Selasa, 26 Mei 2015

KIYE LAKON : Dunia Sastra Nila (dalam Harian Suara Merdeka )

10 April 2015 1:18 WIB Category: SmCetakSuara Banyumas 


SEJUMLAH cerita pendek yang ditulis pernah terbit di beberapa media cetak. Itu rupanya seperti candu bagi Nila Mega Marahayu. Tulisan-tulisan yang ia buat di sejumlah media cetak itu kian membawanya dekat menuju mimpi.
Kesusastraan, bagi gadis kelahiran Temanggung 2 April 1988 itu seolah menemani tumbuh dewasa. Ia mengaku sudah berkenalan dengan sastra sejak kecil. Saat duduk di bangku SMP 25 Bekasi, hubungannya dengan sastra diakui mulai lebih intim. ”Saat itu pernah ikut lomba cipta dan baca puisi se-Kota Madya Bekasi dan jadi juara III,” tutur lulusan SMA Martya Bhakti Bekasi itu. Bak gayung bersambut, sang ayah Suyatno dan ibu Yati Purwati pun merestui niatnya melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan Sastra Indonesia Unsoed. Hingga akhirnya saat ini ia telah menjadi salah satu staf pengajar di almamaternya. ”Saya masih punya mimpi, suatu saat ingin punya peran dalam Sastra Indonesia. Bila mungkin menjadi salah satu tokoh penulis perempuan Indonesia,” harapnya.
Untuk mewujudkan mimpinya saat ini, di sela kesibukannya mengajar, ia juga sedang menyelesaikan novel. Dalam beberapa waktu mendatang ia berharap novel perdananya bisa segera rampung dan dapat diterbitkan, menyusul puisi karyanya yang juga telah diterbitkan dalam antologi puisi ”Pada Sebuah Kamar” yang ia tulis bersama rekan penyair lain. Novel yang ia tulis berlatar di kota tempat kelahirannya, Temanggung.
Melalui novelnya ia berusaha memotret kehidupan khas petani tembakau di kota sejuk itu. Tak cuma itu, sejumlah kesenian asli Temanggung juga didokumentasikan dalam novel yang sedang ia tulis. ”Di Temanggung ada kesenian yang bernama Nini Towok, itu juga saya masukkan dalam cerita,” jelas sulung dari empat bersaudara itu.
Sementara mengenai penokohan, perempuan menjadi tokoh sentral dalam novel yang sedang ia tulis. Bukan tanpa sebab, ia memang ingin menggali sifat perempuan petani tembakau di Temanggung dalam kesehariannya. Tokoh perempuan petani, kata alumnus Magister Ilmu Sastra UGM itu, dalam cerita menikah di usia muda dengan orang Belanda, konflik dari hubungan itu yang berusaha ia gali untuk menggambarkan sosok perempuan Temanggung yang mendekati utuh.(Gayhul Dhika Wicaksana-17)
*Profil Suara Merdeka- Jawa Tengah
*Copy artikel dari Online Suara Merdeka (Nyuwonsewu yaa saya copas)

Sastra atau Realitas dalam Kasus Saut Situmorang (Terkait Perlawanan Terhadap Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh) Oleh Nila Mega Marahayu



Pengantar
Kasus masuknya hukum dalam kasus Saut Situmorang menunjukkan adanya perbedaan suatu zaman dengan kasus-kasus perdebatan antarsastrawan atau antarmasalah sastra tertentu. Meski hal ini jika ditarik ke akarnya, tentu banyaknya para pemerhati sastra dan masyarakat juga turut andil dalam menentang kehadiran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku ini dianggap tidak memiliki kejelasan dalam parameter tertentu pada mengelompokkan tokoh-tokoh sastra dalam sejarah perjalanan kesusasteraan Indonesia dan diramalkan jika buku ini menjadi referensi bagi dunia akademisi juga khalayak umum dapat membuat keliru dalam melihat sejarah kesusasteraan Indonesia –membelokkan sejarah. Hal ini terlihat dengan adanya pengelompokan tokoh sastra yang tidak wajar dengan mensejajarkan penyair baru dengan masa kepenyairannya yang tidak lebih dari sepuluh tahun dengan para sastrawan yang telah menjadi tokoh besar dalam kesusasteraan Indonesia, seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dsb. Dan Denny JA –penulis baru yang kemudian menjadi polemik karena disejajarkan dengan para tokoh agung sastra Indonesia tersebut.
Kritik Saut Situmorang sebagai penyair yang cukup eksis dalam dunia kesusasteraan Indonesia beserta para pemerhati sastra yang tergabung dalam Grup Anti Pembodohan buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh dan para petisi melakukan penolakan terhadap kehadiran buku tersebut. Kasus menjadi panjang karena belum menemukan jalan keluar terbaik dan belum adanya kesepakatan apa pun diantara kedua pihak. Tuntutan petisi yang meminta para tim 8 atau orang-orang terkait pembuatan buku tersebut untuk meminta maaf kepada kesusasteraan Indonesia dan merevisi kembali buku tersebut tidak diindahkan. Malah kritik semakin keras dan panas sampai pada tahap makian-makian melalui media sosial –grup facebook, dan di sinilah terjadinya makian yang dianggap verbal oleh Fatin Hamama sehingga membawa kasus ini ke ranah hukum.
Keadaan sampai ke ranah hukum pada masalah perdebatan antarsastrawan dari dua kubu ini –pro dan kontra dengan kemunculan buku terkait menunjukkan adanya situasi zaman yang berbeda. Di zaman reformasi dengan ciri demokrasi salah satunya pada kebebasan berpendapat dan berekspresi, sehingga tidak adanya lagi –setau saya, pengecaman dengan teror, pengasingan pengarang atau siapa pun yang menentang pemerintahan atau berbuat onar di masyarakat, dan pembredelan terhadap karya yang menentang pemerintahan. Saat ini, kebebasan atau kemerdekaan seseorang dilindungi dalam undang-undang nomor 9 Tahun I998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Selain itu, tidak dapat pula sembarang orang melakukan perbuatan yang merugikan. Artinya, siapa saja dapat menuntut seseorang apabila merasa dirinya dirugikan.
Dalam kasus Saut Situmorang ini terhadap tuntutan pencemaran nama baik Fatin Hamama –meski tentu dalam hukum akan dilihat sepotong-sepotong kasus ini, kemungkinan hukum masuk ke dalam ranah perdebatan ini menjadi mungkin Saut Situmorang dapat dianggap tersangkut hukum. Saut Situmorang dapat saja dijerat dengan pasal undang-undang pencemaran nama baik, sebagaimana pasal mengenai pencemaran nama baik diantaranya adalah pasal 310 KUH pidana, pasal 311 KUH pidana, pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 45 UU ITE, pasal 36 UU ITE, pasal 51 ayat 2 UU ITE.
Kasus ini tentu menjadi begitu rumit. Seperti dikatakan bahwa kritik sastra di sini tidak dapat dikaitkan karena kritik dalam sastra pun memiliki batasan-batasannya, dan apabila dikaitkan dengan kebebasan berekspresi oleh pengarang jelas harusnya berada pada ranah karya sastra entah dari genre sastra yang mana, terlepas dari itu semua maka kasus ini adalah kasus fakta dan di luar konteks kritik sastra. Pada kasus ini tentu tidak lagi hanya berbicara tentang sastra tetapi bagaimana pandangan hukum ketika sudah dikaitkannya hukum ke dalam perdebatan ini. Berikut penjelasan bagaimana sebenarnya kritik dalam sastra dan kebebasan berpendapat atau berekspresi.

Pembahasan
·           Kritik dalam Sastra
Kritik sastra adalah menilai atau mengkaji karya sastra. Ketika kritik dilakukan pada teks yang bukan sastra, maka tidak dapat dikatakan sebagai kritik sastra. Kritik pun dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra, yaitu memberi pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang sistematik, baik memberi pujian atau mengatakan kesalahan pada karya sastra.
            Melihat kasus mengenai kritik yang dilakukan Saut Situmorang terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dengan menuliskannya pada media sosial atau status dalam grup facebook jelas tidak dapat dikategorikan dalam kritik sastra, yaitu kritik yang membangun dan masih berada pada konteks sastra. Hal yang juga diperhatikan adalah bahwa dalam mengkritik meski dalam kritikan yang sarkastik sekalipun, kritik dalam sastra tetap memiliki batasannya. Meskipun kritik yang dilakukan sampai terlampau jauh pada hinaan dan makian, tetapi jika dalam sebuah karya sastra, maka tetaplah menjadi karya fiksi bukan suatu fakta, meski karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sosial masyarakatnya.
            Pada tahap ini, haruslah dipahami peran atau fungsi dari seorang kritikus bukanlah seorang hakim dan karya sastra sebagai pesakitan sehingga mendapatkan perlakuan semena-mena. Seorang kritikus harus menjadi penilai karya sastra yang bijaksana, di antaranya mampu membangkitkan kesadaran (ketajaman pikiran), membina akal budi, dan kehalusan cita rasa. Berikut syarat menjadi kritikus menurut Atar (1985:26) sebagai berikut.
1.      Kritikus dengan karyanya harus berupaya membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2.      Melakukan kritik secara objektif tanpa prasangka dan jujur.
3.      Mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja para sastrawan karena berpengaruh terhadap karya sastra.
4.      Dapat menyesuaikan diri dengan lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku.
5.      Dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat menaikkan kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra.
Penjelasan di atas dapat menjadi batasan kritikus dalam melakukan kritikan, sehingga bagaimanapun kritik diharapkan dapat membangun ke arah yang lebih baik, baik bagi karya sastra itu sendiri, pengarang, maupun pembaca.
·           Kebebasan Berpendapat dalam Sastra
Selanjutnya, terlepas dari kritikus, pengarang atau penyair juga memiliki kesempatan untuk melakukan kritik terhadap keadaan sosial dan sebagainya yang dituangkan ke dalam karya sastra. Telah disinggung di atas, bahwa sesarkastik apa pun bahasa kritik yang digunakan oleh pengarang, tetaplah berada dalam konteks teks sastra sehingga tetaplah fiksi dan tidak dapat dikatakan verbal. Hal ini memiliki perbedaan yang jelas dengan kasus kritik keras –makian, yang terjadi dalam kasus Saut Situmorang terhadap Fatin Hamama.
Pemahaman terhadap bentuk kritik pengarang dapat kita lihat dalam kritik-kritik terhadap pemerintah, pengusaha-pengusaha yang memonopoli perekonomian, atau moralitas di masyarakat. Misalnya dalam hal ini kita memunculkan nama Ws.Rendra, salah satu penyair dengan warna kritik yang dalam sajak-sajaknya. Dalam kumpulan puisi “Potret Pembangunan Dalam Puisi”, Rendra tetap mendapat sambutan hangat dalam masyarakat bahkan dirinya mendapat legitimasi sebagai penyair sajak pamflet. Pengakuan dunia sastra Indonesia terhadap keberadaan Rendra sebagai penyair pamflet tersebut dilakukan oleh kalangan sastrawan atau tokoh-tokoh yang memiliki peran besar dalam dunia sastra, bukan dengan melakukan pengakuan pribadi –seperti kasus Denny JA yang mengukuhkan dirinya sendiri sebagai penemu puisi esai dan sebagai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Rendra mengungkapkan protesnya dalam pertanyaan yang mengandung ungkapan yang ditujukan pada orang yang bersangkutan. Dalam karyanya tersebut, ia mencoba mengabarkan dan mempertanyakan hati nurani manusia untuk memikirkan “Di manakah keadilan bila tidak ada yang menindak bajingan resmi, yang kalau dibiarkan akan timbul, bajingan jalanan yang akan mengadili”
Sajak “Seorang Tua Di Bawah Pohon” tersebut merupakan bentuk kritik Rendra yang menghimbau dalam suasana pembangunan ini diperlukan orang yang masih mau mendengarkan hati nurani manusia. Atau bentuk kritik Rendra pada pemerintah dan pengusaha yang memonopoli perekonomian dan pembangunan dalam sajak “Sebatang Lisong”, dan sajak “Seonggok Jagung” tentang pendidikan yang hanya sekedar hapalan teori atau dikte-dikte –meniru barat, tanpa memberikan pemahaman suatu pendidikan yang sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia, sehingga ilmu yang didapat dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan yang ada, tetapi bukan sekadar untuk memiliki ijazah, dst.
Kritik yang dilakukan para kritikus, pengarang atau penyair juga dapat dilihat dalam penggunaan diksi. Penggunaan kata “bajingan” atau “lonte tua” dalam kasus Saut Situmorang merupakan diksi yang jelas merujuk pada seseorang (verbal) dan tidak terdapat dalam karya fiksi. Hal ini jelas fenomena yang berbeda dengan pemilihan diksi dalam kata “bajingan” yang digunakan pada sajak Rendra di atas, atau kata “asu” dalam sajak Joko Pinurbo.
Sesekali ayah terlihat kesal, memukul-mukul
Mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, “asu!”
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.

Penggunaan diksi “asu” dalam sajak tersebut memiliki makna anjing, tetapi berbeda maknanya secara konotasi –disesuaikan dengan konvensi bahasa dalam suatu masyarakat. Kata “asu” dapat berupa umpatan, makian, yang dapat menimbulkan perkelahian, tetapi di sisi lain “asu” dapat berupa kata yang menunjukkan suatu keakraban dengan seorang kerabat dan pujian. Serta “asu” di sini juga dapat dimaknai secara simbolik, yaitu bermakna teror yang menebarkan ketakutan atau kecemasan.
Penggunaan diksi tersebut masih bisa diterima dalam masyarakat atau penilai sastra karena masih memiliki nilai edukasi tertentu. Kembali pada kasus Saut Situmorang, meski penggunaan kata “bajingan” dan “lonte tua” merupakan bagian dari kritik –kemarahan terhadap kehadiran buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, tetap saja kata tersebut kurang dapat diterima dan membuka peluang hadirnya hukum. Jika ditinjau dari ranah kebahasaan pun, kata-kata di atas bagaimanapun akan kembali pada konten budaya.
Pada sudut pandang tertentu, bisa saja makian –kemarahan Saut Situmorang merupakan bentuk dari kebuntuan perlawanan atas orang-orang yang terkait dengan kemunculan buku tersebut agar mendapatkan respon atau kemarahan besar pula dari tim 8 –orang-orang yang tergabung dalam proyek buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, di sinilah Saut Situmorang juga tidak mendapatkan pertolongan dalam ranah kritik sastra. Meski apabila ditarik ke dalam akar permasalahan, Saut Situmorang yang didukung dalam orang-orang dalam grup “Anti Pembodohan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” merupakan salah satu tokoh yang bergerak untuk menyelamatkan perkiraan adanya kesalahan sejarah sastra Indonesia sekarang dan ke masa depan yang ditimbulkan dari kemunculan buku tersebut –ditulisnya Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra yang paling berpengaruh dan disejajarkan dengan Chairil Anwar, Pramoedya, Taufik Ismail, dst.
Kebebasan berpendapat atau berekspresi menjadi keistimewaan bagi pengarang atau penyair, sehingga mampu mengingkapkan segala bentuk protes atau kritiknya, tetapi perlu ditegaskan kembali bahwa kebebasan tersebut berada dalam karya sastra. Ketika sastra yang memiliki hakikat sebagai fiksi atau dunia imajiner, maka sastra jelas tidak dapat dikategorikan sebagai fakta. Hal ini menyelamatkan sastra dari ranah hukum –tetapi kritik sastra memiliki kriteria dalam mengkritik. Kembali melihat pada kasus Saut Situmorang, tidak dapat juga disamakan dengan kasus kebebasan berpendapatnya Seno Gumira Ajidarma.   
   Seno Gumira Ajidarma pernah mendapatkan kecaman dari pemerintah di masa Orde Baru karena cerpen-cerpennya yang kritis terhadap keadaan sosial. Karya Seno tersebut diangkat dari sebuah realitas kehidupan bangsa yang penuh konflik dan kediktatoran pemerintahan rezim Soeharto. Segala sesuatu diatur oleh negara, bahkan pembredelan terhadap surat kabar yang menyinggung atau tidak sejalan dengan pemerintah. Hal ini jelas berbeda dengan keadaan pemerintahan di era reformasi seperti keberadaan kasus Saut Situmorang di masa ini. Pemerintah tidak lagi berperan diktator dengan mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya harus sejalan dengan pemerintah. Misalnya adanya kebebasan berpendapat di masa sekarang. para penyair atau pengarang di dalam karya-karyanya atau siapapun dapat mengkritik –berbicara apa saja tentang pemerintahan secara bebas di media sosial aau di manapun, tanpa adanya ketakutan teror atau diasingkan ke negeri entah berantah. Yang menjadi batasan atas keleluasaan pendapat dan tingkah laku di masa sekarang adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perlindungan undang-undang tentang hak asasi manusia, hak inilah yang menjadi pegangan keberadaban suatu masyarakat.
Pada kasus Saut Situmorang, bila kita melihat jurnal Boemiputra yang diasuhnya merupakan sebuah jurnal yang memiliki aliran keras. Hal ini terlihat dari gaya bahasa dan tema-tema pembahsan yang memang seolah selalu berselisih dengan komunitas sastra lain yang berbeda pendapat. Gaya bahasa dengan menggunakan diksi yang keras bahkan bernilai kasar digunakan dalam mengkritik komunitas lain –misalnya komunitasnya Gunawan Mohammad seperti mengenai bagaimana eksistensi komunitas tersebut, mengenai sastra selangkangan atau sastra yang mengangkat kebebasan dalam seksualitas diungkapkan dalam karya sastra seperti karya-karyanya Ayu Utami, dsb. Yang menjadi catatan dalam hal ini adalah tidak adanya perselisihan yang terlihat sampai pada ranah hukum. Berbeda dengan kasus mengenai buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling berpengaruh yang kemudian membawa perdebatan bahkan perselisihan yang panjang antara Saut Situmorang dengan Fatin  Hamama.
Kembali pada kebebasan berpendapat yang tidak dimiliki pada masa Orde Baru, jelas membuat para jurnalis tidak dapat leluasa dalam menyampaikan pendapat khususnya berita-berita dari fenomena kehidupan yang ngeri di masa itu. melihat hal ini, Seno Gumira Ajidarma menjadikan karya sastra sebagai jalannya dalam mengungkapkan kebenaran atau realitas yang ada di masa itu. Baginya dan bagi pengkritik pemerintah lainnya menentang pemerintah dapat membuat mereka mengalami masalah seperti teror atau diasingkan. Dengan memasukkan fenomena realitas yang ada ke dalam karya sastra menjadi jalan mengungkapkan suatu kebenaran. Untuk membuat karya-karyanya tidak dibredel maka Seno Gumira Ajidarma mengemas cerita menjadi humor dan absurd. Disinilah keberadaan sastra turut berperan dalam menyampaikan kebenaran keadaan yang ada kepada masyarakat.
Pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma berbicara tentang kritik pada pemerintah atau situasi Indonesia pada saat itu, misalnya pada cerpen “Jakarta-Jakarta”, dan “Penembak Misterius”. Pada cerpen “Jakarta-Jakarta” bercerita tentang gubernur yang didatangi 4 pemuda yang kedua telinganya sudah dipotong oleh orang tidak dikenal lalu diminta untuk menandatangani suatu surat yang tidak diketahui isinya. Hal ini terjadi pada insiden Dili.  Dalam hal ini, sastra sebagai jalannya untuk mengungkapkan kebenaran.
Karena laporan tentang insiden Dili dalam Jakarta jakarta edisi tersebut, atas permintaan pihak luar, pekerjaan tempat saya (Seno) bekerja menghentikan saya dan dua kawan lain dari tugas sebagai editor Jakarta-Jakarta. Kejadian ini tentu saya anggap sebagai penindasan –oleh suatu kekuasaan yang merasa dirinya melakukan hal yang paling benar. Saya melawannya dengan cara membuat insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari insiden Dili yang bisa menjadi cerpen –sebagai suatu cara untuk melawan. Kemudian saya mendapat info bahwa memang banyak warga Dili yang dipotong telinganya maka lahirlah Telinga. Kemudian saya mengira-ngira dan akhirnya mendapat pembenaran bahwa banyak ibu-ibu kehilangan anak lelakinya maka lahirlah Maria (SGA, 2010: 334-335).

Meski kelahiran sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari keadaan lingkungan atau sosial pada saat sastra itu ditulis, tetapi karya sastra tetaplah sebagai sebuah fiksi. Hal ini jelas berbeda ketika Seno Gumira Ajidarma atau siapapun ketika menulis kritik atau protes ke dalam teks di luar sastra –seperti yang dilakukan Saut Situmorang dalam mengkritik yang bahkan ke arah makian, merupakan teks yang fakta. Hal inilah menjadi keistimewaan bagi Seno Gumira Ajidarma untuk mengabadikan konflik-konflik yang ada dengan kritis pada karya fiksi. Alasannya jelas, bahwa senyata apapun tokoh, seting, atau alur yang diangkat ke dalam karya sastra tetaplah sebagai sebuah karya yang fiksi, sehingga akan lemah di mata hukum atau tidak dapat tersentuh hukum.
Pernah ditegur karena memuat cerpen berbau timor-timur,  tetapi Timor timur adalah fakta. Cerpen adalah fiksi. Sebuah cerpen bisa mengutip disertasi s3 yang tidak terbantah, namun ia tetap saja sebuah cerpen. Bahwa sebuah fiksi dianggap cukup bisa mengundang masalah sehingga perlu ditegur karena bau fakta, sudah suatu hal yang sulit digolongkan sebagai akal sehat: ternyata ada kecenderungan kuat untuk menganggap fiksi sebagai fakta. Padahal untuk berpikir goblok-goblokan sampai ke pengadilan pun secara hukum tidak pernah akan ada fiksi yang disahkan sebagai fakta –meski siapa sih yang bisa mengingkarinya sebagai kebenaran? (SGA,2010:383).
Tetapi fakta maupun fiksi tetaplah konstruksi manusia, bukan kenyataan itu sendiri. Bahwa ternyata fakta maupun fiksi tidak bisa mengklaim kenyataan secara mutlak. Kenyataan itu menghadirkan dirinya, mengada ke dalam sejarah, lewat suatu proses komunikasi yang tidak pernah terputus. Fakta apa pun, fiksi apa pun hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu. Jelas bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung (dalam arti menjadi sangat relatif) (SGA,2010:399).

Berbeda dengan fakta, yang tentu dapat menjadi suatu bahan yang dapat dimasuki hukum. Tetapi keberadaan sastrawan pada masa lalu mendapatkan perlakuan seperti diasingkan, dihukum oleh pemerintah karena menulis karya yang dianggap menentang pemerintah, karena tidak adanya kebebasan berpendapat pada masa itu. Kasus ini menjadi kasus yang lain atau berbeda dengan yang menimpa Saut Situmorang.
“Jangan mengancam-ngancam seperti lonte tak laku, jangan berdamai dengan bajingan” (sumber: grup anti pembodohan buku dalam facebook)

Kasus hukum yang menimpa seorang penyair yang tinggal di Jogjakarta tersebut sesungguhnya dapat saja bebas dari sentuhan hukum atau undang-undang pencemaran nama baik, jika tidak ada tuntutan atas kasus tersebut. Seperti biasanya dalam dunia komunitas sastrawan, saling kritik bahkan sampai makian juga menjadi hal yang wajar –seperti dalam jurnal Boemiputra yang disinggung pada pembahasan di atas, maupun pada kasus lain. Misalnya pada kasus saling mengkritik antara Arief Budiman dengan Sutardji Calzoum Bachri. Pada saat itu Arief Budiman mengejek verbal di media masa bahwa Sutardji Calzoum Bachri adalah seorang pemabuk dan mulutnya bau bir. Perkataan tersebut dibalas dengan cacian kembali oleh Sutardji. Kasus ini tidak tersentuh hukum karena kedua pihak tersebut tidak melibatkan polisi di dalamnya. Hal ini dianggap sebagai petengkaran biasa dalam dunia kesusasteraan.

Kesimpulan
            Saut Situmorang dalam kasusnya merupakan kajian di luar kritik sastra, sehingga dunia sastra yang memiliki hakikat sebagai dunia fiksi tentu tidak dapat memberikan pembelaan apa pun. Justru ketika sastra dikait-kaitkan dalam kasus ini menjadikan sastra seolah sebagai alat bagi siapa pun untuk melakukan kritik, mengumpat, memaki, dan sebagainya. Keberadaan sastra haruslah berada pada nilai yang tinggi, yaitu kritik yang dilakukan tetaplah harus memiliki nilai edukasi dan dengan memperhatikan syarat seorang kritkus. Sebagaimana syarat tersebut adalah mampu membawa pada arah yang lebih baik; membantu pembaca dalam memahami karya sastra, membantu pengarang dalam eksistensi kepengarangannya, dan menimbang baik buruknya suatu karya sastra secara bijaksana dan dengan nilai rasa (estetik) dan sistematis.
Kritik sastra Indonesia yang dibutuhkan oleh sastra baru dewasa ini adalah kritik yang melihat ke depan mendahului karya sastra untuk menunjukkan daerah jelajah baru, agar penyair dapat menulis karya yang lebih besar. Karya sastra yang besar tidak perlu menjadi elitis dan sesuatu yang terlihat sulit karena bagaimanapun karya sastra tetaplah membicarakan tentang masyarakat, bahkan pengarang atau penyair serta para kritikus pula, yaitu tentang kegelisahan, kesepian, kecemasan, masa depan, kebanggaan,  dan ketidakjujuran yang menjadi bagian dalam kehidupan. Maka kritik sastra tidak sekadar mengungkapkan kembali pengalaman estetik, tetapi mengoreksi keadaan dan membawa suatu peradaban yang lebih baik.

Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Trilogi Insiden. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.
Kadir, Burhan. 2013. “Asu, dalam Kepala Joko Pinurbo”. Dalam Suharmono dan Anis Maslihatin (Ed)., Dialog, Setahun Diskusi Puisi PKKH UGM. Yogyakarta: Gress Publishing.
Kompas. 27 Maret 2015. “Saut Situmorang Dijemput Paksa Polisi”. Hal 11.
Nadaek, Wilson. 1984. Tentang Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Rahman, D.Jamal, dkk. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sarjono, Agus R. 2012. Jurnal Sajak; Sajak-Sajak Cinta. Edisi 3 tahun II. Depok: PT Jurnal sajak indonesia.
Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sumanto, Bakdi, dkk. 1984. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Daftar Laman

Aisha. 2014. Petisi Buku 33 Tokoh Sastra untuk Kemendikbud” (online), (http://www.tempo.co/read/news/2014/01/18/109546005/Petisi-Buku-33-Tokoh-Sastra-untuk-Kemendikbud), diakses tanggal 15 April 2015.
Simanjuntak, Laurencius. 2014. “Denny JA kritik balik petisi stop peredaran buku 33 Tokoh Sastra” (online), (http://www.merdeka.com/peristiwa/denny-ja-kritik-balik-petisi-stop-peredaran-buku-33-tokoh-sastra.html), diakses tanggal 15 April 2015.
SJ, Yudha. 2014. “Kronologi Soal Kontroversi Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh (1)” (online), (http://sorotjogja.com/kronologi-soal-kontroversi-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh-1/), diakses pada 15 April 2015.
SJ, Yudha. 2014. “Kronologi Soal Kontroversi Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh (2)” (online), (http://sorotjogja.com/kronologi-soal-kontroversi-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh-1/), diakses pada 15 April 2015.
SJ, Yudha. 2014. “Kronologi Soal Kontroversi Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh (3-habis)” (online), (http://sorotjogja.com/kronologi-soal-kontroversi-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh-1/), diakses pada 15 April 2015. 
Raharjo, Rahmat. 2013. “Konsultasi Hukum Online, Pasal-Pasal tentang Pencemaran Nama Baik” (online), http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/pasal-pasal-terkait-pencemaran-nama-baik/, diakses pada 17 April 2015.



* Makalah ini untuk bahan diskusi dalam acara Diskusi Budaya "Juguran Sasdaya FIB Universitas Jenderal Soedirman" pada 17 April 2015