ABSTRAK
Makalah
ini membahas cerpen “Rusmi Ingin Pulang” sebagai objek material. Permasalahan
mengenai perempuan masih saja terjadi hampir di seluruh dunia dan bukanlah
perkara mudah dalam mengubah dominasi patriarki yang telah melekat dalam
masyarakat, dari pemikiran maupun perlakuan, baik dari sudut pandang laki-laki
bahkan perempuan itu sendiri. Dalam cerpen RIP, pandangan masyarakat kampung
terhadap perempuan berstatus janda, muda dan cantik, serta bekerja di luar kota
sebagai masalah. Tokoh Rusmi pun mendapatkan keterasingan ketika akan pulang ke
kampung halaman.
Makalah
ini menggunakan teori kritik sastra feminis sebagai pisau analisis untuk
mengkaji tentang perempuan dalam karya sastra. Permasalaham mengenai perempuan
diangkat ke permukaan untuk diketahui masyarakat luas yang bertujuan untuk
mengubah pemahaman sosial budaya masyarakat pembaca. Kritik sastra feminis ini terhadap karya
sastra digunakan sebagai materi pergerakan perempuan dalam mensosialisasikan
isu feminisme.
Tujuan
dari analisis ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana perempuan dipandang di
dalam masyarakat, sehingga pandangan tersebut mempengaruhi eksistensi
perempuan.
Nilai-nilai
yang mendasari pandangan masyarakat terhadap perempuan, yaitu (1) Perempuan
sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2) Perempuan sebagai pasivitas
Feminin, (3) Perempuan Dianggap Mahkluk Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen
Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai Inferior.
Kata kunci: perempuan, budaya patriarki,
kritik sastra feminis
I.
PENDAHULUAN
“Jadilah
Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada
pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi
seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Budaya patriarki telah membawa
perempuan dalam situasi sebagai “liyan” dalam lingkungan masyarakat. Perempuan
selalu menempati posisi sebagai objek, sehingga perempuan berada dalam situasi
sulit dan tidak merasakan kebebasan sebagai manusia yang ada untuk dirinya.
Sesungguhnya keadaan ini menggambarkan bahwa “perempuan” masih dijadikan
masalah dalam aspek kehidupan di hampir seluruh masyarakat dunia.
Kemunculan kritik feminis
sebagai ilmu yang bertujuan mendekonstruksi pandangan masyarakat yang telah
dilekati oleh budaya patriarki untuk memandang perempuan sebagai bagian dari cultur dan tidak lagi menempatkan
perempuan sebagai the second other,
yang tentu saja mempengaruhi posisi atau peranan perempuan, baik dalam dirinya
maupun lingkungan masyarakat. Permaslahan perempuan masih akan menjadi
pekerjaan rumah, meskipun sastra melalui karya-karyanya mencoba untuk
berpartisipasi dalam masalah kesetaraan gender. Terbukti dengan lahirnya
karya-karya perempuan yang berbicara perempuan maupun karya-karya maskulin yang
membicarakan perempuan yang mendukung pada emansipasi.
Cerpen “Rusmi Ingin Pulang”–kemudian disingkat
RIP, merupakan cerpen karya Ahmad
Tohari yang mencoba turut berbicara mengenai problematika perempuan dan tidak
lahir dari kreativitas perempuan –ditulis oleh seorang laki-laki, tetapi Ahmad
Tohari membuat sebuah karya sastra yang merangkum kehidupan perempuan dan
mencoba memandang dari sudut pandang perempuan maupun kolektif masyarakat yang
memandang dunia perempuan. Dalam RIP
menggambarkan realitas dunia perempuan dari sudut pandang kolektif yang tanpa
disadari dipengaruhi maupun mempengaruhi eksistensi perempuan.
Kesulitan-kesulitan perempuan, yang hadir dipengaruhi oleh budaya patriarki
yang begitu melekat dalam masyarakat.
Cerpen RIP terdapat dalam buku kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
RIP juga pernah dimuat dalam kumpulan
cerpen Rusmi Ingin Pulang terbitan
Matahari Jogjakarta pada 2004. RIP
menggambarkan dunia perempuan yang tidak mendapat tempat di hati masyarakat dan
mendapatkan perlakuan berbeda karena Rusmi –yang merupakan tokoh utama dalam
cerpen tersebut berstatus janda dan bekerja di luar kota. Segala tingkah laku
Rusmi, seorang ibu beranak dua ini secara tidak disadarinya telah
menggelisahkan masyarakat. Eksistensi Rusmi yang menjadi orang tua tunggal bagi
kedua anaknya atau menjadi perempuan mandiri dengan kerja keras di kota
menjadikan masyarakat kampung memandang Rusmi sebelah mata. Hal ini terlihat
jelas dalam alur yang dikisahkan oleh Ahmad Tohari dengan kegelisahan ayah
Rusmi ketika mendapati surat bahwa Rusmi ingin segera pulang ke kampung
halaman, tetapi masyarakat kampung menggunjingkan segala tingkah laku Rusmi
sebelah mata dan berencana menolak kedatangan Rusmi ke kampung.
Kritik
sastra feminis merupakan kritik yang meliputi penelitian tentang bagaimana
wanita digambarkan dan bagaimana potensi yang dimiliki wanita ditengah
kekuasaan patriarkhi dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40-50). Sebagaimana
Culler (1983:43-63) menambahkan bahwa dalam hubungannya dengan teks sastra yang
dibaca ia memberikan konsep bagaimana jenis kelamin menentukan makna yang
direbutnya. Ia memperkenalkan konsep reading
as woman atau mambaca sebagai perempuan. Artinya bahwa ada suara perempuan
yang harus didengarkan dari pembacaan tersebut; bahwa seorang perempuan mampu
membaca sebagai dirinya; bahwa perempuan menafsirkan karya sastra sebagai
perempuan juga dan bahwa perempuan mengarang sebagai perempuan.
Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu untuk menjawab pertanyaan:
bagaimana nila-nilai masyarakat dalam memandang perempuan dalam cerpen RIP dari sudut pandang kritik sastra
feminis.
II.
PEMBAHASAN
Isu-isu perempuan melalui karya sastra dapat diangkat ke permukaan
untuk diketahui masyarakat luas dengan maksud untuk mengubah pemahaman sosial
budaya masyarakat pembaca. Dengan tujuan, gerakan feminis dapat menciptakan
pola hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, serta adanya perubahan ke
arah yang lebih baik dan membebaskan (Anderson,1983:64). Disamping itu, berbicara
gender sesungguhnya juga berbicara perbedaan perilaku perempuan dan laki-laki
yang dikonstruksi secara sosial. Oleh karena menurut Fakih (1997:72-73)
pandangan tentang gender berubah dari
waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Tidak terlepas dari pandangan tersebut, pada pembahasan ini akan
dianalisis mengenai bagaimana eksistensi Rusmi sebagai tokoh utama perempuan
yang tidak mendapati kebebasan kolektif karena predikat janda. Dalam
mempermudah pembahasan, maka dilakukan klasifikasi yang sekaligus membuktikan
adanya wujud penting tentang pandangan konstruksi sosial terhadap perempuan
dalam cerpen RIP sebagai berikut.
1)
Perempuan
sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat
Stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise, diartikan pula
sebagai konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang
subjektif dan tidak tepat. Berjalannya waktu telah membawa isu atau keyakinan
yang telah menjadi Kultur dalam suatu masyarakat tentang perempuan. Melalui
eksistensi dalam lingkungan, perempuan mampu menunjukkan bahwa perempuan tidak
selalu di bawah laki-laki, perempuan dapat berperan setara bahkan lebih baik
dibandingkan laki-laki. Peranan tersebut merupakan dekonstruksi dari proses
sosial dan kultural yang panjang. Budaya tersebut telah menempatkan perempuan
sebagai kelas bawah laki-laki. Pada
cerpen RIP hal tersebut tergambarkan
sebagai berikut.
Perbedaan gender yang menjadikan perempuan dan laki-laki memiliki
nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat, terlihat pada tokoh utama perempuan
yang mendapatkan perlakuan tidak adil karena bernasib sebagai perempuan
berpredikat janda. Betapa kehadiran laki-laki disamping perempuan sebagai
pencapaian tujuan kolektif, sehingga ketika perempuan berdiri sendiri sebagai
seorang manusia yang bebas menjalani kehidupan akan mendapati tuntutan
kolektif. Perepuan yang tidak berada pada posisi sesuai harapan kolektif akan
mendapatkan keresahan bagi dirinya bahkan keluarganya. Hal ini dapat dilihat
dalam kutipan sebagai berikut.
“Pak RT memang tahu warga di lingkungannya
suka bergunjing tentang Rusmi. Kabar burung dan berita miring tentang janda
muda itu beredar dari mulut ke mulut, terutama di kalangan perempuan”
(MYED,2013:111).
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak
dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul
suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus
dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
2)
Pasivitas
Feminin
Feminin merupakan bersifat kewanitaan. Sifat kewanitaan tersebut
meletakkan pada posisi perempuan yang bersifat lemah, penakut, mudah menangis,
pasif dan sebagainya. Sifat tersebut menjadi pandangan pada simbol
ketidakberdayaan perempuan (Udasmoro,2009:35). Perempuan dapat berlaku tidak
pasivitas feminin, yaitu kecenderungan menempatkan perempuan sebagai objek yang
pasif sementara laki-laki sebagai subjek yang aktif. Perempuan selama ini telah
terkonstruksi dalam stereotip yang meletakkannya pada posisi lemah dan tidak
berdaya. Perempuan lemah dan laki-laki kuat, hal ini membuat pandangan bahwa
perempuan tidak dapat menjadi manusia yang bebas, damai, dan berdaya hidup
tanpa kehadiran laki-laki.
Keadaan perempuan tersebut tergambarkan dalam tokoh utama
perempuan dalam RIP. Bahwa tidak
melulu perempuan berada pada kepasivan dengan ketidakberdayaan dan rasa takut.
Terdapat situasi yang menuntut Rusmi untuk berani mengambil keputusan bekerja
ke luar kota demi kelangsngan hidup anak-anaknya serta kedua orang tuanya.
Selain itu, keberanian Rusmi untuk tetap di kampung sepulang bekerja
bertahun-tahun di kota dan menikah dengan laki-laki yang baik, sehingga membuat
sebagian masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata bahwa dirinya bukanlah
wanita panggilan. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan cerpen RIP sebagai berikut. “Satu setengah tahun bertahan dalam
kesulitan lahir-batin, akhirnya Rusmi menyerah. Suatu hari Rusmi memenuhi
ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota” (MYED,2013:115).
3)
Perempuan
Dianggap Mahkluk Konfliktual
Dalam pandangan masyarakat bahwa
tubuh maupun moralitas perempuan haruslah dikontrol karena dapat merusak atau
menjadi permasalahan sosial dan kultural yang ada. Bahkan, tubuh dan moralitas
perempuan secara natural pun sudah dianggap sebagai entitas yang konfliktual
(Udasmoro,104). Pada cerpen RIP,
Rusmi yang seorang janda memiliki tubuh yang menarik sehingga sering digoda
lelaki serta pandangan warga kampung yang menganggap bahwa pekerjaan Rusmi di
kota adalah wanita penghibur. Dalam kepulangan Rusmi ke kampung, masyarakat
menolak kedatangannya sekalipun menerima, ia selalu menjadi pusat perhatian dan
pergunjingan. Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai mahkluk konfliktual
bagi masyarakat karena menimbulkan keresahan. Sesungguhnya tanpa disadari bahwa
perempuan sebagai mahkluk penuh konflik tidak hanya berlaku bagi Rusmi tetapi
juga bagi warga kampung perempuan yang menggunjingkannya. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa kutipan berikut. “Tetapi
banyak lelaki iseng menggodanya.Rusmi mengaku tak udah digoda karena terbiasa
hidup gampangan” (MYED,2013:116).
“Banyak orang terutama perempuan ingin tahu,
apa yang berubah dari diri janda itu. Dan mereka menemukannya. Pakaian Rusmi
lebih bagus, ada gelang dan cincin permata ditangannya...” (MYED,2013:115)
4)
Perempuan
Sebagai Agen Reproduktif
Tuntutan atau permintaan kolektif
masyarakat terhadap perempuan berfungsi sebagai satu pandangan bagi perempuan
yang tidak memiliki aspek yang diharapkan. Hal ini menempatkan perempuan pada
ketidakbebasan karena harus terkontrol oleh kolektif. Padahal sesungguhnya,
perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki kebebasan sebagai
manusia dalam bertanggungjawab atas hidup dan menempatkan diri pada posisinya
sebagai manusia dan meletakkan seluruh tanggung jawab hidupnya di pundak
sendiri. Hal ini sejalan dengan Beauviour (
2003: 208) bahwa manusia bukan benda mati yang tujuan keberadaannya ditentukan
oleh manusia lain. Manusia adalah pengada bebas yang mampu menentukan dirinya
sendiri dengan mentransendensi segala sesuatu yang membatasi dirinya. Namun,
Beauviuor mengakui pentingnya kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain
menjadikan manusia keluar dari imanensinya dan memenuhi eksistensinya, serta
membentuk dirinya
Pada
kenyataannya, perempuan tidak hidup sebagai manusia yang bebas, tidak dapat
memenuhi eksistensinya serta membentuk dirinya. Kehadiran perempuan sebagai
sarana pencapaian tujuan kolektif, sehingga perempuan seringkali dijadikan
“liyan” apabila berbenturan dengan tuntutan masyarakat, misalnya perempuan yang
tidak menikah atau bestatus janda. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Namun, cibiran itu berhenti ketika
lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya
bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi”(MYED,2013:116).
5)
Perempuan
Sebagai Inferior
Bagi kaum feminis keadaan
inferior merupakan keadaan yang distereotipkan untuk kaum perempuan, sedangkan
laki-laki adalah kaum superior. Dalam hal ini, kaum feminis menginginkan
perubahan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan.
Perempuan harus lepas dari pengaruh kekuasaan laki-laki. Dalam pandangan Fakih
(1997:71-72) bahwa gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan oleh manusia
melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender berubah
dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Stereotip
perempuan sebagai yang lemah dan pasif mencoba untuk didekonstruksi oleh
penulis melaui cerpen RIP. Penulis
mencoba menggambarkan karakter perempuan yang tidak selalu pasif dalam
kefiminiannya. Kisah perjuangan sebagai superior, yaitu perempuan yang berdaya
dan tidak begitu saja menyerah pasrah pada nasib telah ditunjukkannya melalui
ketidakputusasaan dalam menjalani hidup ketika suami meninggal dunia. Rusmi
melanjutkan kehidupan dengan bekerja sampai di kota demi keberlangsungan hidup
kedua anaknya dan orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai
berikut.
“Hidupnya terasa oleng.Bila terpandang
mata kedua anaknya yang masih kecil,tak bisa tidak rusmi menangis. Bagaimanakah
hidupku, besok, lusa, dan seterusnya” (myed,2013:115).
“Satu setengah tahun bertahan dalam
kesulitan lahir-batin, akhirnya rusmi menyerah. Suatu hari rusmi memenuhi
ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota. Kedua anaknya ditinggal bersama
kakek-nenek mereka” (myed,2013:115).
“Kepada emaknya rusmi mengaku bekerja
sebagai pramusaji di sebuah rumah makan. Gajinya lumayan. Apalagi rusmi di
asrama makan sehingga tidak keluar uang untuk sewa makan” (myed,2013:115-116).
Selain
itu, perempuan juga mampu melawan dunia patriarki yang mengimajikan perempuan
sebagai yang lemah dan pasrah pada keadaan. Dalam diri Rusmi, refleksi
perempuan tersebut telah didekonstruksi sebagai perempuan yang kuat, sabar, serta
tangguh dalam bekerja sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Rusmi tidak
melakukan hal-hal di luar norma-norma masyarakat, meski tanpa disadarinya,
gerak-geriknya menjadi bahan pergunjingan di kampung halaman, bahkan rumor
terdengar bahwa rusmi bekerja sebagai wanita penghibur di kota Surabaya dan
Jakarta. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Konon seseorang pernah melihat rusmi
bersama lelaki. Dan yang paling seru adalah pengakuan seseorang yang konon
mendengar cerita Rusmi telah menjadi penghuni kompleks pelacuran”
(MYED,2013:111)
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang
enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya,
muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus
dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Gaya hidup yang merupakan
refleksi dari karakter tokoh utama dengan melakukan perlawanan halus terhadap
dunia patriarki mengalami hambatan dari budaya yang telah melekat dalam
masyarakat, yaitu stereotip perempuan lemah yang digambarkan dengan perempuan
berstatus janda dan perempuan bertubuh cantik. Tetapi, Rusmi mampu menunjukkan
dan masyarakat melihat bahwa Rusmi masih sebagai perempuan kampung yang baik
dengan tidak melanggar norma-norma masyarakat, bertanggung jawab terhadap kedua
anak dan orang tuanya serta mampu berekonomi lebih baik, serta kehadiran
laki-laki –duda muda besikap baik, mapan, dan santun akan melamar Rusmi. Hal
ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.“Namun, cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu
muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar
Rusmi”(MYED,2013:116).
III.
SIMPULAN
Perubahan terhadap stereotip perempuan dari pandangan
masyarakat merupakan pekerjaan yang masih harus terus diperjuangkan. Perjuangan
perempuan semata-mata untuk mendapatkan kedudukan yang sama baik dalam ranah
domestik maupun ranah publik. Selain itu untuk menjadikan diri perempuan
sebagai diri yang bebas atau merdeka dari segala bentuk stereotip sebagai
mahluk inferior dalam pandangan masyarakat yang terkonstruksi budaya patriarki.
Perempuan telah dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan
oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu
gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke
kelas.
Adapun
dari analisis yang perlu dicatat dalam cerpen RIP adalah cara pandang masyarakat terhadap perempuan sehingga
menentukan posisi perempuan dalam masyarakat, diantaranya karena nilai-nilai
sebagai berikut: (1) Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2)
Perempuan sebagai pasivitas Feminin, (3) Perempuan dianggap Mahkluk
Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai
Inferior.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Margaret. 1983. Thinking
About Woman; Sociology Feminist Perspective. New York: Macmillan
Publishing. Co., Inc.
Beauvoir, Simone De dkk. 2000. Hidup
Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Fakta dan Mitos diterjemahkan
oleh Tony B. Febriantono) Jilid I. Surabaya: Pustaka Promethea.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Kehidupan Perempuan
diterjemahkan oleh Tony B. Febriantono) Jilid II. Surabaya: Pustaka
Promethea.
Beauvoir, Simone De. 1976. The Ethics of
Ambiquity. New York: Citadel Press.
Culler, Jonathan. 1983. On
Deconstruction Theiry And Criticsm After Structuralism. London And Henley:
Routledge And Kegan Paul.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Risman, Yunita El. 2013. “Solidaritas Perempuan dalam Novel Out (オウト) Karya Natsuo Kirino: Tinjauan
Feminisme”. Tesis. Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Rokhyanto. 2003. “Jender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Karya Abidah El Khalieqy Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”. Tesis. Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Rutven, K.K. 1984. Feminist
Literary Study; An Intriduction. Cambridge: University Press.
Sartre, Jean – Paul. 2002. Eksistensialisme
dan Humanisme (terj. Yudhi Murtanto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, Ahmad. 2013. Mata
yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Udasmoro, Wening. 2009. Pengantar
Gender dalam Sastra. Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada.
Umar, Nasarudin.2001. Argumen
Kesetaraan Jender. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra
Feminis Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Catatan: Makalah ini dijadikan sebagai makalah pendamping dalam Seminar Nasional PIBSI 2016
di Solo Hotel Brothers