Rabu, 28 Maret 2012

Sebuah Catatan untuk Cerpen Godlob Karya Danarto Oleh Nila Mega Marahayu

Membaca cerpen Godlob sesungguhnya adalah sebuah pengalaman yang menarik. Bahwasanya hasrat membaca telah ada atau bermula dari membaca judul Godlob. Kata Godlob itu sendiri merupakan kata yang asing bagi saya, dan sayapun belum pernah mendengar adanya kata tersebut dalam bahasa Indonesia maupun jawa-dalam pengetahuan kosa kata jawa yang saya tahu. Salah satu hal yang ingin saya ketahui tentunya makna atau arti Godlob itu sendiri, yang kemudian oleh penulis dijadikan sebagai diksi untuk judul cerpennya tersebut. Setelah selesai membaca cerpen tersebut ada hasrat yang belum tertuntaskan, dalam hal ini adalah adanya pertanyaan yang belum terjawab, yakni apa sebenarnya Godlob itu. Penulis sama sekali tidak menyinggung kata Godlob dalam cerita. Sehingga kata tersebut sulit diterka maknanya. Namun, asumsi saya bahwa Godlob itu adalah sebuah simbol yang secara hermeneutik adalah suatu keadaan yang bobrok yang aneh yang mistik yang terjadi dalam alur cerpen tersebut. Dimana dikisahkan seorang pemuda yang ingin menjadi prajurit atau tentara tetapi dilarang oleh ayahnya. Ketika adanya peperangan di desanya maka ia (pemuda) ikut berperang dan sama-sama terluka layaknya para tentara. Hanya bedanya ia selamat karena diselamatkan oleh ayahnya, sedangkan yang lainnya tewas dan dimakan para gagak. Dalam keadaan itu ia dan ayahnya menaiki gerobak kerbau hingga tengah malam. Perjalanannya tidak bertujuan (oleh penulis tidak diceritakan akan kemana mereka). Sepanjang perjalanannya sang ayah terus berbicara dengan pemikirannya sendiri, entah sebuah penyesalan atau apa, yang jelas ia sangat bangga atas sajak pahlawan. Disinilah ia melakukan ide jahatnya, sebuah ide cerita yang nyaris tidak terduga, inilah sebuah kejutan yang diberikan Danarto dalam cerpennya tersebut. Ia membunuh anaknya yang tengah lemah menahan luka dan sempat dimakan gagak. Hal ini dilakukannya agar esok hari anaknya juga ikut dikubur secara massal oleh pemerintah dengan gelar pahlawan. Kedudukan anaknya dengan mayat-mayat lainnya yang berpangkat sebagai tentara adalah sama, yakni sama-sama menjadi pahlawan.
Keesokan harinya seorang ibu membawa mayat anak lelakinya ke balaikota. Tentu hal ini membuat para pejabat heran dan teganya seorang ibu yang mengambil mayat anaknya dari kuburan yang telah bergelar pahlawan bersama mayat-mayat yang gugur di medan perang lainnya. Sang ibu itu protes bahwa anaknya tidak berhak mendapat gelar pahlawan karena matinya karena dibunuh oleh bapaknya sendiri. Keadaan mmenjadi gaduh dan dari pinggangnya ditembakkannya peluru yang diambilnya dari peluru para mayat tentara, yang kemudian ditembakkannya ke suaminya atau bapaknya anak tersebut.
Betapa kejujuran telah dibongkar oleh seorang ibu. Ibu disini lengkap dengan keadaan yang ada seolah merupakan sebuah simbol. Simbol tersebut secara hermeneutik bermakna bahwa ia merupakan rakyat atau negara yang tidak menginginkan adanya dusta dalam perjalanan sejarah. Tidak menginginkan adanya sejarah palsu di negara tersebut. Hasrat akan adanya kejujuran dan nasionalis betapa melekat dalam cerpen tersebut melalui sosok ibu yang digambarkan penulis.
Dengan demikian cerpen tersebut dapat dikatakan sebagai wujud protes akan sebuah sejarah negara yang belum tentu benar adanya atau mungkin adanya renovasi sejarah yang dilakukan oleh orang-orang yang gila hormat, gila gelar seperti ayah pemuda tersebut. Dalam hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya yakni, sudahkah kita mengenali pahlawan yang ada di negara ini secara jelas dan pasti.
Penulis dalam hal ini tentu tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial, dimana lingkungan sosial tersebutlah yang dapat membawanya memiliki long atau kekurangan-kekurangan atas sesuatu yang ada dalam realitas. Kekurangan tersebut adalah ketidakjujuran atau adanya kepalsuan dalam sejarah negara. Atau dalam hal ini adalah adanya kemungkinan sejarah yang direnovasi oleh orang-orang tertentu. Bahkan para pemimpin pun, jika dalam cerpen tersebut adalah para pejabat kota yang tidak tahu asal-usul mayat-mayat mana yang patut atau tidak dijadikan pahlawan. Hal ini tentu terjadi karena adanya faktor kurang peduli terhadap keadaan yang ada di lapangan. Tentu penulis dalam hal ini menginginkan adanya pertimbangan atau perenungan kembali tentang adanya sejarah di negara ini. Mungkin tentang adanya kesewenangan pemerintahan yang menjadikan perenoivasian sejarah atau menjadikan tidak terbongkarnya kebenaran sejarah karena takut dianggap penghianat atau pembuat gaduh di era cerpen tersebut tercipta, mungkin pada masa orde baru.
Beberapa artikel yang membicarakan tentang Godlob, ada yang memaknai bahwa godlob itu merupakan singkatan dari kata God yang berarti Tuhan dan Lob adalah love dalam lafal orang Indonesia, sehingga menjadi cinta Tuhan. Dalam hal ini, cerpen tersebut seolah membawa kita dalam perenungan akan cinta sebagai anugerah Tuhan. Cinta yang diberikan kepada umat manusia untuk saling menyayangi antar sesama tanpa adanya sebuah peperangan apalagi pembunuhan yang dilakukan ayahnya sendiri demi sebuah kehormatan. Atau mungkin demi sebuah keuntungan karena sudah empat anaknya mati tanpa mendapat sentuhan apapun dari pemerintah, maka ia merasa rugi, dan pada naknya yang terakhir irulah ia tidak mau mendapat rugi. Gelar pahlawan adalah kehormatan yang dinantinya agar pemerintah dan mungkin masyarakat disekitarnya pun memperdulikannya, menjunjungnya atau mengelu-elukannya, dirinya sebagai ayah dari seorang pahlawan.
Pada artikel lain bahkan dosen saya mengatakan bahwa mungkin saja kata Godlob itu merupakan kata dari Bahasa Arab, yang berarti kemurkaan. Hal ini juga tidak terlepas dari cerita yang ditawarkan penulis tentang sebuah keadilan dan kemakmuran yang tidak ada dalam dunia dalam Godlob tersebut. Terlepas dari itu, Danarto adalah seseorang yang memegang teguh agama, tentunya ia mengetahui beberapa kosakata bahasa Arab, sehingga terdapat keterkaitan antara judul dan isi cerpen ini dengan sosiologi pengarangnya tersebut.
***
ditulis pada Rabu, 28 Maret 2012

Sabtu, 10 Maret 2012

Mengenangmu

Dan kereta ini berhenti sejenak di stasiun purwokerto..
Dalam hitungan detik anganku jauh pergi
ke sebuah ruang yg baru ku sadari kini telah silam..
Sulit sekali untuk dijamah bahkan hanya sekedar lewat senyuman..
Entah diantara itu ada rindu menepi di sisi terdalamku..
Entah masih terasa atau tidak baginya..
Dan bagiku, aku lepaskan semu itu..
Biarlah jejak-jejak waktu ini menghempaskan segalanya..
Hingga sepi terasa sedikit syahdu pada sesuatu yg kini kosong,
kecuali sebuah kepahitan terdalam..
Biarkanlah hembusan angin dah peluit kereta ini sedikit memberikanku ruang
untuk mengenangmu..
Meski tak peduli apa jadinya bagimu.

Kesastrawanan si Zombie- Ryan Rachman dalam Dunia Sastra Purwokerto, (Perspektif Sosiologi Sastra-Pierre Bourdieu)

A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan karya yang bersifat fiktif atau rekaan meskipun bahannya diambil dari kenyataan. Potret kenyataan yang ada dalam karya sastra dapat menjadi bahan perenungan bagi pembaca atau masyarakat. Sastra dan masyarakat berada dalam kaitan dialektis. Sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat karena sastra lahir dari masyarakat. Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat. Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra dalam peradaban tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Sastra lahir dari masyarakat dan akan kembali pula ke dalam masyarakat (Semi, 1993:1). Hubungan antara karya sastra dan lingkungannya tersebut dapat dikaji dengan analisis sosiologi sastra.
Analisis sosiologi sastra menurut Ratna (2003:11) merupakan analisis yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, yaitu menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak dapat dipahami di luar kerangka empirisnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi gejala sosial. Sosiologi dalam suatu karya sastra adalah penafsiran teks sastra secara sosiologis, yaitu menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam sebuah teks sastra. Hal tersebut menunjukkan adanya gambaran tentang hubungan antara masyarakat dan teks sastra, baik yang serasi atau menyimpang dari kenyataan (Noor, 2006:90).
Pengarang atau penyair adalah pencipta karya sastra. Pengarang atau penyair tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial dalam menciptakan karya sastra. Bahkan bagi pengarang, masyarakat sebagai pedoman lahirnya suatu bentuk ekspresi untuk dituangkannya dalam segala permasalahannya ke dalam karya sastra. Hal ini bertujuan untuk mencoba mengungkapkan ide, pemikiran, ataupun solusi yang seharusnya dilakukan untuk merdeka dari segala kemerosotan hidup. Pengarang tidak akan diam dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Ryan Rachman, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985 adalah seorang sastrawan yang belum memiliki nama besar dalam kesusasteraan tanah air, tapi di Purwokerto namanya sudah cukup diperhitungkan. Gelar Zombie menjadi akrab dengannya sejak ia sering mementaskan puisi-puisinya dengan gaya deklamasinya yang khas. Tidak hanya gaya Zombie yang menjadikannya termasyur di ranah sastra Purwokerto, tetapi seorang pendiri komunitas Wedhang Kendi di Purwokerto ini juga menunjukkan sepak terjang kepengarangannya di beberapa media massa. Karyanya baik cerpen, puisi, maupun esai telah turut meramaikan kolom-kolom di media massa. Karya-karyanya juga telah diwujudkan dalam sebuah buku, meskipun hanya diterbitkan oleh penerbit dari komunitasnya.
Perjalanan seorang Zombie Purwokerto yang sempat menjadi delegasi Banyumas di atas, menjadi alasan lahirnya makalah Kesastrawanan si Zombie- Ryan Rachman dalam Dunia Sastra Purwokerto (Perspektif Sosiologi Sastra-Pierre Bourdieu) ini.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Ryan Rachman dapat menjadi Zombie dalam dunia sastra Purwokerto.

C. Landasan Teori
Pierre Bourdieu, adalah seorang sosiolog Perancis. Bourdieu melalui teorinya menyatakan bahwa tindakan sosial merupakan struktur tindakan itu sendiri-keduanya dapat saling dipertukarkan. Genosiasi di dalam budaya, misalnya berasal dari benak kesadaran habitus. Dia berbicara tentang berbagai strategi yang mencuat dari habitus, dan perubahan itu dianggap berasal dari ‘benak primitif’. Menurut Bourdieu, “Pada tingkatan individu, habitus juga berarti sistem perilaku dan disposisi yang relative permanen dan berpindah dari satu objek ke objek lainnya, yang secara simultan mengintegrasikan antara seluruh pengalaman sebelumnya dari cara individu melihat dan menilai benda dengan tindakan (Harker, dkk, 2009:x).
Metode analisis Peirre Bourdieu menjadi pilihan yang tepat dalam menyelesaian permasalahan dalam makalah ini. Peirre Bourdieu dalam menganalisis arena produksi kultural sebagai sebuah kajian sosiologi budaya dengan mengembangkan konsepnya yang terkenal yaitu arena, habitus, trajektori atau lintasan, dan modal.

1. Arena
Arena adalah ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri. Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena. Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam kompetensi memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan (Bourdieu, 2010: xvii-xviii). Arena atau ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga merupakan suatu ranah atau arena yang di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang berlokasi di dalam ranah tersebut.

2. Modal
Modal (capital) sebagai konsentrasi kekuatan, yaitu suatu kekuatan khusus yang beroperasi di dalam ranah. Bourdeou membagi dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Kedua, modal kultural adalah modal yang berperan sebagai suatu bentuk pengetahuan, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati terhadap, apresiasi, atau kompetensi di dalam pemilah-milahan relasi-relasi dan artefak-artefak kultural. Ia menyatakan bahwa sebuah karya seni mengandung makna dan kepentingan hanya bagi orang yang memiliki kompetensi kultural, yaitu kode, tempat di mana karya itu dikodekan (encoded). Kepemilikan terhadap kode atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atau modal kultural ini, diakumulasi melalui satu proses panjang akuisisi atu kalkulasi yang mencakup tindakan pedagogis keluarga atau anggota-anggota kelompok (pendidikan keluarga), anggota-anggota terdidik formasi sosial (pendidikan yang tersebar), dan lembaga-lembaga sosial (pendidikan yang terlembagakan) (Bourdieu, 2010 : xix-xx).

3. Habitus
Bourdieu (2010:xv) mendefinisikan habitus adalah sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan represantasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap atutran-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku. Habitus kadang kala digambarkan sebagai ‘logika permainan’(feel for the game), sebuah ‘rasa praktis’ yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanak yang kemudian menjadi semacam penginderaan kedua atau hakikat alamiah kedua (Bourdieu, 2010: xvi). Habitus dapat dikatakan juga sebagai pengalaman.

4. Trajektori atau Lintasan
Trajektori adalah rute atau jalur ekonomi, sosial tertentu baik agen atau masyarakat. Lintasan merupakan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang juga silih berganti. Ini berarti bahwa posisi-posisi yang silih berganti ini hanya bisa didefinisikan dan ditentukan di dalam struktur sebuah arena. Lintasan adalah satu cara di mana hubungan antara agen dan arena diobjektivasikan. Lintasan menyoroti posisi-posisi objektif yang silih berganti di tempati di dalam arena (Bourdieu, 2010: xxxxvii).

D. Pembahasan
1. Arena Kesastrawanan si Zombie-Ryan Racman di Purwokerto
Arena merupakan wadah atau tempat bernaungnya para penulis, penyair, dramawan, atau sastrawan. Melalui arena inilah para agen tersebut melakukan kreativitasnya dalam dunia sastra demi sebuah legitimasi atau pengakuan. Arena sastra di Purwokerto cukup menghasilkan banyak sastrawan yaitu penulis, penyair, maupun dramawan. Meskipun beberapa dari mereka hanya berkutat pada komunitasnya masing-masing. Hal ini terbukti dengan ada banyaknya komunitas di Purwokerto. Namun komunitas yang cukup populer di Purwokerto adalah komunitas teater. Komunitas teater diantaranya, teater Texas, teater Suntik, teater Si Anak, dan lain-lain.
Komunitas khusus sastra sedikit sulit dijumpai karena kurang populer dan kurang diminati. Namun bukan berarti tidak ada komunitas yang cukup besar. Komunitas sastra yang cukup hidup atau memiliki kepopuleran dibandingkan komunitas sastra lainnya hanyalah komunitas Beranda Budaya. Komunitas sastra tersebut cukup populer karena dianggap berkualitas oleh para pengamat dan pecinta seni atau sastra di Purwokerto dan Banyumas. Komunitas tersebut didirikan oleh Teguh Trianton, Abdul Aziz Rasjid, Arif Hidayat, dan Ryan Rachman. Komunitas tersebut memiliki salah satu tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali komunitas-komunitas sastra di Purwokerto. Menurut Ryan Rachman, komunitas sastra lainnya kurang hidup karena kurangnya kagiatan-kegiatan sehingga komunitas tersebut lambat-laun tidak terdengar. Oleh sebab itulah Ryan Rachman dan kawan-kawan berinisiatif untuk membangun Beranda Budaya. Ia juga bercita-cita untuk membawa komunitas tersebut sampai ke wilayah Bacakap, yaitu Banyumas, Cilacap, Kebumen, dan Purbalingga. Kegiatan yang sering menjadi agenda dari komunitas ini adalah bedah buku, penerbitan antologi, dan saat ini sedang mengumpulkan data untuk leksikon Banyumas Raya.
Eksistensi Ryan Racman tidak hanya terfokus pada komunitas itu saja. Ia juga mendirikan sebuah komunitas atau sanggar sastra bersama temannya, Eka Braja Permana. Komunitas itu bernama Sanggar sastra Wedhang Kendi yang didirikan pada 2007 yaitu semenjak mereka masih duduk dibangku kuliah di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Namun bukan berarti komunitas sanggar tersebut berada di bawah naungan kampus. Komunitas tersebut didirikan dan berada lokasinya di Jl Gunung Slamet Gg Flamboyang no 11 Purwokerto. Anggota dari komunitas ini lebih banyak mahasiswa baik mahasiswa Unsoed, UMP, Unwiku, dan sekitarnya, maupun para pelajar sekolah.
Pada awalnya, kegiatan yang mereka lakukan di bawah naungan Sanggar Sastra Wedhang Kendi adalah membuat karya lalu didiskusikan, dan selang berjalannya waktu beberapa orang bergabung untuk ikut diskusi bersama. Hasil dari diskusi tersebut untuk memperbaiki karya sebelum diterbitkan atau dikirim ke media massa. Salah satu karya-karya yang berhasil dikumpulkan dalam antologi bersama berjudul Sepotong Cinta Di Ujung Sepatu pada 2008.
Buletin sastra Wedhang Kendi ini terbit berkala satu bulan sekali. Karya-karya sastra yang diterbitkan tidak hanya karya sastra yang diciptakan oleh para pendiri, anggota, tetapi juga terbuka untuk umum. Dalam hal ini, masyarakat umum yang ingin karyanya dimuat di buletin tersebut dapat menghubungi alamat atau contact person yang tertera didalamnya. Selang berjalannya waktu, komunitas ini menjadi lebih berfokus pada dunia penerbitan. Buletin ini sudah dipasarkan tidak hanya di kampus-kampus atau sekolah-sekolah di Purwokerto, tetapi juga sampai ke luar Jawa, meskipun masih sekedar kecil-kecilan. Kegiatan lainnya yang dilakukan komunitas ini adalah pementasan monolog atau hanya sekedar pembacaan puisi.
Berbagai aktivitas di atas membawa nama Ryan Rachman menjadi tidak asing di ranah sastra Purwokerto. Hal ini karena Ryan Rachman juga selalu gencar dan bersemangat dalam pementasan teater, pembacaan puisi, temu sastrawan ataupun bedah buku di beberapa kegiatan sastra dan teater kampus di Purwokerto, seperti teater Texas di Unsoed dan teater di UMP ( universitas Muhamadiah Purwokerto). Melalui pementasan-pementasan tersebutlah seorang Ryan Rachman memiliki karakteristik tersendiri dalam ber-akting di mata teman-tamannya. Ryan Racman dalam hal ini lebih sering melakukan pentas monolog. Ryan Rachman yang memiliki tubuh yang kurus dan berambut “gondrong” ini menjadikannya memiliki kesan tersendiri di mata penonton dan teman-temannya. Tidak hanya dari penampilannya yang dapat dikatakan sebagai “nyeniman” tetapi didukung dengan karakteristiknya dalam bermonolog atau membaca puisi, yaitu ia bergaya dengan tangan yang tidak pernah diam atau bergerak kesana-kemari bahkan lebih sering menggunakan media cat atau media lampu yang berwarna merah atau hijau untuk menciptakan nuansa tersendiri dalam pementasannya. Dalam pementasan monolog berjudul Dajjal yang disutradarainya sendiri di bawah naungan teater Texas Unsoed, ia menciptakan empat karakter dalam pementasan monolog yang juga diperankan oleh empat orang, diantaranya Ryan Rachman itu sendiri, Eka Braja Permana, Andy, dan Nila Mega Marahayu. Pada pementasan ini, seluruh pemain harus memainkan perannya dengan sekujur tubuhnya dilumuri cat merah. Hal ini pula yang sering dilakukan Ryan Rachman dalam pementasan-pementasan monolog lainnya. Oleh sebab itu nama Zombie secara tidak sadar menjadi populer mengikuti namanya.
Kepopuleran si Zombie ini tidak hanya sampai pada tahap aktif dalam diskusi-diskusi sastra di dua komunitas (Beranda Budaya dan Wedhang Kendi), pementasan teater Texas, pembacaan puisi di berbagai kegiatan temu sastrawan dan penyair. Namun, ia juga aktif dalam menulis. Beberapa karyanya yang telah dibukukan di antaranya antologi bersama seperti Bangka, CPNS (Calon Penyair Negeri Sastra) 2006, Orang-Orang Tak Terkenal, 142 Penyair Nusantara Menuju Bulan, Tentang Duka, Sepotong Cinta Tertinggal Di Ujung Sepatu, Beranda Senja, Puisi Menolak Lupa, Harmoni dalam Kesederhanaan, Bukan Perempuan, Mata Boneka, Antologi Puisi Penyair Jawa Tengah 2011 dan Sebatang Rusuk Untukmu. Antologi puisinya dikumpulkan dalam Makan Malam (2007), Belajar Menulis Sajak Cinta (2008) dan Senandung Kupu-Kupu (2011), sedangkan antologi cerpennya dibukukan dengan judul Cerita Menjelang Subuh (2011). Karya-karyanya tersebut diterbitkan secara indie atau diterbitkan oleh komunitas sanggar sastra Wedhang Kendi yang telah dipasarkan tidak hanya di Purwokerto, tetapi juga Bacakap (Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga) tetapi juga sampai di luar Jawa seperti Sumatera. Buku terakhirnya Cerita Menjelang Subuh yang terakhir dilauncing pada pertengahan 2011 berhasil terjual dengan jumlah penjualan mencapai lebih dari dua ratus eksemplar.
Karya-karya si Zombie ini juga dimuat dalam media masa. Karya-karya dan media massa tersebut, yaitu :
1. Kompas Jateng, Selasa ,8 Desember 2009 yaitu berupa esai budaya yang berjudul “Ngapak-tainment, Wajah Baru Bahasa Banyumasan”.
2. Suara Merdeka, yaitu berupa esai dengan judul “Romantisme Sokaraja Mbigar” dimuat pada 28 januari 2010.
3. Kedaulatan Rakyat, yaitu berupa esai tentang “Bahasa Banyumasan Bagai Albasia di Padang Pasir”, “Pengadilan Puisi Penyair Banyumas”, “Bahasa Banyumasan di Rumahnya Sendiri” yang dimuat pada kolom rubrik Opini Kedaulatan Rakyat, Edisi Selasa 30 Oktober 2007.
4. Seputar Indonesia, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi daun euphorbia”, dan “Senandung Kecil”.
5. Radar Banyumas yaitu berupa esai dengan judul “Misi Sederhana Pasukan Berani Berpuisi (Menyoal kembali) Pengadilan Puisi Penyair Banyumas. Esai ini dimuat pada minggu 12 juli 2009.
6. Radar Banyumas, yaitu beberapa cerpen dengan judul “Petir Menyambar di Kemarau”. Cerpen ini dimuat pada Minggu, 3 Jnauari 2010.
7. Koran Merapi, yaitu sebuah esai dengan judul “Komunitas dan Perkembangan Kesusastraan Di Purwokerto”. Esai ini dimuat pada Minggu, 23 Agustus 2009.
8. Koran Merapi, yaitu berupa puisi dengan judul “Puisi Pulang 1”, “Puisi Pulang 2”, dan puisi “Kepada Kertas dan Pena”.
9. Koran Sumut Pos, yaitu beberapa puisi seperti “Lahirlah Puisi”, “Kasur”, “Amplop Merah”, dan “Aku Bertanya Kepada Api”.karya-karya tersebut dimuat pada Agustus 2010.
Karya-karya tersebut menunjukkan bahwa si Zombie-Ryan Rachman ini tidak hanya memfokuskan sepakterjangnya pada dunia akting dan kepenyairan tetapi juga dunia penulis. Oleh sebab itulah si Zombie ini cukup populer sebagai sastrawan muda Purwokerto, meskipun belum dapat sebanding dengan seorang Ahmad Tohari. Namun, si Zombie ini telah dianggap sebagai sastrawan yang berhasil lahir dari Unsoed, oleh sebab itulah setiap diadakannya kegiatan seminar sastra ataupun kegiatan temu sastra baik di Unsoed ataupun UMP, maka ia tidak pernah absen untuk mendapatkan undangan sebagai pembicara. Hal ini juga diakui langsung oleh seorang dosen drama di Prodi sastra Indonesia Unsoed dan UMP bernama Edon. Ia sering meminta si Zombie ini datang pada acara pementasan-pementasan yang diadakan pada mata kuliah Drama yang diampunya, maupun kegiatan seminar temu sastra Banyumas bersama Ahmad Tohari.

2. Modal yang Dimiliku si Zombie-Ryan Rahman di Dunia Sastra Purwokerto
Modal dalam makalah ini mengacu pada modal kultural dan simbolik. Modal kultural yang dimiliki oleh Ryan Racman adalah selera yang berasal baik dari habitus maupun arena. Dalam hal ini, arena memiliki peranan penting bagi kesastrawanan si Zombie ini.
Modal yang pertama dimiliki oleh seorang Ryan Rachman adalah menjadi Alumni Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unsoed Purwokerto. Hal ini dikatakan sebagai modal karena melalui profesinya tersebut ia dapat meiliki pengalaman atau habitus dalam dunia sastra maupun teater dan sebagai arena dalam mendapatkan tempat di mata teman-teman yang sebagian besar juga sebagai penikmat seni atau sastra. Di mana Unsoed ini memiliki peranan penting dalam dunia sastra di Purwokerto. Hal ini karena nama Unsoed itu sendiri menjadikan seseorang terlihat lebih dalam status sosial di Purwokerto.
Modal kedua yang dimiliki oleh Ryan Rachman adalah ia sebagai orang yang cukup penting dari suatu komunitas. Dalam hal ini, dua komunitas yang cukup hidup di Purwokerto seperti Beranda Budaya dan Wedhang kendhi adalah komunitas yang didirikannya. Secara tidak langsung modal kekuasaan akan kepenulisannya dapat lahir dari adanya kesempatan di komunitas tersebut. Selain itu, Ryan Rachman juga bekerja sebagai seorang juru warta di surat kabar Suara Merdeka tentu hal ini juga menjadi jalan atau modal baginya untuk terus berkiprah dalam dunia sastra yang kemudian membesarkan namanya. Disinilah ia dapat melahirkan karya-karya yang kemudian dimuat atau diterbitkan di media massa. Hal ini menjadi peluang yang cukup besar. Terbukti dengan beberapa karyanya yang dimuat juga dalam kolom di Suara Merdeka.
Setelah lulus dari Unsoed, ia menjadi dosen tamu mata kuliah Dramaturgi di Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Unsoed. Oleh sebab itulah jalan baginya untuk populer dalam dunia sastra menjadi cukup besar pula. Hal ini juga dapat menjadikan alasan mengapa si Zombie ini cukup menjadi incaran dalam acara-acara seminar temu sastra di Purwokerto atau Banyumas.
Modal selanjutnya adalah hubungan dekatnya dengan seorang sastrawan besar Banyumas, yaitu Ahmad Tohari. Kegiatan-kegiatan seminar menjadi kesempatan baginya untuk sering berdiskusi dengan seorang penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut. Selang berjalannya waktu, kedekatan mereka menjdi semakin kuat. Dalam hal ini, Ahmad Tohari juga sering menganggapnya sebagai cucu dan turut mensupportnya sebagai seorang sastrawan muda dari Purwokerto.
Dengan demikian, modal simbolik dari Ryan Rachman ini adalah berupa pengakuan dari penikmat sastra Purwokerto tentang keunikannya sehingga dijulukinya ia sebagai si Zombie. Dengan julukan itu tentu mampu membuatnya tetap bertahan di arena sastra Purwokerto. Modal kutural akan selera Ryan Rachman dalam membaca puisi, bermonolog atau berteater ini dapat menciptakan modal simbolik yaitu berupa pengakuan dari para penikmat maupun kumunitas sastra Purwokerto, bahkan seorang Ahmad Tohari terhadap Ryan Rachman.

3. Habitus dan Trajektori dalam Kesastrawanan si Zombie-Ryan Rachman
1. Habitus
Habitus merupakan sebuah tali yang mengikat agen dalam sebuah arena. Dalam hal ini, Ryan Rachman memiliki habitus yang sangat berpengaruh terhadap sepak terjangnya dalam dunia sastra di Purwokerto. Ryan racman yang juga dapat dikatakan sebagai penulis ini mulai menulis serius sejak tahun 2004. Meskipun pada waktu kecil belum bercita-cita menjadi sastrawan tetapi menjadi atlet renang. Semenjak menjadi mahasiswa sastra, ia semakin mencintai dunia sastra. Hal inilah yang membuka peluang berupa semangat untuk terus menulis, membaca puisi, dan memainkan drama atau teater bahkan ia sutradarai sendiri. Serta menjadi tokoh penting dalam seminar-semianar atau dialog-dialog sastra di Purwokerto-Banyumas ini.
Pengalaman yang pernah dilalui oleh si Zombie ini juga memberikan makna betapa berartinya habitus dalam kesastrawanannya. Berikut ini beberapa pengalamannya adalah ; membuat esai “Karya Sastra yang Baik”. Esai ini kemudian dibahas dalam makalah yang disampaikan dalam Workshop Penulisan Karya Sastra pada Workshop Anggota Baru Teater DIDIK bertempat di STAIN Purwokerto pada 3 Desember 2008.
Pengalaman selanjutnya adalah menjuarai beberapa perlombaan karya sastra. Cerpen Durga Gugat merupakan cerpen yang membawanya menjadi juara Harapan I pada Peksiminas di Jambi. Berikut ini beberapa penghargaan lain yang didapatkan si Zombie adalah sebagai berikut :
1. Juara Harapan 1 pekan seni mahasiswa nasional 2008 jambi tangkai penulisan cerpen.
2. Juara 2 pekan seni mahasiswa daerah 2008 Semarang tangkai penulisan cerpen dan puisi.
3. Juara 1 pekan seni mahasiswa Unsoed 2008 tangkai penulisan cerpen dan puisi.
4. Sepuluh besar lomba cerpen mahasiswa Unsoed LPM sketsa 2008 dan 2010.
5. Juara 2 lomba menulis cerpen islami UKKI Unsoed 2010.
6. Nominator lomba penulisan puisi dan cerpen LPM Obsesi STAIN Purwokerto 2009-2010.
7. Juara 2 penulisan cerpen HMPS Sasindo Unsoed 2009.
Habitus yang dimiliki seorang Zombie Purwokerto ini tidak berhenti sampai pada sebuah kejuaraan karya sastra saja, tetapi ia juga pernah menjadi Delegasi Banyumas dalam beberapa kesempatan, diantaranya, yaitu :
1) Temu Penyair Indonesia 70 Tahun Presiden Penyair Indonesia, Jakarta 2007.
2) Kongres Komunitas Sastra Indonesia 2 Kudus 2008
3) Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, dan
4) Temu Sastrawan Indonesia 2 Tanjung pinang 2009
2. Trajektori atau lintasan
Trajektori merupakan lintasan yang dilalui Ryan Rachman dalam arena sastra Purwokerto. Adapun tarjektori dari Ryan Rachman adalah alasannya dalam menulis karena kegiatannya yang sering berdiam diri atau teman-temannya mengatakan “membatu” atau merenung. Dengan hal itulah ia mendapatkan inspirasi-inspirasi untuk menulis, membaca puisi, dan mementaskan teater. Tujuan-tujuan dibalik eksistensinya ini, ia memiliki keinginan luhur, yaitu ingin membawa dan memperkenalkan bahasa Banyumas dalam dunia kesusasteraan melalui karya-karyanya. Ia pun dalam beberapa esainya sangat menunjukkan kepeduliannya terhadap bahasa ngapak tersebut untuk dapat digunakan dalam kepenyairan atau dalam penulisan puisi. Ia mengaharapkan adanya penulis, penyair, ataupun dramawan muda (sastrawan) besar lahir di Purwokerto untuk menemani sang Ahmad Tohari.
Alasan lain ia menulis adalah karena dari kampus sastra Unsoed tidak ada yang menjadi penulis. Maka ia ingin menjadi pendobrak dalam dunia sastra tersebut. Tentu hal ini agar dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman khususnya mahasiswa Unsoed untuk tidak terus menerus menjadi sastrawan kamar, yaitu menulis, membaca puisi, dan berteater di tempat yang kecil atau malu dan tidak percaya diri untuk menjadi besar. Baginya saat ini adalah waktu yang baik untuk menghidupkan dunia kesastrawanan di Unsoed, Purwokerto. Ia berharap dengan adanya karya-karyanya yang dimuat di beberapa media massa mampu menjadi motivasi bagi temen-temen sastra Unsoed untuk ikut menjadi penulis. Tentu hal ini sebagai lintasan emas baginya untuk menjadi penyair, penulis, dramawan, bahkan kritikus besar di Purwokerto.

E. Kesimpulan
Ryan Rachman dapat tetap menunjukkan eksistensinya dalam arena sastra di Purwokerto karena keunikan gayanya yang “nyeniman” maupun gayanya dalam berpentas teater maupun mendeklamasikan puisi yaitu dengan gaya Zombie-nya. Selain itu ia juga sangat memiliki kekuasaan atau modal karena profesinya sebagai juru warta di Suara Merdeka dan eksistensinya dalam seminar-seminar temu sastrawan. Profesinya sebagai dosen Dramatologi di Unsoed juga menjadi peluang tersendiri baginya untuk terus berkarir di ranah sastra Purwokerto.
Belum adanya sastrawan khususnya penulis yang lahir dari Unsoed, memberikan jalan atau sebagai lintasan baginya untuk bersaing dalam arena sastra di Purwokerto. Habitus berupa kejuaraan-kejuaraan juga cukup kuat untuk memberikannya peluang dalam arena sastra Purwokerto dan dalam melancarkan lintasannya.

F. Lampiran
Puisi si Zombie-Ryan Rachman
Senandung Kecil
ah dinda
aku tahu
pasti malam ini ada bunga air yang mekar di mata kacamu
lalu perlahan kelopaknya yang berat gugur helai demi helai
jatuh dan lenyap seketika tak sempat menjadi telaga di kapas-kapas empuk mimpimu

ah dinda
aku tahu
pasti kali ini ada api gelisah yang pijar di kisi-kisi hati beningmu
lalu perlahan merayap dan menelusup dalam daging lewat celah-celah kapiler
pijar dan terus pijar
hingga kau tahu rasa lemah dan lunglai di setiap sendi dan seluruh

ah dinda
malam ini di sini gerimis telah lebat sejak pertengahan hari tadi
dan aku benar-benar terkotak di sini
aku seperti manusia di belantara sunyi
tanpa kabar tanpa mengabar
darimu untukmu

o dinda
aku gelisah segelisah hujan yang memukul atap rumahku
aku gelisah padamu
aku merindu
merindu pagi ayam bersiul dan membawa ketepianmu

dinda
aku tahu
malam ini kau dipukul tanpa kasihan oleh tangan-tangan kasar sang rindu
kau terlempar
kau menggelempar
kau tak sadar

* Puisi ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia Minggu, 17 Februari 2007


G. Daftar Pustaka

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Sastra: Terjemahan Yudi Santosa. Bantul: Kreasi Wacana.

Harker, Richard, dkk (Ed.). 2009. (Habitus x Modal)+Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, judul asli An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory: Terjemahan Pipit Maizier. Yogyakarta: Jalasutra.

Noor, Redyanto. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Surat Kecil Untuk Tuhan Analisis Reader Respon

I. Pendahuluan
Karya sastra menawarkan sebuah potret kenyataan yang bisa menjadi bahan perenungan bagi penikmatnya. Karya sastra memuat gambaran realitas yang ada. Sastra dan masyarakat pada gilirannya berada dalam kaitan dialektis. Meskipun demikian, sastra lebih banyak ditentukan oleh masyarakat daripada menentukannya (Ratna, 2005: 268). Oleh sebab itu, pengarang memiliki keterkaitan dengan keaadaan realitas atau sosial masyarakat dalam menciptakan karya sastra. Hal ini terjadi karena penyair merupakan bagian dari mobilitas sosial dan sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat.
Potret kehidupan inilah yang memicu lahirnya sebuah novel Surat Kecil Untuk Tuhan. Cerita dalam novel ini merupakan kisah hidup nyata dari seorang Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam mempertahankan hidupnya. Ia terserang kanker jaringan lunak pertama di Indonesia, oleh sebab itu belum ada obat mujarab yang dapat mengobatinya. Ia telah menjalani berbagai terapi, tapi takdirnya untuk mati muda tetap terjadi. Ia beruntung karena tinggal bersama ayah yang selalu menyayangi dan menyemangatinya, hingga ia menjadi gadis yang tegar. Selain itu peran kedua kakak lelakinya, keenam sahabatnya, juga Andy kekasihnya tidak pernah lengah untuk terus memberikan perhatian padanya. Keke tidak pernah menyerah dalam menjalankan hidupnya, ketika ia sakit dengan wajah yang mengerikan ia tetap menjalankan aktivitas belajar di sekolah seperti anak normal. Ia bahkan ikut ujian nasonal. Ia juga menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Nilai ujiannya pun terbaik di SMA, hingga penghargaan dari Megawati Soekarno Puteri yang kala itu menjadi presiden didapatkannya. Hal itu sebagai kenangan terakhir yang ia persembahkan untuk ayahnya dan orang-orang yang disayanginya.
Kisah dalam novel ini menceritakan secara detail perjuangan Keke pada detik-detik terakhir hidupnya. Kisah haru yang di dominasi oleh tokoh utama yang tegar dan inspiratif bagi teman-temannya ini membuat peristiwa dalam novel ini menarik. Kekuatan karakter tokoh utama dalam membangun alur dalam novel ini menarik.
Novel Surat Kecil Untuk Tuhan layak untuk dianalisis kepopulerannya. Hal ini dikarenakan kesuksesan novel tersebut dalam menarik perhatian pembaca di Indonesia. Cerita ini dahulu ditulis dalam blogger dan banyak dikunjungi pembaca hingga dua juta banyaknya pembaca. Akhirnya buku ini oleh Inandra publisher dibiayai menjadi sebuah novel. Pada juli 2008 novel ini pertama kali dibuat atau diterbitkan dan terus mengalami cetak ulang yaitu; tiga kali cetak pada tahun 2008, dua kali cetak pada 2009, dua kali cetak pada 2010, dan empat kali cetak pada 2011. Pada tahun 2011 pula novel tersebut diangkat ke dalam sebuah film layar lebar dan berhasil menarik penonton lebih dari lima puluh ribu orang di Indonesia. Film yang diangkat dari novel ini juga diputar hingga di Malaysia dan Singapura. Melihat begitu antusiasnya pembaca terhadap novel Surat Kecil Untuk Tuhan, maka analisis pembaca atau reader respon menjadi pendekatan yang tepat untuk meneliti novel ini.

II. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah pada penelitian ini dapatlah diungkapkan dalam pertanyaan yaitu bagaimana novel Surat Kecil Untuk Tuhan dapat menjadi populer di Indonesia.

III. Landasan Teori
Sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-penaglamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamannya itu. Sastra populer akan setia memantulkan kembali “emosi-emosi asli” dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya (Nurgiantoro, 2010:18). Disamping itu, sastra memaparkan suatu pengetahuan dengan pengalaman tertentu sehingga memiliki arti bagi pembaca. Bahasa sastrapun haruslah mampu mengajak pembaca untuk memasuki pengalaman yang digambarkan penulisnya Menurut teori Iser, kita dapat melihat bahwa makna dari suatu karya sastra tentunya dapat berbeda-beda karena tujuan membaca juga berbeda-beda. Iser menambahkan pula bahwa karya sastra mempunyai dua kutub, yaitu artistik dan estetik. Kutub artistik adalah teks penulis dan kutub estetik adalah realisasi yang dicapai oleh pembaca. Artinya, bahwa suatu karya sastra berada dalam kedua kutub tersebut. Sehingga teks masih bersifat virtual karena tidak mempunyai arti apapun dan teks tidaklah konkret. Kekonkritan teks terjadi apabila ada proses interaksi dinamis dengan pembaca (Ida, 2011: 175-178).
Teori reader-response menunjukkan bahwa pembaca merupakan unsur aktif yang mengomunikasikan kenyataan karya sastra, atau dengan kata lain bahwa pembaca melengkapi pemaknaan melalui interpretasi (Ida, 2011:174). Seringkali begitu fiksi populer dikaitkan dengan pembaca, maka pemikiran yang muncul adalah dampak dari teks kepada pembaca, padahal tidak demikian. Menurut Iser, meskipun teks sangat berkaitan dengan norma-norma dan nilai sosial dari pembacanya, fungsinya tidaklah hanya menyajikan data. Suatu teks menyajikan petunjuk dari apa yang akan diproduksi, dalam hal ini produk ada karena interaksi teks dengan pembacanya. Dalam hal ini pembacalah yang memberi arti semuanya dan sesuai dengan pendapat Iser bahwa makna dari suatu karya sastra dapat berbeda-beda karena tujuan pembaca juga berbeda-beda (Ida, 2011 : 177).

IV. PEMBAHASAN
Novel Surat Kecil Untuk Tuhan menjadi bermakna dan konkret bagi pembaca sesuai dengan penjelasan Iser bahwa teks masih bersifat virtual karena tidak mempunyai arti apapun dan teks tidaklah konkret. Kekonkritan teks terjadi apabila ada proses interaksi dinamis dengan pembaca (Ida, 2011:178). Oleh sebab itu kepopulerann Surat Kecil Untuk Tuhan ini tidak dapat dilepaskan dari peran pembaca. Dapat dikatakan bahwa pembaca menyukai atau tertarik dengan Surat Kecil Untuk Tuhan, maka novel ini dengan segera menjadi populer. Kemudian yang menjadikan novel ini diminati atau disukai pembaca tentu karena adanya suatu unsur-unsur yang sesuai dengan selera pembaca.
Unsur pertama yang menjadikan novel Surat Kecil Untuk Tuhan ini populer karena cerita ini berlatarbelakang kisah nyata. Novel ini diangkat dari perjalanan hidup seorang mantan penyanyi cilik bernama Gita Sesa wanda cantika (Keke). Unsur ini memberikan nilai tersendiri bagi pembaca. Pembaca dalam hal ini begitu antusias untuk membaca sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
Unsur kedua yaitu terletak pada alur yang ditawarkan dalam novel ini. Alur cerita yang memiliki klimaks mengharukan bagi pembaca. Cerita dalam novel ini mampu menimbulkan emosi pembaca ketika pembaca mengharapkan kesembuhan pada tokoh Keke, namun cerita berakhir dengan tokoh utama yang meninggal. Ketegaran Keke dalam menjalani kehidupannya memberikan kesan tersendiri bagi pembaca.
Kemudian, rasa simpati terhadap perjalanan hidup Keke dalam Surat Kecil Untuk Tuhan ini juga dirasakan pembaca ketika alur tersebut mengisahkan tentang peran sang ayah yang tidak putus asa untuk mencari cara agar Keke sembuh. Kasih sayang yang diberikan sang ayah, teman-teman, dan kekasih tokoh utama juga memberikan rasa haru bagi pembaca. Melalui sudut ini, tentu terlihat bahwa pembaca tertarik terhadap novel Surat Kecil Untuk Tuhan tersebut hingga novel ini menjadi populer. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Keke memang anak yang kuat. Entah sudah berapa banyak air mata yang saya keluarkan, tapi tidak sebanding dengan air matanya. Saya hanya tidak ingin kehilangan anak saya.. saya mencintai dia, saya ingin dia selalu ada di sisi saya..” (SKUT : 194).

Akhir cerita dalam novel ini memberikan ruang kepada pembaca untuk merasakan suatu bentuk protes atau kritik terhadap Tuhan. Keadaan tersebut dapat dirasakan pembaca ketika adanya pembaca yang mengalami hal serupa, yaitu ketika perjalanan hidup tersebut ada dalam kehidupan pembaca. Misalnya seorang pembaca tersebut, sanak, atau kerabat pembaca yang harus mengalami tragedi kematian seperti tokoh utama (kemiripan kisah). Dengan demikian, kisah klimaks yang ditampilkan dalam novel Surat Kecil Untuk Tuhan dengan adanya surat memberikan kesan tersendiri bagi pembaca. Surat tersebut menggambarkan suatu kekecewaan tokoh utama atas usaha sia-sia yang telah dilakukannya demi kesembuhan. Surat tersebut juga sekaligus menunjukkan kebesaran Tuhan dan tidak keberdayaannya seorang manusia. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
“Tuhan.. andai aku bisa kembali, aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini.
Tuhan.. andai aku bisa kembali, aku berharap tidak ada lagi hal yang sama terjadi padaku terjadi pada orang lain...
Tuhan.. biarkanlah aku bisa dapat melihat dengan mataku untuk memandang langit dan bulan setiap harinya...
Tuhan.. bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi, agar aku bisa memberikan kebahagiaan kepada ayah dan sahabat-sahabatku..” (SKUT : 208-209).

Unsur ketiga yang turut memberikan dampak kepopuleran pada novel Surat Kecil Untuk Tuhan ini yaitu latar belakang penulis. Agnes Davonar adalah penulis yang cukup populer, baik dalam penulisan novel populer maupun blogger. Ia adalah penulis yang lebih dikenal dalam media internet, oleh sebab itulah ayah Keke memintanya untuk menuliskan kisah anaknya ke dalam blogger terlebih dahulu. Ternyata banyak pembaca yang datang merespon cerita tersebut, maka diangkatlah cerita tersebut ke dalam novel. Penulis muda ini pernah mendapatkan beberapa penghargaan seperti The best Asia-Pasifik Sony Ericson writing, The Most Influeantal Blogger, dan The best Indonesia Writing blogger. Unsur ini juga menjadi penting atas kepopuleran novel ini. Hal ini juga dikarenakan sebagian besar pembaca novel ini adalah perempuan dan kalangan remaja.

V. KESIMPULAN
Unsur-unsur yang telah dipaparkan pada bab pembahasan memberikan kesimpulan atas penelitian terhadap kepopuleran novel Surat Kecil Untuk Tuhan dengan pendekatan reader response ini. Terdapat tiga unsur yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pembaca dalam hal ini adalah pembaca di Indonesia ternyata menyukai atau memiliki minat atau hasrat terhadap karya sastra khususnya Surat Kecil Untuk Tuhan karena diangkat dari kisah nyata. Unsur “kisah nyata” ini mampu membuat pembaca penasaran terhadap novel tersebut. Kedua, novel tersebut memiliki cerita yang dekat dengan kenyataan dan secara tidak langsung pembaca seolah terbawa ke alur yang ada dalam novel tersebut. Kisah yang bersifat haru dan mengundang kesedihan dan membuat sebagian besar pembaca menitikkan air mata (dramatik) menjadi cerita yang disukai pembaca di Indonesia. Dan ketiga, cerita tersebut dituliskan oleh seorang penulis muda yang cukup ternama di media internet sehingga memberikan ruang kepada pembaca yang sebagian besar adalah perempuan dan kalangan remaja ini mendapatkan informasi adanya novel seperti Surat Kecil Untuk Tuhan, secara tidak langsung hal ini turut menjadikan novel tersebut populer di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davonar, Agnes. 2011. Surat Kecil Untuk Tuhan. Jakarta: Inanda Published.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Transformasi Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail Intertekstual

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias atau imajinatif (Waluyo, 2005:1). Gadamer (dalam Palmer, 2003:251) menyatakan bahwa puisi bersifat puitis. Adapun puisi yang puitis adalah puisi yang bermakna spekulatif. Sifat puitis tersebut terdapat dalam puisi, jika puitis itu tidak hanya mengandung makna eksplisit, tetapi juga menghadirkan kepada pembaca pandangan baru dari dunia baru dalam mediasi imajinatif. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa puisi memiliki makna implisit, yaitu makna yang terkandung di dalam puisi meskipun tidak dinyatakan secara jelas atau terang-terangan. Puisi juga memiliki makna eksplisit yaitu makna yang terkandung di dalam puisi dan dinyatakan secara jelas. Puisi dapat diketahui maknanya dengan paham keutuhan puisi secara mendalam. Pradopo (2007:13) menambahkan bahwa puisi bersifat puitis bila puisi tersebut dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan.
Ukuran utama yang digunakan dalam menilai puisi adalah rasa. Hal ini menunjukkan bahwa puisi tidak dapat terlepas dari hakikatnya. Adapun hakikat puisi menurut Richards (dalam Tarigan, 1993:10) terdiri atas ; (1) tema (sense); (2) rasa (feeling); (3) nada (tone); (4 )amanat atau tujuan (intention).
Tema merupakan gagasan pokok atau pokok permasalahan. Tema biasanya diselubungkan oleh pengarang dalam karya sastranya. Tema harus ditemukan dan dipahami oleh pembaca atau penikmat karya sastranya.
Rasa adalah sikap penyair dalam mengolah pokok permasalahan dalam karya sastranya, sehingga karya sastranya tersebut terasa lebih hidup atau bermakna tidak kosong. Sikap penyair dalam mempresentasikan makna dalam satu puisi akan membuka pendapat atau pemikiran yang berbeda dari penyair lainnya.
Nada adalah sikap penyair terhadap keberadaan pembaca atau penikmat karya sastranya. Nada yang dikemukakan oleh penyair tentu saja akan memiliki keterkaitan dengan tema dan rasa dalam puisi yang bersangkutan. Nada lemah atau rendah biasanya dikemukakan dalam puisi yang bertema kedukaan, kegalauan, kekecewaan dan sebagainya. Nada kuat, keras atau tinggi biasanya dikemukakan dalam puisi bertema kegembiraan bahkan kemarahan. Nada-nada dalam puisi tersebut mendukung tersampaikannya rasa dalam diri penyair kepada pembaca, sehingga makna dalam karya sastranya dapat terungkap.
Tujuan berfungsi sebagai dorongan penyair dalam menciptakan karya sastra. Tujuan puisi diciptakan bergantung pada pandangan hidup, pendapat, atau ideologi penyairnya. Suatu tujuan dapat tersampaikan melalui puisi karena puisi dapat berperan sebagai media. Sayuti (1985:18) menjelaskan bahwa dalam puisi seseorang itu berbicara sesuatu untuk menyampaikan tujuannya kepada pembaca atau pendengar. Sesuatu yang ada dalam jalinan bahasa yang disebut puisi itu diungkapkan oleh tiap-tiap penyair dengan teknik masing-masing.
Taufiq Ismail lahir pada 25 Juni 1935 di Bukit tinggi, Sumatera Barat. Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 dan penghargaan American Field Service International Scholarship pernah diraihnya untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat pada 1956 hingga 1957. Ia pendiri majalah sastra Horison pada 1966 dan Dewan Kesenian Jakarta pada 1968.
Karya-karya seorang anak bangsa yang mencintai budaya membaca sejak kecil ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Prancis. Karya-karya puisinya telah dibukukan dan diterbitkan di antaranya adalah Manifestasi pada 1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andang Jaya, dll, Benteng pada 1966, Tirani pada 1966, Puisi-Puisi Sepi pada 1971, Buku Tamu Museum Perjuangan pada 1972, Sajak Ladang Jagung pada 1974, Puisi-Puisi Langit pada 1990, Tirani dan Benteng pada 1993, Ketika Kata Ketika Warna pada 1995, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia diterbitkan pertama pada 1998.
Buku kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terus mengalami cetak ulang. Buku tersebut berisi seratus puisi karya Taufiq Ismail yang terdiri atas tiga bagian yaitu “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, “Kembalikan Indonesia Padaku”, dan “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung”. Buku tersebut mengandung makna atau pesan yang disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisi-puisi di dalamnya. Makna dalam puisi-puisi tersebut diungkapkan dengan mengangkat rasa malu sebagai simbol ketidakseimbangan dan kekecewaan penyair terhadap bangsa dan negaranya. Puisi-puisi karya sarjana kedokteran hewan dan peternakan yang lulus pada 1963 ini dilatarbelakangi oleh rasa jenuh terhadap kehidupan tanah air. Oleh sebab itulah, ia ingin mencoba mengembalikan Indonesia ke dalam norma atau ajaran yang baik dan benar, kembali ke dalam ajaran Allah. Hal ini tidak terlepas dari karya-karyanya yang meskipun bernuansa kritik sosial, namun kekhasan karyanya masih banyak yang menunjukkan ajaran-ajaran islam. Hal ini tidak terlepas dari mayoritas penduduk Indonesia adalah seorang muslim. Dalam hal ini, melalui karyanya ia menginginkan Indonesia kembali menjadi negara yang berbudi luhur seperti dalam ajaran nabi Muhammad SAW. dan hadist. Alasan-alasan tersebut menjadikan penelitian terhadap puisi-puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (selanjutnya ditulis dengan MAJOI) ini menarik.
Dalam penelitian ini penulis hanya mengambil dua sampel puisi, yaitu “Sajadah Panjang” dan “Aisyah Adinda Kita” untuk dianalisis. Hal ini dianggap cukup untuk mewakili makna atau ajaran islam yang terkandung dalam MAJOI. Dimana makna tersebut memberikan kesan tersendiri bagi pembaca, karena bagaimanapun suatu karya sastra menjadi bermakna karena pembaca. Inilah yang menjadikan pembaca tidak dapat dilepaskan dari karya sastra. Karya sastra lahir dari masyarakat dan akan kembali pula ke dalam masyarakatnya. Dengan demikian penelitian dengan judul “Transformasi Ajaran Islam dalam Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail, Intertekstual” ini diangkat.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan intertekstual antara teks MAJOI sebagai teks transformasi dengan teks Alquran dan Hadist nabi sebagai hipogramnya.

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu sastra. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan hubungan interteks antara teks MAJOI dengan teks Alquran dan Hadis nabi sebagai hipogramnya.
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu dalam memberikan penjelasan terhadap makna implisit maupun eksplisit dalam puisi, khususnya puisi pada kumpulan puisi MAJOI karya Taufiq Ismail. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam menangkap makna ataupun pesan yang dikemukakan penyair, sehingga dapat dijadikan media kontemplasi untuk dapat berlaku bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan.

1.4. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap kumpulan puisi MAJOI pernah dilakukan oleh Nila Mega Marahayu berupa skripsi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Judul penelitian tersebut adalah Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail. Penelitian ini mendeskripsikan pembacaan semiotik terhadap tujuh puisi Taufiq Ismail dan mendeskripsikan kritik sosial yang termuat pada tujuh puisi karya Taufiq Ismail. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah melakukan analisis dengan pendekatan struktur pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik. Analisis selanjutnya dengan pendekatan sosiologi sastra. Hasil analisis pertama dan kedua tersebut membantu dalam pendeskripsian kritik sosial pada kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Analisis dengan pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik dilakukan terhadap puisi yang relevan dengan nilai-nilai sosial. Diperoleh lima klasifikasi sasaran kritik sosial dari analisis tersebut. Pertama adalah kritik terhadap bidang politik. Kedua, kritik terhadap bidang ekonomi. Ketiga, kritik terhadap bidang hukum. Keempat kritik terhadap bidang pendidikan, serta kelima adalah kritik terhadap kebebasan berpendapat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa selain memberikan kritik, Taufiq Ismail juga memberikan pendapatnya terhadap lima sektor tersebut. Bentuk pendapatnya tersebut antara lain pemerintah harus mengembalikan kekuasaan negara kepada rakyat, membuat kebijakan dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), negara harus memiliki supremasi hukum demi HAM dan keamanan, pemerintah harus melakukan pemerataan pendidikan sampai ke daerah pelosok di Indonesia, dan melakukan musyawarah yang sehat.
Penelitian terhadap kumpulan puisi MAJOI juga pernah dilakukan oleh Daroe Iswatiningsih berupa jurnal penelitian sosial. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang pada 2005. Judul penelitian tersebut adalah “Telaah Semiotika Ragam Bahasa Sastra Taufiq Ismail dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik eksploratif tekstual, yaitu menelusuri teks-teks puisi yang di dalamnya mengandung tanda-tanda. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa puisi pada kumpulan puisi MAJOI secara struktural pada unsur pencitraannya memiliki beberapa penanda yang menyatakan hubungan alamiah (ikon), hubungan kausalitas (indeks) maupun simbol. Makna puisi dalam penelitian tersebut dianalisis berdasarkan semiotik. Prinsip analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut menekankan pada faktor ketandaan, yaitu penanda kata (signifier) dan petanda makna (signified), bukan faktor pembacaan semiotik berupa pembacaan heuristik maupun hermeneutik.

1.5 Landasan Teori
A. Pembacaan Semiotik
Analisis secara struktural merupakan pendekatan mikrosastra yang bertujuan untuk menganalisis unsur intrinsik karya sastra. Karya sastra puisi dapat diteliti dengan pendekatan teori strata norma Roman Ingarden, namun penelitian dengan teori tersebut lebih tepat digunakan untuk menganalisis karya sastra lama yang masih memperhatikan keestetikaan sajak melalui irama, bunyi, rima, dan lain sebagainya. Semenjak lahirnya angkatan 45, karya sastra lebih menekankan pada isi atau makna dan pesan di dalamnya kepada pembaca.
Pembacaan semiotik memiliki tujuan untuk menghubungkan kembali sajak atau puisi ke dalam masyarakat dan kebudayaannya. Pembacaan semiotik merupakan bagian dari metode semiotik yang dianggap lebih dekat (khusus) dalam meneliti suatu karya sastra. Pengertian semiotik atau semiotika menurut Preminger (dalam Pradopo, dkk., 2001:71) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Fungsi dari semiotik tersebut untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Hal ini bersangkutan dengan pemahaman puisi bahwa puisi tersebut merupakan suatu teks yang tersusun atas tanda-tanda. Maksud tanda-tanda di sini adalah suatu yang memiliki makna di dalamnya dan dapat diketahui hanya dengan memahami dan menganalisis puisi tersebut. Hirsch (dalam Allen, 2004:209) menyatakan bahwa jelas ada suatu artian yang di dalamnya pembaca tidak bisa mengevaluasi sebuah teks maupun menetapkan apa maksudnya “bagi pembaca, sekarang ini” sebelum pembaca memahami dengan betul apa yang dimaksud.
Riffaterre menyatakan (dalam Pradopo, 2009:134-135) bahwa untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif. Penjelasan terhadap pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif adalah sebagai berikut.
a) Pembacaan Heuristik
Pembacaan Heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau semiotika tingkat pertama. Pradopo (2009:135) menjelaskan bahwa pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Analisis terhadap karya sastra khususnya puisi dengan pembacaan heuristik bertujuan untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya, kemudian diletakkan pada tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya di balik untuk memperjelas arti (Pradopo dkk., 2001:85). Pemenggalan puisi dilakukan dengan membubuhkan (/) sebagai tanda koma, sedangkan (//) sebagai tanda titik untuk memperjelas susunan kalimatnya (Pradopo, 2009:135).
b) Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan Hermeneutik merupakan bagian dari ilmu hermeneutik atau hermeneutika, yaitu proses penguraian yang berawal dari isi dan makna pada suatu teks. Isi dan makna tersebut terdapat di dalam makna yang terpendam atau tersembunyi yang biasanya disebut dengan makna implisit.
Palmer (2003:8) menyatakan bahwa fokus penelitian menurut cakupan hermeneutik terdiri atas:
1) peristiwa pemahaman teks;
2) persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi itu dalam suatu teks.
Objek interpretasi hermeneutik adalah teks yang berarti simbol. Hal ini menunjukkan hakikat keberadaan hermeneutik menurut Palmer (2003:48) yaitu bahwa hermeneutik harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki banyak makna. Hermeneutik dapat berhubungan dengan puisi karena puisi merupakan karya sastra berupa teks simbolik, sehingga puisi membutuhkan hermeneutik untuk menjelaskan makna di dalamnya. Hermeneutik dapat juga dikatakan sebagai ekspresi sajak atau makna sajak. Pengertian pembacaan hermeneutik secara lebih jelas adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2009:135). Konvensi sastra tersebut adalah konvensi tambahan atau konotasi yang ditambahkan dari konvensi bahasa yang sebenarnya.

B. Resepsi Sastra
Resepsi sastra pada hakikatnya mengkaji bagaimana pembaca memberi makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberi reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus,1985:1; segers,1978:40) dengan resepsi sastra terjadi peralihan kecenderungan dalam penelitian sastra : dari pengarang dan karya kepada karya dan pembaca (Holub,1984:xxi).
Ada dua kemungkinan reaksi pembaca menurut Jausz, yaitu reaksi aktif yang tampak dalam bentuk orang mencipta suatu karya sastra yang lain, yang menekankan aspek perkembangannya, yaitu :
a) Perkembangan estetika dengan hakikat estetika tertentu pada suatu masa tertentu yang berbeda dengan atau bertentangan dengan hakikat dari masa sebelum (dan sesudahnya nanti).
b) Perkembangan pandangan terhadap suatu unsur budaya pada suatu zaman tertentu yang berbeda dari atau bertentangan dengan pandangan yang ada sebelumnya yang juga menyebabkan adanya pandangan yang berbeda sesudahnya (Jausz dalam Junus, 1985:34-35).
Reaksi pasif hanya mengomentari atau mungkin hanya menyukai. Ini juga dapat memperlihatkan bagaimana suatu karya diterima dalam suatu masyarakat. Dalam teorinya, Jausz memperkenalkan konsep horison harapan yaitu perangkat mental yang menyusun penyimpangan-penyimpangan dan penyesuaian-penyesuaian dengan sensitivitas yang dibesar-besarkan (Gombrich dalam Halub, 1984:59). Konsep horison harapan menjadi kata kunci teori Jausz. Seterusnya horison harapan ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
a) Pengetahuan norma-norma generik yang timbul pada teks-teks yang sudah dibaca pembaca.
b) Pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang teks-teks yang sudah dibaca sebelumnya.
c) Kontras antara fiksi dan realitas ; kemampuan pembaca untuk menikmati sebuah teks baru dalam horison “sempit” harapan sastra dan dalam horison “luas” pengetahuan tentang hidup (jausz dalam Segers 1978:41).
Nilai sastra suatu teks menurut Jausz terletak pada kemampuannya mempertemukan horison pembaca atau mendahuluinya. Khususnya pada waktu teks itu ditulis atau disiarkan. Kesenjangan antara horison harapan sastra dan kenyataan teks yang muncul disebut “jarak estetika” atau disebut juga “perubahan horison”. Jarak estetika ini secara historis dapat diukur dengan reaksi masyarakat pembaca. Bila jarak teks yang baru sangat dekat dengan harapan-harapan masyarakat, teks baru itu lebih bersifat populer (Jausz dalam Segers, 1978 :41 dan Holub, 1984:62).
Pemikiran jausz yang penting dalam rangka resepsi sastra adalah bahwa peneliti sastra dan sejarah sastra bertugas menelusuri resepsi karya sastra sepanjang zaman (dalam Teeuw, 1984 :197). Pernyataan ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa konsep horison harapan memegang peranan pusat dalam teori Jausz, maka rekosntruksi horison harapan ini adalah suatu soal utama dalam sejarah resepsi dan disediakan sebagai rangka referensi konstruksi suatu sistem sastra. Jausz menilai kualitas kesusasrteraan tergantung kepada kemampuannya memutuskan horison harapan pembaca (dalam Fokkema, 1977:149).
Dengan demikian, riset resepsi harus lebih daripada menggambarkan struktur karya individual. Riset resepsi hendaklah dapat menggambarkan bagaimana sebuah karya pada waktu munculnya menjadi kerangka acuan berdasarkan harapan-harapan pembaca. Prince (1980:9) mengelompokkan tiga macam pembaca, yaitu :
a) Pembaca riil, orang yang membaca buku,
b) Pembaca sebenarnya (virtual reader), yaitu pembaca yang dituju oleh penulis, yang dibantunya dengan kualitas, kapasitas, dan selera tertentu.
c) Pembaca ideal. Yaitu seorang yang memahami teks secara sempurna dan menyetujui setiap nuansanya.
Dalam hal ini, dapat ditentukan sesuai prinsipnya bahwa pembaca terbagi menjadi dua macam, yaitu yang diluar teks dan yang didalam teks. Pembaca yang diluar teks adalah yang disebut pembaca biasa atau pembaca riil. Pembaca yang di dalam teks yaitu pembaca yang diharapkan dapat menemukan petunjuk dalam teks bagaimana membaca teks yang bersangkutan. Ini adalah pembaca implisit. Pembaca eksplisit juga termasuk pembaca yang di dalam teks, yaitu pembaca yang tegas-tegas di katakan dalam teks, pembaca yang dituju oleh teks. Dengan pengertian inilah, analisis resepsi terhadap objek dilakukan.
C. Hubungan Intertekstual
Penelitian resepsi sastra akan membawa pembaca pada hubungan intertekstual. Ada hubungan yang erat antara resepsi sastra dan intertekstualitas (Teeuw,1984 :213; Junus, 1985:87). Teeuw menambahkan bahwa dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus merupakan resepsi.
Intertekstualitas mempunyai pusat persmasalahan ganda. Hubungan intertekstualitas adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Tempat sastra menjadi bagiannya dan pada gilirannya budaya diberi tempat dalam teks sastra (Kristeva,1978:36).
Intertekstualitas adalah himpunan pengetahuan teks bermakna. Dan makna suatu teks tergantung pada teks-teks lain yang diserap dan ditransformasikannya. Intertekstualitas terlihat di tempat intersubjektif bertemu. Intertekstualitas menandai segala yang memungkinkan seseorang untuk mengenali pola dan makna dalam teks. Dengan demikian, terdapat kemungkinan-kemungkinan yang menunjukkan intertekstual ini menjadi semakin jelas bahwa teks tidak dapat dibaca terlepas dari teks-teks lain, baik teks bahasa maupun bukan bahasa.

1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan riset kepustakaan. Metode yang digunakan adalah metode struktural. Metode ini diterapkan untuk menganalisis struktur karya yang menjadi objek penelitian dengan pendekatan heuristik dan hermeneutik. Selanjutnya digunakan pula metode resepsi sastra, yaitu mempelajari tanggapan membaca terhadap karya sastra yang dibacanya. Penelitian ini diteruskan dengan pendekatan intertekstualitas.

1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis menjadi tiga bab yakni sebagai berikut.
Bab 1 Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II Pembahasan mengenai materi transformasi kajian islam dalam MAJOI untuk mengungkapkan ajaran islam dalam teks MAJOI.
Bab III Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


BAB II PEMBAHASAN
Transformasi Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kumpulan Puisi
Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail
Intertekstual
2.1 Analisis Pembacaan Semiotik
Pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap dua puisi karya Taufiq Ismail yang termuat dalam MAJOI adalah sebagai berikut.
1. Pembacaan Semiotik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”
Puisi “Aisyah Adinda Kita” ditulis oleh Taufiq Ismail pada 1984. Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi bagian kedua dalam buku MAJOI yaitu “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut merupakan puisi kedua puluh satu dalam susunan redaksional kumpulan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut maupun puisi Taufiq Ismail lainnya lebih menekankan kejelasan isi serta keteraturan peristiwa. Pemaparan puisi tersebut dengan analisis pembacaan semiotik adalah sebagai berikut.
a. Pembacaan Heuristik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”

//Aisyah/ Adinda Kita/ yang sopan dan jelita/
Angka SMP dan SMA sembilan rata-rata/
Pandai mengarang dan berorganisasi/
Mulai muharram satu empat nol satu/
Memakai jilbab menutup rambutnya/
Busana muslimah amat pantasya//

//Aisyah/ adinda kita yang sopan/ dan jelita/
Indeks prestasi tertinggi/ tiga tahun lamanya/
Calon insinyur dan bintang di kampus/
Bulan Muharram/ satu/ empa/t nol/ empat/
Memakai jilbab menutup rambutnya/
Busana muslimah amat pantasnya.//
//Aisyah/ adinda kita/
Tidak banyak dia berkata/
Dia memberi contoh saja.//

//Ada sepuluh Aisyah/ ada saeratus Aisyah/
Ada sejuta Aisyah/ Aisyah adinda kita/
Berbusana muslimah/
berbusana muslimah/
berbusana muslimah/

b. Pembacaan Hermeneutik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”

Aisyah, adalah adinda kita yang sikapnya sopan dan ia juga berparas jelita. Ia memiiliki angka (nilai) di SMP dan SMA rata-rata sembilan atau ia nyaris memiliki kesempurnaan. Ia pandai mengarang dan berorganisasi. Pada Muharram satu empat nol satu (1401 M) ia mulai memutuskan dirinya untuk memakai jilbab menutup rambutnya (auratnya). Ia yang sudah jelita dan baik, menggunakan busana muslimah dan terlihat amat cantik. Dia terlihat sangat pantas mengenakan busana itu.
Aisyuah, adalah adinda kita adalah adik kita, bimbingan kita yang sikapnya sopan dan berparas jelita. Ia selalu ,mendapatkan indeks prestasi tertinggi selama tiga tahun (ketika SMA). Ia adalah calon insinyur dan bintang kampus. Akhirnya bulam muharram 1404 (1404 m) brelalu dan ia tetap berjilbab dan menutup auratnya. Busana muslimah memang pantas dikenakannya.
Aisyah adalah adinda kita yang tidak banyak bicara, tetapi ia dapat menunjukkan kebaikannya, kesuksesannya, kepandaiannya, melalui tindakannya (dia memberi contoh saja).
Di sini, ada sepuluh, seratus, sejuta, Aisyah yang berbusana muslimah (ada sepuluh gadis yang bernasib seperti Aisyah) yanag tertekan di negeri sendiri, di negeri yang tidak memberikannya kebebasan untuk mengenakan jilbab.

2. Pembacaan Semiotik Puisi
“Sajadah Panjang”
Puisi “Sajadah Panjang” ditulis oleh Taufiq Ismail pada 1984. Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi bagian kedua dalam buku MAJOI yaitu “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut merupakan puisi kedua puluh dua dalam susunan redaksional kumpulan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku”. Pemaparan puisi tersebut dengan analisis pembacaan semiotik adalah sebagai berikut.
a. Pembacaan Heuristik Puisi
“Sajadah Panjang”

//Ada sajadah panjang terbentang/
Dari kaki buaian/
Sampai ke tepi kuburan hamba/
Kuburan hamba bila mati//

//Ada sajadah panjang terbentang/
Hamba tunduk dan sujud/
Di atas sajadah yang panjang ini/

//Diselingi sekedar interupsi/
Mencari rezeki/ mencari ilmu/
Mengukur jalanan sehariaan/
Begitu terdengar suara azan/
Kembali tersungkur hamba//

//Ada sajadah panjang terbentang/
Hamba tunduk dan rukuk/
Hamba sujud/ dan tak lepas kening hamba/
Mengingat dikau/
Sepenuhnya//

c. Pembacaan Hermeneutik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”

Sebuah sajadah panjang telah terbentang di atas tanah atau lantai. Sajadah itu seolah penuh makna, seolah hidup hingga memberikan buaian ketentraman dan ketenangan (dari kaki buaian). Hingga terasa seolah sampai pada saat hamba menyerahkan diri atau menghadap Allah (sampai ke tepi kuburan hamba, kuburan hamba bila mati)
Ada sebuah sajadah yang panjang terbentang atau dapat dikatakan adanya seseorang hamba tengah melaksanakan sholat. Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini.
Ketika sholat yang hamba lakukan hanyalah atau lenih banyak memohon sesuatu atau berdoa (Deselingi sekedar interupsi). Hamba itu memohon rezeki dan meminta manfaat atas pencarian ilmu di sepanjang hidupnya atau kesehariannya. Ketika tengah sibuk dengan segala urusan pekerjaan duaniawi, hamba mendengar suara azan. Dan segeralah hamba sholat (kembali tersungkur hamba).
Ada sebuah sajadah panjang yang terbentang di atas lanta atau tanah. Disanalah hamba tunduk dan rukuk. Dikala itulah hamba sujud dan tidak lepas kening hamba mengingat dikau sepenuhnya. Atau hamba selalu mengingat Allah dan hamba selalu menunaikan sholat. Hamba takut pada Allah. Hamba pasrahkan kehidupan pada Allah (sepenuhnya).

2.2 Analisis Resepsi Sastra dan Intertekstualitas
Nilai-nilai ajaran Islam terkandung dalam MAJOI yang bersumber dari ayat-ayat suci Alquran dan hadist nabi. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
1) Ajaran selalu mengingat Allah atau takwa.
Allah adalah Tuhan bagi umat islam atau muslim. Mengingat Allah adalah sesuatu yang diharuskan kepada umat muslim agar selamat dunia dan akhirat, karena dengan mengingat Allah, dalam hal ini bertakwa kepada Allah maka akan diberikannya segala kebaikan kepadanya.
Kata taqwa ( التَقْوَى ) berasal dari Wiqoyah ( الوِقَايَة ) yaitu kalimat yang menunjukkan penolakan terhadap sesuatu. Al-Wiqoyah berarti apa yang menghalangi sesuatu. Maka, taqwa seorang hamba kepada Robbnya berarti menjadikan penghalang antara dia dengan apa yang ditakuti dari Robbnya berupa kemurkaan, kemarahan dan siksaanNya yaitu dengan cara mentaatiNya dan menjauhi maksiat kepadaNya. Ajaran tentang takwa atau mengingat Allah tersebut dapat dilihat pada nilai-nilai yang disampaikan melalui ayat-ayat suci Alquran seperti berikut.
Alloh Swt berfirman:
"Dan bertakwalah kepada Alloh yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al Maa-idah: 96).
Hal itu juga dapat dilihat dalam berikut.
Rosululloh saw bersabda:
"Takutlah (bertaqwalah) kepada kedzoliman karena kedzoliman akan menjadi kegelapan pada hari qiyamat. Dan takutlah (taqwalah) kepada kekikiran, karena kekikiran telah membinasahkan orang-orang sbelum kalian sehingga membawa mereka menumpahkan darah dan merobek-robek kehormatan". (HR. Muslim: 16/134 Syarah An-Nawawi).
Nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam MAJOI mengenai takwa atau mengingat Allah merupakan pentransformasian dari H.R. Muslim dan Ayat suci Alquran tersebut. Dalam puisi “Sajadah Panjang” penulis seolah begitu membakan tokoh “aku” atau “hamba” begitu mengingat akan Allah, begitu mengisyaraktan bahwa ia adalah seorang yang bertakwa. Hingga ketika ia bersujud dalam gerakan sholat, ia dapat merasakan benar-benar keberadaan Allah. Ia begitu mengingat akan sepenuhnya hidupnya dan kebesaran akan Allah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan dari puisi “Sajadah Panjang” berikut.
“Hamba sujud dan tak lepas kering hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.”
(MAJOI, 2005:121)

2) Ajaran tentang pentingnya menjalankan shalat.
Sholat adalah tiang agama. Sholat pulalah yang dapat membedakan kemusliman seseorang dari yang lain. Pada penggalan puisi di atas juga tengah syarat berbicara tentang ajaran islam tentang sholat yang begitu berharga. Begitu nikmatnya seseorang “hamba” bertemu dengan Tuhannya kala bersujud atau kala sholat. Hal ini dapat dilihat melalui Abu Hurairah r.a., katanya:
"Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu di-hisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu, sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rusak, sungguh-sungguh menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat ini." (Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan”).
Ajaran islam tentang pentingnya sholat ini juga dapat dilihat dari puisi “Sajadah Panjang”. Pada judul dari puisi ini pun sudah sarat dengan makna sholat, dimana sajadah itu sendiri merupakan suatu alat sebagai mediasi untuk melaksanakan sholat. Diceritaknnya bahwa tokoh “hamba” tersebut begitu tulus menghadap Tuhan dan menjalankan ibadah sholat itu tanpa paksaan sedikitpun. Bahkan ketika didengarnya suata azan, ia sesegera mungkin menunaikan sholat. Dan dalam sujudnya begitu ia menyerahkan dirinya pada Tuhan. Ia menyerahkan akan rezeki yang didapatkannya serta ilmu yang tengah dijalaninya dalam hidup. Di atas sajadah panjang tersebut, ia berdoa. teringat akan kegiatan yang dihabiskannya pada satu atau setiapa hari dengan bekerja atau mencari ilmu. Dan kala sholat, ia kembalikan semua itu kepada Tuhan. Hal ini menjelaskan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam MAJOI mengenai ajaran sholat yang merupakan pentransformasian dari hadist dan Ayat suci Alquran. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi “Sajadah Panjang” berikut.

“Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba..
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk...”
(MAJOI, 2005:121)
3) Ajaran kepada kaum wanita untuk memakai jilbab.
Islam mengajarkan kepada perempuan untu menjaga dirinya dengan jilbab. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat Alquran maupun hadist berikut.
Firman Allah“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya serta tidak menampakkan perhiasannya kecuali ( yang biasa ) nampak darinya. Dan hendakkah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka” (QS. 24 : 31)
Yaitu tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya kepada orang-orang asing ( bukan muhrim ) kecuali sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan berupa pakaian yang tidak menyolok, dan hendaklah menjulurkan penutup kepalanya (jilbab) sampai ke dadanya sehingga tertutup.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. ia berkata. “Semoga Allah merahmati wanita-wanita pertama yang berhijrah( muhaajiraat), yaitu ketika Allah menurunkan firmanNya : “ Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dalam mereka” ( QS. 24 : 31).
Hal tentang ajaran memakai jilbab ini juga tergambar pada puisi karya Taufiq Ismail pada MAJOI ini. Dimana seorang Aisyah begitu terlihat sempurna setelah memakai jilbab. Ia adalah seorang gadis yang sopan dan berparas jelita, ia juga cerdas dengan diraihnya prestasi di sekolahnya. Ia dikatakan sebagai calon insinyur dan bintang di kampus. Dan kebagusan yang diberikan Tuhan kepadanya itu nyaris disempurnakannya yaitu dengan memakai jilbab. Dalam puisi ini penulis seolah mencerminkan atau menggambarkan betapa seorang perempuan muslim yang berjilbab adalah sesuatu keharusan dan telah banyak pula yang menjejaki hal serupa di tempat lain di Indonesia. Pada keadaan itu pula dikisahkan akan pada 1404 m jilbab itu mulai dikenakan Aisyah bahkan di tanah air telah banyak digunakan bahkan hingga sejuta Aisyah ada di Indonesia. kebaikan akhlak dan kebagusan tindakan dan oemikiran ini disimbolkannya dengan seorang perempuan yang berjilbab. Simbol jilbab ini begitu menekankan makna tentang pentingnya menggunakan jilbab. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi “Aisyah Adinda Kita” sebagai berikut :
“Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMA sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai muharram satu empat nol satu
Menutup jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya..
“...Ada sejuta Aisyah..
Berbusana muslimah”
(MAJOI : 2005:119)


BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
MAJOI merupakan karya seorang Taufiq Ismail yang memiliki nilai-nilai ajaran islam di dalamnya. Meskipun karya sastra ini bergenre puisi, namun bukan berarti makna atau pesan yang mencoba disampaikan kepada pembaca terasa tidak sampai. Melalui karya ini, pembaca tentu mampu menangkap betapa khas atau nuansa islam dibalik puisi-puisi heroik Taufiq ini begitu terasa dalam MAJOI. Hal ini juga tidak terlepas dari biografi seorang penulisnya yang merupakan seorang muslim. Taufiq Ismail, melalui karya-karya puisi yang ringan ini memberikan horisaon harapan kepada pembaca. Dimana pembaca mayoritas penduduk tanah air adalah muslim. Kembali pada kritik-kritik terhadap kecarut-marutan bangsa dan negara, maka Taufiq Ismail hadir dengan karyanya yang mencoba untuk memenuhi horison pembaca tentang suatu keindahan dari kebaikan budi. Kebaikan budi tentu akan membawa bangsa dan negara menjadi lebih baik.
Kebaikan budi atau akhlak itu sendiri tentu tidak lepas dari peranan kepercayaan akan kebesaran Tuhan. Melalui nafas-nafas islam, akhlak yang berbudi luhur itu mencoba ditawarkan kepada pembaca oleh Taufiq. Ia pun hadir dengan karyanya dalam “Sajadah Panjang” dan “Aisyah Adinda Kita” sebagai simbolik atas suatu kebaikan akhlak. Transformasi akan ayat-ayat Alquran dan hadist mencoba disampaikan secara implisit oleh Taufiq Ismail. Adapun hasil dari transformasi terhadap nilai-nilai keislaman dalam MAJOI yang telah diungkap dari analisis ini adalah sebagai berikut.
1. Ajaran selalu mengingat Allah atau takwa.
2. Ajaran tentang pentingnya menjalankan shalat.
3. Ajaran kepada kaum wanita untuk memakai jilbab.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca lagi: (Re)interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995: Terjemahan Bakdi Soemato. Magelang: Indonesia Tera.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2007. Alquran dan terjemahannya 30 Juz. Solo : PT Qomari Prima Publisher.
Holub, Robert C. 1984. Reception Theory. New York : Methuen.
Ismail, Taufiq. 2005. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta Timur: PT Cakrawala Budaya Indonesia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language : A Semiotic Approach to Literature. (Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Thomas Gora, Alice Jardine dan Leon S. Roudiez). London. Basil Blackwell.
Palmer, E. Richard. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi: Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
___________. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

___________. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prince, Gerald. 1980. “Introduction to the Study of the Narrate” dalam Jane P. Tompkins (ed.) Reader-Respnose Criticism : The John Hopkins University Press, 7-25.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.


LAMPIRAN
Puisi 1
Aisyah Adinda Kita
Karya Taufiq Ismail

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMP sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai Muharram satu empat nol satu
Memakai jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
Calon insinyur dan bintang di kampus
Bulan Muharram satu empat nol empat
Tetap berjilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya

Aisyah adinda kita
Tidak banyak dia berkata
Dia memberi contoh saja

Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah
Aisyah adinda kita.

1984



Puisi 2
Sajadah Panjang
Karya Taufiq Ismail
Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi

Mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba

ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat dikau sepenuhnya

1984

Makna Cinta dalam Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo Karya Seno Gumira Ajidarma (Kajian Psikoanalisis Lacan)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah karya yang imajinatif, baik karya lisan maupun tertulis. Karya sastra ialah karya yang bersifat fiktif (rekaan). Sebuah karya sastra meskipun bahannya (inspirasinya) diambil dari dunia nyata, tetapi sudah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan realitas dunia nyata. Sebab, realitas dalam karya sastra sudah ditambah sesuatu oleh pengarang (Noor, 2006 :11).
Cerpen adalah cerita pendek. Cerpen sebagai karya fiksi yang mempunyai persamaan dengan novel karena keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama. Cerpen dan novel sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010:10). Perbedaan antara cerpen dan novel dapat dilihat dari segi panjang cerita.
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Ia juga pernah menulis tentang situasi di Timor-Timur tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Seno Gumira Ajidarma adalah penulis yang aktif dalam penulisan cerpen di kolom kompas. Salah satu cerpennya adalah Cintaku Jauh di Pulau Komodo. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang mencintai seekor komodo. Pemuda itu menganggap komodo tersebut adalah kekasihnya yang tengah menjelma. Bagi si pemuda ini, cintanya pada komodo itu adalah cinta abadi. Ia tidak akan pernah berhenti mencintai komodo itu, cintanya tidak akan mati.
Sebagai seekor komodo, kekasihnya menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Tapi karena ada undang-undang dari pemerintah, maka komodo tersebut tidak dibunuh, tetapi diasingkan di pulau flores. Dan akhirnya komodo itu dapat tinggal di pulau Komodo.
Pemuda itu ingin sekali menemui komodo yang dianggapnya kekasih itu. maka ia datang jauh-jauh ke pulau komodo tersebut, yaitu dari Labuan Bajo ke Komodo. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya ia bertemu dengan seekor komodo yang diyakini sebagai kekasihnya. Rupanya kekasihnya menjadi seekor komodo jantan.
Ia sedang mendaki ketika melihat komodo kekasihnya itu merayap ke arahnya di bawah kerimbunan semak-semak. Ia berharap kekasihnya yang cantik jelita itu memandangnya dengan mata penuh cinta, tapi hanya terlihat pandangan kosong. Sudah jelas komodo itu tampak kelaparan, dan ia merasa komodo itu tidak mengenalinya, tetapi ia tetap bersikukuh mempertahankan cinta. Walaupun sempat ragu apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada. Namun, ia pun sangat mencintai komodo itu. Akhirnya ia terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulut komodo itu yang menganga. Kaki kirinya sudah masuk ke mulut komodo itu dan langsung patah beberapa bagian. Ia pun dimakannya.
Cerpen ini terasa unik karena adanya seorang pemuda yang teramat mencintai seekor komodo. Oleh sebab itu, analisis ini diangkat dengan judul Makna Cinta dalam Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, Kajian Psikoanalisis Lacan.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah makna cinta yang ada dalam Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo dengan pendekatan Psikoanalisis Lacan.

C. Landasan Teori
Lacan merupakan psikoanalisis pascastrukturalis. Teorinya banyak dikembangkan dari psikoanalisis Freud. Lacan termasuk kategori postrukturalis karena menggunakan logika yang lebih cenderung dekonstruktif dibanding Freud. Misalnya, Freud yakin bahwa kajian tentang objek manusia itu merupakan representasi dari libido (yang tertuang dalam id, ego, superego), maka Lacan menganggap subjek manusia tidak sebatas itu. Seorang manusia juga sangat terpengaruh oleh kehidupan sosialnya dan bagaimana proses dia mengenali dirinya melalui proses refleksi.
Lacan memasukkan adanya fase cermin yang merupakan bagian dari fase imajiner dalam teorinya. Ada tiga kategori yang dikemukakan oleh Lacan, yakni: (1) real/real 1; (2) simbolik; (3) realitas/real2. Kategori tersebut juga dapat dipahami sebagai: (1) alam khayal; (2) alam lambang; (3) alam nyata.
1. Real/real 1
Alam real /real 1 dalam pemahaman Lacan merupakan tahap awal dari keadaan psike manusia yang belum mendapat pengaruh dari dunia luar. Pada real 1 ini Lacan menyebutnya sebagai alam khayal atau imajiner. Imajiner adalah istilah yang digunakan Lacan untuk menyebut struktur pengalaman subjek yang didominasi identifikasi dan dualitas. Dalam skema Lacanian, imajiner tidak hanya mendahului struktur simbolik yang memperkenalkan subjek pada bahasa dan triangulasi Oedipal, tetapi kemudian terus hidup berdampingan dengan struktur simbolik itu. Struktur imajiner tampak pada cermin (Sarup,2008:27-28).
2. Fase Simbolik
Pada fase inilah seseorang belajar mengenal bahasa. Mengenal bahasa adalah suatu keharusan, bahkan orang hidup tidak dapat lepas dari bahasa. Inilah yang dimaksud bahasa sebagai penjara, atau sebagai tuan. Pada fase ini, seorang individu memperoleh subjektivitas yang sadar dan bergender. Namun, kepuasan individu atas tuntutan dan keinginan atau hasrat (desire) yang ada padanya belum terwujud. Kebutuhan, permintaan, hasrat-bagaimana kaitan ketiga kategori? Seorang anak menangis. Ia dapat menggunakan rasa lapar fisiknya sebagai sarana komunikasi. Kadang makanan dapat memuaskan kebutuhan fisik, meskipun juga dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi simbolik (Sarup,2008:24-25)
3. Real 2/Realitas
Munculnya real2 ini, yaitu dengan adanya proses pengontrolan hasrat dan represi yang selalu ditekan. Hasrat kemudian diusahakan untuk diangkat pada tataran simbolik. Pada real 2/realita, ketidaksadaran yang direduksi itu selalu ingin muncul, maka ia dapat dimunculkan yakni melalui asosial bebas, fantasi-fantasi yang diwujudkan dengan pengalihan (displacement) dan penyederhanaan (condesation). Dengan demikian, maka dapat di mengerti bahwa fonemena sosial, baik yang melingkupi seni maupun budaya yang muncul dalam tatanan simbolik merupakan subjek-subjek yang ingin berbicara atau tanda-tanda.
Hasrat merupakan prinsip dari perwujudan kekurangan (lack) yang dialami individu. Kekurangan ini berkaitan dengan ketidakpuasan individu untuk memenuhi hasratnya, karena selalu berbentur dengan aturan-aturan sosial. Hasrat diungkapkan menggunakan bahasa, tetapi bahasa juga mengekang manusia sehingga selalu hasrat tidak terpenuhi. Hal inilah yang akhirnya melahirkan adanya simbolik.
Menurut Lacan bahasa adalah kondisi dari ketidaksadaran. Bahasa menciptakan dan membangkitkan ketidaksadaran. Di sinilah akhirnya semiotika Lacanian berlaku, yang melihat ketidaksadaran sebagai sebuah ‘tanda’, dan ‘’tugas dari manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut dan mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda”.

II. PEMBAHASAN
Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo dianalisis dengan teori Lacanian untuk menemukan makna cinta. Ada tiga kategori dalam teori Lacanian, yaitu (1) real1 atau alam khayal atau imajiner; (2) simbolik; (3) real 2 atau kenyataan. Berikut penjabaran cerpen tersebut, bertolak dari ketiga kategori Lacan, yaitu :
1) Real 1 atau alam khayal atau imajiner
Pada tahap ini cerpen tersebut dianalisis pada kelahiran atau kemunculannya. cerpen ini mungkin saja merupakan suatu permasalahan dalam diri penyair, kemudian ia mendapatkan tekanan dan mengekspresikan apa yang dihasratkannya. Dalam hal ini, Lacan (dalam Sarup, 2008:25) menyatakan bahwa ketika muncul keraguan atau kesenjangan yang tidak dapat ditutup. Hasrat muncul dari ketidakpuasan dan mendorong seseorang (penyair) untuk memunculkan permintaan lain. Bisa saja, penyair dalam hal ini tidak dapat merasakan cinta seperti apa yang diinginkannya, pada kenyataannya, ia hanya mendapatkan ketidakbahagiaan. Oleh sebab itu melalui cerpennya, ia mengangkat tokoh pemuda yang mencintai seekor komodo.
Melalui tokoh pemuda itu, tokoh pemuda itu tidak dapat merasakan cinta seperti apa yang dirasakan orang lain. maka ini alasan ia bisa mencintai seekor komodo dan bukan seorang gadis manusia. Dan melalui komodo itu, ternyata ia pada kenyataannya tidak mendapatkan kebahagiaan atau cinta yang dia inginkan dari kekasihnya itu. justru ia malah menjadi korban karena dimakan oleh komodo yang dianggapnya kekasih. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian”.

Dari cerita tersebut, pemuda itu tidak mungkin mendapatkan cinta si komodo. Tidak mungkin seorang pemuda atau manusia dapat saling mencintai dengan seekor komodo atau binatang. Hal ini karena komodo itu tidak punya perasaan yang dimilikinya hanya insting untuk makan. Artinya, tidak mungkin si komodo itu adalah kekasih si “aku” atau si pemuda itu. karena komodo tidak mungkin mencintai si pemuda itu.
Apabila hal ini dikaitkan kembali ke pengarangnya, maka dapat dirasakan si pengarang atau penulis ingin mencari cinta yang sesuai dengan apa yang dirasakannya. Namun cinta itu tidak datang atau tidak dirasakannya seutuhnya atau sepenuhnya. Maka ketidakbahagiaan itu menjadi sesuatu ide yang dikhayalkan atau diimajinasikan penyair ke dalam karya sastra.
2) Simbolik
Cerpen tersebut memiliki simbol makna pada cerita unik yang kisahkan. Makna simbolik dari cerpen itu adalah cinta. Hal ini karena cinta inilah yang kemudian menjadi dasar permasalahan. Cinta yang tidak biasa atau tidak normal, yaitu seorang pemuda yang mencintai seekor komodo. Dalam kehidupan pemuda tersebut mengharapkan cinta seperti apa yang dirasakannya, maka ia berjuang untuk mendapatkan cinta itu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“ kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi”.

Hal tersebut di atas menjadikan makna dari cinta sebagai problematik dalam kehidupan, dari kebahagiaan. Dan makna cinta inilah yang memperkuat permasalahan yang ada tersebut.
3) Real 2 atau kenyataan
Cerpen tersebut merupakan cerpen yang lahir karena adanya permasalahan akan makna cinta yang hakiki. Sehingga pada cerpen tersebut, pemuda itu dapat jatuh cinta dengan seekort komodo karena adanya imajinasi atau khayalan-khayalan yang dinginkannya ada. Dalam hal ini, si pemuda itu ingin mendapatkan cinta yang hakiki, yang abadi, seperti yang diinginkannya tetapi baginya kekasihnya itu adalah bayang-bayang. Mungkin saja dapat dikatakajn pemuda tersebut kesepian. Sehingga muncullah ketidaksadaran pada dirinya karena telah terbelenggu oleh hasrat cinta yang diinginkannya. Hal ini membuat makna cinta tersebut menjadi kosong atau lack atau kurang. Karena akhirnya si pemuda itu merasakan bahwa ia ragu akan cintanya si komodo itu terhadapnya. Namun keraguan itu sudah terlambat akrena ia sudah terlanjur dimakan oleh si komodo. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru”.

Dengan demikian, si pemuda itu meragukan akan dirinya yang dahulu merasakan dan mengimajinasikan bahwa komodo itu adalah kekasihnya. Atau yang imajiner adalah kekasihku adalah komodo. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?”

Sebenarnya dalam kutipan tersebut, si pemuda itu sudah merasakan keraguan. Ia merasakan ada yang kurang dari dirinya. Ia merasakan hasrat cintanya berbeda dengan apa yang terjadi pada kenyataan. Namun, ia hanya mencoba memungkirinya. Ia mencoba mengokohkan akan anggapan cintanya. Dalam hal ini cinta itu terasa tidak sepenuhnya ada, tidak seabadi dari apa yang diinginkannya.
Apabila pandangan kembali diarahkan pada pengarang atau penulisnya. Maka dapat diketahui bahwa ia merasakan hasrat cinta yang kurang. Atau mungkin apabila hal ini dikaitkan dengan keadaan dimana pengarang itu hidup dengan lingkungan, maka itulah yang akan membentuknya. Dalam hal ini, ada pendapat bahwa hal ini atau keadaan ini merupakan sebagai bentuk kritik yang terbagi atas makna cinta yang berbeda, yaitu :
a) Makna cinta yang benar-benar cinta terhadap manusia. Dalam hal ini pengarang memiliki suatu problem baik yang ada pada dirinya sendiri maupun keadaan ssosial masyarakat. Bahwa di lingkungannya tinggal ia tidak mendapatkan kasih sayang atau cinta yang diinginkannya. Maka dari itu si pengarang ini merasa lack akan cinta. Ia akhirnya berfikir ketika cinta itu tidak dapat lagi dirasakan sebagai cinta lalu tidakkah lebih baik seperti binatang saja yang hanya memiliki insting. Seperti binatang yang tidak perlu sama sekali merasakan cinta. Dan karena tidak merasakan cinta maka tidak akan merasakan kehilangan cinta atau sakit karena cinta. Mungkin dalam hal ini pengarang melihat dalam kehidupannya bahwa disekitarnya masih banyak penindasan, kasus kekerasan, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya yang jelas-jelas dilakukan oleh manusia yang seharusnya memiliki cinta. Hal inilah yang memunculkan adanya tokoh pemuda yang mencintai seekor komodo dalam cerpen tersebut. Ini menjadi suatu bentuk kritik atau protes terhadap perilaku manusia yang tidak lagi berbudi luhur dan berperasaan, yang tidak lagi memiliki cinta jika cinta itu dimaknai sebagai sesuatu yang hakiki yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman.
b) Makna cinta yang ditujukan sebagai kritik terhadap ulah manusia terhadap lingkungan alam dan mahluk Tuhan yang lain, dalam hal ini binatang. Kemungkinan pengarang dalam hal menciptakan adanya cerpeen tersebut sebagai wujud kritik bahwa manusia haruslah cinta terhadap lingkungan, dan apabila terjadi sesuatu pada manusia maka itu salah dari manusia itu sendiri. Artinya disini bahwa manusia terlalu sibuk dengan kekayaan diri tanpa pedulu dengan lingkungan. Misalnya mungkin, upaya bisnis untuk memperkaya diri dengan kulit binatang sehingga banyak menimbuilkan kepunahan binatang. Atau dihabiskannya lahan hutan dan sebagainya yang merupakan bahan makanan bagi binatang sehingga binatang kelaparan. Maka dalam cerita tersebut terjadi tragedi si pemuda itu dimakan oleh komodo. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang ingin memangkitkan rasa cinta untuk peduli terhadap lingkungan sekitar.
Makna cinta tersebut dapat saja lahir dari faktor-faktor ketidakbahagiaan atau ketidaksehatan cinta, ketidaksadaran, ketidakpedulain, dan lain-lain yang menjadi tema cinta tersebut diangkat penyair ke dalam karya sastra. Dalam hal ini, bisa saja faktor tema tersebut lahir dari kehidupan penyair yang merasakan tekanan atau ketidakbahagiaan, atau dapat saja tema tersebut diangkat dari adanya realitas sosial di Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang relevan dengan kenyataan di ruang alam Indonesia. penyair dalam hal ini telah terlepas sebagai individual yang utuh, karena penyair dalam tahap ini telah mendapatkan pengaruh sosial lingkungannya. Dengan kata lain, dapat saja penyair menuliskan kembali tragedi dalam kenyataan ke dalam karya sastra yang dicampuradukkan dengan alam imajinasi.

III. PENUTUP
Kesimpulan
Lacan, memiliki teori sama seperti pendahulunya, yaitu Sigmund Freud bahwa dalam teori psikoanalisisnya ini juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real). Dinyatakan oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka. Dalam cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, tokoh “aku” mengalami dinamika kehidupannya yang tidak lepas dari hasrat dan impian untuk pembuktian diri. Penggambaran tokoh “aku” ini digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa gejolak semangat cinta yang tak kenal henti, tetapi justru ternodai oleh akhir hidup yang mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam meraih “misi hidup”. Hal ini menunjukkan bahwa posisi “aku” dalam cerpen ini amatlah penting, seiring dengan topik pembahasan dalam penulisan ini. Kepribadian “aku” yang notabene sangat berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang sangat kuat untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang sedang jatuh cinta. Meskipun pengakuan ini diinginkannya adalah dari komodo itu. Namun, keinginan atau hasrat seperti itu terlihat sulit untuk dipenuhi. Tetapi meskipun demikian, tokoh “aku” tersebut mengisyaratkan akan simbol kekuatan, yang dalam hal ini adalah kekuatan cinta yang dimilikinya.
Lacan menegaskan bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, menggambarkan tentang konsep cinta yang digambarkan melalui ekspresi dari tokoh “aku”. Cinta yang dirasakan oleh tokoh “aku” tidak dapat menggambarkan cinta yang sesungguhnya dirasakan oleh si “aku”. Cinta akan mengalami sesuatu yang kurang apabila dimaknai hanya dalam sekedar bahasa. Hal ini menunjukkan betapa penulis atau Seno Gumira Ajidarma begitu mengagungkan cinta, bahkan sampai cinta itu sulit untuk dimaknai dalam bahasa. Bagi penulis cinta itu sesuatu yang nonsen atau akan kosong maknanya jika diungkapkan melalui bahasa. Secara tidak langsung dengan Cerpen ini, penulis ingin menunjukkan kepada pembaca akan makna cinta lebih dari apa yang pembaca tahu. Bahwa cinta itu adalah abadi, tulus, suci, yang hanya ada melaui perasaan dan bukan kata-kata atau bahasa. Melaui cerpen ini penulis menginginkan apa yang dirasakannya juga dirasakan pembaca akan makna cinta tersebut.
Makna cinta itu dapat disimpulkan dengan dua makna, yaitu (pertama) cinta yang merupakan cinta yang ditujukan kepada manusia. Ini merupakan bentuk kritik terhadap antarmanusia yang sering menyakiti orang lain, seperti berkelahi, pembunuhan, dan lainnya yang melupakan bahwa manusia itu memiliki cinta dan bukan insting seperti binatang. (kedua) cinta yang merupakan cinta yang ditujukan kepada manusia untuk pedulu terhadap lingkungan dan sesama mahluk Tuhan. Dalam hal ini merupakan kritik terhadap karakusan manusia untuk kekayaan pribadi. Sehingga melupakan, menelantarkan, mahluk lainnya yang akan berakibat buruk juga kepada manusia. Melalui simbol komodo cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo ini, pengarang mengaharapkan cinta terhadap lingkungan seharusnya berada pada posisi yang sama seperti cinta seorang pemuda terhadap kekasihnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. “Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo”, http://cerpenkompas.wordpress.com/2003/08/17/cintaku-jauh-di-komodo/, diakses pada Rabu, 18 Januari 2012.
Noor, Redyanto. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme: Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jalasutra.