Senin, 23 April 2012

sajak hidup

dan terhamparlah segala kehancuran dan segala keruntuhan menanggalkan segala bentuk kegelisahan menyiratkan segala kepahitan yang tak lagi terendam kedalaman rasa ke-Agungan hidup telah ada menyibak ke segala sudut-sudut tembok yang runtuh yang karam yang lebur jadi debu abu-abunya yang terasa dan tersisa membalutkan luka yang telah lebih dari luka mensenjakan pagi yang riuh karam segalanya menjadi lebih dari berarti atau tak berarti semua menjadi batu-batu yang berbongkah-bongkah menyisakan kemelut yang tak lagi kalut jika insan mampu mensyukuri bahwa karamnya, hancurnya, debunya, adalah ilalang yang luas tiadalah lagi bagimu keabadian yang lebih abadi dari kesejatian kesejatian hidup yang hancur yang karam yang debu yang roboh yang menyisakan senyummu hanya pada ilalang yang menyambut matahari dan pagi seperti senja maka tak akan ada lagi kata-kata tak akan ada lagi doa-doa tak akan ada lagi rasa tak ada lagi cerita walau hanya sekedar pada puing-puing sekedar pada hembusan angin dan debu walau hanya sekedar berdendang di bumi dibawah kebiruan langit hilanglah segala rasa hilanglah menyatu pada jiwa-jiwa yang jauh tiada dendam tiada rindu tiada mimpi karena hidup adalah kosong adalah kehancuran adalah puing-puing dan ilalang adalah senyum janggal adalah insan yang menopang beban pada langit segeralah melayang pada tiada dan ketiadaan pada yang ada untukmu kesejatian hidupku

sajak kehidupan oleh Nila Mega Marahayu

keruntuhan yang masih tersisa diantara sebuah senyum dan rindu
menanggalkan sebuah impian untuk mengejar keabadian
bahwasanya hidup sesungguhnya adalah kematian
dan adalah kehancuran
dan siap untuk kembali pada ketakmengertian nafas Illahi
yang dihembuskannya bagi insan yang mampu bersyukur bersyukur pada detak waktu yang tak tentu
pada kesejatian dan keabadian hidup yg semu
hanya itu,
kemudian semua akan kembali
seperti hati yang karam meninggalkan keheningan
menanggalkan segala sesak
melayangkan segala hembusan penat
itu saja, sudah
kembalilah segalanya pada tiada dan adanya ada
pada kekosongan hidup pada kesyahduan semu
kehidupan yang misteri

Minggu, 15 April 2012

Representasi Sajak Sendja di Tanah Abang Karya M.Hussyn Umar

M.Hussyn Umar dalam sajak Sendja di Tanahabang menunjukkan perhatiannya pada masalah sosial. Ia memberikan perhatiannya secara khusus kepada rakyat pinggiran, yaitu para gelandangan, pelacur, atau para perantau yang masih berumah kecil atau kumuh di sekitar tanahabang dan menjadi pedagang kecil untuk menyambung hidup. Pada sajak ini, ia memposisikan dirinya sebagai perantau di Jakarta yang belum menjadi siapa-siapa. Kata Aku dalam sajak ini dapat dikatakan sebagai simbol yang bermakna sebagai rakyat kecil.
Si Aku dalam sajak ini mengamati sekitarnya atau mengalami sendiri betapa sulitnya hidup di kota Jakarta. Hidup harus penuh dengan perjuangan untuk bertahan. Sulitnya mendapat pekerjaan, makan, dan tempat tinggal yang nyaman membuat rakyat kecil tersebut seolah dikejar-kejar waktu tetapi tidak juga mendapatkan posisi sosial yang baik. Keadaan tersebut tergambar pada kelelahan yang dialami. Ia harus berlari mengejar waktu. Kerja kerasnya yang seperti berlari secepat larinya dokar, larinya trem, atau larinya becak, tetapi belum juga mendapatkan apa yang diharapkannya atau kehidupan yang lebih baik. Orang-orang sekitarnya ada yang ingin menghindari kelam atau berkeinginan untuk terlepas dari kesulitan (kelam) dan ada pula yang pasrah dengan keadaan sulit (datang menyongsong malam). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Lusuh kaki membawa daki
Bukan djalan, bukan leha, tapi lari
Lari dokar, lari trem, lari betja
Abang buru-buru mentjari rumah dan djalan-djalannja
Ada yang menghindari kelam
Atau ada yang datang menjongsong malam-

Banyaknya gelandangan yang terlihat sulit dalam menjalani hidupnya untuk bertahan membuat mereka tergeletak di sepanjang Tanahabang. Tergambar betapa kumuhnya mereka karena tidak terurus, tanpa rumah, tanpa mengenal kebersihan hingga tercium bau dari badannya, tanpa makan yang cukup hingga kurus badannya seperti bangkai hidup yang habis digerogoti musuhnya sendiri, yaitu kesulitan atau kerasnya hidup di kota. Keadaan tersebut membuat harapan mereka sangat kecil (matahari lemah pudar). Disamping itu, ada ditengah-tengah mereka yang lebih beruntung dengan mampu memiliki modal untuk menjadi pedagang seperti tukang obat, tukang sate, tukang soto. Bau dari makanan itu memberikan mereka harapan untuk bertahan hidup, dalam hal ini betapa makanan dan pekerjaan menjadi penting. Ada pula yang bertahan hidup dengan menjadi pelcur ibu kota seperti Sinah yang mulai berdandan di malam hari. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
Di gerbong kosong, di dengkul djembatan
Aku tjium bau orang-majat terdampar jang enggan mati
Aku lihat khafilah bangkai-bangkai hidup
Hanjut tergajut-gajut di aliran pergi penuh daki
Dari pusat satu hari kekalahan jang bertubi-tubi
Pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
Tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
Dan baunja jang memaksa datang harapan jang enggan
Dan malam inipun sinah akan berdandan lagi
Mengibar bendera jang aus bolong dalam pangkuan

Kelelahan akan usaha yang coba dilakukan untuk menuntaskan kesulitan hidup belum juga berakhir dari keadaan si aku atau rakyat kecil. Setiap hari mereka berusaha dan memulai lagi harapan untuk hidup lebih baik atau layak, tetapi harapan itu selalu pupus, dapat dikatakan bahwa setiap pagi mereka berusaha dan setiap senja mereka tidak mendapatkan buah usahanya. Akhirnya keadaan tersebut membawa mereka untuk bertahan dengan membayangkan adanya harapan lagi untuk hari esok, meski harus begitu seterusnya. Keadaan tersebut tidak membuat mereka mati tetapi tidak juga dapat membuat mereka bermimpi atau berharap lebih dari itu. Mereka hanya tahu bahwa setiap hari haruslah berusaha dengan mencari dan bahkan berlari, walaupun pada akhirnya tidak tahu untuk apa dan bagaimana (usaha yang seolah sia-sia). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari mendjandjikan satu hari lagi
Satu hari lagi
Jang tidak buat mati, tidak buat mimpi
Untuk cari,
Untuk lari, untuk....

Penyair melalui sajak ini memberikan gambaran akan kehidupan yang sulit, jangankan untuk diam karena dengan usaha keras pun, belum tentu dapat mengubah keadaan yang lebih baik di kota. Keadaan kota yang kejam di tanahabang, dimana tempat itu adalah pusat pertokoan yang seharusnya mampu memberikan apa yang diinginkan rakyat sekitarnya (kebutuhan terpenuhi) tetapi justru sebagian dari rakyat tersebut harus memupuskan harapan (kebutuhan tidak terpenuhi).
Sajak Sendja di Tanahabang dapat dimaknai yaitu Tanahabang yang men-senjakan harapan rakyat sekitarnya (rakyat pinggiran atau marjinal) atau harapan hidup rakyat pinggiran yang belum juga terpenuhi di Tanahabang (ibu kota) hingga harapan itu menjadi semakin senja atau tua, rapuh, atau tidak lagi dapat menjadi harapan yang bermakna utuh, atau dapat dikatakan bahwa harapan tinggallah harapan tanpa kenyataan.
***

Minggu, 01 April 2012

kata-kata indahku untuk hidup terindah ^^

“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar-Rahman 13)
#ketika saia inginkan Surga, maka saia akan mulai membangun Surga itu dengan sebatas kemampuan saia,, Dan dengan nikmat-Mu yg tiada pernah terbatas :)
(Persembahan untuk Tuhan)


**
selalu ada mentari untuk esok,,
masih ada kehidupan utuh yg harus diperjuangkan,,
Dan Jangan pernah kembali menjadi sebutir pasir,,
Jangan pernah :)
(Persembahan untuk diri sendiri)


**
tiada yang lebih istimewa selain menyebutmu
dalam tiap kesusahan dan kerapuhan hidup,
meski jauh terasa dan tak banyak pembicaraan
tapi nasehat-nasehatmu adalah lonceng penggugah kebobrokan dalam diriku,,
sesungguhnya semua bukan untuk mu atau untuk ku,,
tapi untuk kita di hari esok,,
semoga semua niat ini tercapai, menuliskanmu dalam diari nyata, sebagai persembahanku akan sastra padamu ^^
#doa dan cintamu yang akan menghidupiku disini :)
(persembahan untuk papah dan mamah)