Senin, 28 November 2016

Cerpen “Rusmi Ingin Pulang” Karya Ahmad Tohari: Kajian Kritik Sastra Feminis oleh Nila Mega Marahayu

                                                                                                      ABSTRAK
            Makalah ini membahas cerpen “Rusmi Ingin Pulang” sebagai objek material. Permasalahan mengenai perempuan masih saja terjadi hampir di seluruh dunia dan bukanlah perkara mudah dalam mengubah dominasi patriarki yang telah melekat dalam masyarakat, dari pemikiran maupun perlakuan, baik dari sudut pandang laki-laki bahkan perempuan itu sendiri. Dalam cerpen RIP, pandangan masyarakat kampung terhadap perempuan berstatus janda, muda dan cantik, serta bekerja di luar kota sebagai masalah. Tokoh Rusmi pun mendapatkan keterasingan ketika akan pulang ke kampung halaman.
Makalah ini menggunakan teori kritik sastra feminis sebagai pisau analisis untuk mengkaji tentang perempuan dalam karya sastra. Permasalaham mengenai perempuan diangkat ke permukaan untuk diketahui masyarakat luas yang bertujuan untuk mengubah pemahaman sosial budaya masyarakat pembaca. Kritik sastra feminis ini terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan perempuan dalam mensosialisasikan isu feminisme.
            Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana perempuan dipandang di dalam masyarakat, sehingga pandangan tersebut mempengaruhi eksistensi perempuan.
            Nilai-nilai yang mendasari pandangan masyarakat terhadap perempuan, yaitu (1) Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2) Perempuan sebagai pasivitas Feminin, (3) Perempuan Dianggap Mahkluk Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai Inferior.
Kata kunci: perempuan, budaya patriarki, kritik sastra feminis

  I.            PENDAHULUAN
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Budaya patriarki telah membawa perempuan dalam situasi sebagai “liyan” dalam lingkungan masyarakat. Perempuan selalu menempati posisi sebagai objek, sehingga perempuan berada dalam situasi sulit dan tidak merasakan kebebasan sebagai manusia yang ada untuk dirinya. Sesungguhnya keadaan ini menggambarkan bahwa “perempuan” masih dijadikan masalah dalam aspek kehidupan di hampir seluruh masyarakat dunia.
Kemunculan kritik feminis sebagai ilmu yang bertujuan mendekonstruksi pandangan masyarakat yang telah dilekati oleh budaya patriarki untuk memandang perempuan sebagai bagian dari cultur dan tidak lagi menempatkan perempuan sebagai the second other, yang tentu saja mempengaruhi posisi atau peranan perempuan, baik dalam dirinya maupun lingkungan masyarakat. Permaslahan perempuan masih akan menjadi pekerjaan rumah, meskipun sastra melalui karya-karyanya mencoba untuk berpartisipasi dalam masalah kesetaraan gender. Terbukti dengan lahirnya karya-karya perempuan yang berbicara perempuan maupun karya-karya maskulin yang membicarakan perempuan yang mendukung pada emansipasi.
CerpenRusmi Ingin Pulang”–kemudian disingkat RIP, merupakan cerpen karya Ahmad Tohari yang mencoba turut berbicara mengenai problematika perempuan dan tidak lahir dari kreativitas perempuan –ditulis oleh seorang laki-laki, tetapi Ahmad Tohari membuat sebuah karya sastra yang merangkum kehidupan perempuan dan mencoba memandang dari sudut pandang perempuan maupun kolektif masyarakat yang memandang dunia perempuan. Dalam RIP menggambarkan realitas dunia perempuan dari sudut pandang kolektif yang tanpa disadari dipengaruhi maupun mempengaruhi eksistensi perempuan. Kesulitan-kesulitan perempuan, yang hadir dipengaruhi oleh budaya patriarki yang begitu melekat dalam masyarakat.
Cerpen RIP terdapat dalam buku kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2013. RIP juga pernah dimuat dalam kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang terbitan Matahari Jogjakarta pada 2004. RIP menggambarkan dunia perempuan yang tidak mendapat tempat di hati masyarakat dan mendapatkan perlakuan berbeda karena Rusmi –yang merupakan tokoh utama dalam cerpen tersebut berstatus janda dan bekerja di luar kota. Segala tingkah laku Rusmi, seorang ibu beranak dua ini secara tidak disadarinya telah menggelisahkan masyarakat. Eksistensi Rusmi yang menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya atau menjadi perempuan mandiri dengan kerja keras di kota menjadikan masyarakat kampung memandang Rusmi sebelah mata. Hal ini terlihat jelas dalam alur yang dikisahkan oleh Ahmad Tohari dengan kegelisahan ayah Rusmi ketika mendapati surat bahwa Rusmi ingin segera pulang ke kampung halaman, tetapi masyarakat kampung menggunjingkan segala tingkah laku Rusmi sebelah mata dan berencana menolak kedatangan Rusmi ke kampung.
Kritik sastra feminis merupakan kritik yang meliputi penelitian tentang bagaimana wanita digambarkan dan bagaimana potensi yang dimiliki wanita ditengah kekuasaan patriarkhi dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40-50). Sebagaimana Culler (1983:43-63) menambahkan bahwa dalam hubungannya dengan teks sastra yang dibaca ia memberikan konsep bagaimana jenis kelamin menentukan makna yang direbutnya. Ia memperkenalkan konsep reading as woman atau mambaca sebagai perempuan. Artinya bahwa ada suara perempuan yang harus didengarkan dari pembacaan tersebut; bahwa seorang perempuan mampu membaca sebagai dirinya; bahwa perempuan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan juga dan bahwa perempuan mengarang sebagai perempuan.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu untuk menjawab pertanyaan: bagaimana nila-nilai masyarakat dalam memandang perempuan dalam cerpen RIP dari sudut pandang kritik sastra feminis.

  II.          PEMBAHASAN
Isu-isu perempuan melalui karya sastra dapat diangkat ke permukaan untuk diketahui masyarakat luas dengan maksud untuk mengubah pemahaman sosial budaya masyarakat pembaca. Dengan tujuan, gerakan feminis dapat menciptakan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, serta adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan membebaskan (Anderson,1983:64). Disamping itu, berbicara gender sesungguhnya juga berbicara perbedaan perilaku perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial. Oleh karena menurut Fakih (1997:72-73) pandangan  tentang gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Tidak terlepas dari pandangan tersebut, pada pembahasan ini akan dianalisis mengenai bagaimana eksistensi Rusmi sebagai tokoh utama perempuan yang tidak mendapati kebebasan kolektif karena predikat janda. Dalam mempermudah pembahasan, maka dilakukan klasifikasi yang sekaligus membuktikan adanya wujud penting tentang pandangan konstruksi sosial terhadap perempuan dalam cerpen RIP sebagai berikut.
1)        Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat
Stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise, diartikan pula sebagai konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Berjalannya waktu telah membawa isu atau keyakinan yang telah menjadi Kultur dalam suatu masyarakat tentang perempuan. Melalui eksistensi dalam lingkungan, perempuan mampu menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu di bawah laki-laki, perempuan dapat berperan setara bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki. Peranan tersebut merupakan dekonstruksi dari proses sosial dan kultural yang panjang. Budaya tersebut telah menempatkan perempuan sebagai kelas bawah laki-laki.  Pada cerpen RIP hal tersebut tergambarkan sebagai berikut.
Perbedaan gender yang menjadikan perempuan dan laki-laki memiliki nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat, terlihat pada tokoh utama perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak adil karena bernasib sebagai perempuan berpredikat janda. Betapa kehadiran laki-laki disamping perempuan sebagai pencapaian tujuan kolektif, sehingga ketika perempuan berdiri sendiri sebagai seorang manusia yang bebas menjalani kehidupan akan mendapati tuntutan kolektif. Perepuan yang tidak berada pada posisi sesuai harapan kolektif akan mendapatkan keresahan bagi dirinya bahkan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
 “Pak RT memang tahu warga di lingkungannya suka bergunjing tentang Rusmi. Kabar burung dan berita miring tentang janda muda itu beredar dari mulut ke mulut, terutama di kalangan perempuan” (MYED,2013:111). 
 “Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
2)        Pasivitas Feminin
Feminin merupakan bersifat kewanitaan. Sifat kewanitaan tersebut meletakkan pada posisi perempuan yang bersifat lemah, penakut, mudah menangis, pasif dan sebagainya. Sifat tersebut menjadi pandangan pada simbol ketidakberdayaan perempuan (Udasmoro,2009:35). Perempuan dapat berlaku tidak pasivitas feminin, yaitu kecenderungan menempatkan perempuan sebagai objek yang pasif sementara laki-laki sebagai subjek yang aktif. Perempuan selama ini telah terkonstruksi dalam stereotip yang meletakkannya pada posisi lemah dan tidak berdaya. Perempuan lemah dan laki-laki kuat, hal ini membuat pandangan bahwa perempuan tidak dapat menjadi manusia yang bebas, damai, dan berdaya hidup tanpa kehadiran laki-laki.
Keadaan perempuan tersebut tergambarkan dalam tokoh utama perempuan dalam RIP. Bahwa tidak melulu perempuan berada pada kepasivan dengan ketidakberdayaan dan rasa takut. Terdapat situasi yang menuntut Rusmi untuk berani mengambil keputusan bekerja ke luar kota demi kelangsngan hidup anak-anaknya serta kedua orang tuanya. Selain itu, keberanian Rusmi untuk tetap di kampung sepulang bekerja bertahun-tahun di kota dan menikah dengan laki-laki yang baik, sehingga membuat sebagian masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata bahwa dirinya bukanlah wanita panggilan. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan cerpen RIP sebagai berikut. “Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya Rusmi menyerah. Suatu hari Rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota” (MYED,2013:115).
3)        Perempuan Dianggap Mahkluk Konfliktual
            Dalam pandangan masyarakat bahwa tubuh maupun moralitas perempuan haruslah dikontrol karena dapat merusak atau menjadi permasalahan sosial dan kultural yang ada. Bahkan, tubuh dan moralitas perempuan secara natural pun sudah dianggap sebagai entitas yang konfliktual (Udasmoro,104). Pada cerpen RIP, Rusmi yang seorang janda memiliki tubuh yang menarik sehingga sering digoda lelaki serta pandangan warga kampung yang menganggap bahwa pekerjaan Rusmi di kota adalah wanita penghibur. Dalam kepulangan Rusmi ke kampung, masyarakat menolak kedatangannya sekalipun menerima, ia selalu menjadi pusat perhatian dan pergunjingan. Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai mahkluk konfliktual bagi masyarakat karena menimbulkan keresahan. Sesungguhnya tanpa disadari bahwa perempuan sebagai mahkluk penuh konflik tidak hanya berlaku bagi Rusmi tetapi juga bagi warga kampung perempuan yang menggunjingkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut. “Tetapi banyak lelaki iseng menggodanya.Rusmi mengaku tak udah digoda karena terbiasa hidup gampangan” (MYED,2013:116).
 “Banyak orang terutama perempuan ingin tahu, apa yang berubah dari diri janda itu. Dan mereka menemukannya. Pakaian Rusmi lebih bagus, ada gelang dan cincin permata ditangannya...” (MYED,2013:115)
4)        Perempuan Sebagai Agen Reproduktif
Tuntutan atau permintaan kolektif masyarakat terhadap perempuan berfungsi sebagai satu pandangan bagi perempuan yang tidak memiliki aspek yang diharapkan. Hal ini menempatkan perempuan pada ketidakbebasan karena harus terkontrol oleh kolektif. Padahal sesungguhnya, perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki kebebasan sebagai manusia dalam bertanggungjawab atas hidup dan menempatkan diri pada posisinya sebagai manusia dan meletakkan seluruh tanggung jawab hidupnya di pundak sendiri. Hal ini sejalan dengan Beauviour ( 2003: 208) bahwa manusia bukan benda mati yang tujuan keberadaannya ditentukan oleh manusia lain. Manusia adalah pengada bebas yang mampu menentukan dirinya sendiri dengan mentransendensi segala sesuatu yang membatasi dirinya. Namun, Beauviuor mengakui pentingnya kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain menjadikan manusia keluar dari imanensinya dan memenuhi eksistensinya, serta membentuk dirinya
Pada kenyataannya, perempuan tidak hidup sebagai manusia yang bebas, tidak dapat memenuhi eksistensinya serta membentuk dirinya. Kehadiran perempuan sebagai sarana pencapaian tujuan kolektif, sehingga perempuan seringkali dijadikan “liyan” apabila berbenturan dengan tuntutan masyarakat, misalnya perempuan yang tidak menikah atau bestatus janda. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Namun, cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi”(MYED,2013:116).
5)        Perempuan Sebagai Inferior
Bagi kaum feminis keadaan inferior merupakan keadaan yang distereotipkan untuk kaum perempuan, sedangkan laki-laki adalah kaum superior. Dalam hal ini, kaum feminis menginginkan perubahan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Perempuan harus lepas dari pengaruh kekuasaan laki-laki. Dalam pandangan Fakih (1997:71-72) bahwa gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Stereotip perempuan sebagai yang lemah dan pasif mencoba untuk didekonstruksi oleh penulis melaui cerpen RIP. Penulis mencoba menggambarkan karakter perempuan yang tidak selalu pasif dalam kefiminiannya. Kisah perjuangan sebagai superior, yaitu perempuan yang berdaya dan tidak begitu saja menyerah pasrah pada nasib telah ditunjukkannya melalui ketidakputusasaan dalam menjalani hidup ketika suami meninggal dunia. Rusmi melanjutkan kehidupan dengan bekerja sampai di kota demi keberlangsungan hidup kedua anaknya dan orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Hidupnya terasa oleng.Bila terpandang mata kedua anaknya yang masih kecil,tak bisa tidak rusmi menangis. Bagaimanakah hidupku, besok, lusa, dan seterusnya” (myed,2013:115).
“Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya rusmi menyerah. Suatu hari rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota. Kedua anaknya ditinggal bersama kakek-nenek mereka” (myed,2013:115).
“Kepada emaknya rusmi mengaku bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan. Gajinya lumayan. Apalagi rusmi di asrama makan sehingga tidak keluar uang untuk sewa makan” (myed,2013:115-116).
Selain itu, perempuan juga mampu melawan dunia patriarki yang mengimajikan perempuan sebagai yang lemah dan pasrah pada keadaan. Dalam diri Rusmi, refleksi perempuan tersebut telah didekonstruksi sebagai perempuan yang kuat, sabar, serta tangguh dalam bekerja sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Rusmi tidak melakukan hal-hal di luar norma-norma masyarakat, meski tanpa disadarinya, gerak-geriknya menjadi bahan pergunjingan di kampung halaman, bahkan rumor terdengar bahwa rusmi bekerja sebagai wanita penghibur di kota Surabaya dan Jakarta. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Konon seseorang pernah melihat rusmi bersama lelaki. Dan yang paling seru adalah pengakuan seseorang yang konon mendengar cerita Rusmi telah menjadi penghuni kompleks pelacuran” (MYED,2013:111)
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Gaya hidup yang merupakan refleksi dari karakter tokoh utama dengan melakukan perlawanan halus terhadap dunia patriarki mengalami hambatan dari budaya yang telah melekat dalam masyarakat, yaitu stereotip perempuan lemah yang digambarkan dengan perempuan berstatus janda dan perempuan bertubuh cantik. Tetapi, Rusmi mampu menunjukkan dan masyarakat melihat bahwa Rusmi masih sebagai perempuan kampung yang baik dengan tidak melanggar norma-norma masyarakat, bertanggung jawab terhadap kedua anak dan orang tuanya serta mampu berekonomi lebih baik, serta kehadiran laki-laki –duda muda besikap baik, mapan, dan santun akan melamar Rusmi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.“Namun, cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi”(MYED,2013:116).
III.              SIMPULAN
            Perubahan terhadap stereotip perempuan dari pandangan masyarakat merupakan pekerjaan yang masih harus terus diperjuangkan. Perjuangan perempuan semata-mata untuk mendapatkan kedudukan yang sama baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Selain itu untuk menjadikan diri perempuan sebagai diri yang bebas atau merdeka dari segala bentuk stereotip sebagai mahluk inferior dalam pandangan masyarakat yang terkonstruksi budaya patriarki. Perempuan telah dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
            Adapun dari analisis yang perlu dicatat dalam cerpen RIP adalah cara pandang masyarakat terhadap perempuan sehingga menentukan posisi perempuan dalam masyarakat, diantaranya karena nilai-nilai sebagai berikut: (1) Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2) Perempuan sebagai pasivitas Feminin, (3) Perempuan dianggap Mahkluk Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai Inferior.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Margaret. 1983. Thinking About Woman; Sociology Feminist Perspective. New York: Macmillan Publishing. Co., Inc.
Beauvoir, Simone De dkk. 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Fakta dan Mitos diterjemahkan oleh Tony B. Febriantono) Jilid I. Surabaya: Pustaka Promethea.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Kehidupan Perempuan diterjemahkan oleh Tony B. Febriantono) Jilid II. Surabaya: Pustaka Promethea.
Beauvoir, Simone De. 1976. The Ethics of Ambiquity. New York: Citadel Press.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction Theiry And Criticsm After Structuralism. London And Henley: Routledge And Kegan Paul.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Risman, Yunita El. 2013. “Solidaritas Perempuan  dalam  Novel Out (オウト) Karya Natsuo Kirino: Tinjauan Feminisme”. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Rokhyanto. 2003. “Jender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Rutven, K.K. 1984. Feminist Literary Study; An Intriduction. Cambridge: University Press.
Sartre, Jean – Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme (terj. Yudhi Murtanto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, Ahmad. 2013. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Udasmoro, Wening. 2009. Pengantar Gender dalam Sastra. Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Umar, Nasarudin.2001. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Catatan: Makalah ini dijadikan sebagai makalah pendamping dalam Seminar Nasional PIBSI 2016
                di Solo Hotel Brothers

Rabu, 18 Mei 2016

Cerpen "Kopi dan Kenang-Kenang dalam Botol" (oleh Nila Mega Marahayu)



            Bulir-bulir air menetes dari sela-sela genting. Payung biru laut dalam genggaman masih mengatup dan enggan dibuka. Sebab aku tahu, lebatnya hujan sepanjang hari ini tak mampu melindungi tas punggung berisi buku paket kelas enam sekolah dasar, yang belum lunas dibayar. Entah bagaimana juga kabar sepedaku yang telah sendirian di parkiran. Petir menunjukkan kekuasaan dengan kilatan tajam menggores sisi langit, menggaungkan suara ngeri sampai perut bumi. Dalam hujan yang mencekam seperti hati, aku mengacuhkan tubuh yang gemetar. Mata menyapu sekeliling sekolah, tak ada lagi siapa pun di sini, selain aku.
            Mobil hijau pudar masuk ke pekarangan sekolah. Nah, itu ibu dan bapak datang menjemput. Bapak yang menyetir mengulurkan payung ungu muda pada ibu, sebelum kakinya keluar dari pintu mobil dan menginjak bumi manusia yang basah ini. Dengan sandal kondangan cokelat kayu yang mulai mengelupas, ibu mantap penuh belas menghampiri di depan pintu kelas yang telah terkunci.
Tidak, ternyata aku tengah bermimpi di hujan lebat. Seperti kemarin, pasti bapak dan ibu sedang sibuk bertengkar di rumah, meributkan apa saja dan melupakan apa saja. Melupakan terik atau hujan dibalik jendela, melupakan cinta, kakak, dan aku, barangkali. Termasuk perasaan takut yang merasuki mimpi setiap malam. Sedang aku tak bisa kemana-mana, selain berdiam menikmati dada yang belakangan ini sering terasa sesak. Seharusnya aku tidak hanya bertanya pada botol berisi serbuk kopi dan cinta yang ku miliki. Seharusnya, aku sempatkan juga bertanya pada Syafira, teman sebangku: “Apakah sesak nafas ataukah cinta yang rasanya sesakit ini?”
***
            Pada selepas subuh yang dingin. Seperti biasa, aku melihat bapak duduk di kursi rotan. Sudah sejak aku bayi, kursi itu ada di ruang keluarga sempit ini. Anyaman rotan itu sudah serabutan seperti kain yang dilumat tikus. Ajaibnya, bapak selalu setia mendudukinya sampai malam memakan pagi. Meja rotan bertengger di sisi kiri kursi dilengkapi gelas berisi kopi dan asbak yang dipenuhi puntung rokok di atasnya. Singgasana rotan itu selalu menciptakan ruang imaji. Bapak mendapati ide-ide. Kali ini, melukis sehelai daun jambu.
Kuas dicelupkan ke dalam cat minyak, yang rumit sekali prosesnya jika aku melihat bercak warna yang bercampuran satu sama lain. Hingga malam-malam selanjutnya, bapak masih saja bersibuk dengan warna daun jambu dan lupa mengurus tubuh kurusnya.
Setiap dering telepon memanggil-manggil, aku dan ibu sigap mengangkatnya. Kalau suara di seberang telepon begitu lirih menyimpan kerinduan, aku senang sekali karena penelpon itu ialah kakak dari seberang kota yang kini tinggal dengan keluarga Paman Mitro. Tetapi, jika suara itu dari si penagih hutang, jelas baralamat celaka.
“Pak, ada telepon dari Pak Suryo” ku lembutkan suara dan menyampaikan dengan rasa was-was. Terkadang jika wajah bapak terbaca sedang kalut, dipukulnya kepalaku dengan kuas di tangannya.
***
            Suara dengkur meraung ke dinding-dinding ruang. Begitu pulas tidur bapak di kursi rotan ditemani puntung rokok dan ampas-ampas kopi di gelas yang mulai mengerak. Aku merindui belaian tangan kanannya dan kecupan dikeningku sebelum berangkat sekolah.
Bapak terkejut dari tidur, saat aku berdiri di depannya. Matanya merah dan nyala. Meski gemetaran, aku ulurkan tangan untuk pamit. Topi merah berlambang garuda pun direbut bapak dari kepalaku yang sudah rapi rambutnya. Rapi dikuncir kuda oleh ibu sehabis diusapi minyak jelantah ke rambut sampai klimis dan dihiasi pita merah. Ibu menyisiri rambutku dengan bibir bengkak dan pipi kiri dipenuhi darah yang menggumpal dalam kulitnya. Ibu tidak berkata sepatah pun, begitu pula aku. Dibalik kesunyian, ada gemuruh dalam dada kami.
Air kencing nyaris menembus rok merah yang sudah disetrika sendiri semalam seusai mengerjakan tugas persiapan ujian nasional bahasa Indonesia. Tidak dapat dijelaskan ngerinya sorot mata, kerut dahi, dan urat-urat tangan bapak, yang dengan sengitnya, ah tidak, dengan sayangnya, menyabet wajahku dengan topi itu.
            “Cepat berangkat keburu siang!” teriak ibu dari dapur diiringi bunyi panci yang murus –air sudah mendidih.
            “Ya!” aku teriak menyahut setelah beberapa saat mematung seperti karya patung atau lukisan buatan bapak. Tentu dengan suara cukup parau.
Seketika aku melesat, berlari melewati bapak dan pintu rumah. Sepeda kuajak juga berlari, kukayuh kuat-kuat meski sesekali rantainya lepas dan oli hitamnya menggambar-gambar di rok merahku.
Sampailah di persimpangan jalan –berhenti sejenak. Aku menata nafas yang terburu, ada getir menyusup dada dan terasa sangat aduh saat punggung tangan menyeka pipi yang tiba-tiba dibasahi air mata. Begitu sakit tenggorokan menahannya. Sedang burung-burung yang bertengger di kabel-kabel listrik menyapa pagi dengan bebas dan riang. Aku sempat amati, sekawanan burung itu menyapa: “Sudah, jangan nangis!”
***
            Awan kelabu menyelimuti matahari, langit kebiruan berubah menguning emas, semakin ke barat semakin menjadi nila, lalu berpendar jadi hitam pekat di langit-langit. Mata sesekali melalang buana ke arah luar jendela kamar, yang memantulkan angan-angan. Aku betul-betul tengah sendirian sekarang, segera ku ambil botol yang ku isi serbuk kopi dan cinta dari tas punggung sekolah. Segera botol itu ku letakkan baik-baik di ranjang.
            Setiap aku memandang, botol itu melukiskan kenang-kenang masa kecil yang riang dan penuh cinta. Serbuk kopi yang ada di dalam botol selalu mengimbangi tentang manis dan pahitnya kehidupan. Ya, di sana ada bapak yang senantiasa mendongeng ala dalang dengan boneka beruang merah jambu yang tangannya digerakkan seperti wayang golek. Suaranya bisa berubah-ubah, lucu sekali, hingga tawaku pecah ke udara.
Jika hari menjelang senja di beranda rumah, aku terkantuk-kantuk dalam pangkuan bapak sedang kakak bersandar pada bahu ibu. Wajah yang cerah dan mulut seperti berbusa-busa, bapak tidak henti bercerita tentang mendiang eyang putri dan kakung di kampung. Sesekali ibu memagut dan ikut menyahut sambil menoleh ke balik sisi pintu yang terbuka, memandangi lukisan mertuanya yang terpajang di dinding rumah. Suasana itu menjadi begitu melankoli sekarang.
Kopi hangat buatan ibu selalu menemani kami bermesra pada waktu. Apalagi, ketika gerimis datang seolah hujan dan wangi kopi dalam cangkir itu melengkapi suasana penuh cinta. Ya, hujan, kopi, dan cinta. Sampai suara adzan mendayu-dayu dibawa angin. Lekas bapak menuntun kami sembahyang dan mengaji ayat-ayat Tuhan.
Ah, semenjak bos-bos bapak sudah sangat jarang memesan karya bapak dan menunda-nunda pembayaran. Mobil tua kesayangan bapak pun lenyap dari rumah. Pertanda semua telah berubah. Bapak menjadi rajin memarahi dan menjambak rambut ibu. Selain rajin menangis, ibu juga sering mengeluh pada bapak karena tidak memiliki uang.
***
            Rumput ilalang tumbuh subur di lapangan belakang sekolah yang telah lama ditinggalkan dan tidak difungsikan. Aku jamahi lapangan itu sepulang sekolah sambil menuntun sepeda. Terbayang sudah Ibu akan mengunciku di kamar mandi dan bapak memukul kepalaku lagi dengan benda apa saja di tangannya, jika tahu tugas matematika dapat nilai empat. Di ruang guru tadi, wali kelasku, Bu Mega sempat bertanya-tanya.
            “Tiga bulan lagi ujian nasional, ibu perhatikan nilai-nilaimu semakin turun. Ada apa?” kata ibu berjilbab merah marun itu dengan dahi yang berkerut dan mata yang terpancar tengah menerka-nerka jawaban.
            Keresahan begitu tertahan di wajahku. Bu Mega kembali mengulangi pertanyaannya sampai empat kali, tetapi aku tergagap dan mati kata. Ibu bertubuh tambun itu beranjak dari kursi dan mendekati. Tangannya mengusap lembut punggungku. Tangisku justru jatuh semakin luruh dan menjadi-jadi. Sepertinya, aku betul-betul merindui dekapan yang syarat cinta ini. Barangkali, tidak ada cinta yang tidak pernah menciptakan ngilu. Ngilu yang terus menikam-nikam ulu hati. Setelah semalam ibu berani melawan bapak, tadi pagi ibu memutuskan untuk berdamai dengan bapak dalam perceraian.
***
Sepeda terhempas ke bumi sebelum aku. Di depan garasi rumah seluruh tubuh gigil membeku, nyawaku lepas seiring keringat yang mengalir lebih deras dari hujan. Mata yang kian meredup ini menyaksikan Bu Rumi dan empat orang tetangga lainnya begitu gaduh di beranda rumah. Mereka menggotong dan memasukkan ibu yang masih memakai daster batik itu ke dalam mobil.
 “Rumah sakit Nirmala yang paling dekat Pak!”. Rupanya, ibu yang telah digunduli kepalanya semalam oleh bapak, telah menyerahkan cinta pada sebotol obat nyamuk.


***

Purwokerto, 14 Febuari 2016, 23:10




(Cerpen ini pernah menjadi juara III dalam Lomba Cerpen Bertema Hujan, Kopi, dan Cinta diselenggarakan oleh Inspirator Akademi Purwokerto).