Kamis, 14 Juni 2012

Opini tentang Film Soegija oleh Nila Mega Marahayu



       


        Lewat film Soegija saia meresapi makna didalamnya,, bahwa benar juga kalo penjajah atau musuh sekalipun akan luruh jika diadu dengan cintakasih lewat peran seorang ibu, seorang Maria, dan seorang perempuan. sebuah sudut pandang berbeda dari perang & penjajahan yg pernah ada dalam film atau cerita sebelumnya; tentang kekejaman, kengerian, dan kekerasan. Ada Tentara jepang & belanda dlm keadaan genting tidak jd menembak karena ternyata hatinya terketuk pada ingatan tentang ibu dan bayi. hal ini menunjukkan adanya dekonstruksi terhadap cerita-cerita yang pernah ada. Bahwa benar kata Romo Soegija : semua berasal dari kemanusiaan yg satu.


    Memandang Cintakasih dalam katolik dalam perjuangan Indonesia lewat permainan hati/kemanusiaan cukup masuk akal juga,, sayangnyaa peran Romo Sugijo dlm perjuangan kemerdekaan kurang di ekspose di film ini, sepertinya benar kata Arswendo atmowiloto bahwa film ini terlalu takut untuk menyebut Romo, terlalu takut untuk melihat pasar karena melihat dari sudut pandang agama. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan adanya penolakan-penolakan pemutaran film maupun peluncuran buku boigrafi Soegija oleh kalangan tertentu. Melihat ini, saia setuju dengan Romo Soegija secara tidak langsung; bahwa indonesia juga milik katolik, bahwa indonesia berbeda-beda tapi tetap satu.

      yaa, bagaimanapun itu, film ini cukup menakjubkan juga, di zaman genting seperti itu,zaman indonesia belum merdeka; Seorang Romo Soegija telah dihormati oleh para umat bahkan yg berlatarbelakang Belanda sekalipun. ia telah menjadi tokoh yg disegani dan didengar bahkan sampai Vatikan. ia membantu peralatan obat, selimut, dengan mengirim surat sampai vatikan. mungkin, karena satu faktor itu pulalah ia juga dekat dengan Soekarno.

*begitu kiranya bagiku,, dan apa bagimu ??

      owyaa,, sekedar catatan saja,, waktu saia berangkat ke bioskop untuk beli tiket jam 14.00 ternyata tiket sudah habis tinggal tersisa untuk jam 21.00wib.. demi nonton saya putuskan untuk ambil jam malam tersesbut di bioskon 21 ambarukmo plasa yogyakarta. taukah anda, ternyata saya jauh lebih beruntung karena antrian dibelakang saya sudah tidak kebagian tiket untuk hari tersebut. alhasil mereka yang sebagian besar adalah para kakek dan nenek serta rombongan keluarga itu, membeli tiket untuk besok pagi. pada hari itu serentak pada jam yang sama film fenomenal tersebut ditayangkan di bioskop tersebut. ternyata film ini masih laris diminati penonton sampai tanggal 15 juni besok lhoo,, waahh semakin bertambah kiranya penonton yang memang sebagian besar adalah beragama nasrani tersebut yang menonton. terlepas dari itu, saya mendapatkan informasi dari teman, bahwa pemutaran film ini telah diumumkan melalui gereja, sehingga tiket dapat dipesan juga melalui gereja. waah luar biasa sekali. mungkin inilah film perjuangan pertama di Tanah Air kita yang notabenenya adalah non muslim. sehingga menjadi incaran minat penonton meskipun penuh penlakan di pihak lain yang tentu saja berdasarkan agama. bagi saya, film ini membuktikan bahwa Indonesia adalah milik bersama, indonesia ya indonesia. kemerdekaan ya milik para pejuang, entah tokohnya itu berlatarbelakang katolik, islam, hindu, maupun budha. dan semoga film ini menjadi inspirasi bagi sineas lainnya untuk mengungkap perjuangan para tokoh kemerdekaan Indonesia dari berbagai agama maupun suku. sehingga dapat memberikan tambahan wawasan sejarah sesempurna mungkin bagi bangsa dan negara kesatuan Indonesia tercinta.



(Ini foto membludaknya penonton di bioskop 21 Ambarukmo Plasa)

Tentang WS. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa


Nama : Nila Mega Marahayu (11/323090/PSA/02448)
Tugas : Sastra Indonesia Modern 1, diampuh oleh Prof. Dr. Faruk H.T.
 
Tentang WS. Rendra dalam Sajak Pertemuan Mahasiswa
Sajak-sajak yang lahir pada angkatan 1970-an merupakan sajak yang memiliki wawasan estetika berbeda dari angkatan Chairil Anwar atau angkatan 45. Hal ini terlihat pada kata atau bahasa yang digunakan dalam sajak. Pada sajak-sajak Ws. Rendra, lebih menekankan pada penghayatan atau pemahaman sajak yang langsung dan utuh. Sajak-sajak tersebut tidak lagi memfokuskan diri pada kepercayaan kata atau bahasa seperti sajak-sajak Chairil Anwar yang terasa sulit untuk dipahami. Rendra dalam sajaknya lebih mementingkan bagaimana menghadirkan emosi atau keterpukauan pembaca dengan bahasa yang mudah untuk dipahami. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa berikut.      
“kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami punya maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik saudara untuk siapa ?"

            Pada kutipan tersebut terlihat jelas bahwa emosi mencoba dihadirkan Rendra untuk memukau pembaca. Ia seolah ingin mengajak kepada pembaca untuk menghayati sajak secara langsung dan utuh bahkan melalui Pathos, yakni bahasa adalah objek pengalaman itu sendiri. Pada kutipan terlihat jelas, bahwa ia mengajak pembaca—dalam hal ini lebih berfokus pada mahasiswa untuk kembali bertanya atau mengoreksi suatu keadaan (kita bertanya).  Kenapa maksud baik atau penawaran untuk hidup yang lebih baik atau layak tidak kunjung dirasakannya atau juga dirasakan rakyat. Maksud baik yang ditawarkan pemerintah tersebut sebenarnya untuk siapa. Pembaca diajak untuk berkontemplasi bahwa apakah maksud baik tersebut benar-benar maksud baik untuk kesejahteraan rakyat atau pemerintah itu sendiri (“maksud baik saudara untuk siapa”).
            Tanpa bahasa yang bertele-tele atau dengan bahasa yang langsung dan seolah menawarkan emosi pada pembaca, bahwa selama ini ketimpangan sosial selalu ada dalam kehidupan sekitar. Bahwa ketidakadilan, kesewenang-wenangan, masih jelas ada dalam kehidupan. Kesewenang-wenangan disini lebih ditunjukkan oleh Rendra kepada pemerintah yang menindas rakyat. Kemudian pertanyaan kembali diberikannya kepada pemerintah, bahwa sebenarnya bagaimana nasib rakyat jika pemerintah itu sendiri lebih mementingkan dirinya dibandingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Terlihat jelas dalam kehidupan sekitar bahwa yang kaya makin jaya dan yang miskin makin terpuruk. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa berikut.   
ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

            Rendra dalam sajaknya tersbebut sangat perduli pada kehidupan rakyat, seolah ia memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertinggal, yakni rakyat di desa. Rendra mengharapkan pergerakan dari pembaca atau mahasiswa untuk membantu merubah keadaan. Pembaca diajaknya untuk kembali kritis terhadap jalannya kehidupan yang semakin tidak adil dan menindas rakyat, kembali kritis dalam memanfaatkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah untuk kepentingan yang baik. Bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang membawa keadaan bangsa yang lebih baik dengan memahami atau menghayati bangsa itu sendiri (mencari identitas bangsa). Kemudian mencari jalan keluar dari segala permasalahan bangsa (alat pembebasan) dengan cara sendiri bukan cara yang ala barat (penindasan), yang asing bagi bangsa itu sendiri. Bahwasanya ilmu yang diajarkan akan dan harus memupuk pola pikir mahasiswa untuk bergerak merubah keadaan dengan memihak rakyat dan ilmu-ilmu yang diajarkan haruslah ilmu-ilmu yang berkaca pada rakyat atau bangsa sendiri, agar ilmu tidak terasa asing untuk diterapkan dalam penuntasan permasalahan di negeri atau bangsa sendiri.
Kita mahasiswa tidak buta
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu yang diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah akan menjadi alat penindasan ?
Kita menuntut jawaban

Ia mencoba meletakkan perhatiannya pada rakyat di desa yang semakin terancam karena tanahnya atau sawah dan perkebunannya menjadi semakin berkurang, penyebabnya adalah para orang-orang kaya (orang-orang di kota atau pejabat dan pemerintah) yang menguasai tanah rakyat di desa. Rendra mengajak pembaca atau mahasiswa kembali mempertanyakan maksud atau tujuan apa yang tengah direncanakan pemerintah terhadap nasib rakyat di desa khususnya petani. Pemerintah menawarkan kehidupan baru yang asing bagi rakyat di desa (rakyat kecil) yang mayoritas petani dengan alat-alat impor yang dianggapnya canggih dan mampu merubah tatanan perekonomian yang lebih baik, tetapi pada kenyataannya hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
“kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung sudah menjadi milik orang - orang di kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"

            Rendra melalui sajak tersebut terus memberikan perhatiannya pada kesejahteraan rakyat yang nyaris lumpuh karena pemerintah. Sajaknya tersebut jelas mengangkat permasalahan antara rakyat dan pemerintah yang kemudian coba untuk membawa nama mahasiswa sebagai alat untuk merubah pemikiran secara kritis dan merubah keadaan. Rendra melalui sajaknya tersebut mencoba untuk dekat dengan rakyat sampai ke desa-desa. Kedekatannya ini dilakukannya dengan memperdulikan nasib rakyat di desa meski dengan sajak yang tidak berbahasa daerah. Sajak ini tidak menjadi sajak yang melupakan masa lalu. Hal ini terlihat pada perhatian Rendra pada kehidupan di desa atau petani—sebagai salah satu ciri Indonesia, yakni masyarakat yang agraris dan asing dengan alat-alat impor atau modern. Dalam hal ini seolah Rendra memiliki sedikit ketakutan akan keberhasilan perekonomian dengan cara baru yang direncanakan pemerintah—pemerintah seolah ingin menghapuskan peranan besar pertanian dan menggantinya dengan perekonomian ala negara barat.
            Sajak- Rendra yang lahir pada tahun 1977 ini memiliki ciri yang sama dengan sajak-sajaknya yang lain, yakni selalu ingin mendekatkan diri pada masyarakat. Sajaknya seolah menjadi lonceng peringatan bagi jalannya kehidupan bangsa dan negara yang dikuasai oleh pemerintahan. Ia selalu mengajak pembaca untuk kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Ia juga mengangkat mahasiswa sebagai simbol kekuatan kedua setelah pemerintahan yang mampu merubah keadaan rakyat. Emosi-emosinya dalam sajak ini seolah membawa pembaca sedang dalam barisan atau berorasi untuk perubahan yang memihak rakyat. Hal ini akan terus dilakukan seiring lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak seimbang dengan keadaan rakyat. Ia juga mengingatkan bahkan mengancam pemerintahan ; jika kehidupan tidak lebih baik, maka pertanyaan-pertanyaan tidak akan mereda dan siap untuk menjadi ombak di samodra—pembaca seolah tengah didoktrin untuk siap turun ke jalan dan menuntut perubahan kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Rendra melalui sajaknya ini seolah turun ke jalan dan merangkul pembaca atau mahasiswa untuk melakukan pergerakan untuk perubahan keadaan bangsa dan negara yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa sebagai berikut.
sebentar lagi matahari akan tenggelam
dan malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
rembulan berlayar
tetapi pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan mereda
ia akan muncul di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru akan menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke kali
akan menjadi ombak di samodra

di bawah matahari yang ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
memihak yang mana !

Kesimpulan
            Ws Rendra sebagai penyair yang menyuarakan aspirasi rakyat yang tertindas atau mengalami kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terlihat pada sajak-sajaknya, yang juga terlihat dalam sajak Pertemuan Mahasiswa. Rendra mengajak pembaca atau mahasiswa untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, atau kebijakan-kebijakan yang terasa asing untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, bangsa, atau negara. Dengan demikian Rendra menjadi salah satu dari penyair lainnya yang dekat dengan masyarakat.
            Kepopuleran Rendra pun semakin terlihat lebih besar daripada penyair lainnya karena posisinya yang berada di pusat atau kota Jakarta—dekat pusat pemerintahan. Keadaan itu dimanfaatkannya untuk bergerak lebih menonjol atau terekspos ketimbang penyair-penyair lainnya di daerah-daerah. Namun, Rendra pun tidak berbeda dengan mereka, yaitu sama-sama menyuarakan aspirasi rakyat. Hanya saja posisi keberadaan Rendra membuatnya lebih cepat disorot media dan menjadikannya lebih populer. Rendra juga aktif dalam menggelar pembacaan sajak-sajaknya di mana-mana dengan gaya teatrikalnya yang semakin membuatnya seolah sebagai penyair terbesar mengalahkan penyair-penyair lainnya. Sampai akhir hayatnya pun, Rendra tetap populer sebagai penyair yang menuliskan sajak-sajak untuk rakyat.
***

 Lampiran

Sajak Pertemuan Mahasiswa

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami punya maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik saudara untuk siapa ?"

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung sudah menjadi milik orang - orang di kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
Kita mahasiswa tidak buta
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu yang diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah akan menjadi alat penindasan ?
Kita menuntut jawaban

sebentar lagi matahari akan tenggelam
dan malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
rembulan berlayar
tetapi pertanyaan-pertanyaan kita tidak akan mereda
ia akan muncul di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru akan menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke kali
akan menjadi ombak di samodra

di bawah matahari yang ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
memihak yang mana !

( Jakarta, 1 desember 1977 )



Analisis terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis


Mata Kuliah : Sastra Indonesia Modern 1, diampuh oleh Prof. Dr. Faruk, H.T.
Catatan Analisis terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami :
·         Adakah pengaruh kedatangan si Aku terhadap kematian kakek atau apakah kedatangan si Aku menjadi salah satu faktor penyebab kematian si kakek ?
Jawabannya adalah ya, si aku menjadi salah satu faktor penyebab kematian si kakek. Alasannya adalah :
1.      Si aku tidak dapat memberikan solusi atau hiburan atau nasihat kepada kakek ketika si kakek bertanya atau melakukan pembelaan terhadap dirinya. Si aku hanya diam dan mendengarkan atau membiarkan si kakek bertanya-tanya sendiri akan dirinya, dimana dalam hatinya sesungguhnya si kakek semakin ragu terhadap kebenaran dirinya. Ia secara tidak langsung tengah terpengaruh dongeng atau perkataan Ajo sidi. Hal inilah yang kemudian membuat si kakek semakin bermuram durja. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Tapi aku tidak perlu menjawabnya lagi. Sebab, aku tahu, kalau kakek sudah membuka mulutnya, dia tidak akan diam lagi. Aku biarkan kakek pada pertanyaannya sendiri.”
Tidak selamanya diam adalah sebagai suatu perilaku yang pasif dan dalam hal ini, diamnya si Aku seakan memberikan ruang terhadap kebenaran atau membenarkan dongeng atau perkataan Ajosidi dan juga mulai tidak percaya atau juga menyalahkan si kakek. Sebenarnya si kakek cukup lega atau senang dengan adanya kedatangan si aku sehingga ia dapat mencurahkan isi hatinya atau kekesalannya kepada si aku, tetapi ditengah-tengah ceritanya ia bertanya kepada si aku perihal tindakannya selama ini benar atau salah. Si kakek dalam ceritanya pun sudah mulai untuk meminta dukungan kepada si aku untuk membenarkan dirinya. Namun, hal itu tidak disambut dengan perkataan nasihat atau jawaban yang diinginkan si kakek dari si aku. Alhasil si kakek terus tersudut dengan pertanyaannya sendiri dan semakin ragu akan kebenaran dirinya dan mulai kuat kepercayaannya terhadap cerita Ajosidi.  
2.      Si aku datang kepada si kakek sudah tidak lagi sebagai individu atau tidak lagi seperti dirinya. Ia datang kepada si kakek sudah sebagai bagian dari lingkungan sosial. Hal ini terlihat jelas dengan adanya perilaku si aku yang bertanya-tanya kepada kakek yang seolah-olah ia ingin tahu terhadap sesuatu yang terjadi. Seperti cerita Ajosidi sebelumnya tentang pemimpin yang seperti katak, maka warga percaya dan ikut memanggil pemimpin itu sebagai si katak. Dalam kasus si kakek pun sama dalam anggapan atau kepercayaan warga, maka si aku sebagai bagian dari lingkungan sosial, datang kepada kakek sudah terbawa pengaruh sosial yang mempercayai cerita Ajosidi. Namun hanya saja si aku masih ragu dan tidak sepenuhnya mempercayainya tetapi dirinya tetap saja sudah meragukan kebenaran kakek. Dapat diandaikan, jika si aku tidak percaya pada cerita Ajosidi maka ia datang kepada kakek tidak dengan pertanyaan yang menggebu-gebu atau terus menekan si kakek dan si aku juga pasti akan bersikap aktif dengan memberikan jaawaban atau nasihat kepada kakek, tetapi si aku justru bersikap pasif atau diam. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“ketika kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. “ia katakan kakek begitu, kek ?”
“ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Kesimpulan :
            Kalau si aku tidak datang kepada kakek, kemungkinan kakek tidak akan bunuh diri. Hal ini terlihat pada pisau yang berserakan yang awalnya tidak terfikirkan oleh si kakek untuk membunuh si Ajosidi apalagi bunuh diri. Keadaan menjadi berubah dengan adanya hasrat untuk membunuh karena si kakek diberikan pertanyaan akan keberadaan pisau dari si aku, sehingga seolah memberikan ruang pemikirannya atau mentalnya untuk berfikir tentang “membunuh”. Dalam hal ini Ajosidi pun dapat dikatakan tidak mungkin membunuh si kakek, kendatipun pisau itu miliknya yang sedang diasah si kakek karena si kakek adalah orang yang selalu dimintai mengasah pisau oleh warga. Ajosidi tidak mingkin membunuh si kakek karena Ajosidi tidak terlihat memiliki motif atau alasan kuat untuk membunuh si kakek. Keadaan tersebut memberikan peluang pembenaran bahwa kakek benar-benar bunuh diri.
            Sebenarnya ada kejanggalan dalam cerita tersebut, bahwasanya seharusnya kakek merasa lega karena dapat menceritakan isi hatinya atau kekesalannya kepada si aku dan seharusnya membuatnya tidak jadi bunuh diri, tetapi ternyata ia tetap bunuh diri. Dalam hal ini terlihat betapa si aku tidak dapat mencegah adanya kejadian yang akan nmenimpa kakek.
            Tindakan kakek bunuh diri adalah sesuatu yang wajar karena biarpun ia seorang yang kuat imannya, tetapi hidupnya sepenuhnya untuk Tuhannya. Andaikan si kakek adalah seorang yang imannya kuat dan juga hidup dengan bersosialiasi maka mungkin ia tidak terlalu kecewa. Dalam hal ini, kakek yang begitu lurus jalan hidupnya hanya untuk Tuhan, maka ia merasa sangat kecewa akan tindakannya selama ini sebagai orang lurus jalannya kepada Tuhan, kalau ternyata toh ia akan masuk neraka juga seperti orang-orang lain yang tidak berbakti hidupnya benar-benar untuk Tuhan. Tentu saja cerita Ajosidi membuat kakek kecewa dan tidak memiliki tujuan hidup lagi.
***

  

Analisis Semiotika Riffatere dalam Sajak “Negeri yang Terpenjara” Karya Martha Sinaga oleh Nila Mega Marahayu

Negeri yang terpenjara
Suara maling teriak maling 
berhias diri Tontonan untuk anak bangsa 
Menu bagi pemilik negeri 
Kue dalam adonan petinggi siap untuk dibagi 
Maling teriak maling menjadi judul cerita 
 Gunjingan Olok-olok 
 Bahasan Diskusi yang dibayar tunai 
 Berita utama
 Catatan kaki
 Rubrik opini
 Seragam judul 
Maling teriak maling lagi itu kisahnya 
 Satu tuding yang lain 
Sumpah serapah paling jitu 
Mencibir 
Terbelalak 
Meludah
 Puihhhhh 
 Ini dia mainan gundu petinggi negeri
 Sodok sana
 Gulingkan sini
 Melirik yang itu merangkul yang ini
 Puahsisiehhh
 *** 
A. Pemaknaan sajak “Negeri yang Terpenjara” 
1. Pembacaan heuristik 
Judul dari sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik atau pembacaan dengan konvensi bahasa atau konvensi tingkat pertama adalah sebagai berikut. Judul sajak “Negeri yang Terpenjara” merupakan adanya sebuah negeri yang terdapat dalam penjara. Dapat dikatakan bahwa disebuah negeri yang memiliki penjara yang mengelilinginya. Pada bait pertama pembacaan sajak “Negeri yang terpenjara” secara heuristik adalah ada sebuah suara yang keluar dari mulut seorang maling yang setelah itu ia berhias diri agar tidak diketahui orang lain bahwa dirinya adalah maling (suara maling teriak maling berhias diri). Para anak bangsa menonton atau menyaksikan akan tindakan si maling tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Kemudian adanya menu atau suatu resep yang dimiliki oleh pemilik negeri atau raja atau presiden. Dalam menunya tersebut terdapat kue yang belum menjadi kue secara utuh, yaitu ia masih berbentuk adonan yang tinggi atau banyak. Adonan tesebut siap untuk dibagi-bagikan kepada orang lain oleh si pemilik negeri atau maling (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Entah kenapa keadaan tersebut menciptakan sebuah cerita dengan judul maling yang teriak maling. Pada bait kedua sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah terdapat gunjingan, olok-olok, dan pembahasan (bahasan) yang dilakukan di dalam sebuah diskusi. Diskusi tersebut ternyata menggunakan dana dalam pelaksanaannya (diskusi yang dibayar). Pada bait ketiga sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah bahwa adanya berita utama, catatan kaki, yang memiliki judul yang seragam atau diseragamkan atau disamakan. Keadaan tersebut mengisahkan cerita tentang maling yang teriak maling lagi (maling teriak maling lagi itu kisahnya). Pada bait keempat sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya satu tudingan yang mnuding yang lain (satu tuding yang lain). terjadilah sumpah serapah dalam tuding-menuding tersebut sebagai cara yang paling jitu (sumpah serapah paling jitu). Keadaan itu penuh dengan orang yang mencibir, adapula yang terbelalak, ada pula yang meludah hingga terdengar puihhh dari mulutnya. Pada bait kelima sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya seseorang yang atau dia yang sedang bermain gundu milik petinggi negeri (ini dia mainan gundu petinggi negeri). Dalam permainan gundu tersebut ada adegan sodok sana, gulingkan sini, melirik yang itu dan merangkul yang ini. Kemudian terdengar adegan meludah dengan mengeluarkan bunyi puahsisiehh dalam bermain gundu tersebut. 
 2. Pembacaan hermeneutik
Judul sajak “Negeri yang terpenjara” secara hermeneutik atau pembacaan dengan konvensi sastra dapat dimaknai yaitu sebagai negeri yang terkurung oleh korupsi yang merajalela atau adanya sebuah negeri yang tidak dapat terbebas dari permasalahan korupsi (Negeri yang terpenjara). Pada bait pertama sajak secara hermeneutik memiliki makna yaitu, ada pemimpin atau koruptor yang berpura-pura baik dalam mengemban jabatannya agar tidak ada yang mengetahui dirinya korupsi. Koruptor tersebut disebut sebagai maling negara yang menuduh orang lain sebagai maling agar dirinya tidak terkena sasaran pemeriksaan. Ia begitu pandai dalam menyembunyikan identitasnya sebagai maling atau koruptor (suara maling teriak maling berhias diri). Keadaan tersebut menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Seolah menjadi tontonan yang tidak ada akhirnya. Seolah tidak ada yang bersalah atau disalahkan untuk dijatuhi hukuman. Bangsa atau rakyat tidak dapat memutuskan apa-apa terhadap urusan yang tidak kunjung berakhir tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Keadaan tersebut atau tindakan melakukan korupsi merupakan menu bagi pemimpin atau pemilik negeri. Hal ini seolah halal untuk dilakukan tanpa perasaan bersalah sedikitpun (menu bagi pemilik negeri). Korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negeri tersebut dibagi-bagikan berapa bagian-bagiannya dalam menguasai harta rakyat tersebut. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dari pemimpin negeri tersebut, bahkan harta haram tersebut bagaikan kue dalam adonan yang siap untuk dibagikan merata kepada pemimpin-pemimpin atau menteri-menteri lainnya (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Sungguh tidak ada maling teriak maling dalam keadaan tersebut. Tidak ada pengakuan atas kesalahannya mencuri uang negara atau rakyat. Permasalahan korupsi tidak akan ada akhirnya dan tidak akan menjadi sebuah cerita atau kasus yang tuntas diselesaikan hukum (maling teriak maling menjadi judul cerita). Pada bait kedua sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu apabila akan adanya gunjingan, olok-olok, pembahasan (bahasan) atau diskusi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi. Maka koruptor itu telah mempersiapkan diri dengan uang untuk suap dan mungkin jabatan yang lebih tinggi untuk orang-orang yang mau menyembunyikan tindakan korupnya. Ia akan sesegera mungkin membayar diskusi tersebut agar tuduhan yang tertuju padanya tidak jadi terungkap (diskusi yang dibayar). Pada bait ketiga sajak secara hermeneutik dapat dimaknai yaitu permasalahan korupsi yang sempat didiskusikan tersebut pada keesokannya akan menjadi berita hangat untuk dibicarakan rakyat diseluruh negeri. Cerita itu akan menjadi berita utama di surat kabar atau televisi, menjadi catatan kaki di sebuah buku, menjadi rubrik opini di surat kabar. Berita yang tengah hangat diperbincangkan itu begitu hebatnya karena memiliki judul yang sama, opini yang sama, atau kisah cerita yang sama dari surat kabar satu ke surat kabar lain, dari catatan kaki yang satu ke catatan kaki yang lain, dari rubrik opini yang satu ke rubrik opini yang lain. Semua isi berita adalah permintaan si pemilik suap yang minta untuk merekayasa kebenaran hingga semua tulisan pada berita itu adalah hasil komandonya (seragam judul). Tentu hal itu terjadi dari keberhasilan suap yang dilakukan atau diskusi yang dibayar. Maka, koruptor yang dapat dikenai hukuman dengan mengakui kesalahannya adalah impian atau sindiran (maling teriak maling itu kisahnya). Pada bait keempat sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu adanya tuduhan-tuduhan yang dilakukan kepada rekan kerjanya si koruptor agar mereka saling lempar kesalahan dan tanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai cara menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor (satu yuding yang lain). sumpah serapah dilakukan pula sebagai cara yang dianggap pas untuk menolak atau memungkiri tuduhan telah berkorupsi (sumpah serapah paling jitu). Keadaan yang kacau tersebut penuh dengan orang-orang yang saling mencibir. Ada pula yang terbelalak dengan keadaan saling tuding tersebut jika tudingannya tertuju padanya. Para pemimpin negeri itu akan saling melindungi diri atau identitas kesalahannya dengan berpura-pura marah atau tersinggung. Mereka pun akan meludah dengan penuh kebencian karena takut kesalahannya terungkap. Kebencian tersebut jelas nyata terlihat dengan adanya ekspresi meludah ; puihhh dalam sajak ini. Pada bait kelima sajak dapat dimaknai secara hermenutik yaitu keadaan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan yang dilakukan pemimpin negeri bagaikan mainan gundu petinggi negeri. Hal ini terlihat dengan adanya tuduhan atau saling tuding pada si ini dan si itu. pemimpin tertinggi pun siap dengan strategi-strategi baru, barangkali salah satu dari mereka yang jujur akan mendapatkan fitnah atau tudingan sebagai koruptor atau barangsiapa yang berani membongkar identitas si koruptor maka akan mendapatkan hukumna. Hukuman tersebut berupa diberhentikan atau dipecat dari jabatannya (sodok sana, gulingkan sini). Kemudian si koruptor akan kembali mencari kawan untuk diajaknya bekerjasama baik dalam berkorupsi dengan membagi hasil atau dengan memberikan suap agar tidak membongkar identitasnya sebagai koruptor (melirik yang itu merangkul yang ini). Kebencian si koruptor terhadap orang-orang jujur tersebut atau kebencian orang jujur terhadap koruptor tersebut terlihat jelas dengan meludah yang jelas diwujudkan dalam sajak ini dengan ekspresi “puahsisieh”. 
a) Matriks
Matriks dalam sajak ini adalah ‘korupsi menguasai segalanya atau korupsi menguasai negeri’. 
b) Model
Matriks diatas ditranformasikan menjadi model yaitu “Negeri yang terpenjara”. Dalam hal ini, makna dari terpenjara tersebut adalah terkurung oleh suatu masalah yaitu korupsi. Dengan kata lain, negeri tidak dapat terbebas dari korupsi. 
c) Varian
Model diatas merupakan kiasan metafora inplisit. Matriks dalam sajak ini sebagai hipogram intern yang ditransformasikan menjadi varian-varian pada setiap bait dalam sajak. Varian pertama pada bait pertama, mengungkapkan adanya koruptor yang disimbolkannya dengan “maling”. Koruptor tersebut dengan bebas atau merdeka dalam melakukan aksi korupsinya. Ia membagi-bagikan nhasil korupsinya atau bersekongkol, sehingga banyak orang yang akan membantunya dalam menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor. Kata “maling” menunjukkan nada kecurangahn atau kelicikan dalam melakukan berbagai cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Penggunaan metafora ”maling” merupakan tanda yang mengekspresikan kecurangan atau kelicikan yang diungkapkan pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan kekacauan di negeri tersebut, sehingga menjadikan negeri tidak dapat membebaskan diri dari korupsi yang menguasainya. 
Varian pada bait kedua adalah menggambarkan kelicikan atau kecurangan dengan melakukan suap agar korupsi yang dilakukan si koruptor tidak terungkap. Hal ini terlihat dalam baris yang mengatakan “diskusi yang dibayar”. Keadaan ini adalah suatu gambaran hubungan tidak sehat dalam kebebasan berpendapat untuk mengungkapkan kebenaran. “diskusi yang dibayar” merupakan metafora yang menunjukkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan tidak berjalannya suatu kebenaran atau sesuatu yang seharusnya terjadi. Penggunaan metafora tersebut sebagai sarana untuk menyuarakan ketidakbebasan karena korupsi. 
Varian pada bait ketiga adalah gambaran perasaan yang tidak bebas karena kelicikan koruptor dalam mengatur segala sesuatu agar sesuai kehendaknya. Pengggunaan metafora “Seragam judul” merupakan refleksi keterbungkaman suatu nilai-nilai kebenaran dan betapa koruptor merupakan sosok yang luar biasa, yaitu mampu melakukan apapun sekehendak hatinya, dan semua tunduk padanya. 
Varian pada bait keempat adalah gambaran tentang kekuatan atau kehebatan seorang koruptor dalam memutar balikkan fakta. Dalam hal ini, penggunaan metafora “tuding yang lain” menunjukkan kekuatan seseorang yang lebih superior dari sosial lainnya. 
 Varian pada bait kelima adalah gambaran tentang kekuatan dari suatu kekuasaan karena uang meski didapatnya dari korupsi. Dalam hal ini koruptor memiliki kekuasaan dalam menentukan jabatan orang lain. ia mampu menggulingkan atau menjatuhkan lawan atau orang yang bertentangan dengannya. Penggunaan metafora “mainan gundu” menunjukkan betapa yang berkuasa mampu mendeskriminasi yang dibawahnya atau yang dianggapnya lebih rendah. Dalam hal ini menjatuhkan seseorang baginya seperti sebuah permainan yang mudah dilakukannya. 
d) Hipogram 
Sajak “Negeri yang Terpenjara” memiliki hipogram yaitu sebuah negeri yang tidak bebas, tidak merdeka dari suatu permasalahan. Negeri tersebut terkurung dalam suatu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Permasalahan yang dimaksud adalah korupsi.strike>

Untukmu yang Terasing dalam Sesat

Bagamanapun perjalananmu dibawah lampu-lampu sudut kota telah berbeda. Lampu merah, hijau, atau kuning, tikungan jalan, persimpangan jalan dan garis-garis pembatas jalan juga berbeda Keramaian kota, kemacetan, dan segala suasana malam di kota itu tetap membuatmu asing. Aku hanya tertawa kecil dan berbisik “kau bukanlah yang kemarin”. Jalan setapak yang kini kau lalui tak akan lagi memberikanmu ruang Tak ada lagi hembusan angin disana yang bakal menyejukkanmu Jalan menikung yang selalu membuatmu ngeri Tak lagi menawarkanmu kengerian lebih dari ini “Kekosongan dan keterasingan” yang akan membunuhmu kali ini Roda motormu akan berputar sesekali menggilas jalan yang pernah kau lalui Tapi kenapa kau merasa asing sendiri ? Sedangkan Pijaran lampu-lampu, suasana bising kota, lampu lalu lintas jalan, tikungan jalan, pembatas jalan, pertokoan, warung-warung pedagang kaki lima adalah bagian darimu Dan bagaimanapun kau berlari dan merentangkan jarak Pasti akan terasa selalu dekat jika kau menelusurinya lebih dalam, kiranya begitu katamu dalam hati Entah, kenapa kali ini kau begitu yakin pada keraguanku Lalu kau lanjutkan perjalananmu Yang kali ini akan membawamu dalam benturan-benturan waktu Kau pun berlutut pada Kepahitan, kejenuhan, kesunyian, kehampaan, dan kenangan Dan aku tau bahwa kau masih tersesat Tanpa ada lagi tangan hangat yang menuntunmu, maksudku tangan hangat yang kau ingini hingga bagaimanapun kau akan terasing pada perjalanan yang dulu selalu kau lewati perjalanan ini akan menenggelamkanmu pada kerinduan jalan pulang yang tak pernah menepi selamanya kau akan mengembara selamanya kau akan tergagap dalam gelap selamanya kau akan tersesat dalam dirimu sendiri akhirnya akalmu ikut bicara “aku harus memutar arah” kemudian mencari jalan setapak lain tetapi bagaimanapun roda motormu itu tetap ingin melalui sepanjang jalan dibawah lampu-lampu yang temaram dan melankoli yang akan terus membuatmu menuntut kembali menjadi kemarin aku terpingkal-pingkal menertawakanmu yang bodoh hingga akhirnya kau harus menyadari bahwa ini adalah mei bukan desember *** Yogyakarta, 26 Mei 2012 “Untukmu yang terasing dalam sesat”