Pengantar
Kasus masuknya hukum
dalam kasus Saut Situmorang menunjukkan adanya perbedaan suatu zaman dengan
kasus-kasus perdebatan antarsastrawan atau antarmasalah sastra tertentu. Meski
hal ini jika ditarik ke akarnya, tentu banyaknya para pemerhati sastra dan
masyarakat juga turut andil dalam menentang kehadiran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku ini dianggap
tidak memiliki kejelasan dalam parameter tertentu pada mengelompokkan
tokoh-tokoh sastra dalam sejarah perjalanan kesusasteraan Indonesia dan
diramalkan jika buku ini menjadi referensi bagi dunia akademisi juga khalayak
umum dapat membuat keliru dalam melihat sejarah kesusasteraan Indonesia
–membelokkan sejarah. Hal ini terlihat dengan adanya pengelompokan tokoh sastra
yang tidak wajar dengan mensejajarkan penyair baru dengan masa kepenyairannya
yang tidak lebih dari sepuluh tahun dengan para sastrawan yang telah menjadi
tokoh besar dalam kesusasteraan Indonesia, seperti Chairil Anwar, Pramoedya
Ananta Toer, dsb. Dan Denny JA –penulis baru yang kemudian menjadi polemik
karena disejajarkan dengan para tokoh agung sastra Indonesia tersebut.
Kritik Saut Situmorang
sebagai penyair yang cukup eksis dalam dunia kesusasteraan Indonesia beserta
para pemerhati sastra yang tergabung dalam Grup
Anti Pembodohan buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh dan para
petisi melakukan penolakan terhadap kehadiran buku tersebut. Kasus menjadi
panjang karena belum menemukan jalan keluar terbaik dan belum adanya
kesepakatan apa pun diantara kedua pihak. Tuntutan petisi yang meminta para tim
8 atau orang-orang terkait pembuatan buku tersebut untuk meminta maaf kepada
kesusasteraan Indonesia dan merevisi kembali buku tersebut tidak diindahkan.
Malah kritik semakin keras dan panas sampai pada tahap makian-makian melalui
media sosial –grup facebook, dan di
sinilah terjadinya makian yang dianggap verbal oleh Fatin Hamama sehingga
membawa kasus ini ke ranah hukum.
Keadaan sampai ke ranah
hukum pada masalah perdebatan antarsastrawan dari dua kubu ini –pro dan kontra dengan
kemunculan buku terkait menunjukkan adanya situasi zaman yang berbeda. Di zaman
reformasi dengan ciri demokrasi salah satunya pada kebebasan berpendapat dan
berekspresi, sehingga tidak adanya lagi –setau saya, pengecaman dengan teror,
pengasingan pengarang atau siapa pun yang menentang pemerintahan atau berbuat
onar di masyarakat, dan pembredelan terhadap karya yang menentang pemerintahan.
Saat ini, kebebasan atau kemerdekaan seseorang dilindungi dalam undang-undang nomor
9 Tahun I998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Selain
itu, tidak dapat pula sembarang orang melakukan perbuatan yang merugikan. Artinya,
siapa saja dapat menuntut seseorang apabila merasa dirinya dirugikan.
Dalam kasus Saut
Situmorang ini terhadap tuntutan pencemaran nama baik Fatin Hamama –meski tentu
dalam hukum akan dilihat sepotong-sepotong kasus ini, kemungkinan hukum masuk
ke dalam ranah perdebatan ini menjadi mungkin Saut Situmorang dapat dianggap
tersangkut hukum. Saut Situmorang dapat saja dijerat dengan pasal undang-undang
pencemaran nama baik, sebagaimana pasal mengenai pencemaran nama baik
diantaranya adalah pasal 310 KUH pidana, pasal 311 KUH pidana, pasal 27 ayat 3
UU ITE, pasal 45 UU ITE, pasal 36 UU ITE, pasal 51 ayat 2 UU ITE.
Kasus ini tentu menjadi
begitu rumit. Seperti dikatakan bahwa kritik sastra di sini tidak dapat
dikaitkan karena kritik dalam sastra pun memiliki batasan-batasannya, dan
apabila dikaitkan dengan kebebasan berekspresi oleh pengarang jelas harusnya
berada pada ranah karya sastra entah dari genre sastra yang mana, terlepas dari
itu semua maka kasus ini adalah kasus fakta dan di luar konteks kritik sastra. Pada
kasus ini tentu tidak lagi hanya berbicara tentang sastra tetapi bagaimana
pandangan hukum ketika sudah dikaitkannya hukum ke dalam perdebatan ini. Berikut
penjelasan bagaimana sebenarnya kritik dalam sastra dan kebebasan berpendapat
atau berekspresi.
Kritik sastra adalah
menilai atau mengkaji karya sastra. Ketika kritik dilakukan pada teks yang
bukan sastra, maka tidak dapat dikatakan sebagai kritik sastra. Kritik pun
dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra, yaitu memberi
pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang sistematik, baik memberi
pujian atau mengatakan kesalahan pada karya sastra.
Melihat
kasus mengenai kritik yang dilakukan Saut Situmorang terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
dengan menuliskannya pada media sosial atau status dalam grup facebook jelas tidak dapat dikategorikan
dalam kritik sastra, yaitu kritik yang membangun dan masih berada pada konteks
sastra. Hal yang juga diperhatikan adalah bahwa dalam mengkritik meski dalam
kritikan yang sarkastik sekalipun, kritik dalam sastra tetap memiliki
batasannya. Meskipun kritik yang dilakukan sampai terlampau jauh pada hinaan
dan makian, tetapi jika dalam sebuah karya sastra, maka tetaplah menjadi karya
fiksi bukan suatu fakta, meski karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sosial
masyarakatnya.
Pada
tahap ini, haruslah dipahami peran atau fungsi dari seorang kritikus bukanlah
seorang hakim dan karya sastra sebagai pesakitan sehingga mendapatkan perlakuan
semena-mena. Seorang kritikus harus menjadi penilai karya sastra yang
bijaksana, di antaranya mampu membangkitkan kesadaran (ketajaman pikiran),
membina akal budi, dan kehalusan cita rasa. Berikut syarat menjadi kritikus
menurut Atar (1985:26) sebagai berikut.
1.
Kritikus dengan karyanya harus berupaya
membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2.
Melakukan kritik secara objektif tanpa
prasangka dan jujur.
3.
Mampu memperbaiki cara berpikir, cara
hidup, dan cara bekerja para sastrawan karena berpengaruh terhadap karya
sastra.
4.
Dapat menyesuaikan diri dengan lingkup
kebudayaan dan tata nilai yang berlaku.
5.
Dapat membimbing pembaca berpikir kritis
dan dapat menaikkan kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra.
Penjelasan di atas
dapat menjadi batasan kritikus dalam melakukan kritikan, sehingga bagaimanapun
kritik diharapkan dapat membangun ke arah yang lebih baik, baik bagi karya
sastra itu sendiri, pengarang, maupun pembaca.
·
Kebebasan
Berpendapat dalam Sastra
Selanjutnya, terlepas
dari kritikus, pengarang atau penyair juga memiliki kesempatan untuk melakukan
kritik terhadap keadaan sosial dan sebagainya yang dituangkan ke dalam karya
sastra. Telah disinggung di atas, bahwa sesarkastik apa pun bahasa kritik yang
digunakan oleh pengarang, tetaplah berada dalam konteks teks sastra sehingga
tetaplah fiksi dan tidak dapat dikatakan verbal. Hal ini memiliki perbedaan
yang jelas dengan kasus kritik keras –makian, yang terjadi dalam kasus Saut
Situmorang terhadap Fatin Hamama.
Pemahaman terhadap
bentuk kritik pengarang dapat kita lihat dalam kritik-kritik terhadap
pemerintah, pengusaha-pengusaha yang memonopoli perekonomian, atau moralitas di
masyarakat. Misalnya dalam hal ini kita memunculkan nama Ws.Rendra, salah satu
penyair dengan warna kritik yang dalam sajak-sajaknya. Dalam kumpulan puisi “Potret
Pembangunan Dalam Puisi”, Rendra tetap mendapat sambutan hangat dalam
masyarakat bahkan dirinya mendapat legitimasi sebagai penyair sajak pamflet.
Pengakuan dunia sastra Indonesia terhadap keberadaan Rendra sebagai penyair
pamflet tersebut dilakukan oleh kalangan sastrawan atau tokoh-tokoh yang
memiliki peran besar dalam dunia sastra, bukan dengan melakukan pengakuan
pribadi –seperti kasus Denny JA yang mengukuhkan dirinya sendiri sebagai penemu
puisi esai dan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Rendra mengungkapkan
protesnya dalam pertanyaan yang mengandung ungkapan yang ditujukan pada orang
yang bersangkutan. Dalam karyanya tersebut, ia mencoba mengabarkan dan
mempertanyakan hati nurani manusia untuk memikirkan “Di manakah keadilan bila
tidak ada yang menindak bajingan resmi, yang kalau dibiarkan akan timbul,
bajingan jalanan yang akan mengadili”
Sajak “Seorang Tua Di Bawah
Pohon” tersebut merupakan bentuk kritik Rendra yang menghimbau dalam suasana
pembangunan ini diperlukan orang yang masih mau mendengarkan hati nurani
manusia. Atau bentuk kritik Rendra pada pemerintah dan pengusaha yang
memonopoli perekonomian dan pembangunan dalam sajak “Sebatang Lisong”, dan
sajak “Seonggok Jagung” tentang pendidikan yang hanya sekedar hapalan teori
atau dikte-dikte –meniru barat, tanpa memberikan pemahaman suatu pendidikan
yang sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia, sehingga ilmu yang didapat dapat
diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang ada, tetapi bukan sekadar untuk
memiliki ijazah, dst.
Kritik yang dilakukan
para kritikus, pengarang atau penyair juga dapat dilihat dalam penggunaan
diksi. Penggunaan kata “bajingan” atau “lonte tua” dalam kasus Saut Situmorang
merupakan diksi yang jelas merujuk pada seseorang (verbal) dan tidak terdapat
dalam karya fiksi. Hal ini jelas fenomena yang berbeda dengan pemilihan diksi
dalam kata “bajingan” yang digunakan pada sajak Rendra di atas, atau kata “asu”
dalam sajak Joko Pinurbo.
Sesekali ayah terlihat kesal,
memukul-mukul
Mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di
koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru,
“asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas
bertukar asu.
Penggunaan diksi “asu”
dalam sajak tersebut memiliki makna anjing, tetapi berbeda maknanya secara
konotasi –disesuaikan dengan konvensi bahasa dalam suatu masyarakat. Kata “asu”
dapat berupa umpatan, makian, yang dapat menimbulkan perkelahian, tetapi di
sisi lain “asu” dapat berupa kata yang menunjukkan suatu keakraban dengan
seorang kerabat dan pujian. Serta “asu” di sini juga dapat dimaknai secara
simbolik, yaitu bermakna teror yang menebarkan ketakutan atau kecemasan.
Penggunaan diksi
tersebut masih bisa diterima dalam masyarakat atau penilai sastra karena masih
memiliki nilai edukasi tertentu. Kembali pada kasus Saut Situmorang, meski
penggunaan kata “bajingan” dan “lonte tua” merupakan bagian dari kritik
–kemarahan terhadap kehadiran buku 33
Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, tetap saja kata tersebut kurang dapat
diterima dan membuka peluang hadirnya hukum. Jika ditinjau dari ranah
kebahasaan pun, kata-kata di atas bagaimanapun akan kembali pada konten budaya.
Pada sudut pandang
tertentu, bisa saja makian –kemarahan Saut Situmorang merupakan bentuk dari
kebuntuan perlawanan atas orang-orang yang terkait dengan kemunculan buku
tersebut agar mendapatkan respon atau kemarahan besar pula dari tim 8
–orang-orang yang tergabung dalam proyek buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, di sinilah Saut Situmorang juga
tidak mendapatkan pertolongan dalam ranah kritik sastra. Meski apabila ditarik
ke dalam akar permasalahan, Saut Situmorang yang didukung dalam orang-orang
dalam grup “Anti Pembodohan buku 33 Tokoh
Sastra Paling Berpengaruh” merupakan salah satu tokoh yang bergerak untuk
menyelamatkan perkiraan adanya kesalahan sejarah sastra Indonesia sekarang dan
ke masa depan yang ditimbulkan dari kemunculan buku tersebut –ditulisnya Denny
JA sebagai salah satu tokoh sastra yang paling berpengaruh dan disejajarkan
dengan Chairil Anwar, Pramoedya, Taufik Ismail, dst.
Kebebasan berpendapat
atau berekspresi menjadi keistimewaan bagi pengarang atau penyair, sehingga
mampu mengingkapkan segala bentuk protes atau kritiknya, tetapi perlu
ditegaskan kembali bahwa kebebasan tersebut berada dalam karya sastra. Ketika
sastra yang memiliki hakikat sebagai fiksi atau dunia imajiner, maka sastra
jelas tidak dapat dikategorikan sebagai fakta. Hal ini menyelamatkan sastra
dari ranah hukum –tetapi kritik sastra memiliki kriteria dalam mengkritik.
Kembali melihat pada kasus Saut Situmorang, tidak dapat juga disamakan dengan
kasus kebebasan berpendapatnya Seno Gumira Ajidarma.
Seno Gumira Ajidarma pernah mendapatkan
kecaman dari pemerintah di masa Orde Baru karena cerpen-cerpennya yang kritis
terhadap keadaan sosial. Karya Seno tersebut diangkat dari sebuah realitas
kehidupan bangsa yang penuh konflik dan kediktatoran pemerintahan rezim Soeharto.
Segala sesuatu diatur oleh negara, bahkan pembredelan terhadap surat kabar yang
menyinggung atau tidak sejalan dengan pemerintah. Hal ini jelas berbeda dengan
keadaan pemerintahan di era reformasi seperti keberadaan kasus Saut Situmorang
di masa ini. Pemerintah tidak lagi berperan diktator dengan mengatur segala
aspek kehidupan masyarakatnya harus sejalan dengan pemerintah. Misalnya adanya
kebebasan berpendapat di masa sekarang. para penyair atau pengarang di dalam
karya-karyanya atau siapapun dapat mengkritik –berbicara apa saja tentang
pemerintahan secara bebas di media sosial aau di manapun, tanpa adanya
ketakutan teror atau diasingkan ke negeri entah berantah. Yang menjadi batasan
atas keleluasaan pendapat dan tingkah laku di masa sekarang adalah masyarakat
itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perlindungan undang-undang
tentang hak asasi manusia, hak inilah yang menjadi pegangan keberadaban suatu
masyarakat.
Pada kasus Saut
Situmorang, bila kita melihat jurnal Boemiputra yang diasuhnya merupakan sebuah
jurnal yang memiliki aliran keras. Hal ini terlihat dari gaya bahasa dan
tema-tema pembahsan yang memang seolah selalu berselisih dengan komunitas
sastra lain yang berbeda pendapat. Gaya bahasa dengan menggunakan diksi yang
keras bahkan bernilai kasar digunakan dalam mengkritik komunitas lain –misalnya
komunitasnya Gunawan Mohammad seperti mengenai bagaimana eksistensi komunitas
tersebut, mengenai sastra selangkangan atau sastra yang mengangkat kebebasan
dalam seksualitas diungkapkan dalam karya sastra seperti karya-karyanya Ayu
Utami, dsb. Yang menjadi catatan dalam hal ini adalah tidak adanya perselisihan
yang terlihat sampai pada ranah hukum. Berbeda dengan kasus mengenai buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling berpengaruh
yang kemudian membawa perdebatan bahkan perselisihan yang panjang antara Saut
Situmorang dengan Fatin Hamama.
Kembali pada kebebasan
berpendapat yang tidak dimiliki pada masa Orde Baru, jelas membuat para
jurnalis tidak dapat leluasa dalam menyampaikan pendapat khususnya
berita-berita dari fenomena kehidupan yang ngeri di masa itu. melihat hal ini,
Seno Gumira Ajidarma menjadikan karya sastra sebagai jalannya dalam
mengungkapkan kebenaran atau realitas yang ada di masa itu. Baginya dan bagi
pengkritik pemerintah lainnya menentang pemerintah dapat membuat mereka
mengalami masalah seperti teror atau diasingkan. Dengan memasukkan fenomena
realitas yang ada ke dalam karya sastra menjadi jalan mengungkapkan suatu
kebenaran. Untuk membuat karya-karyanya tidak dibredel maka Seno Gumira
Ajidarma mengemas cerita menjadi humor dan absurd. Disinilah keberadaan sastra
turut berperan dalam menyampaikan kebenaran keadaan yang ada kepada masyarakat.
Pada cerpen-cerpen Seno
Gumira Ajidarma berbicara tentang kritik pada pemerintah atau situasi Indonesia
pada saat itu, misalnya pada cerpen “Jakarta-Jakarta”, dan “Penembak
Misterius”. Pada cerpen “Jakarta-Jakarta” bercerita tentang gubernur yang
didatangi 4 pemuda yang kedua telinganya sudah dipotong oleh orang tidak
dikenal lalu diminta untuk menandatangani suatu surat yang tidak diketahui
isinya. Hal ini terjadi pada insiden Dili.
Dalam hal ini, sastra sebagai jalannya untuk mengungkapkan kebenaran.
Karena laporan
tentang insiden Dili dalam Jakarta
jakarta edisi tersebut, atas permintaan pihak luar, pekerjaan tempat saya
(Seno) bekerja menghentikan saya dan dua kawan lain dari tugas sebagai editor Jakarta-Jakarta. Kejadian ini tentu saya
anggap sebagai penindasan –oleh suatu kekuasaan yang merasa dirinya melakukan
hal yang paling benar. Saya melawannya dengan cara membuat insiden Dili yang
ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. ini membuat saya dengan sengaja
mencari segala segi dari insiden Dili yang bisa menjadi cerpen –sebagai suatu
cara untuk melawan. Kemudian saya mendapat info bahwa memang banyak warga Dili
yang dipotong telinganya maka lahirlah Telinga.
Kemudian saya mengira-ngira dan akhirnya mendapat pembenaran bahwa banyak
ibu-ibu kehilangan anak lelakinya maka lahirlah Maria (SGA, 2010: 334-335).
Meski kelahiran sebuah
karya sastra tidak dapat dilepaskan dari keadaan lingkungan atau sosial pada
saat sastra itu ditulis, tetapi karya sastra tetaplah sebagai sebuah fiksi. Hal
ini jelas berbeda ketika Seno Gumira Ajidarma atau siapapun ketika menulis
kritik atau protes ke dalam teks di luar sastra –seperti yang dilakukan Saut
Situmorang dalam mengkritik yang bahkan ke arah makian, merupakan teks yang
fakta. Hal inilah menjadi keistimewaan bagi Seno Gumira Ajidarma untuk
mengabadikan konflik-konflik yang ada dengan kritis pada karya fiksi. Alasannya
jelas, bahwa senyata apapun tokoh, seting, atau alur yang diangkat ke dalam
karya sastra tetaplah sebagai sebuah karya yang fiksi, sehingga akan lemah di
mata hukum atau tidak dapat tersentuh hukum.
Pernah ditegur
karena memuat cerpen berbau timor-timur,
tetapi Timor timur adalah fakta. Cerpen adalah fiksi. Sebuah cerpen bisa
mengutip disertasi s3 yang tidak terbantah, namun ia tetap saja sebuah cerpen.
Bahwa sebuah fiksi dianggap cukup bisa mengundang masalah sehingga perlu
ditegur karena bau fakta, sudah suatu hal yang sulit digolongkan sebagai akal
sehat: ternyata ada kecenderungan kuat untuk menganggap fiksi sebagai fakta.
Padahal untuk berpikir goblok-goblokan sampai ke pengadilan pun secara hukum
tidak pernah akan ada fiksi yang disahkan sebagai fakta –meski siapa sih yang
bisa mengingkarinya sebagai kebenaran? (SGA,2010:383).
Tetapi fakta
maupun fiksi tetaplah konstruksi manusia, bukan kenyataan itu sendiri. Bahwa
ternyata fakta maupun fiksi tidak bisa mengklaim kenyataan secara mutlak.
Kenyataan itu menghadirkan dirinya, mengada ke dalam sejarah, lewat suatu
proses komunikasi yang tidak pernah terputus. Fakta apa pun, fiksi apa pun
hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu. Jelas bahwa apa pun yang
diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung (dalam arti
menjadi sangat relatif) (SGA,2010:399).
Berbeda dengan fakta,
yang tentu dapat menjadi suatu bahan yang dapat dimasuki hukum. Tetapi
keberadaan sastrawan pada masa lalu mendapatkan perlakuan seperti diasingkan,
dihukum oleh pemerintah karena menulis karya yang dianggap menentang
pemerintah, karena tidak adanya kebebasan berpendapat pada masa itu. Kasus ini
menjadi kasus yang lain atau berbeda dengan yang menimpa Saut Situmorang.
“Jangan
mengancam-ngancam seperti lonte tak laku, jangan berdamai dengan bajingan”
(sumber: grup anti pembodohan buku dalam facebook)
Kasus hukum yang
menimpa seorang penyair yang tinggal di Jogjakarta tersebut sesungguhnya dapat
saja bebas dari sentuhan hukum atau undang-undang pencemaran nama baik, jika
tidak ada tuntutan atas kasus tersebut. Seperti biasanya dalam dunia komunitas
sastrawan, saling kritik bahkan sampai makian juga menjadi hal yang wajar
–seperti dalam jurnal Boemiputra yang
disinggung pada pembahasan di atas, maupun pada kasus lain. Misalnya pada kasus
saling mengkritik antara Arief Budiman dengan Sutardji Calzoum Bachri. Pada
saat itu Arief Budiman mengejek verbal di media masa bahwa Sutardji Calzoum
Bachri adalah seorang pemabuk dan mulutnya bau bir. Perkataan tersebut dibalas
dengan cacian kembali oleh Sutardji. Kasus ini tidak tersentuh hukum karena
kedua pihak tersebut tidak melibatkan polisi di dalamnya. Hal ini dianggap
sebagai petengkaran biasa dalam dunia kesusasteraan.
Saut
Situmorang dalam kasusnya merupakan kajian di luar kritik sastra, sehingga
dunia sastra yang memiliki hakikat sebagai dunia fiksi tentu tidak dapat
memberikan pembelaan apa pun. Justru ketika sastra dikait-kaitkan dalam kasus
ini menjadikan sastra seolah sebagai alat bagi siapa pun untuk melakukan
kritik, mengumpat, memaki, dan sebagainya. Keberadaan sastra haruslah berada
pada nilai yang tinggi, yaitu kritik yang dilakukan tetaplah harus memiliki
nilai edukasi dan dengan memperhatikan syarat seorang kritkus. Sebagaimana
syarat tersebut adalah mampu membawa pada arah yang lebih baik; membantu
pembaca dalam memahami karya sastra, membantu pengarang dalam eksistensi
kepengarangannya, dan menimbang baik buruknya suatu karya sastra secara
bijaksana dan dengan nilai rasa (estetik) dan sistematis.
Kritik sastra Indonesia
yang dibutuhkan oleh sastra baru dewasa ini adalah kritik yang melihat ke depan
mendahului karya sastra untuk menunjukkan daerah jelajah baru, agar penyair
dapat menulis karya yang lebih besar. Karya sastra yang besar tidak perlu
menjadi elitis dan sesuatu yang terlihat sulit karena bagaimanapun karya sastra
tetaplah membicarakan tentang masyarakat, bahkan pengarang atau penyair serta
para kritikus pula, yaitu tentang kegelisahan, kesepian, kecemasan, masa depan,
kebanggaan, dan ketidakjujuran yang
menjadi bagian dalam kehidupan. Maka kritik sastra tidak sekadar mengungkapkan
kembali pengalaman estetik, tetapi mengoreksi keadaan dan membawa suatu
peradaban yang lebih baik.
Ajidarma,
Seno Gumira. 2005. Trilogi Insiden.
Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Heryanto,
Ariel. 1985. Perdebatan Sastra
Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.
Kadir,
Burhan. 2013. “Asu, dalam Kepala Joko Pinurbo”. Dalam Suharmono dan Anis
Maslihatin (Ed)., Dialog, Setahun Diskusi
Puisi PKKH UGM. Yogyakarta: Gress Publishing.
Kompas.
27 Maret 2015. “Saut Situmorang Dijemput Paksa Polisi”. Hal 11.
Nadaek,
Wilson. 1984. Tentang Sastra.
Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Rahman,
D.Jamal, dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sarjono,
Agus R. 2012. Jurnal Sajak; Sajak-Sajak
Cinta. Edisi 3 tahun II. Depok: PT Jurnal sajak indonesia.
Semi,
Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung:
Angkasa.
Sumanto,
Bakdi, dkk. 1984. Budaya Sastra.
Jakarta: CV Rajawali
Suroso,
dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori,
Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Daftar Laman
* Makalah ini untuk bahan diskusi dalam acara Diskusi Budaya "Juguran Sasdaya FIB Universitas Jenderal Soedirman" pada 17 April 2015