Jendela kamar dibuka perlahan. Angin
senyap dari luar rumah memasuki ruang, yang beraroma pengap setelah sembilan
jam dikunci rapat-rapat. Tubuh bocah perempuan gemetar, berancang-ancang
melompati jendela. Kulitnya kusam dan hidungnya ingusan, berhasil keluar rumah.
Tangannya penuh dengan kuku-kuku hitam secara lambat menutup jendela. Telinganya
menajam dan memastikan tidak ada suara sekecil apapun terdengar oleh
orang-orang dewasa dalam rumah. Samar-samar angin menerbangkan suara parau dari
seorang mbah.
“Nduk, dibuka to pintunya, dari pagi
tadi kamu belum makan, emang ndak mau salim sama bapak dan mamak ? Ndang
keluar cah ayu.”
***
Langit dilengkapi awan berwarna
kehitaman membuat bumi remang. Remang merasuki bocah perempuan yang tengah
berlari kuat-kuat. Berlari menghindari kecamuk di dadanya. Barangkali
kesenangan, kebahagiaan, kerinduan, ketakutan, kekecewaan, bahkan amarah telah
mejadi segumpal luka. Tapi ia terlalu kecil untuk mencerna keadaan. Tidak memahami
bagaimana bersikap wajar. Airmata berjatuhan ke tanah yang kering menjadi
retakan-retakan seperti kakinya yang tak beralas. Suara gelegar langit pertanda
hujan akan tiba memacu kakinya untuk lebih keras lagi berlari. Dingin menghapus
peluh. Hingga tersimpuh di tepi sungai dekat sawah. Padi kering tumbuh disana,
tidak akan ada panen penduduk kampung Sosoran, pelosok Temanggung, kali ini.
Ia menoleh ke belakang. Jejak-jejak
kakinya masih terpahat di tanah. Sorot mata nyala seperti menemukan gambar. Sosok
mbah timbul tenggelam diantara padi-padi. Mbah terlihat semangat memangkas
rerumputan demi kambing. Kambing itu dibeli dari uang pemberian bapak dan mamak
setelah satu setengah tahun menjadi buruh pabrik di Jakarta.
Pak Tukul, tetangga rumah yang seorang
guru Sekolah dasar menyampaikan kiriman wesel kepada mbah. Beberapa hari
setelahnya foto dan surat juga ikut dikirim. Ia dan mbah ternganga karena kurang
mengenali wajah bocah perempuan kecil yang ternyata adiknya telah tumbuh cantik
dan berpipi gembul. Mbah sering sesunggukan saat guru dengan kumis lebatnya itu
membacakan kalimat-kalimat berita dan rindu dalam surat. Setelah itu mbah
membisikkan nasihat.
“Nduk, kamu harus pinter sekolah, jadi
pegawe. Bapak dan mamak bekerja ke Jakarta biar kamu dan adikmu bisa sekolah.”
Memang uang kiriman bapak dan mamak
tidak pernah absen setiap bulan, tapi harus digunakan untuk makan, biaya
sekolah, uang jajan, biaya listrik, iuran kumpulan warga, belum lagi kondangan,
melayat, dan tilek
bayi yang dalam seminggu bisa sampai empat kali.
***
Air sungai yang disentuh jemari
tangan kanan bocah perempuan itu membangunkannya dari lamunan. Rintik-rintik
hujan juga mulai menyentuh tubuh yang terbungkus tulang. Gigil merayap dari
kaki hingga ubun-ubun kepala. Kali ini sedikit lelah terhadap kecamuk yang
terpendam. Ia ingin pulang ke rumah tua milik mbah. Mengulangi kejadian-kejadian
biasa yang dihabiskan bersamanya. Membakar ubi dan tales yang diambil dari sawah
satu-satunya peninggalan kakung
sebelum dulu menghadap Tuhan karena batuk sepanjang tahun dan mengeluarkan
darah. Atau bermain ayunan yang dibuatkan mbah dengan selendangnya, di dua
pohon belimbing yang tumbuh di halaman rumah. Ia akan terlelap di ayunan itu sambil
mendekap boneka lusuh satu-satunya. Lalu terbangun ketika mbah pulang dari merumput
meski terkadang diputuskannya berlari menyusul mbah di sawah.
Sampai di rumah, mbah akan segera
memandikan cucunya dengan air hangat. Air itu dimasak dalam kendil di atas api
yang nyala dari batang pohon cabai dan jagung yang kering di jemur juga bambu.
Sabun warna biru yang berukuran besar dan keras seperti balok kecil juga selalu
menjadi andalan untuk mengharumkan badan saat mandi.
Dihadapan cermin, mbah segera menyisir
rambut panjang cucunya sambil menyanyi, begitu syahdu. Tapi lirik lagu yang
dinyanyikan sering salah, terkadang terlihat disengaja. Bocah perempuan itu
akan tertawa girang. Rumah berlatar sepi itu akan menciptakan ramai dan
meredakan sunyi.
Kesunyian tidak akan didapat bocah
perempuan itu di sekolah. Asik bermain perosotan dan bercanda dengan teman baik,
midah namanya. Sesungguhnya, ia tidak tahu mengapa harus sekolah dan belajar. Yang
diketahui hanya jawaban agar jadi pintar dan kelak menjadi pegawai bahkan
dokter bukan bodoh dan buruh tani, begitulah nasehat mbah sebelum berangkat
sekolah,terngiang dikepalanya seperti sebuah hafalan.
Mbah selalu mengantar dan menjemput ke
sekolah. Ketika jam pelajaran berlangsung biasanya mbah tengah merumput di
sawah atau menjadi buruh bayaran, memetik cabai atau tembakau milik tetangga
kampung ketika panen. Uang yang dihasilkan tidak seberapa dibandingkan dengan
peluh yang mengalir di sela-sela caping yang dikenakannya, dan peluh dari
rongga kulit punggungnya yang bungkuk, yang membuatnya berjalan sedikit
tergopoh-gopoh. Namun semangat mbah tetap kokoh seperti tiang bendera dari bambu
yang tegak berdiri di lapangan sekolah Taman Kanak-Kanak Darmawanita.
Terkadang ketika suara bel istirahat
berbunyi tidak hanya para murid yang langsung berlari keluar kelas dan berebut
bermain perosotan, satu-satunya permainan yang ada. Bu Guru Seneng, guru
satu-satunya di sekolah akan sibuk ke kamar mandi, berganti pakaian lengan
panjang dan mengenakan caping seperti mbah. Segera merumput di sawah belakang
sekolah hingga jam istirahat berakhir dan berganti pakaian seragam abu-abu kembali.
Guru perempuan dengan rambut yang selalu di gelung
itu memberikan pelajaran mengenal huruf dan angka. Pelajaran yang sudah tiga
tahun lamanya diulang-ulang dan diajarkannya pada murid yang tidak lebih dari tujuh
jumlahnya.
***
|
(dimuat dalam Harian Joglosemar ) |
Bocah perempuan itu suka sekali dengan
susu kemasan. Kata mbah, kegemarannya itu dimulai sejak mamak tidak dapat
menyusuinya. Entah kenapa tubuh mamak kurus sekali bahkan dokter Puskesmas
mengatakan kalau mamak kekurangan gizi dan payudaranya tidak dapat memproduksi
kelenjar susu secara baik. Mamak tentu tidak dapat menyusui anak perempuan
pertamanya yang lahir saat kandungan belum genap tujuh bulan. Alhasil si sulung
itu dijuluki anak sapi oleh tetangga karena minum susu kemasan seperti para
anak piyayi.
Dulu ketika masih bayi, tubuhnya berwarna
biru. Kedua telinganya sering mengeluarkan darah. Kata mbah Botok, seorang dukun
bayi ternama di kampung, kalau si bayi akan terus sakit-sakitan karena
keberatan nama bahkan mbah yang selalu mengunyah sirih itu menyarankan bapak
dan mamak untuk mengubah namanya menjadi Botok. Tentu saja wajah bapak memerah
menahan kesal.
“Ringgana itu nama yang bagus mbah, saya
dapatkan dari bertapa suci di gunung Sumbing, selama tiga hari tiga malam tanpa
makan. Lalu dalam mimpi saya bertemu dengan kakek yang penuh dengan jenggot
putih. Tersenyum menghampiri saya dan langsung mengucap “Ringgana”. Jadi anak
saya tidak mungkin keberatan nama.”
***
Suara takbir menggema dari langgar
dekat rumah bu Nyai. Seruan kepada Gusti Allah dibawakan para santri melalui
pengeras suara dan hinggap di rumah-rumah penduduk, menyelinap ke kampung
sebelah dan sepanjang sawah. Terus mengalun sampai pada isak tangis dan jerit.
Suara mbah semakin parau, air mata mamak pun jatuh dan meresap di gaun merah
milik anak bungsu yang digendongannya. Bapak beserta pak Bayan turun ke sungai
dan menggendong bocah perempuan. Tubuhnya beku diselimuti kabut penjemput
malam.
Obor yang dibawa para tetangga mencoba
menawarkan hangat dan cahaya, meski tidak seberapa, dan tak mampu menembus kelu
dalam batin mbah dan bocah yang tengah tidak sadarkan diri itu. Ia terpeleset
dari jembatan bambu yang licin dibanjiri hujan dan sungai yang tiba-tiba deras.
Kepalanya terantuk batu dan mengeluarkan darah. Suara panik mencakar relung dada sampai angkasa.
“owalah nduk nduk tak kira masih di
kamar malah udah kabur. Baru mau diiming-imingi baju dan sepatu baru biar mau
ikut mamak dan bapaknya ke Jakarta biar sekolahnya nambah ndak TK terus.”
dengan gemetaran mamak bercerita pada istri pak Bayan yang berjalan
disampingnya menuju rumah.
***
Bocah perempuan itu menembang bersama
mbah. Sembari tangan perempuan tua dan bungkuk itu dengan begitu kasih menyisir
rambut cucunya. Persis seperti biasanya di depan cermin. Si bocah tersenyum dan
menahan sesak tangis yang tertahan saat terlintas dipikirannya nama Jakarta.
Mimpi pun pecah ketika mbah membangunkannya.
Ia telah terbaring di amben dan demam tinggi. Batinnya berontak, tidak ingin
membuka mata.
“Kamdulilah” ucap mbah, bapak, dan mamak.
***
Yogyakarta, 8 Desember 2013 (Dimuat dalam harian Joglosemar pada 2014)