempati di dalam arena (Bourdieu, 2010: xxxxvii).

D. Pembahasan
1. Arena Kesastrawanan si Zombie-Ryan Racman di Purwokerto
Arena merupakan wadah atau tempat bernaungnya para penulis, penyair, dramawan, atau sastrawan. Melalui arena inilah para agen tersebut melakukan kreativitasnya dalam dunia sastra demi sebuah legitimasi atau pengakuan. Arena sastra di Purwokerto cukup menghasilkan banyak sastrawan yaitu penulis, penyair, maupun dramawan. Meskipun beberapa dari mereka hanya berkutat pada komunitasnya masing-masing. Hal ini terbukti dengan ada banyaknya komunitas di Purwokerto. Namun komunitas yang cukup populer di Purwokerto adalah komunitas teater. Komunitas teater diantaranya, teater Texas, teater Suntik, teater Si Anak, dan lain-lain.
Komunitas khusus sastra sedikit sulit dijumpai karena kurang populer dan kurang diminati. Namun bukan berarti tidak ada komunitas yang cukup besar. Komunitas sastra yang cukup hidup atau memiliki kepopuleran dibandingkan komunitas sastra lainnya hanyalah komunitas Beranda Budaya. Komunitas sastra tersebut cukup populer karena dianggap berkualitas oleh para pengamat dan pecinta seni atau sastra di Purwokerto dan Banyumas. Komunitas tersebut didirikan oleh Teguh Trianton, Abdul Aziz Rasjid, Arif Hidayat, dan Ryan Rachman. Komunitas tersebut memiliki salah satu tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali komunitas-komunitas sastra di Purwokerto. Menurut Ryan Rachman, komunitas sastra lainnya kurang hidup karena kurangnya kagiatan-kegiatan sehingga komunitas tersebut lambat-laun tidak terdengar. Oleh sebab itulah Ryan Rachman dan kawan-kawan berinisiatif untuk membangun Beranda Budaya. Ia juga bercita-cita untuk membawa komunitas tersebut sampai ke wilayah Bacakap, yaitu Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purbalingga. Kegiatan yang sering menjadi agenda dari komunitas ini adalah bedah buku, penerbitan antologi, dan saat ini sedang mengumpulkan data untuk leksikon Banyumas Raya.
Eksistensi Ryan Racman tidak hanya terfokus pada komunitas itu saja. Ia juga mendirikan sebuah komunitas atau sanggar sastra bersama temannya, Eka Braja Permana. Komunitas itu bernama Sanggar sastra Wedhang Kendi yang didirikan pada 2007 yaitu semenjak mereka masih duduk dibangku kuliah di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Namun bukan berarti komunitas sanggar tersebut berada di bawah naungan kampus. Komunitas tersebut didirikan dan berada lokasinya di Jl Gunung Slamet Gg Flamboyang no 11 Purwokerto. Anggota dari komunitas ini lebih banyak mahasiswa baik mahasiswa Unsoed, UMP, Unwiku, dan sekitarnya, maupun para pelajar sekolah.
Pada awalnya, kegiatan yang mereka lakukan di bawah naungan Sanggar Sastra Wedhang Kendi adalah membuat karya lalu didiskusikan, dan selang berjalannya waktu beberapa orang bergabung untuk ikut diskusi bersama. Hasil dari diskusi tersebut untuk memperbaiki karya sebelum diterbitkan atau dikirim ke media massa. Salah satu karya-karya yang berhasil dikumpulkan dalam antologi bersama berjudul Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu pada 2008.
Buletin sastra Wedhang Kendi ini terbit berkala satu bulan sekali. Karya-karya sastra yang diterbitkan tidak hanya karya sastra yang diciptakan oleh para pendiri, anggota, tetapi juga terbuka untuk umum. Dalam hal ini, masyarakat umum yang ingin karyanya dimuat di buletin tersebut dapat menghubungi alamat atau contact person yang tertera didalamnya. Selang berjalannya waktu, komunitas ini menjadi lebih berfokus pada dunia penerbitan. Buletin ini sudah dipasarkan tidak hanya di kampus-kampus atau sekolah-sekolah di Purwokerto, tetapi juga sampai ke luar Jawa, meskipun masih sekedar kecil-kecilan. Kegiatan lainnya yang dilakukan komunitas ini adalah pementasan monolog atau hanya sekedar pembacaan puisi.
Berbagai aktivitas di atas membawa nama Ryan Rachman menjadi tidak asing di ranah sastra Purwokerto. Hal ini karena Ryan Rachman juga selalu gencar dan bersemangat dalam pementasan teater, pembacaan puisi, temu sastrawan ataupun bedah buku di beberapa kegiatan sastra dan teater kampus di Purwokerto, seperti teater Texas di Unsoed dan teater di UMP ( universitas Muhamadiah Purwokerto). Melalui pementasan-pementasan tersebutlah seorang Ryan Rachman memiliki karakteristik tersendiri dalam ber-akting di mata teman-tamannya. Ryan Racman dalam hal ini lebih sering melakukan pentas monolog. Ryan Rachman yang memiliki tubuh yang kurus dan berambut “gondrong” ini menjadikannya memiliki kesan tersendiri di mata penonton dan teman-temannya. Tidak hanya dari penampilannya yang dapat dikatakan sebagai “nyeniman” tetapi didukung dengan karakteristiknya dalam bermonolog atau membaca puisi, yaitu ia bergaya dengan tangan yang tidak pernah diam atau bergerak kesana-kemari bahkan lebih sering menggunakan media cat atau media lampu yang berwarna merah atau hijau untuk menciptakan nuansa tersendiri dalam pementasannya. Dalam pementasan monolog berjudul Dajjal yang disutradarainya sendiri di bawah naungan teater Texas Unsoed, ia menciptakan empat karakter dalam pementasan monolog yang juga diperankan oleh empat orang, diantaranya Ryan Rachman itu sendiri, Eka Braja Permana, Andy, dan Nila Mega Marahayu. Pada pementasan ini, seluruh pemain harus memainkan perannya dengan sekujur tubuhnya dilumuri cat merah. Hal ini pula yang sering dilakukan Ryan Rachman dalam pementasan-pementasan monolog lainnya. Oleh sebab itu nama Zombie secara tidak sadar menjadi populer mengikuti namanya.
Kepopuleran si Zombie ini tidak hanya sampai pada tahap aktif dalam diskusi-diskusi sastra di dua komunitas (Beranda Budaya dan Wedhang Kendi), pementasan teater Texas, pembacaan puisi di berbagai kegiatan temu sastrawan dan penyair. Namun, ia juga aktif dalam menulis. Beberapa karyanya yang telah dibukukan di antaranya antologi bersama seperti Bangka, CPNS (Calon Penyair Negeri Sastra) 2006, Orang-Orang Tak Terkenal, 142 Penyair Nusantara Menuju Bulan, Tentang Duka, Sepotong Cinta Tertinggal Di Ujung Sepatu, Beranda Senja, Puisi Menolak Lupa, Harmoni dalam Kesederhanaan, Bukan Perempuan, Mata Boneka, Antologi Puisi Penyair Jawa Tengah 2011 dan Sebatang Rusuk Untukmu. Antologi puisinya dikumpulkan dalam Makan Malam (2007), Belajar Menulis Sajak Cinta (2008) dan Senandung Kupu-Kupu (2011), sedangkan antologi cerpennya dibukukan dengan judul Cerita Menjelang Subuh (2011). Karya-karyanya tersebut diterbitkan secara indie atau diterbitkan oleh komunitas sanggar sastra Wedhang Kendi yang telah dipasarkan tidak hanya di Purwokerto, tetapi juga Bacakap (Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga) tetapi juga sampai di luar Jawa seperti Sumatera. Buku terakhirnya Cerita Menjelang Subuh yang terakhir dilauncing pada pertengahan 2011 berhasil terjual dengan jumlah penjualan mencapai lebih dari dua ratus eksemplar.
Karya-karya si Zombie ini juga dimuat dalam media masa. Karya-karya dan media massa tersebut, yaitu :
1. Kompas Jateng, Selasa ,8 Desember 2009 yaitu berupa esai budaya yang berjudul “Ngapak-tainment, Wajah Baru Bahasa Banyumasan”.
2. Suara Merdeka, yaitu berupa esai dengan judul “Romantisme Sokaraja Mbigar” dimuat pada 28 januari 2010.
3. Kedaulatan Rakyat, yaitu berupa esai tentang “Bahasa Banyumasan Bagai Albasia di Padang Pasir”, “Pengadilan Puisi Penyair Banyumas”, “Bahasa Banyumasan di Rumahnya Sendiri” yang dimuat pada kolom rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, Edisi Selasa 30 Oktober 2007.
4. Seputar Indonesia, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi daun euphorbia”, dan “Senandung Kecil”.
5. Radar Banyumas yaitu berupa esai dengan judul “Misi Sederhana Pasukan Berani Berpuisi (Menyoal kembali) Pengadilan Puisi Penyair Banyumas. Esai ini dimuat pada minggu 12 juli 2009.
6. Radar Banyumas, yaitu beberapa cerpen dengan judul “Petir Menyambar di Kemarau”. Cerpen ini dimuat pada Minggu, 3 Jnauari 2010.
7. Koran Merapi, yaitu sebuah esai dengan judul “Komunitas dan Perkembangan Kesusastraan Di Purwokerto”. Esai ini dimuat pada Minggu, 23 Agustus 2009.
8. Koran Merapi, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi Pulang 1”, “Puisi Pulang 2”, dan puisi “Kepada Kertas dan Pena”.
9. Koran Sumut Pos, yaitu beberapa puisi seperti “Lahirlah Puisi”, “Kasur”, “Amplop Merah”, dan “Aku Bertanya Kepada Api”.karya-karya tersebut dimuat pada Agustus 2010.
Karya-karya tersebut menunjukkan bahwa si Zombie-Ryan Rachman ini tidak hanya memfokuskan sepakterjangnya pada dunia akting dan kepenyairan tetapi juga dunia penulis. Oleh sebab itulah si Zombie ini cukup populer sebagai sastrawan muda Purwokerto, meskipun belum dapat sebanding dengan seorang Ahmad Tohari. Namun, si Zombie ini telah dianggap sebagai sastrawan yang berhasil lahir dari Unsoed, oleh sebab itulah setiap diadakannya kegiatan seminar sastra ataupun kegiatan temu sastra baik di Unsoed ataupun UMP, maka ia tidak pernah absen untuk mendapatkan undangan sebagai pembicara. Hal ini juga diakui langsung oleh seorang dosen drama di Prodi sastra Indonesia Unsoed dan UMP bernama Edon. Ia sering meminta si Zombie ini datang pada acara pementasan-pementasan yang diadakan pada mata kuliah Drama yang diampunya, maupun kegiatan seminar temu sastra Banyumas bersama Ahmad Tohari.

2. Modal yang Dimiliku si Zombie-Ryan Rahman di Dunia Sastra Purwokerto
Modal dalam makalah ini mengacu pada modal kultural dan simbolik. Modal kultural yang dimiliki oleh Ryan Racman adalah selera yang berasal baik dari habitus maupun arena. Dalam hal ini, arena memiliki peranan penting bagi kesastrawanan si Zombie ini.
Modal yang pertama dimiliki oleh seorang Ryan Rachman adalah menjadi Alumni Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto. Hal ini dikatakan sebagai modal karena melalui profesinya tersebut ia dapat meiliki pengalaman atau habitus dalam dunia sastra maupun teater dan sebagai arena dalam mendapatkan tempat di mata teman-teman yang sebagian besar juga sebagai penikmat seni atau sastra. Di mana Unsoed ini memiliki peranan penting dalam dunia sastra di Purwokerto. Hal ini karena nama Unsoed itu sendiri menjadikan seseorang terlihat lebih dalam status sosial di Purwokerto.
Modal kedua yang dimiliki oleh Ryan Rachman adalah ia sebagai orang yang cukup penting dari suatu komunitas. Dalam hal ini, dua komunitas yang cukup hidup di Purwokerto seperti Beranda Budaya dan Wedhang kendhi adalah komunitas yang didirikannya. Secara tidak langsung modal kekuasaan akan kepenulisannya dapat lahir dari adanya kesempatan di komunitas tersebut. Selain itu, Ryan Rachman juga bekerja sebagai seorang juru warta di surat kabar Suara Merdeka tentu hal ini juga menjadi jalan atau modal baginya untuk terus berkiprah dalam dunia sastra yang kemudian membesarkan namanya. Disinilah ia dapat melahirkan karya-karya yang kemudian dimuat atau diterbitkan di media massa. Hal ini menjadi peluang yang cukup besar. Terbukti dengan beberapa karyanya yang dimuat juga dalam kolom di Suara Merdeka.
Setelah lulus dari Unsoed, ia menjadi dosen tamu mata kuliah Dramaturgi di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unsoed. Oleh sebab itulah jalan baginya untuk populer dalam dunia sastra menjadi cukup besar pula. Hal ini juga dapat menjadikan alasan mengapa si Zombie ini cukup menjadi incaran dalam acara-acara seminar temu sastra di Purwokerto atau Banyumas.
Modal selanjutnya adalah hubungan dekatnya dengan seorang sastrawan besar Banyumas, yaitu Ahmad Tohari. Kegiatan-kegiatan seminar menjadi kesempatan baginya untuk sering berdiskusi dengan seorang penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut. Selang berjalannya waktu, kedekatan mereka menjdi semakin kuat. Dalam hal ini, Ahmad Tohari juga sering menganggapnya sebagai cucu dan turut mensupportnya sebagai seorang sastrawan muda dari Purwokerto.
Dengan demikian, modal simbolik dari Ryan Rachman ini adalah berupa pengakuan dari penikmat sastra Purwokerto tentang keunikannya sehingga dijulukinya ia sebagai si Zombie. Dengan julukan itu tentu mampu membuatnya tetap bertahan di arena sastra Purwokerto. Modal kutural akan selera Ryan Rachman dalam membaca puisi, bermonolog atau berteater ini dapat menciptakan modal simbolik yaitu berupa pengakuan dari para penikmat maupun kumunitas sastra Purwokerto, bahkan seorang Ahmad Tohari terhadap Ryan Rachman.

3. Habitus dan Trajektori dalam Kesastrawanan si Zombie-Ryan Rachman
1. Habitus
Habitus merupakan sebuah tali yang mengikat agen dalam sebuah arena. Dalam hal ini, Ryan Rachman memiliki habitus yang sangat berpengaruh terhadap sepak terjangnya dalam dunia sastra di Purwokerto. Ryan racman yang juga dapat dikatakan sebagai penulis ini mulai menulis serius sejak tahun 2004. Meskipun pada waktu kecil belum bercita-cita menjadi sastrawan tetapi menjadi atlet renang. Semenjak menjadi mahasiswa sastra, ia semakin mencintai dunia sastra. Hal inilah yang membuka peluang berupa semangat untuk terus menulis, membaca puisi, dan memainkan drama atau teater bahkan ia sutradarai sendiri. Serta menjadi tokoh penting dalam seminar-semianar atau dialog-dialog sastra di Purwokerto-Banyumas ini.
Pengalaman yang pernah dilalui oleh si Zombie ini juga memberikan makna betapa berartinya habitus dalam kesastrawanannya. Berikut ini beberapa pengalamannya adalah ; membuat esai “Karya Sastra yang Baik”. Esai ini kemudian dibahas dalam makalah yang disampaikan dalam Workshop Penulisan Karya Sastra pada Workshop Anggota Baru Teater DIDIK bertempat di STAIN Purwokerto pada 3 Desember 2008.
Pengalaman selanjutnya adalah menjuarai beberapa perlombaan karya sastra. Cerpen Durga Gugat merupakan cerpen yang membawanya menjadi juara Harapan I pada Peksiminas di Jambi. Berikut ini beberapa penghargaan lain yang didapatkan si Zombie adalah sebagai berikut :
1. Juara Harapan 1 pekan seni mahasiswa nasional 2008 jambi tangkai penulisan cerpen.
2. Juara 2 pekan seni mahasiswa daerah 2008 Semarang tangkai penulisan cerpen dan puisi.
3. Juara 1 pekan seni mahasiswa Unsoed 2008 tangkai penulisan cerpen dan puisi.
4. Sepuluh besar lomba cerpen mahasiswa Unsoed LPM sketsa 2008 dan 2010.
5. Juara 2 lomba menulis cerpen islami UKKI Unsoed 2010.
6. Nominator lomba penulisan puisi dan cerpen LPM Obsesi STAIN Purwokerto 2009-2010.
7. Juara 2 penulisan cerpen HMPS Sasindo Unsoed 2009.
Habitus yang dimiliki seorang Zombie Purwokerto ini tidak berhenti sampai pada sebuah kejuaraan karya sastra saja, tetapi ia juga pernah menjadi Delegasi Banyumas dalam beberapa kesempatan, diantaranya, yaitu :
1) Temu Penyair Indonesia 70 Tahun Presiden Penyair Indonesia, Jakarta 2007.
2) Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2 Kudus 2008
3) Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, dan
4) Temu Sastrawan Indonesia 2 Tanjung pinang 2009
2. Trajektori atau lintasan
Trajektori merupakan lintasan yang dilalui Ryan Rachman dalam arena sastra Purwokerto. Adapun tarjektori dari Ryan Rachman adalah alasannya dalam menulis karena kegiatannya yang sering berdiam diri atau teman-temannya mengatakan “membatu” atau merenung. Dengan hal itulah ia mendapatkan inspirasi-inspirasi untuk menulis, membaca puisi, dan mementaskan teater. Tujuan-tujuan dibalik eksistensinya ini, ia memiliki keinginan luhur, yaitu ingin membawa dan memperkenalkan bahasa Banyumas dalam dunia kesusasteraan melalui karya-karyanya. Ia pun dalam beberapa esainya sangat menunjukkan kepeduliannya terhadap bahasa ngapak tersebut untuk dapat digunakan dalam kepenyairan atau dalam penulisan puisi. Ia mengaharapkan adanya penulis, penyair, ataupun dramawan muda (sastrawan) besar lahir di Purwokerto untuk menemani sang Ahmad Tohari.
Alasan lain ia menulis adalah karena dari kampus sastra Unsoed tidak ada yang menjadi penulis. Maka ia ingin menjadi pendobrak dalam dunia sastra tersebut. Tentu hal ini agar dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman khususnya mahasiswa Unsoed untuk tidak terus menerus menjadi sastrawan kamar, yaitu menulis, membaca puisi, dan berteater di tempat yang kecil atau malu dan tidak percaya diri untuk menjadi besar. Baginya saat ini adalah waktu yang baik untuk menghidupkan dunia kesastrawanan di Unsoed, Purwokerto. Ia berharap dengan adanya karya-karyanya yang dimuat di beberapa media massa mampu menjadi motivasi bagi temen-temen sastra Unsoed untuk ikut menjadi penulis. Tentu hal ini sebagai lintasan emas baginya untuk menjadi penyair, penulis, dramawan, bahkan kritikus besar di Purwokerto.

E. Kesimpulan
Ryan Rachman dapat tetap menunjukkan eksistensinya dalam arena sastra di Purwokerto karena keunikan gayanya yang “nyeniman” maupun gayanya dalam berpentas teater maupun mendeklamasikan puisi yaitu dengan gaya Zombie-nya. Selain itu ia juga sangat memiliki kekuasaan atau modal karena profesinya sebagai juru warta di Suara Merdeka dan eksistensinya dalam seminar-seminar temu sastrawan. Profesinya sebagai dosen Dramatologi di Unsoed juga menjadi peluang tersendiri baginya untuk terus berkarir di ranah sastra Purwokerto.
Belum adanya sastrawan khususnya penulis yang lahir dari Unsoed, memberikan jalan atau sebagai lintasan baginya untuk bersaing dalam arena sastra di Purwokerto. Habitus berupa kejuaraan-kejuaraan juga cukup kuat untuk memberikannya peluang dalam arena sastra Purwokerto dan dalam melancarkan lintasannya.

F. Lampiran
Puisi si Zombie-Ryan Rachman
Senandung Kecil
ah dinda
aku tahu
pasti malam ini ada bunga air yang mekar di mata kacamu
lalu perlahan kelopaknya yang berat gugur helai demi helai
jatuh dan lenyap seketika tak sempat menjadi telaga di kapas-kapas empuk mimpimu

ah dinda
aku tahu
pasti kali ini ada api gelisah yang pijar di kisi-kisi hati beningmu
lalu perlahan merayap dan menelusup dalam daging lewat celah-celah kapiler
pijar dan terus pijar
hingga kau tahu rasa lemah dan lunglai di setiap sendi dan seluruh

ah dinda
malam ini di sini gerimis telah lebat sejak pertengahan hari tadi
dan aku benar-benar terkotak di sini
aku seperti manusia di belantara sunyi
tanpa kabar tanpa mengabar
darimu untukmu

o dinda
aku gelisah segelisah hujan yang memukul atap rumahku
aku gelisah padamu
aku merindu
merindu pagi ayam bersiul dan membawa ketepianmu

dinda
aku tahu
malam ini kau dipukul tanpa kasihan oleh tangan-tangan kasar sang rindu
kau terlempar
kau menggelempar
kau tak sadar

* Puisi ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia Minggu, 17 Februari 2007


G. Daftar Pustaka

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Sastra: Terjemahan Yudi Santosa. Bantul: Kreasi Wacana.

Harker, Richard, dkk (Ed.). 2009. (Habitus x Modal)+Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, judul asli An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory: Terjemahan Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra.

Noor, Redyanto. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Surat Kecil Untuk Tuhan Analisis Reader Respon

I. Pendahuluan
Karya sastra menawarkan sebuah potret kenyataan yang bisa menjadi bahan perenungan bagi penikmatnya. Karya sastra memuat gambaran realitas yang ada. Sastra dan masyarakat pada gilirannya berada dalam kaitan dialektis. Meskipun demikian, sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya (Ratna, 2005: 268). Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat.
Potret kehidupan inilah yang memicu lahirnya sebuah novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Cerita dalam novel ini merupakan kisah hidup nyata dari seorang Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam mempertahankan hidupnya. Ia terserang kanker jaringan lunak pertama di Indonesia, oleh sebab itu belum ada obat mujarab yang dapat mengobatinya. Ia telah menjalani berbagai terapi, tapi takdirnya untuk mati muda tetap terjadi. Ia beruntung karena tinggal bersama ayah yang selalu menyayangi dan menyemangatinya, hingga ia menjadi gadis yang tegar. Selain itu peran kedua kakak lelakinya, keenam sahabatnya, juga Andy kekasihnya tidak pernah lengah untuk terus memberikan perhatian padanya. Keke tidak pernah menyerah dalam menjalankan hidupnya, ketika ia sakit dengan wajah yang mengerikan ia tetap menjalankan aktivitas belajar di sekolah seperti anak normal. Ia bahkan ikut ujian nasonal. Ia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Nilai ujiannya pun terbaik di SMA, hingga penghargaan dari Megawati Soekarno Puteri yang kala itu menjadi presiden didapatkannya. Hal itu sebagai kenangan terakhir yang ia persembahkan untuk ayahnya dan orang-orang yang disayanginya.
Kisah dalam novel ini menceritakan secara detail perjuangan Keke pada detik-detik terakhir hidupnya. Kisah haru yang di dominasi oleh tokoh utama yang tegar dan inspiratif bagi teman-temannya ini membuat peristiwa dalam novel ini menarik. Kekuatan karakter tokoh utama dalam membangun alur dalam novel ini menarik.
Novel Surat Kecil Untuk Tuhan layak untuk dianalisis kepopulerannya. Hal ini dikarenakan kesuksesan novel tersebut dalam menarik perhatian pembaca di Indonesia. Cerita ini dahulu ditulis dalam blogger dan banyak dikunjungi pembaca hingga dua juta banyaknya pembaca. Akhirnya buku ini oleh Inandra publisher dibiayai menjadi sebuah novel. Pada juli 2008 novel ini pertama kali dibuat atau diterbitkan dan terus mengalami cetak ulang yaitu; tiga kali cetak pada tahun 2008, dua kali cetak pada 2009, dua kali cetak pada 2010, dan empat kali cetak pada 2011. Pada tahun 2011 pula novel tersebut diangkat ke dalam sebuah film layar lebar dan berhasil menarik penonton lebih dari lima puluh ribu orang di Indonesia. Film yang diangkat dari novel ini juga diputar hingga di Malaysia dan Singapura. Melihat begitu antusiasnya pembaca terhadap novel Surat Kecil Untuk Tuhan, maka analisis pembaca atau reader respon menjadi pendekatan yang tepat untuk meneliti novel ini.

II. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah pada penelitian ini dapatlah diungkapkan dalam pertanyaan yaitu bagaimana novel Surat Kecil Untuk Tuhan dapat menjadi populer di Indonesia.

III. Landasan Teori
Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-penaglamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra populer akan setia memantulkan kembali “emosi-emosi asli” dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Nurgiantoro, 2010:18). Disamping itu, sastra memaparkan suatu pengetahuan dengan pengalaman tertentu sehingga memiliki arti bagi pembaca. Bahasa sastrapun haruslah mampu mengajak pembaca untuk memasuki pengalaman yang digambarkan penulisnya Menurut teori Iser, kita dapat melihat bahwa makna dari suatu karya sastra tentunya dapat berbeda-beda karena tujuan membaca juga berbeda-beda. Iser menambahkan pula bahwa karya sastra mempunyai dua kutub, yaitu artistik dan estetik. Kutub artistik adalah teks penulis dan kutub estetik adalah realisasi yang dicapai oleh pembaca. Artinya, bahwa suatu karya sastra berada dalam kedua kutub tersebut. Sehingga teks masih bersifat virtual karena tidak mempunyai arti apapun dan teks tidaklah konkret. Kekonkritan teks terjadi apabila ada proses interaksi dinamis dengan pembaca (Ida, 2011: 175-178).
Teori reader-response menunjukkan bahwa pembaca merupakan unsur aktif yang mengomunikasikan kenyataan karya sastra, atau dengan kata lain bahwa pembaca melengkapi pemaknaan melalui interpretasi (Ida, 2011:174). Seringkali begitu fiksi populer dikaitkan dengan pembaca, maka pemikiran yang muncul adalah dampak dari teks kepada pembaca, padahal tidak demikian. Menurut Iser, meskipun teks sangat berkaitan dengan norma-norma dan nilai sosial dari pembacanya, fungsinya tidaklah hanya menyajikan data. Suatu teks menyajikan petunjuk dari apa yang akan diproduksi, dalam hal ini produk ada karena interaksi teks dengan pembacanya. Dalam hal ini pembacalah yang memberi arti semuanya dan sesuai dengan pendapat Iser bahwa makna dari suatu karya sastra dapat berbeda-beda karena tujuan pembaca juga berbeda-beda (Ida, 2011 : 177).

IV. PEMBAHASAN
Novel Surat Kecil Untuk Tuhan menjadi bermakna dan konkret bagi pembaca sesuai dengan penjelasan Iser bahwa teks masih bersifat virtual karena tidak mempunyai arti apapun dan teks tidaklah konkret. Kekonkritan teks terjadi apabila ada proses interaksi dinamis dengan pembaca (Ida, 2011:178). Oleh sebab itu kepopulerann Surat Kecil Untuk Tuhan ini tidak dapat dilepaskan dari peran pembaca. Dapat dikatakan bahwa pembaca menyukai atau tertarik dengan Surat Kecil Untuk Tuhan, maka novel ini dengan segera menjadi populer. Kemudian yang menjadikan novel ini diminati atau disukai pembaca tentu karena adanya suatu unsur-unsur yang sesuai dengan selera pembaca.
Unsur pertama yang menjadikan novel Surat Kecil Untuk Tuhan ini populer karena cerita ini berlatarbelakang kisah nyata. Novel ini diangkat dari perjalanan hidup seorang mantan penyanyi cilik bernama Gita Sesa wanda cantika (Keke). Unsur ini memberikan nilai tersendiri bagi pembaca. Pembaca dalam hal ini begitu antusias untuk membaca sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
Unsur kedua yaitu terletak pada alur yang ditawarkan dalam novel ini. Alur cerita yang memiliki klimaks mengharukan bagi pembaca. Cerita dalam novel ini mampu menimbulkan emosi pembaca ketika pembaca mengharapkan kesembuhan pada tokoh Keke, namun cerita berakhir dengan tokoh utama yang meninggal. Ketegaran Keke dalam menjalani kehidupannya memberikan kesan tersendiri bagi pembaca.
Kemudian, rasa simpati terhadap perjalanan hidup Keke dalam Surat Kecil Untuk Tuhan ini juga dirasakan pembaca ketika alur tersebut mengisahkan tentang peran sang ayah yang tidak putus asa untuk mencari cara agar Keke sembuh. Kasih sayang yang diberikan sang ayah, teman-teman, dan kekasih tokoh utama juga memberikan rasa haru bagi pembaca. Melalui sudut ini, tentu terlihat bahwa pembaca tertarik terhadap novel Surat Kecil Untuk Tuhan tersebut hingga novel ini menjadi populer. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Keke memang anak yang kuat. Entah sudah berapa banyak air mata yang saya keluarkan, tapi tidak sebanding dengan air matanya. Saya hanya tidak ingin kehilangan anak saya.. saya mencintai dia, saya ingin dia selalu ada di sisi saya..” (SKUT : 194).

Akhir cerita dalam novel ini memberikan ruang kepada pembaca untuk merasakan suatu bentuk protes atau kritik terhadap Tuhan. Keadaan tersebut dapat dirasakan pembaca ketika adanya pembaca yang mengalami hal serupa, yaitu ketika perjalanan hidup tersebut ada dalam kehidupan pembaca. Misalnya seorang pembaca tersebut, sanak, atau kerabat pembaca yang harus mengalami tragedi kematian seperti tokoh utama (kemiripan kisah). Dengan demikian, kisah klimaks yang ditampilkan dalam novel Surat Kecil Untuk Tuhan dengan adanya surat memberikan kesan tersendiri bagi pembaca. Surat tersebut menggambarkan suatu kekecewaan tokoh utama atas usaha sia-sia yang telah dilakukannya demi kesembuhan. Surat tersebut juga sekaligus menunjukkan kebesaran Tuhan dan tidak keberdayaannya seorang manusia. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Tuhan.. andai aku bisa kembali, aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini.
Tuhan.. andai aku bisa kembali, aku berharap tidak ada lagi hal yang sama terjadi padaku terjadi pada orang lain...
Tuhan.. biarkanlah aku bisa dapat melihat dengan mataku untuk memandang langit dan bulan setiap harinya...
Tuhan.. bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi, agar aku bisa memberikan kebahagiaan kepada ayah dan sahabat-sahabatku..” (SKUT : 208-209).

Unsur ketiga yang turut memberikan dampak kepopuleran pada novel Surat Kecil Untuk Tuhan ini yaitu latar belakang penulis. Agnes Davonar adalah penulis yang cukup populer, baik dalam penulisan novel populer maupun blogger. Ia adalah penulis yang lebih dikenal dalam media internet, oleh sebab itulah ayah Keke memintanya untuk menuliskan kisah anaknya ke dalam blogger terlebih dahulu. Ternyata banyak pembaca yang datang merespon cerita tersebut, maka diangkatlah cerita tersebut ke dalam novel. Penulis muda ini pernah mendapatkan beberapa penghargaan seperti The best Asia-Pasifik Sony Ericson writing, The Most Influeantal Blogger, dan The best Indonesia Writing blogger. Unsur ini juga menjadi penting atas kepopuleran novel ini. Hal ini juga dikarenakan sebagian besar pembaca novel ini adalah perempuan dan kalangan remaja.

V. KESIMPULAN
Unsur-unsur yang telah dipaparkan pada bab pembahasan memberikan kesimpulan atas penelitian terhadap kepopuleran novel Surat Kecil Untuk Tuhan dengan pendekatan reader response ini. Terdapat tiga unsur yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pembaca dalam hal ini adalah pembaca di Indonesia ternyata menyukai atau memiliki minat atau hasrat terhadap karya sastra khususnya Surat Kecil Untuk Tuhan karena diangkat dari kisah nyata. Unsur “kisah nyata” ini mampu membuat pembaca penasaran terhadap novel tersebut. Kedua, novel tersebut memiliki cerita yang dekat dengan kenyataan dan secara tidak langsung pembaca seolah terbawa ke alur yang ada dalam novel tersebut. Kisah yang bersifat haru dan mengundang kesedihan dan membuat sebagian besar pembaca menitikkan air mata (dramatik) menjadi cerita yang disukai pembaca di Indonesia. Dan ketiga, cerita tersebut dituliskan oleh seorang penulis muda yang cukup ternama di media internet sehingga memberikan ruang kepada pembaca yang sebagian besar adalah perempuan dan kalangan remaja ini mendapatkan informasi adanya novel seperti Surat Kecil Untuk Tuhan, secara tidak langsung hal ini turut menjadikan novel tersebut populer di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davonar, Agnes. 2011. Surat Kecil Untuk Tuhan. Jakarta: Inanda Published.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.