Selasa, 23 Juli 2013

Kebenaran Semakin Senja

(Hanya sebuah cerpen)   
Kebenaran Semakin Senja  
            Ia menatap langit-langit ruangan yang telah dihuninya selama tiga belas tahun. Kayu-kayu tua yang semakin senja layaknya dirinya, terus berjuang menantang angin di setiap jamannya. Hening, sepi, hampa, begitulah si tua itu menikmati dunia. Hal yang bisa membuatnya menangis juga meradang dengan alasan yang harus ditelannya mentah-mentah, dan hanya sendiri. Lamat-lamat ia terbawa dalam fikiran yang jauh. Jauh di dunia petualangan yang sadis tapi manis, semanis sunggingan bibir putranya saat bola mata beranjak menelanjangi foto, setengah meter dari kursi, tempat ia merebahkan keluh dan kesah. Ia semakin sulit menerima apapun tawaran sekenario Tuhan. Tanpa terasa air asin meleleh melewati pipi keriputnya, terus menghujani dunia batinnya. Entah apa yang harus diutarakan? dari mana awalnya? ia tak mengerti. Semakin teringat jelas kejadian tadi, seolah belati semakin bangga menyayat dada.
            "Bapak tidak setuju kalau kau benar-benar jadi Tentara, nak."
            "Oow... masih batukah hati dan pikiran bapak untuk negeri tercinta ini? sampai kapan jiwa pemberontak bersemayam dalam sanubari bapak?!"
Ia terkejut seketika. Sembari berkerut dahinya, ia mencoba melanjutkan, tapi terhenti.
            "Aku tak peduli dan akan tetap jadi Tentara!" Ungkapnya setengah berlalu.
***
            Disana, di sebuah permai, di sebuah kehijauan yang syahdu bersama angin yang tiada enggan berhembus, Pandan Gadang, Sumatera Barat, selalu tersirat dalam pikirannya. Kelahiran Datuk yang menebarkan cakrawala kesatria sejati, membuatnya kian gigih atas bara tekadnya, mencari dan menjadi seperti beliau.  
            Perjuangannya menyelinap lihai demi sampai di tanah Semarang, terlaksana sudah. Segera ia turun dan berjalan jauh memasuki hutan. Hanya disinari matahari pagi dari celah-celah pohon Jati yang tinggi, di sela-sela belantara. Ia bergerak menyelamatkan diri dari truk pengangkut rempah-rempah pribumi bawaan Tentara Belanda. Bertahan melewati malam demi malam, di bawah tumpukan karung-karung besar beraroma cengkeh, kopi, dan semerbak aneka aroma lain yang tak dihafalnya. Untung saja dari ketiga Tentara Belanda, tak satu pun menyadari keberadaannya.
            Detik, menit, jam, hingga hari genap kesebelas dalam perantauan, setelah perut tak kuat lagi ingin memuntahkan daging rusa dan ular yang disantapnya. Teringat ia akan rutinitas pagi buta. Di saat ia menahan lapar karena bekal ubi dari kampung Minang telah habis. Ia seperti beradu keganasan dengan binatang buas hutan untuk memanjakan perut yang kelaparan. Ia memejamkan mata. Terdengar suara di semak-semak sebelah tenda kumuhnya. Entah berasal dari nyamuk-nyamuk bringas yang berkecamuk di sekitar telinganya, anjing-anjing liar yang mengaum, ataukah setan-setan belantara yang bergelayutan. Jiwa apa yang ada dalam dirinya kala itu, rasanya roh raja hutan tengah bersemayam, tak ada lagi rasa jijik dan belas kasihan. Ia tangkap ular yang merayap di pohon besar dan jatuh ke atas tendanya. Ular belang itu mencoba melawan. Mulut penuh bisa siap mencabik daging si perantau, tapi bumi berkata lain. Dengan belati tajam, ia memotong dan menguliti. Lalu mengikat kepalanya dan menggantungnya pada pohon. Setelah api melahap kayu-kayu menjadi abu, maka lenyap seketika rasa lapar itu. Disantaplah ular bakar buatannya.
Sirnalah cerita hari itu, kemarin. Sebenarnya semua peristiwa tak begitu dihiraukan, tak menarik perhatian, sebab seluruh jiwa raganya padam kecuali harapan. Kini, barulah ia seakan ingin berteriak sekeras-kerasnya, belari sekencang-kencangnya, demi  meluapkan emosi rindu yang terpendam. Disana, di depan gubuk tua, di sebuah desa kecil yang baru dijumpainya terdengar seseorang menyebut nama "Tan Malaka".  
            Sungguh wajah rupawan yang penuh keramahan, tiada pernah berhenti melukis kenangan indah tentang sosok Datuk dalam dirinya. Persahabatan yang terjalin diantara keduanya laksana lampu pijar yang siap tak redup menerangi sekeliling hutan yang gulita.
            "Teruslah jadi penerang untuk rakyat, aku percaya kau bisa menjadi lebih dari aku, Ibrahim!" Ucap Datuk penuh keyakinan yang terpancar tulus dan berpengharapan, serta tepukan tangannya ke pundak Ibrahim membuat bulan di malam itu seolah ikut menyanggupi secara jantan tanpa paksaan. Udara berhembus mesra. Begitu lembut. Menjadikan nyanyian jangkrik hutan yang memamah kesunyian terasa serasi dengan malam. Terdengar alunan seruling yang entah darimana, menjajakan kemerduan, membawa kesejukan dan keindahan yang minta untuk dipertahankan, seraya berkata; “Jangan biarkan Belanda menghanguskan kampungku, anak muda”.
***
            Dahulu, ketika di ranah Minang, ia bersama kedua temannya selalu datang pagi-pagi demi duduk di kursi depan, mencari perhatian Datuk agar lebih dahulu mengajari mereka membaca dan menulis. Mereka selalu datang dengan kekosongan, tapi selalu pulang dengan penuh kejutan, yakni ilmu yang membinasakan kebodohan segelintir anak-anak Minang. Mereka bertigalah yang selalu rajin dan begitu memerhatikan Datuk, serta bercita-cita yang terucap teguh; "Aku ingin seperti Datuk." Meski dalam hati, hanya di dalam hati. 
            Dalam setiap duka dan kerinduan akan tanah kelahirannya, ia selalu menampik dengan rasa bangga dapat berjumpa dengan Datuk. Pasti jikalau kedua temannya mengetahui, betapa besar iri hati ada di dada mereka. Teringatlah kembali ia pada masa lalu:
            "Datuk itu hebat Man, beliau bisa berkelahi dengan jurus macam-macam, seperti ini; hiaat...haat...hiaaaat!" Begitulah tingkah Mochtar setiap bercerita tentang Datuk, penuh semangat. Gerakannya kacau seperti ayam kepanasan. Lain halnya dengan Hasanudin yang selalu tersedu jika bertuah tentang Datuk.
            "Aku rindu pada Datuk, beliau begitu bermurah hati, aku selalu ingat beliau tak marah saat aku tak bisa membaca. Dikala huruf A ku baca Be dan huruf  C tak ku ingat lagi namanya, kecuali O yang selalu ku ingat dari sebelum hingga sesudah tidur, karena aku suka sekali telur." Begitulah ungkapan Hasanudin, sahabatnya yang selalu membuat cerita selucu apapun menjadi kisah memilukan. Langit menjadi Mendung seketika.
            Ingatan masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa terus bermuara dalam kepalanya. Saat kedua temannya tak berani pergi. Mereka lebih memilih bertani dan beranak-pinak. Sedangkan dirinya terus berjuang mengejar mimpi untuk merantau, mencari Datuk, dan menjadi kesatria. Tak rela membiarkan usia 15 tahunnya berlalu sia-sia. Ia lambaikan tangan pada tanah Minangkabau dan hanya berbekal ilmu pencak silat serta makanan seadanya.
***
            Kedipan matanya yang berat begitu melukiskan ketaksanggupanya mengingat kembali bumi kelahiran. Yang ada hanyalah kepiluan yang membekas dalam hati, mengubah seluruh hidupnya. Sungguh, ia tak memahami tentang Partai komunis. Ia hanya mengajar membaca dan menulis murid-murid di sebuah gubuk bertuliskan "Sekolah Rakjat." Bertahun-tahun sudah ditekuninya profesi yang di perintahkan sang Datuk itu.
***
Hermawan Ibrahim kelahiran 1906, akhirnya menemukan wanita yang dipersuntingnya di kemudian hari. Tentu setelah citanya terjamah, yakni menemukan Datuk dan mengabdi pada negeri, menumpas kebodohan.
            Suara radio tua bergemuruh dengan frekuensi naik turun seperti kabur diusir angin. Berita yang terdengar sayup-sayup diseberang sana menjadi sedikit tak memuaskan. Ia putar volume pengeras suara ke puncak tertinggi, tapi tak begitu berpengaruh. Telinga dipasang baik-baik, didekatkan persis pada radio sembari tangan yang terus bekerja. Tembakau dan sedikit cengkeh ditatanya di sepotong kertas yang sangat langka. Telapak tangan menjadi tumpuan sedangkan jari-jari lihai menggulung kertas itu ke arah depan berkali-kali. Kertas itu terjelma seperti corong mungil. Lalu dibakar sedikit ujungnya. Asap mengepul indah melewati kepalanya dan lenyap. Keseriusannya menjadi-jadi. Kening berkerut tajam. Rokok buatannya itu nyaris dilupakan. Ada sesuatu yang penting. Telinga seperti menegang. Otaknya pun berputar berusaha menangkap apa yang terlontar di sana; kabar wafatnya datuk tersiar, meski masih simpang-siur.
Kepergian sang datuk memang menyakitkan. Si pejuang gagah dan cerdas itu dibawa Belanda dalam kondisi memprihatinkan. Tubuhnya terlihat layu. Mata sembabnya disembunyikan. Berat bagi seluruh warga desa terpencil itu melepasnya. Rindu pasti akan kembali menghantui Ibrahim.
            “Datuk berjanji akan kembali, jadi berita ini tidak mungkin benar... tidak mungkin.. ah, apakah Belanda bangsat itu membunuhnya?!” terasa sesak dadanya. Terasa ragu baginya percaya akan kepergian Datuk selama-lamanya.
            Tangisan bayi menyibak alam lamunannya. Kelahiran anak pertamanya yang membahagiakan ternodai duka. Tahun 1949 memupuskan harapannya pada sosok nyata Datuk.
***
            Tak pernah diketahui secara pasti: "Apakah semua yang telah dijalani adalah salah. Dimana sudut keburukan itu?" Pertanyaan yang menghantuinya selama tiga belas tahun. Pasca Gerakan 30 September, ia dianggap bersalah.
Peristiwa 1967 itu, tak akan pernah hilang dalam ingatannya. ketika jeritan tangis anak dan istri yang harus berpisah dengannya. Keluarga yang dahulu penuh suka cita telah menjadi kenangan. Ia sangat ingin mengecup kening anak dan istrinya kembali. Tapi yang dihadapinya hanya dinding bui yang dingin, sunyi, dan penuh kehampaan.
***
Ada secarik surat jaminan kebebasannya. Di dalamnya tertulis bahwa ia dinyatakan bebas dan dapat bertemu anak semata wayangnya. Rasa syukur penuh bahagia mengaliri seluruh tubuhnya. Denyut nadi yang dahulu kelu dan nyaris mati bergairah kembali. Bagaikan bayi yang siap dilahirkan ke muka dunia.
            "Anakmu telah aku besarkan, kau bisa menjadi bapak kembali. Aku mendapat perintah untuk membebaskanmu." Seorang Tentara dengan nada datar.
            Yang terpenting baginya hanyalah bertemu dan membangun keluarga kembali bersama putranya. Kesatria sejati memang telah mendaging jiwa dalam keutuhan diri, meski tak disadarinya. Ia mampu menjalani hari dengan ikhlas. Meskipun hanya sesekali sang anak mengunjunginya yang tinggal di bilik kusam dengan profesi cleaning sevice Lembaga Pemasyarakatan Semarang.
***
            Tatapannya pada foto Ahmad terhenti. Ada rasa rindu semerbak ke seluruh sanubari, terus membuatnya menyesal telah melarang sang buah hati. Suaranya tercekat di kerongkongan sebab ia tak ingin meghancurkan masa depan Ahmad. Apalah jadinya jika masyarakat mengetahui bahwa calon Tentara Ahmad adalah anak bekas tahanan.
            Ia menulis surat, namun tak diselesaikannya. Nafsu enggan menguasainya. Semenjak kemarin, si tua itu tak ingin lagi menjadi saksi kebenaran yang semakin senja.
            "Biarlah semua berjalan semestinya, semoga esok jaman akan berubah." Gumamnya sebelum roh terangkat ke langit tinggi, sangat tinggi hingga hilang segala yang ada pada dirinya.
***Tamat***

                                 
Biodata :
Nila Mega Marahayu, lahir 2 April 1988.  Sedang meraih gelar master di jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Menulis cerpen dan puisi sejak SMP.   Pernah meraih juara 2 lomba cipta dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama Sepetak dan pementasan monolog Teater Teksas Unsoed semasa menempuh gelar sarjana. Beberapa puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi di RRI Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.  
Telpon: 081585146687
Email : nilamegamarahayu@yahoo.co.id         



    

Senin, 22 Juli 2013

Di Bayang Mata Perempuan (Sebuah cerpen karya Nila Mega Marahayu)



                Matanya menembus cermin dalam-dalam. Rasanya ia hafal benar siapa yang ada disana, sorot mata yang penuh mantra, sorot mata yang penuh kenangan, sorot mata yang sendu, bahkan sorot mata yang terasa basah, dan selalu basah. Rasanya itu saja yang dimilikinya, tidak lebih, tidak juga kurang, tetapi entah dimana pun ia bernaung selalu saja ada lelaki yang mendekatinya –terpikat katanya. Mungkin karena bayang matanya selalu bertutur lembut bagai suara angin yang samar-samar membelai rambutmu dalam siang yang terik, atau matanya yang sarat dengan identitas jawanya –terlihat eksotis, entahlah. Yang pasti dan sebenar-benarnya jelas ialah hanya matanya; mata yang berpinsip, prinsip untuk hidup bahagia.
            Suara klakson mobil diluar sana membuyarkan sekejap lamunannya yang entah berkelana ke negeri entah berantah. Hanya cermin dalam genggamannya yang sempat menangkap sorot matanya yang gugup dan terkejut, sebelum kemudian diletakkannya cermin itu ke dalam tas batiknya. Tas yang setia menemaninya berangkat ke kantor surat kabar setiap hari. Ia kemas segala bayang-bayang yang sempat keluar dari matanya, yang kembali mengajaknya bicara. Biasanya bayang matanya itu akan mengajaknya berdialog, berargumen masing-masing, hingga sudah biasa pula pertengkaran sengit terjadi. Kebencian menikam, semua dengan mudah dapat direlai hanya dengan mata dan sedikit menelan ludah, pahit.
              Ia kembali melanjutkan perjalanannya, menginjak gas mobilnya dan melaju cepat. Ia berusaha melihat pemandangan di luar kaca mobilnya, atau kaca sepionnya. Dan kembali ia harus menginjak rem karena lampu lalu lintas berwarna merah kembali dihadapinya. Udara dingin melalui ac mobilnya kembali diresapinya. Mungkin kau juga tahu, sebentar lagi waktu akan kembali membuatnya beku bahkan seperti batu ketika bayang-bayang kembali keluar dari persembunyiannya, dari matanya yang hitam. Memang tak butuh waktu lama, bayangan itu telah keluar satu persatu seperti gumpalan asap yang menyusup dari balik matanya. Bayangan itu duduk disampingnya, kemudian kembali mengajaknya bicara, berdialog, dan bahkan sebentar lagi akan terjadi pertengkaran hebat.
***
            “ya ya ya, aku tahu sangat tahu. Tapi bagaimana, harus bagaimana ??!!” suaranya keras nyaris berteriak dan menimbulkan dentum di bumi, memecahkan kaca-kaca mobil di sekitarnya, bahkan kaca-kaca gedung bertingkat, juga kaca-kaca kereta dan di sepanjang stasiun.
            Pertengkaran memang terjadi disana, pertengakaran yang tidak perlu diucapkan tapi cukup lewat raut wajah penuh murka, hingga tak ada lagi sorot mata dewa bersembunyi di sana. Ia tahu, lelaki di sampingnya tengah bosan padanya. Rasanya dunia bagaikan berhenti seperti jam tangannya yang kali ini melambat dan mati. Ia nyaris tidak tahu bahkan memang sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Memaki, memohon untuk kembali,atau bahkan menangis. Entahlah, yang ada hanya jiwanya yang melayang menyentuh awang-awang dan menembus atap kereta.
            Ia hanya mengetahui posisinya dalam keadaan tidak tepat untuk berlari menghindari lelakinya. Mereka memang sejak lama bercita-cita akan berangkat ke Baturaden untuk melakukan foto. Ya, foto yang dibayangkannya romantis dibawah air terjun curuk-curuk di sana. Tentu saja, pertengkaran itu telah menggagalkan tujuan perjalanannya kali ini. Tetapi apa dikata, lelakinya baru saja mengatakan kejujuran. Baginya, tentu saja kejujuran itu adalah penting dalam sebuah hubungan. Apalagi ia bersama lelakinya itu akan melakukan pemotretan untuk undangan hari bahagia cintanya. Kejujuran yang dinyatakan pujaan hatinya kali ini justru membuatnya remuk redam, lemas, dan gemetar, bahkan sampai tidak dapat lagi sepatah katapun keluar dari bibir bergincunya. Ia mendengar kata “selesai” dari bibir lelakinya.
            Tidak ada satu pun telinga penumpang lain yang lengah dari pertengkarannya dengan lelaki tambun di sebelahnya. Namun, mereka semua hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Padahal sungguh dalam hati mereka bertanya-tanya apa penyebab pertengkaran itu. Sedang diantara itu, kereta Sawunggalih bisnis terlanjur berjalan menyusuri rel. Lalu melewati gedung-gedung, rumah-rumah kumuh, sampah yang berserak, dan kini tinggal kesunyian sawah-sawah kering tanpa panen. 
***
            Sekejap peristiwa pahit terlintas dalam ingatannya. Ia kembali berusaha menahan sakit di dadanya dan menahan air mata agar tidak lagi menetes di pipinya. Sangat terlihat begitu keras kemauannya untuk bangkit kali ini, namun sayangnya setiap hari ia akan mengalami hal itu. Pada malam ia akan terbangun oleh bayangan hitam yang bergelayut pada mimpinya, mengusiknya untuk kembali merindu dan terhempas pada kenyataan pahit.
Kisah cintanya dengan lelaki pujaannya yang telah terjalin selama lima tahun itu harus kandas. Harus lenyaplah segala janji hidup bersama. Pada pagilah kemudian ia akan kembali mengharapkan fajar membawa kenangannya pergi dan menyejukkannnya dengan hembusan angin pada kebahagiaan sebagai seorang singgel.
            Ia tahu, apa yang dihadapinya adalah kisah yang bukan membunuhnya saja, tetapi setiap manusia di bumi pun pernah mengalaminya, lalu bangkit hingga menemukan pendamping yang jauh lebih baik. Rasanya hal itu hanyalah omongan-omongan klasik yang terus menempel di udara. Begitu sayup dan nyaris tidak bisa digenggamnya sebagai motivasi hidup. Justru yang ada hanyalah menyesali peristiwa kegagalan itu terjadi hingga menghujat akan keberadaan Tuhan. Bahkan kali ini tidak ada sedikitpun ketertarikannya pada lelaki. Ia bersumpah pada dirinya, bahwa tidak ada lelaki pun dunia akan baik-baik saja.
            Hujatnya pada Tuhan akan keberadaan lelaki di alam jagad kembali berapi-api ketika melihat foto pertunangannya dengan sang mantan kekasih. Foto itu masih terpampang di meja kamarnya. Kemudian matanya akan kembali menyapu pandang pada benda melingkar berwarna perak yang seharusnya masih melingkar di jemari manisnya. Entah masih ada harapan biarpun kecil dan terselip di rongga dadanya yang remang-remang. Barangkali harapan kecil itulah yang membuatnya menyesalkan kepergian lelakinya. Perasaan yang timbul tenggelam bagaikan perahu pada sebuah samudera tanpa nelayan itu penyebab alasannya menyimpan apa-apa yang dapat mengingatkannya pada lelakinya itu.    
Jika demikian, ia akan kembali merasa terasing pada dunia kenyataan. Tumpahlah kembali air mata pada mata sendunya. Entah harus berapa lama kepedihan itu dapat hilang darinya. Yang diketahui hanyalah waktu terus berjalan cepat tanpa menunggunya sampai merasa benar-benar kuat menghadapi kehadiran lelaki itu.
               Telpon genggamnya kembali dijamah, ada pesan yang masuk pagi ini. Pesan dari seorang lelaki yang masih dipujanya dalam ingatan indah, meskipun  tidak peduli bagaimana lelaki itu memandangnya kini. Pesan yang dianggapnya adalah harapan baik, dimana kisah mereka akan terjalin kembali. Harapan tentang pernikahan akan kembali terjadi dalam hidupnya. Harapan akan makna dirinya yang belum sirna.
            Sayangnya air matanya tumpah lagi kali ini. Mata itu kembali basah dan tertutup cahaya gelap. Pesan itu membawa kabar kegembiraan di sisi lelaki. Pesan yang berbicara tentang kebahagiaan dan rasa syukur dari lelaki itu karena telah bertemu dengan seorang gadis. Hatinya pun bertanya-tanya gadis seperti apakah yang telah membuat lelakinya itu menghempaskannya. Benarkah gadis itu lebih cantik, anggun, menarik, bahkan lebih layak kelak jadi istri dan ibu dari anak-anak lelaki itu. Ada kegetiran kembali menusuk relung dadanya lebih tajam dan berkali-kali. 
Seketika dilemparnya telpon genggam itu ke sudut kamar, ke sebuah dinding yang dingin. Ia sangat menyadari harapannya untuk kembali telah runtuh. Lima bulan lamanya menunggu lelaki itu menghubunginya telah terjadi. Namun, bukan untuk memintanya kembali menjalin hubungan sebagai kekasih.
            Memang, semua terjadi begitu cepat. Lelaki yang begitu dikaguminya itu tidak lain adalah sahabat kecilnya. Telah lama mereka menjalin hubungan sahabat hingga akhirnya saling jatuh cinta dan berakhir pada kegagalan. Entah apa alasannya. Perbedaan karakter yang selalu membuat mereka tidak pada satu pemikiran dan bertengkar hampir setiap waktu dianggap sebagai alasan. Tentu ada rasa tidak diterima dalam batinnya, bukankah sejak dulu semasa jadi sahabat mereka selalu menjadi anjing dan kucing? Karakternya yang lembut dan lelaki itu yang keras. Mengapa ini menjadi alasan ? 
            Pertanyaan demi pertanyaan mengalir bagai air sungai yang tidak pernah berhenti menemukan ujung muaranya. Lelah ia jalani malam demi malam penuh rindu dan benci. Hingga tidak ada lagi daya baginya untuk kembali menatap fajar yang selalu mengintipnya malu-malu dari balik jendela. Tidak ada lagi terik matahari yang mampu menembus dadanya. Karena semua telah menjadi senja yang tidak berbatas. Semua telah menjadi udara dingin yang terus membeku tanpa gigil. Aroma kehidupan telah musnah dari dirinya.
***
Waktu telah membawa tubuhnya berjalan melewati sebuah zaman. Ia tidak lain menjadi manusia yang hidup dari pahatan seorang seniman. Ia telah menjadi patung. Ya, patung perempuan yang tidak lagi menaruh hati pada kedamaian dan gairah akan kehadiran mahluk yang bernama lelaki. Ia bagaikan hasil karya manusia yang dapat berjalan, tersenyum, tertawa, dan menangis tanpa rasa yang penuh. Ia telah kehilangan jiwa. Ia telah kehilangan darah. Ia telah membiru seperti mayat yang terapung di lautan.
            Tidak ada lagi wajah dengan harapan utuh tentang sebuah mahligai pernikahan. Baginya pernikahan atau mengenal lelaki adalah sebuah penjajahaan. Menaruh perasaan kepada mahluk lelaki adalah sebuah kesalahan yang akan menghepaskan perempuan pada keruntuhan zaman bahkan kutukan dunia. Tidak akan ada lagi sebuah dunia kebebasan. Tidak akan ada lagi sebuah kebahagiaan hidup. Bahkan ia telah berprinsip untuk terus mengejar kebahagiaan dalam kesuksesan karir, sedang pernikahan adalah akhir dari segala cita-cita di muka bumi.
Kepahitan dalam drama cintanya membuatnya menjadi perempuan singgel selama tiga puluh lima tahun. Usia yang membuatnya sebagai perawan tua, begitu rekan-rekan kerjanya menyebutnya. Beberapa lelaki telah datang menyapa kekosongan hatinya. Tetapi semua sia-sia karena hatinya telah lebih keras dari batu. Tidak ada hujan atau petir sekalipun yang mampu mengetuknya, lalu memberinya sedikit nafas asmara.
Semua hasrat telah hilang darinya. Hilang sangat jauh. Ia hanya memiliki imajinasinya tentang kesejatian dan keabadian hidup. Dan sepertinya bayangan hitam telah kembali membawanya terbang meninggalkan dunianya. Ia telah terbang bersama sayap-sayap dari gumpalan hitam yang tengah duduk menemaninya di mobil pagi itu. bahkan bayangan itu akan meliriknya tajam lalu membisikkannya begitu mesra. Hingga tidak ada lagi alasan baginya untuk tidak sempurna.    
Suara klakson mobil dan motor di belakang mobilnya mulai ramai berteriak bising memekakkan telinga. Menimbulkan kegaduhan. Lalu menenggelamkan kicauan sekumpulan burung gereja yang bertengger di sepanjang kabel listrik, rumah-rumah kumuh, usang, dan reyot di bawah jembatan layang. Barulah menyadarkannya untuk kembali menginjak gas dan melaju perlahan.
Pandangan dari mata sendu dan basahnya lurus menembus kaca mobilnya, terasa tanpa sekat sedikitpun. Para kaki lima yang menjajakan koran di sepanjang trotoar pun tidak lagi menarik perhatiannya. Ada yang ia lewatkan kali ini. Seorang tampan dan bertubuh agak tambun berdiri di antara pedagang asongan dan banci jalanan. Ada seorang lelaki tampan yang tengah beradu nasib. Roda persaingan kerja dan kekuasaan telah membawa lelaki itu terhempas pada kemelaratan.
Andai ia menoleh sedikit saja pada kaca spion yang memantulkan sosok lelaki yang pernah dikenalnya. Seorang lelaki yang nyaris sepuluh tahun lalu hilang dari kehidupannya. Ya, semenjak lelaki itu terakhir kali menghubunginya untuk memberitahu pesta bahagianya. Lelaki yang bekerja pada sebuah perusahaan yang kabarnya telah gulung tikar.
Ia pasti masih sangat mengenali lelaki lusuh dengan rompi bertuliskan sponsor surat kabar tempatnya bekerja. Ia pasti masih sangat hafal serak suara, deru nafas, aroma badannya, bahkan rayuan dan kenangannya. Sayangnya, di dalam mobil ber-ac itu ia sangat terhanyut pada sebuah kenangan pahit. Terhanyut pada gurauan dan makian pada sosok hitam yang tiba-tiba muncul dari balik sorot matanya. Bayangan yang akan terus menopang lelahnya dan kedukaannya karena kehadiran lelaki. Bayangan itulah yang akan membuntutinya kemanapun ia singgah.
Pada fajar di hari berikutnya, bayangan itu akan kembali menghampirinya lalu memeluknya erat. Bayangan itu pulalah yang akan merangkulnya ketika air matanya kembali jatuh, jantungnya kembali rapuh, dan hatinya kembali pecah bagaikan serpihan kaca menjadi keping-keping tidak beraturan. Tanpa bentuk. Hal itu akan kembali terjadi menjadi kekuatannya merangkai kata-kata di hadapan ibunya, ketika ia harus mengunjungi ibunya yang telah tidak sabar lagi untuk kehadiran seorang menantu laki-laki di rumahnya. Yang akan menanamkan benih –darah daging keturunannya kepada anak perempuannya itu.
“Nduk, sekali-kali bawalah seseorang kesini, kenapa tidak bawakan ibu calon menantu?.”
Seperti biasa perempuan manis itu tidak akan menanggapi. Dan ibunya pun tidak akan bertanya atau menasehati apapun lagi. Sepertinya jawaban telah terpancar dari sorot mata sendu anak perempuannya itu. Bidadari kecilnya yang telah terlalu dewasa. Perempuan itu pun seakan dapat menerka apa yang ada dalam batin ibunya; kalimat doa kembali bertebaran ke udara tentang permasalahan yang berputar pada itu-itu saja setiap hari, jam, menit, dan detik. Doa yang terasa membosankan dan membuatnya ingin berteriak dan mual. Doa tentang jodoh dan sebuah pernikahan.
Ada batin yang tersayat dan memberontak untuk mengenal lelaki apalagi menyerahkan tubuhnya, dirinya, hidupnya, harapannya, kebahagianyaa, juga dunianya. Pada pelukan sang ibu, perempuan itu akan menarik nafas dalam dan dengan belaian tangan dari bayangan hitam yang membuntutinya. Di saat itulah ia akan kembali berkata lirih di dalam hati.
“Ibu, aku baik-baik saja, jangan khawatir karena hidupku sudah sangat sempurna tanpa kehadiran lelaki. Bahkan tanpa kehadiran ayah semenjak ia meninggalkanmu ketika aku masih menjadi embrio dalam rahimmu.”
Batinnya pun kembali berpendapat. “Lalu alasan apalagikah yang memuliakan kepentingan adanya seorang lelaki dalam rumah kita, dunia kita. Karena selamanya kita akan baik-baik saja. Tanpa mahluk seperti itu di dunia, kau mampu menjajakan kue-kue lalu membangun sebuah kios yang kini menjalar ke beberapa kota di pulau jawa ini. Karena cinta dan kegigihanmu aku mampu hidup dengan kemewahan dan menjadi seorang direktur dan wartawan handal yang bergelar doktor sastra dari universitas ternama di Yogyakarta. Sekali lagi, bagian hidupku yang mana yang akan kau perbolehkan untuk dihancurkan oleh mahluk bernama lelaki. Dan tidak akan aku biarkan sedikitpun ia menyentuh kulit apalagi hatiku.”        
Sorot matanya yang sendu kembali menangkap bayangan hitam itu berjalan mengelilingi seisi kamar ibunya. Lalu ia seolah berteriak memecahkan lampu-lampu kristal, kaca rias, dan meruntuhkan dinding-dinding. Lalu tidak akan ada lagi yang akan terasa hampa dan kosong. Semua kembali menjadi senja dan hitam. Seperti hatinya yang kini terlalu kebal tertembus cahaya cinta asmara. Damailah ia pada keniscayaan hidup. Bahkan kelak pada suatu akhir zaman, tidak akan ada lagi ditemukannya sebuah musim. Kecuali musim tanpa matahari.   
***
Yogyakarta, 29 Maret 2013, 11:17

Biodata:  
Nila Mega Marahayu, lahir 2 April 1988.  Sedang meraih gelar master di jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Menulis novel, cerpen dan puisi sejak SMP. Pernah meraih juara 2 lomba cipta dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama Sepetak dan pementasan monolog teater Teksas UNSOED di masa menempuh gelar sarjana. Beberapa puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi di RRI Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.    
Telpon: 081585146687
Email : nilamegamarahayu@yahoo.co.id