Senin, 28 November 2016

Cerpen “Rusmi Ingin Pulang” Karya Ahmad Tohari: Kajian Kritik Sastra Feminis oleh Nila Mega Marahayu

                                                                                                      ABSTRAK
            Makalah ini membahas cerpen “Rusmi Ingin Pulang” sebagai objek material. Permasalahan mengenai perempuan masih saja terjadi hampir di seluruh dunia dan bukanlah perkara mudah dalam mengubah dominasi patriarki yang telah melekat dalam masyarakat, dari pemikiran maupun perlakuan, baik dari sudut pandang laki-laki bahkan perempuan itu sendiri. Dalam cerpen RIP, pandangan masyarakat kampung terhadap perempuan berstatus janda, muda dan cantik, serta bekerja di luar kota sebagai masalah. Tokoh Rusmi pun mendapatkan keterasingan ketika akan pulang ke kampung halaman.
Makalah ini menggunakan teori kritik sastra feminis sebagai pisau analisis untuk mengkaji tentang perempuan dalam karya sastra. Permasalaham mengenai perempuan diangkat ke permukaan untuk diketahui masyarakat luas yang bertujuan untuk mengubah pemahaman sosial budaya masyarakat pembaca. Kritik sastra feminis ini terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan perempuan dalam mensosialisasikan isu feminisme.
            Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana perempuan dipandang di dalam masyarakat, sehingga pandangan tersebut mempengaruhi eksistensi perempuan.
            Nilai-nilai yang mendasari pandangan masyarakat terhadap perempuan, yaitu (1) Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2) Perempuan sebagai pasivitas Feminin, (3) Perempuan Dianggap Mahkluk Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai Inferior.
Kata kunci: perempuan, budaya patriarki, kritik sastra feminis

  I.            PENDAHULUAN
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Budaya patriarki telah membawa perempuan dalam situasi sebagai “liyan” dalam lingkungan masyarakat. Perempuan selalu menempati posisi sebagai objek, sehingga perempuan berada dalam situasi sulit dan tidak merasakan kebebasan sebagai manusia yang ada untuk dirinya. Sesungguhnya keadaan ini menggambarkan bahwa “perempuan” masih dijadikan masalah dalam aspek kehidupan di hampir seluruh masyarakat dunia.
Kemunculan kritik feminis sebagai ilmu yang bertujuan mendekonstruksi pandangan masyarakat yang telah dilekati oleh budaya patriarki untuk memandang perempuan sebagai bagian dari cultur dan tidak lagi menempatkan perempuan sebagai the second other, yang tentu saja mempengaruhi posisi atau peranan perempuan, baik dalam dirinya maupun lingkungan masyarakat. Permaslahan perempuan masih akan menjadi pekerjaan rumah, meskipun sastra melalui karya-karyanya mencoba untuk berpartisipasi dalam masalah kesetaraan gender. Terbukti dengan lahirnya karya-karya perempuan yang berbicara perempuan maupun karya-karya maskulin yang membicarakan perempuan yang mendukung pada emansipasi.
CerpenRusmi Ingin Pulang”–kemudian disingkat RIP, merupakan cerpen karya Ahmad Tohari yang mencoba turut berbicara mengenai problematika perempuan dan tidak lahir dari kreativitas perempuan –ditulis oleh seorang laki-laki, tetapi Ahmad Tohari membuat sebuah karya sastra yang merangkum kehidupan perempuan dan mencoba memandang dari sudut pandang perempuan maupun kolektif masyarakat yang memandang dunia perempuan. Dalam RIP menggambarkan realitas dunia perempuan dari sudut pandang kolektif yang tanpa disadari dipengaruhi maupun mempengaruhi eksistensi perempuan. Kesulitan-kesulitan perempuan, yang hadir dipengaruhi oleh budaya patriarki yang begitu melekat dalam masyarakat.
Cerpen RIP terdapat dalam buku kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2013. RIP juga pernah dimuat dalam kumpulan cerpen Rusmi Ingin Pulang terbitan Matahari Jogjakarta pada 2004. RIP menggambarkan dunia perempuan yang tidak mendapat tempat di hati masyarakat dan mendapatkan perlakuan berbeda karena Rusmi –yang merupakan tokoh utama dalam cerpen tersebut berstatus janda dan bekerja di luar kota. Segala tingkah laku Rusmi, seorang ibu beranak dua ini secara tidak disadarinya telah menggelisahkan masyarakat. Eksistensi Rusmi yang menjadi orang tua tunggal bagi kedua anaknya atau menjadi perempuan mandiri dengan kerja keras di kota menjadikan masyarakat kampung memandang Rusmi sebelah mata. Hal ini terlihat jelas dalam alur yang dikisahkan oleh Ahmad Tohari dengan kegelisahan ayah Rusmi ketika mendapati surat bahwa Rusmi ingin segera pulang ke kampung halaman, tetapi masyarakat kampung menggunjingkan segala tingkah laku Rusmi sebelah mata dan berencana menolak kedatangan Rusmi ke kampung.
Kritik sastra feminis merupakan kritik yang meliputi penelitian tentang bagaimana wanita digambarkan dan bagaimana potensi yang dimiliki wanita ditengah kekuasaan patriarkhi dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40-50). Sebagaimana Culler (1983:43-63) menambahkan bahwa dalam hubungannya dengan teks sastra yang dibaca ia memberikan konsep bagaimana jenis kelamin menentukan makna yang direbutnya. Ia memperkenalkan konsep reading as woman atau mambaca sebagai perempuan. Artinya bahwa ada suara perempuan yang harus didengarkan dari pembacaan tersebut; bahwa seorang perempuan mampu membaca sebagai dirinya; bahwa perempuan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan juga dan bahwa perempuan mengarang sebagai perempuan.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu untuk menjawab pertanyaan: bagaimana nila-nilai masyarakat dalam memandang perempuan dalam cerpen RIP dari sudut pandang kritik sastra feminis.

  II.          PEMBAHASAN
Isu-isu perempuan melalui karya sastra dapat diangkat ke permukaan untuk diketahui masyarakat luas dengan maksud untuk mengubah pemahaman sosial budaya masyarakat pembaca. Dengan tujuan, gerakan feminis dapat menciptakan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, serta adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan membebaskan (Anderson,1983:64). Disamping itu, berbicara gender sesungguhnya juga berbicara perbedaan perilaku perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial. Oleh karena menurut Fakih (1997:72-73) pandangan  tentang gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Tidak terlepas dari pandangan tersebut, pada pembahasan ini akan dianalisis mengenai bagaimana eksistensi Rusmi sebagai tokoh utama perempuan yang tidak mendapati kebebasan kolektif karena predikat janda. Dalam mempermudah pembahasan, maka dilakukan klasifikasi yang sekaligus membuktikan adanya wujud penting tentang pandangan konstruksi sosial terhadap perempuan dalam cerpen RIP sebagai berikut.
1)        Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat
Stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise, diartikan pula sebagai konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Berjalannya waktu telah membawa isu atau keyakinan yang telah menjadi Kultur dalam suatu masyarakat tentang perempuan. Melalui eksistensi dalam lingkungan, perempuan mampu menunjukkan bahwa perempuan tidak selalu di bawah laki-laki, perempuan dapat berperan setara bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki. Peranan tersebut merupakan dekonstruksi dari proses sosial dan kultural yang panjang. Budaya tersebut telah menempatkan perempuan sebagai kelas bawah laki-laki.  Pada cerpen RIP hal tersebut tergambarkan sebagai berikut.
Perbedaan gender yang menjadikan perempuan dan laki-laki memiliki nilai yang berbeda dalam suatu masyarakat, terlihat pada tokoh utama perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak adil karena bernasib sebagai perempuan berpredikat janda. Betapa kehadiran laki-laki disamping perempuan sebagai pencapaian tujuan kolektif, sehingga ketika perempuan berdiri sendiri sebagai seorang manusia yang bebas menjalani kehidupan akan mendapati tuntutan kolektif. Perepuan yang tidak berada pada posisi sesuai harapan kolektif akan mendapatkan keresahan bagi dirinya bahkan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
 “Pak RT memang tahu warga di lingkungannya suka bergunjing tentang Rusmi. Kabar burung dan berita miring tentang janda muda itu beredar dari mulut ke mulut, terutama di kalangan perempuan” (MYED,2013:111). 
 “Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
2)        Pasivitas Feminin
Feminin merupakan bersifat kewanitaan. Sifat kewanitaan tersebut meletakkan pada posisi perempuan yang bersifat lemah, penakut, mudah menangis, pasif dan sebagainya. Sifat tersebut menjadi pandangan pada simbol ketidakberdayaan perempuan (Udasmoro,2009:35). Perempuan dapat berlaku tidak pasivitas feminin, yaitu kecenderungan menempatkan perempuan sebagai objek yang pasif sementara laki-laki sebagai subjek yang aktif. Perempuan selama ini telah terkonstruksi dalam stereotip yang meletakkannya pada posisi lemah dan tidak berdaya. Perempuan lemah dan laki-laki kuat, hal ini membuat pandangan bahwa perempuan tidak dapat menjadi manusia yang bebas, damai, dan berdaya hidup tanpa kehadiran laki-laki.
Keadaan perempuan tersebut tergambarkan dalam tokoh utama perempuan dalam RIP. Bahwa tidak melulu perempuan berada pada kepasivan dengan ketidakberdayaan dan rasa takut. Terdapat situasi yang menuntut Rusmi untuk berani mengambil keputusan bekerja ke luar kota demi kelangsngan hidup anak-anaknya serta kedua orang tuanya. Selain itu, keberanian Rusmi untuk tetap di kampung sepulang bekerja bertahun-tahun di kota dan menikah dengan laki-laki yang baik, sehingga membuat sebagian masyarakat tidak lagi memandang sebelah mata bahwa dirinya bukanlah wanita panggilan. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan cerpen RIP sebagai berikut. “Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya Rusmi menyerah. Suatu hari Rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota” (MYED,2013:115).
3)        Perempuan Dianggap Mahkluk Konfliktual
            Dalam pandangan masyarakat bahwa tubuh maupun moralitas perempuan haruslah dikontrol karena dapat merusak atau menjadi permasalahan sosial dan kultural yang ada. Bahkan, tubuh dan moralitas perempuan secara natural pun sudah dianggap sebagai entitas yang konfliktual (Udasmoro,104). Pada cerpen RIP, Rusmi yang seorang janda memiliki tubuh yang menarik sehingga sering digoda lelaki serta pandangan warga kampung yang menganggap bahwa pekerjaan Rusmi di kota adalah wanita penghibur. Dalam kepulangan Rusmi ke kampung, masyarakat menolak kedatangannya sekalipun menerima, ia selalu menjadi pusat perhatian dan pergunjingan. Dalam hal ini, perempuan dianggap sebagai mahkluk konfliktual bagi masyarakat karena menimbulkan keresahan. Sesungguhnya tanpa disadari bahwa perempuan sebagai mahkluk penuh konflik tidak hanya berlaku bagi Rusmi tetapi juga bagi warga kampung perempuan yang menggunjingkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut. “Tetapi banyak lelaki iseng menggodanya.Rusmi mengaku tak udah digoda karena terbiasa hidup gampangan” (MYED,2013:116).
 “Banyak orang terutama perempuan ingin tahu, apa yang berubah dari diri janda itu. Dan mereka menemukannya. Pakaian Rusmi lebih bagus, ada gelang dan cincin permata ditangannya...” (MYED,2013:115)
4)        Perempuan Sebagai Agen Reproduktif
Tuntutan atau permintaan kolektif masyarakat terhadap perempuan berfungsi sebagai satu pandangan bagi perempuan yang tidak memiliki aspek yang diharapkan. Hal ini menempatkan perempuan pada ketidakbebasan karena harus terkontrol oleh kolektif. Padahal sesungguhnya, perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki kebebasan sebagai manusia dalam bertanggungjawab atas hidup dan menempatkan diri pada posisinya sebagai manusia dan meletakkan seluruh tanggung jawab hidupnya di pundak sendiri. Hal ini sejalan dengan Beauviour ( 2003: 208) bahwa manusia bukan benda mati yang tujuan keberadaannya ditentukan oleh manusia lain. Manusia adalah pengada bebas yang mampu menentukan dirinya sendiri dengan mentransendensi segala sesuatu yang membatasi dirinya. Namun, Beauviuor mengakui pentingnya kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain menjadikan manusia keluar dari imanensinya dan memenuhi eksistensinya, serta membentuk dirinya
Pada kenyataannya, perempuan tidak hidup sebagai manusia yang bebas, tidak dapat memenuhi eksistensinya serta membentuk dirinya. Kehadiran perempuan sebagai sarana pencapaian tujuan kolektif, sehingga perempuan seringkali dijadikan “liyan” apabila berbenturan dengan tuntutan masyarakat, misalnya perempuan yang tidak menikah atau bestatus janda. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Namun, cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi”(MYED,2013:116).
5)        Perempuan Sebagai Inferior
Bagi kaum feminis keadaan inferior merupakan keadaan yang distereotipkan untuk kaum perempuan, sedangkan laki-laki adalah kaum superior. Dalam hal ini, kaum feminis menginginkan perubahan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Perempuan harus lepas dari pengaruh kekuasaan laki-laki. Dalam pandangan Fakih (1997:71-72) bahwa gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
Stereotip perempuan sebagai yang lemah dan pasif mencoba untuk didekonstruksi oleh penulis melaui cerpen RIP. Penulis mencoba menggambarkan karakter perempuan yang tidak selalu pasif dalam kefiminiannya. Kisah perjuangan sebagai superior, yaitu perempuan yang berdaya dan tidak begitu saja menyerah pasrah pada nasib telah ditunjukkannya melalui ketidakputusasaan dalam menjalani hidup ketika suami meninggal dunia. Rusmi melanjutkan kehidupan dengan bekerja sampai di kota demi keberlangsungan hidup kedua anaknya dan orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Hidupnya terasa oleng.Bila terpandang mata kedua anaknya yang masih kecil,tak bisa tidak rusmi menangis. Bagaimanakah hidupku, besok, lusa, dan seterusnya” (myed,2013:115).
“Satu setengah tahun bertahan dalam kesulitan lahir-batin, akhirnya rusmi menyerah. Suatu hari rusmi memenuhi ajakan seorang agen tenaga kerja pergi ke kota. Kedua anaknya ditinggal bersama kakek-nenek mereka” (myed,2013:115).
“Kepada emaknya rusmi mengaku bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan. Gajinya lumayan. Apalagi rusmi di asrama makan sehingga tidak keluar uang untuk sewa makan” (myed,2013:115-116).
Selain itu, perempuan juga mampu melawan dunia patriarki yang mengimajikan perempuan sebagai yang lemah dan pasrah pada keadaan. Dalam diri Rusmi, refleksi perempuan tersebut telah didekonstruksi sebagai perempuan yang kuat, sabar, serta tangguh dalam bekerja sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Rusmi tidak melakukan hal-hal di luar norma-norma masyarakat, meski tanpa disadarinya, gerak-geriknya menjadi bahan pergunjingan di kampung halaman, bahkan rumor terdengar bahwa rusmi bekerja sebagai wanita penghibur di kota Surabaya dan Jakarta. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Konon seseorang pernah melihat rusmi bersama lelaki. Dan yang paling seru adalah pengakuan seseorang yang konon mendengar cerita Rusmi telah menjadi penghuni kompleks pelacuran” (MYED,2013:111)
“Jadilah Rusmi sebuah nama buruk yang enak dijadikan bahan pergunjingan yang bernada pelecehan. Bahkan akhirnya, muncul suara yang menyatakan Rusmi adalah aib bagi seisi kampung, maka ia harus dijauhi dan ditolak”(MYED,2013:111-112).
Gaya hidup yang merupakan refleksi dari karakter tokoh utama dengan melakukan perlawanan halus terhadap dunia patriarki mengalami hambatan dari budaya yang telah melekat dalam masyarakat, yaitu stereotip perempuan lemah yang digambarkan dengan perempuan berstatus janda dan perempuan bertubuh cantik. Tetapi, Rusmi mampu menunjukkan dan masyarakat melihat bahwa Rusmi masih sebagai perempuan kampung yang baik dengan tidak melanggar norma-norma masyarakat, bertanggung jawab terhadap kedua anak dan orang tuanya serta mampu berekonomi lebih baik, serta kehadiran laki-laki –duda muda besikap baik, mapan, dan santun akan melamar Rusmi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.“Namun, cibiran itu berhenti ketika lelaki yang disebut-sebut Rusmi itu muncul dengan penampilan sopan. Mobilnya bagus. Lelaki itu datang untuk melamar Rusmi”(MYED,2013:116).
III.              SIMPULAN
            Perubahan terhadap stereotip perempuan dari pandangan masyarakat merupakan pekerjaan yang masih harus terus diperjuangkan. Perjuangan perempuan semata-mata untuk mendapatkan kedudukan yang sama baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Selain itu untuk menjadikan diri perempuan sebagai diri yang bebas atau merdeka dari segala bentuk stereotip sebagai mahluk inferior dalam pandangan masyarakat yang terkonstruksi budaya patriarki. Perempuan telah dikonstruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dan dari kelas ke kelas.
            Adapun dari analisis yang perlu dicatat dalam cerpen RIP adalah cara pandang masyarakat terhadap perempuan sehingga menentukan posisi perempuan dalam masyarakat, diantaranya karena nilai-nilai sebagai berikut: (1) Perempuan sebagai “liyan” dalam Stereotip Masyarakat, (2) Perempuan sebagai pasivitas Feminin, (3) Perempuan dianggap Mahkluk Konfliktual, (4) Perempuan Sebagai Agen Reproduktif, dan (5) Perempuan Sebagai Inferior.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Margaret. 1983. Thinking About Woman; Sociology Feminist Perspective. New York: Macmillan Publishing. Co., Inc.
Beauvoir, Simone De dkk. 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Fakta dan Mitos diterjemahkan oleh Tony B. Febriantono) Jilid I. Surabaya: Pustaka Promethea.
Beauvoir, Simone De. 2003. Second Sex (Kehidupan Perempuan diterjemahkan oleh Tony B. Febriantono) Jilid II. Surabaya: Pustaka Promethea.
Beauvoir, Simone De. 1976. The Ethics of Ambiquity. New York: Citadel Press.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction Theiry And Criticsm After Structuralism. London And Henley: Routledge And Kegan Paul.
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Risman, Yunita El. 2013. “Solidaritas Perempuan  dalam  Novel Out (オウト) Karya Natsuo Kirino: Tinjauan Feminisme”. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Rokhyanto. 2003. “Jender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis”. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Rutven, K.K. 1984. Feminist Literary Study; An Intriduction. Cambridge: University Press.
Sartre, Jean – Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme (terj. Yudhi Murtanto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tohari, Ahmad. 2013. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Udasmoro, Wening. 2009. Pengantar Gender dalam Sastra. Yogyakarta: Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Umar, Nasarudin.2001. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Catatan: Makalah ini dijadikan sebagai makalah pendamping dalam Seminar Nasional PIBSI 2016
                di Solo Hotel Brothers

Rabu, 18 Mei 2016

Cerpen "Kopi dan Kenang-Kenang dalam Botol" (oleh Nila Mega Marahayu)



            Bulir-bulir air menetes dari sela-sela genting. Payung biru laut dalam genggaman masih mengatup dan enggan dibuka. Sebab aku tahu, lebatnya hujan sepanjang hari ini tak mampu melindungi tas punggung berisi buku paket kelas enam sekolah dasar, yang belum lunas dibayar. Entah bagaimana juga kabar sepedaku yang telah sendirian di parkiran. Petir menunjukkan kekuasaan dengan kilatan tajam menggores sisi langit, menggaungkan suara ngeri sampai perut bumi. Dalam hujan yang mencekam seperti hati, aku mengacuhkan tubuh yang gemetar. Mata menyapu sekeliling sekolah, tak ada lagi siapa pun di sini, selain aku.
            Mobil hijau pudar masuk ke pekarangan sekolah. Nah, itu ibu dan bapak datang menjemput. Bapak yang menyetir mengulurkan payung ungu muda pada ibu, sebelum kakinya keluar dari pintu mobil dan menginjak bumi manusia yang basah ini. Dengan sandal kondangan cokelat kayu yang mulai mengelupas, ibu mantap penuh belas menghampiri di depan pintu kelas yang telah terkunci.
Tidak, ternyata aku tengah bermimpi di hujan lebat. Seperti kemarin, pasti bapak dan ibu sedang sibuk bertengkar di rumah, meributkan apa saja dan melupakan apa saja. Melupakan terik atau hujan dibalik jendela, melupakan cinta, kakak, dan aku, barangkali. Termasuk perasaan takut yang merasuki mimpi setiap malam. Sedang aku tak bisa kemana-mana, selain berdiam menikmati dada yang belakangan ini sering terasa sesak. Seharusnya aku tidak hanya bertanya pada botol berisi serbuk kopi dan cinta yang ku miliki. Seharusnya, aku sempatkan juga bertanya pada Syafira, teman sebangku: “Apakah sesak nafas ataukah cinta yang rasanya sesakit ini?”
***
            Pada selepas subuh yang dingin. Seperti biasa, aku melihat bapak duduk di kursi rotan. Sudah sejak aku bayi, kursi itu ada di ruang keluarga sempit ini. Anyaman rotan itu sudah serabutan seperti kain yang dilumat tikus. Ajaibnya, bapak selalu setia mendudukinya sampai malam memakan pagi. Meja rotan bertengger di sisi kiri kursi dilengkapi gelas berisi kopi dan asbak yang dipenuhi puntung rokok di atasnya. Singgasana rotan itu selalu menciptakan ruang imaji. Bapak mendapati ide-ide. Kali ini, melukis sehelai daun jambu.
Kuas dicelupkan ke dalam cat minyak, yang rumit sekali prosesnya jika aku melihat bercak warna yang bercampuran satu sama lain. Hingga malam-malam selanjutnya, bapak masih saja bersibuk dengan warna daun jambu dan lupa mengurus tubuh kurusnya.
Setiap dering telepon memanggil-manggil, aku dan ibu sigap mengangkatnya. Kalau suara di seberang telepon begitu lirih menyimpan kerinduan, aku senang sekali karena penelpon itu ialah kakak dari seberang kota yang kini tinggal dengan keluarga Paman Mitro. Tetapi, jika suara itu dari si penagih hutang, jelas baralamat celaka.
“Pak, ada telepon dari Pak Suryo” ku lembutkan suara dan menyampaikan dengan rasa was-was. Terkadang jika wajah bapak terbaca sedang kalut, dipukulnya kepalaku dengan kuas di tangannya.
***
            Suara dengkur meraung ke dinding-dinding ruang. Begitu pulas tidur bapak di kursi rotan ditemani puntung rokok dan ampas-ampas kopi di gelas yang mulai mengerak. Aku merindui belaian tangan kanannya dan kecupan dikeningku sebelum berangkat sekolah.
Bapak terkejut dari tidur, saat aku berdiri di depannya. Matanya merah dan nyala. Meski gemetaran, aku ulurkan tangan untuk pamit. Topi merah berlambang garuda pun direbut bapak dari kepalaku yang sudah rapi rambutnya. Rapi dikuncir kuda oleh ibu sehabis diusapi minyak jelantah ke rambut sampai klimis dan dihiasi pita merah. Ibu menyisiri rambutku dengan bibir bengkak dan pipi kiri dipenuhi darah yang menggumpal dalam kulitnya. Ibu tidak berkata sepatah pun, begitu pula aku. Dibalik kesunyian, ada gemuruh dalam dada kami.
Air kencing nyaris menembus rok merah yang sudah disetrika sendiri semalam seusai mengerjakan tugas persiapan ujian nasional bahasa Indonesia. Tidak dapat dijelaskan ngerinya sorot mata, kerut dahi, dan urat-urat tangan bapak, yang dengan sengitnya, ah tidak, dengan sayangnya, menyabet wajahku dengan topi itu.
            “Cepat berangkat keburu siang!” teriak ibu dari dapur diiringi bunyi panci yang murus –air sudah mendidih.
            “Ya!” aku teriak menyahut setelah beberapa saat mematung seperti karya patung atau lukisan buatan bapak. Tentu dengan suara cukup parau.
Seketika aku melesat, berlari melewati bapak dan pintu rumah. Sepeda kuajak juga berlari, kukayuh kuat-kuat meski sesekali rantainya lepas dan oli hitamnya menggambar-gambar di rok merahku.
Sampailah di persimpangan jalan –berhenti sejenak. Aku menata nafas yang terburu, ada getir menyusup dada dan terasa sangat aduh saat punggung tangan menyeka pipi yang tiba-tiba dibasahi air mata. Begitu sakit tenggorokan menahannya. Sedang burung-burung yang bertengger di kabel-kabel listrik menyapa pagi dengan bebas dan riang. Aku sempat amati, sekawanan burung itu menyapa: “Sudah, jangan nangis!”
***
            Awan kelabu menyelimuti matahari, langit kebiruan berubah menguning emas, semakin ke barat semakin menjadi nila, lalu berpendar jadi hitam pekat di langit-langit. Mata sesekali melalang buana ke arah luar jendela kamar, yang memantulkan angan-angan. Aku betul-betul tengah sendirian sekarang, segera ku ambil botol yang ku isi serbuk kopi dan cinta dari tas punggung sekolah. Segera botol itu ku letakkan baik-baik di ranjang.
            Setiap aku memandang, botol itu melukiskan kenang-kenang masa kecil yang riang dan penuh cinta. Serbuk kopi yang ada di dalam botol selalu mengimbangi tentang manis dan pahitnya kehidupan. Ya, di sana ada bapak yang senantiasa mendongeng ala dalang dengan boneka beruang merah jambu yang tangannya digerakkan seperti wayang golek. Suaranya bisa berubah-ubah, lucu sekali, hingga tawaku pecah ke udara.
Jika hari menjelang senja di beranda rumah, aku terkantuk-kantuk dalam pangkuan bapak sedang kakak bersandar pada bahu ibu. Wajah yang cerah dan mulut seperti berbusa-busa, bapak tidak henti bercerita tentang mendiang eyang putri dan kakung di kampung. Sesekali ibu memagut dan ikut menyahut sambil menoleh ke balik sisi pintu yang terbuka, memandangi lukisan mertuanya yang terpajang di dinding rumah. Suasana itu menjadi begitu melankoli sekarang.
Kopi hangat buatan ibu selalu menemani kami bermesra pada waktu. Apalagi, ketika gerimis datang seolah hujan dan wangi kopi dalam cangkir itu melengkapi suasana penuh cinta. Ya, hujan, kopi, dan cinta. Sampai suara adzan mendayu-dayu dibawa angin. Lekas bapak menuntun kami sembahyang dan mengaji ayat-ayat Tuhan.
Ah, semenjak bos-bos bapak sudah sangat jarang memesan karya bapak dan menunda-nunda pembayaran. Mobil tua kesayangan bapak pun lenyap dari rumah. Pertanda semua telah berubah. Bapak menjadi rajin memarahi dan menjambak rambut ibu. Selain rajin menangis, ibu juga sering mengeluh pada bapak karena tidak memiliki uang.
***
            Rumput ilalang tumbuh subur di lapangan belakang sekolah yang telah lama ditinggalkan dan tidak difungsikan. Aku jamahi lapangan itu sepulang sekolah sambil menuntun sepeda. Terbayang sudah Ibu akan mengunciku di kamar mandi dan bapak memukul kepalaku lagi dengan benda apa saja di tangannya, jika tahu tugas matematika dapat nilai empat. Di ruang guru tadi, wali kelasku, Bu Mega sempat bertanya-tanya.
            “Tiga bulan lagi ujian nasional, ibu perhatikan nilai-nilaimu semakin turun. Ada apa?” kata ibu berjilbab merah marun itu dengan dahi yang berkerut dan mata yang terpancar tengah menerka-nerka jawaban.
            Keresahan begitu tertahan di wajahku. Bu Mega kembali mengulangi pertanyaannya sampai empat kali, tetapi aku tergagap dan mati kata. Ibu bertubuh tambun itu beranjak dari kursi dan mendekati. Tangannya mengusap lembut punggungku. Tangisku justru jatuh semakin luruh dan menjadi-jadi. Sepertinya, aku betul-betul merindui dekapan yang syarat cinta ini. Barangkali, tidak ada cinta yang tidak pernah menciptakan ngilu. Ngilu yang terus menikam-nikam ulu hati. Setelah semalam ibu berani melawan bapak, tadi pagi ibu memutuskan untuk berdamai dengan bapak dalam perceraian.
***
Sepeda terhempas ke bumi sebelum aku. Di depan garasi rumah seluruh tubuh gigil membeku, nyawaku lepas seiring keringat yang mengalir lebih deras dari hujan. Mata yang kian meredup ini menyaksikan Bu Rumi dan empat orang tetangga lainnya begitu gaduh di beranda rumah. Mereka menggotong dan memasukkan ibu yang masih memakai daster batik itu ke dalam mobil.
 “Rumah sakit Nirmala yang paling dekat Pak!”. Rupanya, ibu yang telah digunduli kepalanya semalam oleh bapak, telah menyerahkan cinta pada sebotol obat nyamuk.


***

Purwokerto, 14 Febuari 2016, 23:10




(Cerpen ini pernah menjadi juara III dalam Lomba Cerpen Bertema Hujan, Kopi, dan Cinta diselenggarakan oleh Inspirator Akademi Purwokerto).

Minggu, 25 Oktober 2015

WANGSA RAJA BIMA DALAM MITOS-MITOS PADA CERITERA ASAL BANGSA JIN DAN SEGALA DEWA-DEWA (Kajian Strukturalisme Levi Strauss) Oleh Nila Mega Marahayu

   ABSTRACT
Myth has become interesting even in modern era. It is a legend or a story that comes from culture in society. It is also a means for conveying a message. Old literature such as Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa has specific myth about dynasty of King Bima. This paper uses Structuralism theory by Levi Strauss as analyzing tool. The processes of analyzing are as follows: the story divides to episode and sub episode. Then, the writer determines the themes (Ceriteme) that has relating to the story. Finally, the writer concludes the story that consists of five themes. First, the history of Bima society or dynasty of King Bima comes from sacred people. Second, King Bima has perfect character (sensible). It begins with human creation that consists of four materials fire, wind, water, and land. Third, dynasty of King Bima is the faithful (Islam). Fourth, King Bima has heroic character in winning the war. And fifth, King Bima is amorously people and caring about social interest. After all, the story talks about the history of the region and kinship system or descent of dynasty King Bima relating with other region such as Dompu dynasty and its descent or King Bima also becomes the king in Istanbul-Rum, Jepun-Cina, or King Andalas in Minangkabau.
Keywords: Myth, dynasty of king Bima, episode and ceriteme
ABSTRAK
            Mitos masih selalu menjadi sesuatu yang menarik meski di zaman modern. Mitos merupakan dongeng atau kisah yang lahir dalam kebudayaan suatu masyarakat. Mitos sebagai sarana dalam menyampaikan pesan-pesan. Karya sastra lama Ceritera Asal Bangsa Jin Dan Segala Dewa-Dewa memiliki mitos yang kuat khususnya tentang wangsa raja Bima. Makalah ini menggunakan teori strukturalisme Levi Strauss sebagai alat analisis. Proses analisis melalui beberapa tahapan, yaitu pembagian episode dan subepisode pada seluruh isi cerita, kemudian menentukan ceriteme-ceriteme yang memiliki relasi-relasi cerita. Kemudian didapatlah kesimpulan dari hasil pembahasan, yaitu pertama, sejarah masyarakat Bima atau wangsa raja Bima dari garis keturunan orang-orang sakti. Kedua, akhlak wangsa raja Bima yang mulia atau sempurna (berakal). Hal ini berangkat dari mitos penciptaan manusia dari empat unsur, yaitu api, angin, air, dan tanah. Ketiga, wangsa raja Bima yang beriman (beragama islam). Keempat, wangsa raja Bima yang berjiwa pahlawan, handal dalam memenangkan perang. Kelima, wangsa raja Bima yang pengasih dan peduli kepentingan sosial. Selain itu, terkait pula sejarah keberadaan wilayah dan sistem kekerabatan atau darah keturunan dengan wangsa di kerajaan lain seperti wangsa Dompu dan keturunan leluhur raja Bima menjadi raja di Istambul-Rum, raja di Jepun-Cina, raja di Andalas Minangkabau.
Kata kunci: mitos, wangsa raja Bima, episode dan ceriteme

I.          PENDAHULUAN   
Membaca nusantara Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kekayaan yang salah satunya adalah cerita rakyat dan biasanya mengandung mitos. Tentu wacana mitos bukanlah sesuatu yang asing dan tertinggal karena pada perjalanannya masyarakat kita masih saja ada yang melestarikannya. Hal ini tidak menjadikan masyarakat dalam nila-nilai negatif selama adanya manfaat sebagaimana mitos dalam perspektif Levi Strauss adalah dongeng. Dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari khayalan manusia meskipun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari (Ahimsa-Putra,2001:77). Kemudian ditambahkannya bahwa mitos disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan tersebut diketahui lewat penceritaan (Ahimsa-Putra,2001:80).
Karya sastra lama yang cukup penting dalam khasanah kesusastraan Indonesia diantaranya adalah naskah Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa –kemudian disingkat Ceritera Asal. Salah satu karya sastra lama di nusantara yang pernah ditulis dalam bentuk naskah dan dokumen oleh Henri Chambert-Loir bekerja sama dengan Ecole Francaise D’Ektreme-Orient.
Ceritera Asal berisi mitos asal wangsa raja Bima. Cerita tersebut dapat dianggap sebagai campuran kacau dari berbagai dongeng dan legende yang diambil dari aneka ragam sumber. Mitos akan raja Bima yang menjadi tema kisah dalam cerita tersebut sebenarnya masih memiliki berbagai varian. Dengan demikian, teks cerita tersebut dapat digolongkan sebagai sastra sejarah. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan dengan sejarah kerajaan Bima, meskipun tidak adanya kepastian tahun yang menjadikan kuatnya akan fakta sejarah dalam Cerita Asal.
Ceritera Asal terkandung dalam empat naskah bertulisan Jawi. Keempat naskah tersebut masing-masing diberi simbol: B (Berlin), J (Jakarta), L (Leiden), dan S (Sumbawa). Makalah ini memilih naskah B untuk dianalisis berupa pengungkapan mitos di dalamnya yang berkaitan dengan wangsa raja Bima. Naskah B ditulis pada 1851. Tidak ada keterangan penulis dan tempat dituliskannya naskah ini. Naskah ini merupakan koleksi dari Karl Schoemann dari Indonesia pada saat tinggal di Buitonzorg dan Batavia. Pada saat itu ia menjadi guru swasta anak-anak Gubernur Jenderal J.J Rochussen.
Teori strukturalisme Levi Strauss digunakan dalam makalah ini sebagai alat dalam mengungkap mitos-mitos dalam Ceritera Asal. Mitos menurut Levi Strauss berada dalam dua waktu sekaligus, yaitu waktu yang bisa berbalik (sinkronis) dan waktu yang tidak bisa berbalik (diakronis). Hal ini terlihat dari fakta bahwa mitos selalu menunjuk pada peristiwa yang terjadi di masa lampau. Di lain pihak, pola-pola khas mitos merupakan ciri yang membuat mitos dapat tetap relevan dan operasional dalam konteks yang ada sekarang (Ahimsa-Putra,2001:81).
Ceritera Asal sebagai karya sastra lama yang sarat akan mitos khususnya pada perkembangan wangsa raja Bima, yang tentu memiliki nilai-nilai karakteristik masyarakatnya, baik sebagai mahluk sosial yang berakhlak dan bersosial, maupun keterkaitan akan sejarah yang melatarbelakangi penciptaan karya tersebut. Dengan demikian, analisis tentang keberadaan wangsa raja Bima dalam aspek mitos-mitos demi membaca lebih jauh mengenai masyarakat wangsa Bima tersebut dalam Ceritera Asal menjadi menarik.

  II.     PEMBAHASAN
1.    Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa sebagai Mitos
Ceritera Asal bagi pembaca saat ini merupakan cerita aneh, ajaib, bahkan mistis. Ceritera Asal mengisahkan asal-usul wangsa raja Bima serta terkait pula wangsa Dompu. Dalam Ceritera Asal ditemukan peristiwa-peristiwa tidak logis dialami tokoh-tokohnya.
Mitos pertama, yaitu kisah asal-usul wangsa raja Bima dari bangsa jin bernama Jan Manjan. Jin tersebut kemudian beranakpinak hingga terjadi  perkawinan antara jin dengan dewa dan jin dengan manusia. Kesekian keturunan jin Jan Manjan adalah Begawan Basugi dan Begawan Biyasa. Begawan Biyasa menjadi asal keturunan raja-raja di Bima. Begawan Biyasa memiliki dua anak, bernama Pandu Dewanata dan puteri bernama Ganti Nadzraja. Keduanya menikah dan memiliki keturunan bernama Pandawa Lima, yaitu Sang Bima, Sang Kula, Sang Rajuna, dan Sang Dewa.
Sang Bima sampai di Pulau Satonda dan melihat puteri raja naga, dari tatapan itulah puteri tersebut hamil dan lahirlah anak perempuan bernama Indera Tasi Naga. Kemudian Sang Bima memperistri anaknya sendiri dan melahirkan dua orang putera, yaitu Maharaja Indera kemala dan Maharaja Indera Zamrut. Indera Zamrut menjadi raja Bima dan memiliki keturunan. Demikian kisah asal-usul wangsa raja Bima yang dikategorikan mitos. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Alkisah maka tersebutlah ceritera Maharaja Zamrut yang tinggal itu. maka adalah diceritakan oleh orang yang empunya ceritera ini paduka Maharaja Indera Zamrut menjadi raja Bima memegang kerajaan dengan kuasanya. Maka adalah raja Jawa dan Bali dan Sumbawa dan Ende dan Sumba dengan segala tanah benua Manggarai lalu kepada Masyrik pun habislah bertakluk kepadanya dan membawa upeti kepada Tanah Bima (Ceritera Asal, 1985:119)”.
Mitos kedua, adanya perkawinan yang tidak logis antara bangsa jin, bangsa manusia, dan bangsa dewa. Perkawinan ajaib, aneh, bahkan mistis tersebut pada Batara Tunggal yang memiliki puteri cantik bernama Julus al-Asyikin yang diperistri oleh bangsa manusia yaitu Iskandar Zulkarnain. Hal ini tidak logis karena adanya perkawinan antara bangsa jin dan manusia. Perkawinan tersebut menghasilkan keturunan yang masing-masing menjadi Raja Istambul, Raja Cina, dan Raja Andalas. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“....lalulah dikawinkannya raja Iskandar itu dengan anaknya puteri Julus al-Asyikin itu. maka dimulai berjaga-jaga dan ramai-ramai pun tiadalah terkata lagi segala bunyi-bunyiannya. Semuanya pun ditiup dan dipalukan dan segala permainan dimainkan oleh jin samanya jin dan manusia samanya manusia dan peri samanya peri dan mambang samanya mambang dan cendera samanya cendera. Maka alam pun seolah-olah dunia akan kiamat (Ceritera Asal,1985:109)”.
Mitos ketiga, adanya penciptaan manusia pertama (nabi Adam) yang berasal dari empat anasir atau empat unsur. Dikisahkan dalam Ceritera Asal bahwa manusia diciptakan dari empat anasir, yaitu api, angin, air, dan tanah. Hal ini jelas berbeda dengan sejarah penciptaan manusia di dalam Al-quran, di mana manusia diciptakan dari tanah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Ceritera Asal sebagai berikut.
“Dijadikan Allah taala jin itu daripada hujung api yang tiada berasap. Maka Allah subhanau wa taala menjadkan nabi Adam itu daripada asal yang keempat, yaitu api, angin, air, dan tanah, sebab itulah maka segala manusia itu masing-masing dengan tabiatnya dan fiilnya... (Ceritera Asal,1985:101)”.
Mitos pada Ceritera Asal di atas tentang silsilah wangsa raja-raja Bima yang berasal dari jin, manusia, bahkan dewa menunjukkan betapa mistisnya wangsa raja Bima.

2.    Sinopsis
Cerita tentang asal bangsa jin dan segala dewa-dewa. Dahulu, Allah subhanahu wataala menciptakan bangsa jin dan dewa yang turun menjadi raja yang kebesaran atau raja yang agung dan menteri yang patuh serta segala manusia yang dibawah angin sampai pada sekarang. Dikisahkan permulaan keturunan jin pertama bernama Jan Manjan. Ia berputera tiga; yang sulung menjadi penerus ayahnya dalam mengelilingi dunia dan mengerjakan titah Tuhan Malik al-Kudus, yang tengah menjadi asal keturunan dewa dan mambang, yang bungsu menjadi asal keturunan cendera dan peri.
Keturunan selanjutnya sampai pada Begawan Basugi yang memiliki putera Batara Tunggal. Kemudian Batara Tunggal memiliki puteri yang sangat cantik bernama Julus al-Asyikin yang diperistri oleh Iskandar Zulkarnain setelah bangsa jin kalah dalam peperangan dengan bangsa manusia untuk menyebarkan agama islam.
Cucu Maharaja Indera Palasyara bernama Begawan Biyasa menjadi asal keturunan raja-raja di Bima. Begawan Biyasa memiliki dua anak, yang sulung bernama Pandu Dewanata dan yang bungsu adalah puteri bernama Ganti Nadzraja. Keduanya menikah atau melakukan kawin sumbang dan memiliki keturunan bernama Pandawa Lima.
Kelima anak Pandu Dewanata bernama; Sang Bima, Sang Kula, Sang Rajuna, dan Sang Dewa. Kelima pandawa tersebut islam. Sang Bima dan adik-adiknya berperang dengan Maharaja Boma untuk merebut atau menguasai tanah Jawa. Di tengah pertempuran, Sang Rajuna terkena anak panah Boma dan pingsan. Bima pergi ke kayangan untuk mendapatkan obat dan bertemu dengan perempuan tua asal bangsa keturunan sang Yang Winaya bernama Dewa Arimbi. Bima akhirnya mendapat obat dengan syarat harus memperistri Dewa Arimbi. Pernikahan mereka menghasilkan anak bernama Katut Kaca.
Ceritera Asal bagian selanjutnya menceritakan pendirian wangsa raja Bima; dari perjalanan Sang Bima di sekitar pulau Sumbawa. Ketika itu, Sang Bima sampai di Pulau Satonda dan melihat puteri raja naga dan dari tatapan itulah puteri tersebut hamil. Sedang sang Bima melanjutkan perjalanannya, lahirlah anak perempuan bernama Indera Tasi Naga. Ketika kembali, Sang Bima memperistri anaknya sendiri dan melahirkan dua putera, yaitu Maharaja Indera kemala dan Maharaja Indera Zamrut. Kedua anak tersebut diletakkan pada sebuah buluh yang ditutupnya dengan mutiara. Kemudian dibuang ke laut dan terapung di Dompu. Wajah kedua anak itu berseri-seri bagaikan bulan dan matahari sehingga disambut gembira oleh orang Dompu, namun kedua anak tersebut tinggal di Bima. Kemudian Indera Zamrut memohon kepada kakaknya untuk menjadi raja di bagian timur.
Terjadi perselisihan antara kakak beradik itu. Ketika Indera Zamrut meminjam kailnya dan ternyata kailnya ditelan oleh anak raja ikan. Ikan-ikan ternyata gempar karena raja mereka kena penyakit kerongkongan berat. Diselamatkannya raja ikan itu dan ia  bersahabat dengan rakyat ikan, alhasil ditemukannya kail kakaknya dan dikembalikannya, tetapi kakaknya sudah tidak rela. Kemudian kakaknya diberitahu kalau adiknya sedang sakit. Indera Kemala pun lari tergopoh-gopoh hingga menjatuhkan biji wijen milik adiknya dalam pasir putih. Karena kecewa atas perselisihan itu, Indera Kemala memilih membuang diri ke timur dan hilang di Oi Mbora.
Indera Zamrut akhirnya menjadi raja Bima. Raja-raja Jawa, Bali, Sumbawa, Ende, Sumba, Manggarai sampai ke timur takluk kepadanya dan membawa upeti ke Bima. Ditempat bernama Air Te, Indera Zamrut memperistri peri dan memperoleh puteri bernama puteri Indera Peri. Peri tersebut pulang ke kayangan, tetapi tiap malam turun ke bumi untuk menyusui anaknya. Kemudian Maharaja Indera Zamrut memperistri anaknya sendiri dan memperoleh seorang putera dan dua orang puteri.
Anak sulung Indera Zamrut memperistri adik perempuan dan memperoleh empat putera dan seorang puteri. Anak sulung menjadi raja di Dompu, yang kedua menjadi raja di Bolo, yang ketiga duduk di Waki, dan yang keempat memperistri adik perempuan. Kemudian mereka beranak dua, yang putera mengawini adiknya dan medapat dua putera dan dua puteri. Putera sulung mengawini salah seorang adiknya dan menjadi menteri. Putera bungsu mengawini adiknya yang lain dan menjadi raja. Kemudian dia pergi ke Majapahit dan memperistri anak dewa. Mereka mendapat seorang putera dan tiga puteri. Selanjutnya, anak laki-laki mengawini salah seorang adiknya. Dia memerintah di Jawa dan di Bima, tetapi tidak memiliki keturunan. Muncul dewa di Seruhu yang merupakan Maharaja Indera Kemala. Dia akhirnya memperistri janda raja yang tidak beranak. Akhirnya mereka memiliki putera yang mengawini adik ibunya. Akhir cerita mereka memiliki dua puluh putera dan sepuluh puteri.

3.        Episode Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa
Setelah mengetahui sinopsis Ceritera Asal, selanjutnya akan diuraiakan isi cerita menjadi beberapa episode. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penemuan ceiteme-ceriteme yang akan dipersandingkan.

Episode I (Penciptaan Jan Manjan dan keturunannya)
1)        Jan Manjan diciptakan dari ujung api yang tiada berasap.
2)        Adam diciptakan dari empat anasir, yaitu api, angin, air, dan tanah. 
3)        Jan Manjan berputera tiga; yang sulung bernama Batara Indera Guru menjadi penerus keturunan bangsa jin, yang tengah menjadi asal keturunan dewa dan mambang, dan yang bungsu mejadi asal keturunan cendera dan peri.
4)        Batara Indera Guru memiliki keturunan; Batara Indera Brama, Batara Indera manis, dan Maharaja Indera Palasyara yang kemudian memiliki dua anak.
5)        Kedua anak tersebut bernama Begawan Basugi menjadi raja jin di Magrib dan Begawan Biyasa menjadi raja di Musyrik atau kayangan.
6)        Batara Tunggal memiliki anak dari Begawan Basugi; puteri bernama Julus al Asyikin.

Episode II (Perang sabil oleh Iskandar Zulkarnain melawan Jin Magrib dan Jin Masyrik)
1)        Iskandar dan Nabi Khidir menyerang kerajaan jin atau kota Batara Tunggal.
2)        Batara Tunggal dan rakyatnya menyerah dan memeluk islam.
3)        Iskandar dikawinkan dengan putri Julus al-Asyikin.
4)        Iskandar berputera tiga; menjadi raja di Istambul-Rum, raja di Jepun-Cina, dan raja di Andalas Minangkabau.
5)        Iskandar menyerang Tanah Masyrik diiringi oleh Batara Tunggal dan raja-raja peri, mambang, dan dewa.
6)        Setelah tujuh tahun berperang di kota Batara Ratu atau Masyrik akhirnya Iskandar memenangkan pertempuran dan Batara Ratu menyerah dan memeluk islam.
7)        Iskandar pulang ke negeri Arab.  

Episode III (Begawan Biyasa menjadi asal keturunan raja-raja di Bima)
1)        Begawan Biyasa mempunyai dua anak; yang putera bernama Pandu Dewanata yang memperistrikan adiknya sendiri yang bernama Ganti Nadzraja.
2)        Pandu Dewanata memiliki lima anak, yaitu pandawa lima; Maharaja Darmawangsa, Sang Bima, Sang Kula, Sang Rajuna, dan Sang Dewa.
3)        Pandawa lima tersebut berperang memperebutkan tanah Jawa dari Maharaja Boma.

Episode IV (Bima dibantu Katut Kaca Menaklukkan Boma atau Tanah Jawa)
1)        Rajuna terkena anak panah Boma.
2)        Darmawangsa turun ke bumi menolong adik-adiknya.
3)        Bima pergi ke kayangan dan mencari obat untuk Rajuna.
4)        Bima memperistri Dewa Rimbi.
5)        Bima memiliki putera bernama Katut Kaca. 
6)        Bima dan Katut Kaca berhasil merebut tanah Jawa.
7)        Darmawangsa pergi bersemedi ke Gunung Seumawe dan meninggalkan tahtanya.
8)        Katut Kaca menjadi Raja menggantikan Darmawangsa.
9)        Nabi Muhammad memerintahkan para sahabat untuk mengislamkan segala jin dan manusia di bumi. Dan diingatkan negeri Pasai telah diislamkan oleh Iskandar.
10)    Suruhan cucu nabi Muhammad, yaitu Sayyid Muhammad dan Sayyid Ibrahim tiba di Pasai dan menganggap bangsa tersebut kafir karena tidak berbaju ala Arab.
11)    Pembesar kerajaan membaca kalimat syahadat dan membacakan seluruh isi Al-quran.
12)    Suruhan cucu nabi Muhammad memilih tinggal di Pasai untuk menebus kesalahan. 

Episode V (Pendirian Wangsa raja Bima)
1)        Sang Bima pergi dari pulau Jawa ke arah timur.
2)        Bima sampai di pulau Satonda.
3)        Bima menatap puteri raja naga dan hamillah sang puteri.
4)        Lahir anak perempuan bernama Indera Tasi Naga.
5)        Sang Bima memperistri anaknya, Indera Tasi Naga.
6)        Bima memiliki putera bernama Maharaja Indera Kemala dan Maharaja Indera Zamrut. 
7)        Kedua bayi tersebut dibuang oleh Bima atau ayahnya, ke laut dengan buluh dan mutiara.
8)        Bima menyuruh anaknya sampai ke negeri Bima.
9)        Orang Dompu menyambut gembira kedatangan dua anak itu.
10)    Kedua anak itu akhirnya tinggal di Gunung Parewa lalu Bukit Londo.
11)    Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo memohon kedua anak itu menjadi raja di negeri Bima.
12)    Kedua anak itu pergi ke Padolo.
13)    Indera Zamrut memohon pada kakaknya pergi ke barat dan menjadi raja.

Episode VI (Perselisihan Indera Kemala dan Indera Zamrut)
1)        Indera kemala beristana dekat laut Gema Mengail.
2)        Indera Zamrut meminjam kail dan mengail di Tanjung Tonggohalo.
3)        Kail ditelan ikan kerapu dan talinya putus.
4)        Indera Kemala melarang adiknya atau Indera Zamrut mengganti atau membayar kail.
5)        Indera Zamrut mengeluarkan kail dari mulut ikan dan dihadiahi sebatil penuh wijen.
6)        Indera Zamrut berbohong dan meminta Indera Kemala datang ke kerajaannya.
7)        Indera Kemala datang tergopoh-gopoh dan menumpahkan wijen di atas pasir.
8)        Indera Zamrut marah dan meminta kakaknya memungut wijen yang tumpah di pasir.
9)        Indera Kemala kecewa atas dan membuang diri ke timur dan hilang di Oi Mbora.

Episode VII  (Perkawinan Indera Zamrut dengan bidadari)
1)        Indera Zamrut menjadi raja di Bima.
2)        Di Air Te, Indera zamrut memperistri peri bernama Putri Fari Dewi Tia.
3)        Indera Zamrut memiliki anak atau puteri.
4)        Maharaja Indera zamrut memperistri anaknya sendiri.
5)        Maharaja Indera Zamrut memperoleh seorang putera dan dua orang puteri.
6)         Keturunan Maharaja Indera zamrut saling kawin sumbang antara dua saudara sampai delapan angkatan atau keturunan.
7)        Anak sulung Indera Zamrut memperistri adik perempuannya dan memperoleh empat orang putera dan seorang puteri.
8)        Anak sulung dari perkawinan di atas menjadi raja di Dompu, kedua menjadi raja di Bolo, ketiga tinggal di Waki, dan keempat memperistri adiknya.
9)        Mereka saling kawin dan menghasilkan dua putera dan puteri.
10)    Putra sulung mengawini salah seorang adiknya dan menjadi menteri (Raja Bicara).
11)    Putra bungsu mengawini adiknya dan ke Majapahit lalu memperistri anak dewa.
12)    Mereka mendapat seorang putera dan tiga puteri.
13)    Anak laki-laki mengawini adiknya dan menjadi raja di Jawa dan Bima tetapi tidak memiliki anak atau keturunan.
14)    Muncul Maharaja Indera Kemala sebagai dewa di Seruhu.
15)    Maharaja Indera kemala memperistri janda raja yang tidak beranak.  
Angka Romawi di atas menunjukkan episode, sedangkan angka Arab merupakan sub-sub episode. Ceriteme-ceriteme yang akan dipersandingkan dalam pembahasan berikutnya, diambil dari rangkaian peristiwa dalam sub-sub episode. Ceriteme-ceriteme diambil dari sub-sub episode yang letaknya belum tentu berurutan.

4.        Relasi-Relasi dalam Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa
Pembacaan secara keseluruhan terhadap Ceritera Asal memberikan peluang untuk melakukan pembagian cerita dalam beberapa episode yang terdiri atas sub-sub episode. Ceriteme-ceriteme pun ditemukan pada tingkat sub episode, baik implisit maupun eksplisit.
Ceriteme-ceriteme yang disusun bertujuan untuk mempermudah penafsiran perbuatan tokoh yang ada di dalam relasi. Selain itu, langkah ini berfungsi untuk menunjukkan makna-makna yang terkandung di dalam relasi antarceriteme yang mewakili seluruh teks Ceritera Asal. Dengan demikian, akan ditemukannya sejarah, sistem kekerabatan, kehidupan sosial, nilai-nilai kejiwaan, akhlak, agama, yang melatarbelakangi dimana cerita ini berasal.
Perbandingan antarceriteme tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan cerita, meskipun tidak semua tokoh dan peristiwa terlibat dalam perbandingan antarceriteme. Hanya tokoh atau peristiwa yang mempunyai relasi saja yang diambil dalam perbandingan secara struktural. Kemudian ceriteme yang diperbandingkan dan membentuk relasi berasal dari subepisode dan episode sebagai berikut.

Relasi I “Perbedaan Karakteristik antara bangsa Jin dan Manusia Lewat Tokoh Keturunan Jan Manjan dan Iskandar Zulkarnain”
            Relasi I memuat ceriteme-ceriteme yang diambil dari episode I-II yang menggambarkan bagaimana karakteristik bangsa jin dan manusia. Karakteristik yang berbeda antara jin dan manusia tidak terlepas dari latarbelakang penciptaan.
Ceriteme-ceriteme yang memuat tokoh manusia yang beriman pada islam melalui tokoh Iskandar Zulkarnain dan tokoh jin yang belum memeluk islam diwakilkan dengan keturunan-keturunan Jan Manjan, yaitu Batara Tunggal dan Batara Ratu. Kedua tokoh tersebut memiliki ceriteme-ceriteme yang termuat dalam perbedaan, yang membentuk relasi-relasi yang saling berlawanan.
            Manusia dan jin memiliki keturunan atas bangsanya. Iskandar Zulkarnain mengajak keturunan jin, yaitu Batara Tunggal yang menempati kota Magrib untuk memeluk islam. Ajakan tersebut tidak disetujui oleh raja sehingga terjadi perang selama tujuh belas tahun. Kemudian nabi Khidil memberi pertolongan kepada Iskandar Zulkarnain untuk mengalahkan Batara Tunggal. Alhasil, Iskandar Zulkarnain menang dalam peperangan dan menyarahlah Batara Tunggal beserta rakyat jinnya dan memeluk islam.
            Perjalanan Iskandar Zulkarnain dalam melakukan pengislaman terhadap bangsa jin di kota Batara Ratu di Masyrik dan terjadilah perang. Batara Tunggal dengan bala tentaranya turut membantu. Bangsa manusia akhirnya mampu mengalahkan bangsa jin tersebut. Raja Batara Ratu kalah, menyerah, dan memeluk islam.
            Ceriteme-ceriteme yang menunjukkan relasi “perbedaan karakteristik antara bangsa jin dan manusia” jika dirangkaikan akan membentuk skema berikut.    
Tokoh Ceriteme

     
  IS  → manusia                            dari 4 anasir                      Nabi Adam                 Islam  
  BT→ Jin Magrib  Asal muasal    dari api         Keturunan    Jan Manjan   agama    tidak beragama   
  BR→Jin Masyrik                        dari api                             Jan Manjan                 tidak beragama   

    
                                          IS  →  menyerang                          menang
Peperangan untuk pengisalaman  BT → diserang       Akhir Perang   kalah & memeluk Islam
                                                    BR → diserang                               kalah & memeluk Islam 

Keterangan:
IS = Iskandar Zulkarnain
BT = Batara Tunggal
BR = Batara Ratu
Garis                      = ceriteme yang diperbandingkan
Garis .................... = ceriteme pembanding/yang membandingkan
Gambar. 1. Skema relasi perbedaan karakteristik antara bangsa jin dan manusia lewat tokoh keturunan Jan Manjan dan Iskandar Zulkarnain
           
Keterkaitan asal muasal penciptaan sebagai makhluk Allah perlu diketahui untuk mengungkapkan makna dari relasi tersebut, dimana manusia dengan keempat anasir dalam proses terjadinya manusia membuat manusia memiliki karakteristik yang berbeda dengan makhluk lain.
            Perbedaan karakteristik yang kemudian berelasi dengan pemikiran tentang Tuhan dan agama Islam, jelas telah terlihat dari mulai proses penciptaan. Jin diciptakan hanya dari api. Sifat api adalah simbol akan sesuatu yang panas dan mengerikan, sedangkan  manusia diciptakan dari empat unsur anasir, yaitu api, angin, air, dan tanah.
Empat unsur tersebut sebagai simbol adanya korelasi antarunsur sehingga membentuk suatu wujud: manusia yang lebih sempurna dari jin. Dimana api menunjukkan panas dan mengerikan dalam diri manusia, kemudian di lengkapi dengan angin yang memberikan hembusan atau harapan akan sebuah kehidupan yang tidak mengerikan seperti api. Selain itu, unsur air menjadi simbol akan kesejukan dan kedamaian, kemudian tanah sebagai unsur terakhir yang menjadikan manusia sempurna. Tanah menjadikan manusia pada posisi yang mampu meredam atau bertahan dari air, angin, dan api. Dengan demikian simbol-simbol atau ceriteme tersebut menunjukkan bahwa manusia memiliki keseimbangan dalam melakukan sesuatu, yaitu seperti penguasaan diri dan akal.
Karakter yang dibangun tentang bangsa jin terlihat pada tokoh Jan Manjan hingga keturunannya, yaitu Batara Tunggal dan Batara Ratu yang menjadi islam setelah kalah dalam peperangan dengan Iskandar Zulkarnain.
Bangsa jin adalah simbol bangsa yang tidak berkarakteristik cerdas sehingga tidak memiliki akal dan pemikiran akan Tuhan dan islam, sedangkan bangsa manusia memiliki karakter sebagai bangsa atau makhluk yang cerdas dengan adanya akal dan pemikirannya terhadap adanya keberadaan Tuhan dan Islam. Dengan begitu, dalam relasi I ditemukan oposisi sebagai berikut.
Bangsa Jin    = makhluk kurang sempurna yang diciptakan dari satu unsur saja, serta berkarakter bodoh atau kurang berakal sehingga tidak berpikir tentang Tuhan.
Bangsa manusia = makhluk sempurna yang diciptakan dari empat unsur, serta berkarakter cerdas atau berakal sehingga berpikir tentang Tuhan dan islam.

Relasi II “Kehidupan dan Kepahlawanan Sang Bima”
            Relasi kedua, memperlihatkan peranan pandawa lima, raja Boma, Dewa Arimbi, dan Katut Kaca. Tokoh-tokoh tersebut memiliki peran masing-masing dalam membentuk perjalanan kehidupan sang Bima dan perwujudan atas jiwa kepahlawanan dalam dirinya. Ceriteme-ceriteme yang membentuk relasi ini terdapat dalam episode III dan IV.
Sang Bima dan adik-adiknya (Sang Kula, Sang Rajuna, dan Sang Dewa) berperang dengan Maharaja Boma untuk menguasai tanah Jawa. Di tengah pertempuran, Sang Rajuna terkena panah Boma. Melihat jatuhnya saudaranya dalam pertempuran membuat hati Bima tidak tega dan pergi kekayangan. Bima mendapatkan obat dari Dewa Arimbi dengan syarat; Bima harus memperistrinya. Mendengar itu, Bima tidak memperdulikan akan kesenangan dirinya tetapi keselamatan Rajuna serta kemenangan pandawa lima dalam menguasai pulau Jawa. Setelah Rajuna sehat, Bima menepati janji menikahi perempuan tua dan menghasilkan anak bernama Katut Kaca.
Perang belum usai sampai Katut Kaca dewasa, maka ikutlah sang Katut Kaca membantu ayahnya. Akhirnya mereka memenangkan peperangan dan menguasai pulau Jawa. Ceriteme-ceriteme di atas dapat disusun pada skema sebagai berikut.

Tokoh Ceriteme

 


 B/P  → penjajah   wujud          menguasai P. Jawa              Awal              kalah/ R terpanah

 BO   → raja          keinginan    telah menguasai P. Jawa    peperangan    menang/ memanah R

 


 Penundaan perang  BI → butuh obat untuk R    kekayangan   BI→ janji beristrikan Dewa Rimbi     
    
                               BO→tidak butuh obat
 


  perang         BI/P → dibantu  Katut Kaca       akhir peperangan  menang
 
 berlanjut       BO→ tanpa tambahan bantuan                                kalah

Keterangan:
BI/P = Bima/ pandawa
R = Rajuna
BO = Boma
Garis                          = ceriteme yang diperbandingkan
Garis ........................ = ceriteme pembanding/yang membandingkan
Gambar. 2. Skema Kehidupan dan Kepahlawanan Sang Bima 

                Makna dari relasi tersebut adalah kehidupan sang Bima dan kepahlawanannya demi bangsa dan saudaranya. Perang perebutan kekuasaan dilakukan pandawa lima dipimpin Bima untuk memperluas daerah kekuasaan demi kelangsungan hidup bangsanya.        
Dalam Ceritera Asal kehidupan sang Bima merupakan bagian dari silsilah atau garis keturunan dekat dengan wangsa raja-raja negeri Bima. Karakter kepahlawanannya tersebut menjadi sifat yang berharga yang diwariskan pada keturunannya selanjutnya.
Kehidupan sang Bima dengan perjalanannya dalam berperang dan memperistrikan Dewa Arimbi merupakan satu kesatuan peristiwa penting yang meliputi seorang Bima, yaitu bahwa sang Bima adalah kesatria yang menghormati perempuan dan menepati janji. Dengan demikian, tokoh Bima sebagai simbol tentang raja atau panglima perang dan seorang lelaki yang berjiwa kepahlawanan dan kemenangan. Adapun dalam relasi II ini ditemukan oposisi sebagai berikut.
Bima = rakyat yang  belum menguasai atau merebut pulau Jawa dan mengalami kemenangan saat perang.
Boma = raja yang telah menguasai pulau Jawa dan mengalami kekalahan saat perang.

III.     PENUTUP
            Pembacaan pada seluruh isi Ceritera Asal dan menganalisis dengan teori Levi Strauss dalam mengungkap mitos membawa pada sebuah kesimpulan, bahwa Ceritera Asal memiliki kandungan mitos yang cukup kuat yang tentu menjadi karakteristik wangsa tersebut atau masyarakatnya. Adapun interpretasi dari analisis tentang mitos-mitos sebagai berikut.
            Pertama, sejarah masyarakat Bima atau wangsa raja Bima dari garis keturunan orang-orang sakti. Hal ini berangkat dari mitos silsilah atau asal-usul wangsa raja-raja Bima yang berasal dari jin, manusia, bahkan dewa. Hal ini menjadi simbol adanya ketidakbiasaan, keluarbiasaan atau keajaiban wangsa tersebut yang berbeda dengan wangsa lain menjadikan wangsa Bima sebagai wangsa sakti, agung, dan pilihan Allah dan nabi, serta bukan wangsa dari keturunan manusia biasa. Hal tersebut di antaranya, adanya perkawinan tidak logis atau perkawinan antara bangsa jin, bangsa manusia, dan bangsa dewa, seperti perkawinan puteri Julus al-Asyikin dengan bangsa manusia, yaitu Iskandar Zulkarnain.
            Kedua, akhlak manusia yang mulia atau sempurna (berakal atau cerdas). Hal ini berangkat dari mitos penciptaan manusia dari empat anasir atau empat unsur, yaitu api, angin, air, dan tanah. Hal ini menjadikan manusia khususnya wangsa raja Bima berbeda dengan mahluk lain atau jin, bahwa manusia lebih seimbang bahkan sempurna dari jin karena memiliki akal dan mampu berpikir mengenai dirinya, lingkungan (kerajaan atau daerah kekuasaan), dan sosial (saudara dan bangsa), dan keberadaan Tuhan serta islam.
            Ketiga, wangsa yang beriman (beragama islam). Hal ini berangkat dari mitos silsilah wangsa raja Bima yang bermula dari peperangan yang terus terjadi untuk pengislaman yang dilakukan sejak Iskandar Zulkarnain terhadap kerajaan Jin yaitu kerajaan milik Batara Tunggal dan Batara Ratu, hingga peperangan yang dilakukan raja Bima dan Katut Kaca terhadap  Kerajaan Boma. Leluhur wangsa raja Bima dalam penyebaran islam diutus langsung oleh nabi Muhammad dan dibantu oleh suruhan cucu nabi Muhammad, yaitu Sayyid Muhammad dan Sayyid Ibrahim.
            Keempat, wangsa yang berjiwa pahlawan, handal dalam memenangkan perang (panglima perang yang handal dan pemberani). Hal ini berangkat dari tiada gentarnya Bima bersama kakak dan adik-adiknya (pandawa lima) dalam berperang, meski perang tersebut terjadi hingga tujuh belas tahun dan dibantu Katut Kaca.
            Kelima, wangsa yang mengasihi dan menjunjung atau mendahulukan kepentingan sosial atau orang lain. Hal ini berangkat dari hati Sang Bima yang pengasih terhadap adiknya Rajuna dan  kebesaran hati dengan menepati janji dan mengenyampingkan kesenangannya atau berbesar hati untuk menepati janji dengan menikahi Dewa Arimbi dan menghormati perempuan tersebut.
            Selain itu terkait pula sejarah wangsa raja Bima melalui penceritaan silsilah wangsa Bima. Dalam hal ini mengenai keberadaan wilayah kerajaan Bima ternyata juga memiliki kekerabatan atau darah keturunan dengan wangsa di kerajaan lain seperti wangsa Dompu, serta begitu dihormatinya raja Bima oleh raja-raja di Jawa, Bali, Sumbawa, Ende, Sumba, Manggarai, dan daerah Gunung Seumawe (asal negeri Aceh), serta silsilah leluhur wangsa Bima menjadi para raja, yaitu raja di Istambul-Rum, raja di Jepun-Cina, raja di Andalas Minangkabau.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S. 2001. Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Chambert-Loir, Henri. 1985. Ceritera Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa. Bandung: Angkasa dan Ecole Francaise D’Extreme-Orient.
Hendy, Zaidan. 1991. Pelajaran Sastra 1.Jakarta: Grasindo.
Partiningsih. 2008. Syair Damarwulan dalam Kesusasteraan Melayu Sebuah Penafsiran ala Strukturalisme Levi Strauss. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Adicita Karya Nusa. 
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Caps.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989. Teori Kesusasteraan: Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

* Untuk Makalah Pendamping dalam Seminar PIBSI pada 2-3 Oktober 2015
    di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta