Rabu, 18 Mei 2016

Cerpen "Kopi dan Kenang-Kenang dalam Botol" (oleh Nila Mega Marahayu)



            Bulir-bulir air menetes dari sela-sela genting. Payung biru laut dalam genggaman masih mengatup dan enggan dibuka. Sebab aku tahu, lebatnya hujan sepanjang hari ini tak mampu melindungi tas punggung berisi buku paket kelas enam sekolah dasar, yang belum lunas dibayar. Entah bagaimana juga kabar sepedaku yang telah sendirian di parkiran. Petir menunjukkan kekuasaan dengan kilatan tajam menggores sisi langit, menggaungkan suara ngeri sampai perut bumi. Dalam hujan yang mencekam seperti hati, aku mengacuhkan tubuh yang gemetar. Mata menyapu sekeliling sekolah, tak ada lagi siapa pun di sini, selain aku.
            Mobil hijau pudar masuk ke pekarangan sekolah. Nah, itu ibu dan bapak datang menjemput. Bapak yang menyetir mengulurkan payung ungu muda pada ibu, sebelum kakinya keluar dari pintu mobil dan menginjak bumi manusia yang basah ini. Dengan sandal kondangan cokelat kayu yang mulai mengelupas, ibu mantap penuh belas menghampiri di depan pintu kelas yang telah terkunci.
Tidak, ternyata aku tengah bermimpi di hujan lebat. Seperti kemarin, pasti bapak dan ibu sedang sibuk bertengkar di rumah, meributkan apa saja dan melupakan apa saja. Melupakan terik atau hujan dibalik jendela, melupakan cinta, kakak, dan aku, barangkali. Termasuk perasaan takut yang merasuki mimpi setiap malam. Sedang aku tak bisa kemana-mana, selain berdiam menikmati dada yang belakangan ini sering terasa sesak. Seharusnya aku tidak hanya bertanya pada botol berisi serbuk kopi dan cinta yang ku miliki. Seharusnya, aku sempatkan juga bertanya pada Syafira, teman sebangku: “Apakah sesak nafas ataukah cinta yang rasanya sesakit ini?”
***
            Pada selepas subuh yang dingin. Seperti biasa, aku melihat bapak duduk di kursi rotan. Sudah sejak aku bayi, kursi itu ada di ruang keluarga sempit ini. Anyaman rotan itu sudah serabutan seperti kain yang dilumat tikus. Ajaibnya, bapak selalu setia mendudukinya sampai malam memakan pagi. Meja rotan bertengger di sisi kiri kursi dilengkapi gelas berisi kopi dan asbak yang dipenuhi puntung rokok di atasnya. Singgasana rotan itu selalu menciptakan ruang imaji. Bapak mendapati ide-ide. Kali ini, melukis sehelai daun jambu.
Kuas dicelupkan ke dalam cat minyak, yang rumit sekali prosesnya jika aku melihat bercak warna yang bercampuran satu sama lain. Hingga malam-malam selanjutnya, bapak masih saja bersibuk dengan warna daun jambu dan lupa mengurus tubuh kurusnya.
Setiap dering telepon memanggil-manggil, aku dan ibu sigap mengangkatnya. Kalau suara di seberang telepon begitu lirih menyimpan kerinduan, aku senang sekali karena penelpon itu ialah kakak dari seberang kota yang kini tinggal dengan keluarga Paman Mitro. Tetapi, jika suara itu dari si penagih hutang, jelas baralamat celaka.
“Pak, ada telepon dari Pak Suryo” ku lembutkan suara dan menyampaikan dengan rasa was-was. Terkadang jika wajah bapak terbaca sedang kalut, dipukulnya kepalaku dengan kuas di tangannya.
***
            Suara dengkur meraung ke dinding-dinding ruang. Begitu pulas tidur bapak di kursi rotan ditemani puntung rokok dan ampas-ampas kopi di gelas yang mulai mengerak. Aku merindui belaian tangan kanannya dan kecupan dikeningku sebelum berangkat sekolah.
Bapak terkejut dari tidur, saat aku berdiri di depannya. Matanya merah dan nyala. Meski gemetaran, aku ulurkan tangan untuk pamit. Topi merah berlambang garuda pun direbut bapak dari kepalaku yang sudah rapi rambutnya. Rapi dikuncir kuda oleh ibu sehabis diusapi minyak jelantah ke rambut sampai klimis dan dihiasi pita merah. Ibu menyisiri rambutku dengan bibir bengkak dan pipi kiri dipenuhi darah yang menggumpal dalam kulitnya. Ibu tidak berkata sepatah pun, begitu pula aku. Dibalik kesunyian, ada gemuruh dalam dada kami.
Air kencing nyaris menembus rok merah yang sudah disetrika sendiri semalam seusai mengerjakan tugas persiapan ujian nasional bahasa Indonesia. Tidak dapat dijelaskan ngerinya sorot mata, kerut dahi, dan urat-urat tangan bapak, yang dengan sengitnya, ah tidak, dengan sayangnya, menyabet wajahku dengan topi itu.
            “Cepat berangkat keburu siang!” teriak ibu dari dapur diiringi bunyi panci yang murus –air sudah mendidih.
            “Ya!” aku teriak menyahut setelah beberapa saat mematung seperti karya patung atau lukisan buatan bapak. Tentu dengan suara cukup parau.
Seketika aku melesat, berlari melewati bapak dan pintu rumah. Sepeda kuajak juga berlari, kukayuh kuat-kuat meski sesekali rantainya lepas dan oli hitamnya menggambar-gambar di rok merahku.
Sampailah di persimpangan jalan –berhenti sejenak. Aku menata nafas yang terburu, ada getir menyusup dada dan terasa sangat aduh saat punggung tangan menyeka pipi yang tiba-tiba dibasahi air mata. Begitu sakit tenggorokan menahannya. Sedang burung-burung yang bertengger di kabel-kabel listrik menyapa pagi dengan bebas dan riang. Aku sempat amati, sekawanan burung itu menyapa: “Sudah, jangan nangis!”
***
            Awan kelabu menyelimuti matahari, langit kebiruan berubah menguning emas, semakin ke barat semakin menjadi nila, lalu berpendar jadi hitam pekat di langit-langit. Mata sesekali melalang buana ke arah luar jendela kamar, yang memantulkan angan-angan. Aku betul-betul tengah sendirian sekarang, segera ku ambil botol yang ku isi serbuk kopi dan cinta dari tas punggung sekolah. Segera botol itu ku letakkan baik-baik di ranjang.
            Setiap aku memandang, botol itu melukiskan kenang-kenang masa kecil yang riang dan penuh cinta. Serbuk kopi yang ada di dalam botol selalu mengimbangi tentang manis dan pahitnya kehidupan. Ya, di sana ada bapak yang senantiasa mendongeng ala dalang dengan boneka beruang merah jambu yang tangannya digerakkan seperti wayang golek. Suaranya bisa berubah-ubah, lucu sekali, hingga tawaku pecah ke udara.
Jika hari menjelang senja di beranda rumah, aku terkantuk-kantuk dalam pangkuan bapak sedang kakak bersandar pada bahu ibu. Wajah yang cerah dan mulut seperti berbusa-busa, bapak tidak henti bercerita tentang mendiang eyang putri dan kakung di kampung. Sesekali ibu memagut dan ikut menyahut sambil menoleh ke balik sisi pintu yang terbuka, memandangi lukisan mertuanya yang terpajang di dinding rumah. Suasana itu menjadi begitu melankoli sekarang.
Kopi hangat buatan ibu selalu menemani kami bermesra pada waktu. Apalagi, ketika gerimis datang seolah hujan dan wangi kopi dalam cangkir itu melengkapi suasana penuh cinta. Ya, hujan, kopi, dan cinta. Sampai suara adzan mendayu-dayu dibawa angin. Lekas bapak menuntun kami sembahyang dan mengaji ayat-ayat Tuhan.
Ah, semenjak bos-bos bapak sudah sangat jarang memesan karya bapak dan menunda-nunda pembayaran. Mobil tua kesayangan bapak pun lenyap dari rumah. Pertanda semua telah berubah. Bapak menjadi rajin memarahi dan menjambak rambut ibu. Selain rajin menangis, ibu juga sering mengeluh pada bapak karena tidak memiliki uang.
***
            Rumput ilalang tumbuh subur di lapangan belakang sekolah yang telah lama ditinggalkan dan tidak difungsikan. Aku jamahi lapangan itu sepulang sekolah sambil menuntun sepeda. Terbayang sudah Ibu akan mengunciku di kamar mandi dan bapak memukul kepalaku lagi dengan benda apa saja di tangannya, jika tahu tugas matematika dapat nilai empat. Di ruang guru tadi, wali kelasku, Bu Mega sempat bertanya-tanya.
            “Tiga bulan lagi ujian nasional, ibu perhatikan nilai-nilaimu semakin turun. Ada apa?” kata ibu berjilbab merah marun itu dengan dahi yang berkerut dan mata yang terpancar tengah menerka-nerka jawaban.
            Keresahan begitu tertahan di wajahku. Bu Mega kembali mengulangi pertanyaannya sampai empat kali, tetapi aku tergagap dan mati kata. Ibu bertubuh tambun itu beranjak dari kursi dan mendekati. Tangannya mengusap lembut punggungku. Tangisku justru jatuh semakin luruh dan menjadi-jadi. Sepertinya, aku betul-betul merindui dekapan yang syarat cinta ini. Barangkali, tidak ada cinta yang tidak pernah menciptakan ngilu. Ngilu yang terus menikam-nikam ulu hati. Setelah semalam ibu berani melawan bapak, tadi pagi ibu memutuskan untuk berdamai dengan bapak dalam perceraian.
***
Sepeda terhempas ke bumi sebelum aku. Di depan garasi rumah seluruh tubuh gigil membeku, nyawaku lepas seiring keringat yang mengalir lebih deras dari hujan. Mata yang kian meredup ini menyaksikan Bu Rumi dan empat orang tetangga lainnya begitu gaduh di beranda rumah. Mereka menggotong dan memasukkan ibu yang masih memakai daster batik itu ke dalam mobil.
 “Rumah sakit Nirmala yang paling dekat Pak!”. Rupanya, ibu yang telah digunduli kepalanya semalam oleh bapak, telah menyerahkan cinta pada sebotol obat nyamuk.


***

Purwokerto, 14 Febuari 2016, 23:10




(Cerpen ini pernah menjadi juara III dalam Lomba Cerpen Bertema Hujan, Kopi, dan Cinta diselenggarakan oleh Inspirator Akademi Purwokerto).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar