Senin, 22 Juli 2013

Di Bayang Mata Perempuan (Sebuah cerpen karya Nila Mega Marahayu)



                Matanya menembus cermin dalam-dalam. Rasanya ia hafal benar siapa yang ada disana, sorot mata yang penuh mantra, sorot mata yang penuh kenangan, sorot mata yang sendu, bahkan sorot mata yang terasa basah, dan selalu basah. Rasanya itu saja yang dimilikinya, tidak lebih, tidak juga kurang, tetapi entah dimana pun ia bernaung selalu saja ada lelaki yang mendekatinya –terpikat katanya. Mungkin karena bayang matanya selalu bertutur lembut bagai suara angin yang samar-samar membelai rambutmu dalam siang yang terik, atau matanya yang sarat dengan identitas jawanya –terlihat eksotis, entahlah. Yang pasti dan sebenar-benarnya jelas ialah hanya matanya; mata yang berpinsip, prinsip untuk hidup bahagia.
            Suara klakson mobil diluar sana membuyarkan sekejap lamunannya yang entah berkelana ke negeri entah berantah. Hanya cermin dalam genggamannya yang sempat menangkap sorot matanya yang gugup dan terkejut, sebelum kemudian diletakkannya cermin itu ke dalam tas batiknya. Tas yang setia menemaninya berangkat ke kantor surat kabar setiap hari. Ia kemas segala bayang-bayang yang sempat keluar dari matanya, yang kembali mengajaknya bicara. Biasanya bayang matanya itu akan mengajaknya berdialog, berargumen masing-masing, hingga sudah biasa pula pertengkaran sengit terjadi. Kebencian menikam, semua dengan mudah dapat direlai hanya dengan mata dan sedikit menelan ludah, pahit.
              Ia kembali melanjutkan perjalanannya, menginjak gas mobilnya dan melaju cepat. Ia berusaha melihat pemandangan di luar kaca mobilnya, atau kaca sepionnya. Dan kembali ia harus menginjak rem karena lampu lalu lintas berwarna merah kembali dihadapinya. Udara dingin melalui ac mobilnya kembali diresapinya. Mungkin kau juga tahu, sebentar lagi waktu akan kembali membuatnya beku bahkan seperti batu ketika bayang-bayang kembali keluar dari persembunyiannya, dari matanya yang hitam. Memang tak butuh waktu lama, bayangan itu telah keluar satu persatu seperti gumpalan asap yang menyusup dari balik matanya. Bayangan itu duduk disampingnya, kemudian kembali mengajaknya bicara, berdialog, dan bahkan sebentar lagi akan terjadi pertengkaran hebat.
***
            “ya ya ya, aku tahu sangat tahu. Tapi bagaimana, harus bagaimana ??!!” suaranya keras nyaris berteriak dan menimbulkan dentum di bumi, memecahkan kaca-kaca mobil di sekitarnya, bahkan kaca-kaca gedung bertingkat, juga kaca-kaca kereta dan di sepanjang stasiun.
            Pertengkaran memang terjadi disana, pertengakaran yang tidak perlu diucapkan tapi cukup lewat raut wajah penuh murka, hingga tak ada lagi sorot mata dewa bersembunyi di sana. Ia tahu, lelaki di sampingnya tengah bosan padanya. Rasanya dunia bagaikan berhenti seperti jam tangannya yang kali ini melambat dan mati. Ia nyaris tidak tahu bahkan memang sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Memaki, memohon untuk kembali,atau bahkan menangis. Entahlah, yang ada hanya jiwanya yang melayang menyentuh awang-awang dan menembus atap kereta.
            Ia hanya mengetahui posisinya dalam keadaan tidak tepat untuk berlari menghindari lelakinya. Mereka memang sejak lama bercita-cita akan berangkat ke Baturaden untuk melakukan foto. Ya, foto yang dibayangkannya romantis dibawah air terjun curuk-curuk di sana. Tentu saja, pertengkaran itu telah menggagalkan tujuan perjalanannya kali ini. Tetapi apa dikata, lelakinya baru saja mengatakan kejujuran. Baginya, tentu saja kejujuran itu adalah penting dalam sebuah hubungan. Apalagi ia bersama lelakinya itu akan melakukan pemotretan untuk undangan hari bahagia cintanya. Kejujuran yang dinyatakan pujaan hatinya kali ini justru membuatnya remuk redam, lemas, dan gemetar, bahkan sampai tidak dapat lagi sepatah katapun keluar dari bibir bergincunya. Ia mendengar kata “selesai” dari bibir lelakinya.
            Tidak ada satu pun telinga penumpang lain yang lengah dari pertengkarannya dengan lelaki tambun di sebelahnya. Namun, mereka semua hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Padahal sungguh dalam hati mereka bertanya-tanya apa penyebab pertengkaran itu. Sedang diantara itu, kereta Sawunggalih bisnis terlanjur berjalan menyusuri rel. Lalu melewati gedung-gedung, rumah-rumah kumuh, sampah yang berserak, dan kini tinggal kesunyian sawah-sawah kering tanpa panen. 
***
            Sekejap peristiwa pahit terlintas dalam ingatannya. Ia kembali berusaha menahan sakit di dadanya dan menahan air mata agar tidak lagi menetes di pipinya. Sangat terlihat begitu keras kemauannya untuk bangkit kali ini, namun sayangnya setiap hari ia akan mengalami hal itu. Pada malam ia akan terbangun oleh bayangan hitam yang bergelayut pada mimpinya, mengusiknya untuk kembali merindu dan terhempas pada kenyataan pahit.
Kisah cintanya dengan lelaki pujaannya yang telah terjalin selama lima tahun itu harus kandas. Harus lenyaplah segala janji hidup bersama. Pada pagilah kemudian ia akan kembali mengharapkan fajar membawa kenangannya pergi dan menyejukkannnya dengan hembusan angin pada kebahagiaan sebagai seorang singgel.
            Ia tahu, apa yang dihadapinya adalah kisah yang bukan membunuhnya saja, tetapi setiap manusia di bumi pun pernah mengalaminya, lalu bangkit hingga menemukan pendamping yang jauh lebih baik. Rasanya hal itu hanyalah omongan-omongan klasik yang terus menempel di udara. Begitu sayup dan nyaris tidak bisa digenggamnya sebagai motivasi hidup. Justru yang ada hanyalah menyesali peristiwa kegagalan itu terjadi hingga menghujat akan keberadaan Tuhan. Bahkan kali ini tidak ada sedikitpun ketertarikannya pada lelaki. Ia bersumpah pada dirinya, bahwa tidak ada lelaki pun dunia akan baik-baik saja.
            Hujatnya pada Tuhan akan keberadaan lelaki di alam jagad kembali berapi-api ketika melihat foto pertunangannya dengan sang mantan kekasih. Foto itu masih terpampang di meja kamarnya. Kemudian matanya akan kembali menyapu pandang pada benda melingkar berwarna perak yang seharusnya masih melingkar di jemari manisnya. Entah masih ada harapan biarpun kecil dan terselip di rongga dadanya yang remang-remang. Barangkali harapan kecil itulah yang membuatnya menyesalkan kepergian lelakinya. Perasaan yang timbul tenggelam bagaikan perahu pada sebuah samudera tanpa nelayan itu penyebab alasannya menyimpan apa-apa yang dapat mengingatkannya pada lelakinya itu.    
Jika demikian, ia akan kembali merasa terasing pada dunia kenyataan. Tumpahlah kembali air mata pada mata sendunya. Entah harus berapa lama kepedihan itu dapat hilang darinya. Yang diketahui hanyalah waktu terus berjalan cepat tanpa menunggunya sampai merasa benar-benar kuat menghadapi kehadiran lelaki itu.
               Telpon genggamnya kembali dijamah, ada pesan yang masuk pagi ini. Pesan dari seorang lelaki yang masih dipujanya dalam ingatan indah, meskipun  tidak peduli bagaimana lelaki itu memandangnya kini. Pesan yang dianggapnya adalah harapan baik, dimana kisah mereka akan terjalin kembali. Harapan tentang pernikahan akan kembali terjadi dalam hidupnya. Harapan akan makna dirinya yang belum sirna.
            Sayangnya air matanya tumpah lagi kali ini. Mata itu kembali basah dan tertutup cahaya gelap. Pesan itu membawa kabar kegembiraan di sisi lelaki. Pesan yang berbicara tentang kebahagiaan dan rasa syukur dari lelaki itu karena telah bertemu dengan seorang gadis. Hatinya pun bertanya-tanya gadis seperti apakah yang telah membuat lelakinya itu menghempaskannya. Benarkah gadis itu lebih cantik, anggun, menarik, bahkan lebih layak kelak jadi istri dan ibu dari anak-anak lelaki itu. Ada kegetiran kembali menusuk relung dadanya lebih tajam dan berkali-kali. 
Seketika dilemparnya telpon genggam itu ke sudut kamar, ke sebuah dinding yang dingin. Ia sangat menyadari harapannya untuk kembali telah runtuh. Lima bulan lamanya menunggu lelaki itu menghubunginya telah terjadi. Namun, bukan untuk memintanya kembali menjalin hubungan sebagai kekasih.
            Memang, semua terjadi begitu cepat. Lelaki yang begitu dikaguminya itu tidak lain adalah sahabat kecilnya. Telah lama mereka menjalin hubungan sahabat hingga akhirnya saling jatuh cinta dan berakhir pada kegagalan. Entah apa alasannya. Perbedaan karakter yang selalu membuat mereka tidak pada satu pemikiran dan bertengkar hampir setiap waktu dianggap sebagai alasan. Tentu ada rasa tidak diterima dalam batinnya, bukankah sejak dulu semasa jadi sahabat mereka selalu menjadi anjing dan kucing? Karakternya yang lembut dan lelaki itu yang keras. Mengapa ini menjadi alasan ? 
            Pertanyaan demi pertanyaan mengalir bagai air sungai yang tidak pernah berhenti menemukan ujung muaranya. Lelah ia jalani malam demi malam penuh rindu dan benci. Hingga tidak ada lagi daya baginya untuk kembali menatap fajar yang selalu mengintipnya malu-malu dari balik jendela. Tidak ada lagi terik matahari yang mampu menembus dadanya. Karena semua telah menjadi senja yang tidak berbatas. Semua telah menjadi udara dingin yang terus membeku tanpa gigil. Aroma kehidupan telah musnah dari dirinya.
***
Waktu telah membawa tubuhnya berjalan melewati sebuah zaman. Ia tidak lain menjadi manusia yang hidup dari pahatan seorang seniman. Ia telah menjadi patung. Ya, patung perempuan yang tidak lagi menaruh hati pada kedamaian dan gairah akan kehadiran mahluk yang bernama lelaki. Ia bagaikan hasil karya manusia yang dapat berjalan, tersenyum, tertawa, dan menangis tanpa rasa yang penuh. Ia telah kehilangan jiwa. Ia telah kehilangan darah. Ia telah membiru seperti mayat yang terapung di lautan.
            Tidak ada lagi wajah dengan harapan utuh tentang sebuah mahligai pernikahan. Baginya pernikahan atau mengenal lelaki adalah sebuah penjajahaan. Menaruh perasaan kepada mahluk lelaki adalah sebuah kesalahan yang akan menghepaskan perempuan pada keruntuhan zaman bahkan kutukan dunia. Tidak akan ada lagi sebuah dunia kebebasan. Tidak akan ada lagi sebuah kebahagiaan hidup. Bahkan ia telah berprinsip untuk terus mengejar kebahagiaan dalam kesuksesan karir, sedang pernikahan adalah akhir dari segala cita-cita di muka bumi.
Kepahitan dalam drama cintanya membuatnya menjadi perempuan singgel selama tiga puluh lima tahun. Usia yang membuatnya sebagai perawan tua, begitu rekan-rekan kerjanya menyebutnya. Beberapa lelaki telah datang menyapa kekosongan hatinya. Tetapi semua sia-sia karena hatinya telah lebih keras dari batu. Tidak ada hujan atau petir sekalipun yang mampu mengetuknya, lalu memberinya sedikit nafas asmara.
Semua hasrat telah hilang darinya. Hilang sangat jauh. Ia hanya memiliki imajinasinya tentang kesejatian dan keabadian hidup. Dan sepertinya bayangan hitam telah kembali membawanya terbang meninggalkan dunianya. Ia telah terbang bersama sayap-sayap dari gumpalan hitam yang tengah duduk menemaninya di mobil pagi itu. bahkan bayangan itu akan meliriknya tajam lalu membisikkannya begitu mesra. Hingga tidak ada lagi alasan baginya untuk tidak sempurna.    
Suara klakson mobil dan motor di belakang mobilnya mulai ramai berteriak bising memekakkan telinga. Menimbulkan kegaduhan. Lalu menenggelamkan kicauan sekumpulan burung gereja yang bertengger di sepanjang kabel listrik, rumah-rumah kumuh, usang, dan reyot di bawah jembatan layang. Barulah menyadarkannya untuk kembali menginjak gas dan melaju perlahan.
Pandangan dari mata sendu dan basahnya lurus menembus kaca mobilnya, terasa tanpa sekat sedikitpun. Para kaki lima yang menjajakan koran di sepanjang trotoar pun tidak lagi menarik perhatiannya. Ada yang ia lewatkan kali ini. Seorang tampan dan bertubuh agak tambun berdiri di antara pedagang asongan dan banci jalanan. Ada seorang lelaki tampan yang tengah beradu nasib. Roda persaingan kerja dan kekuasaan telah membawa lelaki itu terhempas pada kemelaratan.
Andai ia menoleh sedikit saja pada kaca spion yang memantulkan sosok lelaki yang pernah dikenalnya. Seorang lelaki yang nyaris sepuluh tahun lalu hilang dari kehidupannya. Ya, semenjak lelaki itu terakhir kali menghubunginya untuk memberitahu pesta bahagianya. Lelaki yang bekerja pada sebuah perusahaan yang kabarnya telah gulung tikar.
Ia pasti masih sangat mengenali lelaki lusuh dengan rompi bertuliskan sponsor surat kabar tempatnya bekerja. Ia pasti masih sangat hafal serak suara, deru nafas, aroma badannya, bahkan rayuan dan kenangannya. Sayangnya, di dalam mobil ber-ac itu ia sangat terhanyut pada sebuah kenangan pahit. Terhanyut pada gurauan dan makian pada sosok hitam yang tiba-tiba muncul dari balik sorot matanya. Bayangan yang akan terus menopang lelahnya dan kedukaannya karena kehadiran lelaki. Bayangan itulah yang akan membuntutinya kemanapun ia singgah.
Pada fajar di hari berikutnya, bayangan itu akan kembali menghampirinya lalu memeluknya erat. Bayangan itu pulalah yang akan merangkulnya ketika air matanya kembali jatuh, jantungnya kembali rapuh, dan hatinya kembali pecah bagaikan serpihan kaca menjadi keping-keping tidak beraturan. Tanpa bentuk. Hal itu akan kembali terjadi menjadi kekuatannya merangkai kata-kata di hadapan ibunya, ketika ia harus mengunjungi ibunya yang telah tidak sabar lagi untuk kehadiran seorang menantu laki-laki di rumahnya. Yang akan menanamkan benih –darah daging keturunannya kepada anak perempuannya itu.
“Nduk, sekali-kali bawalah seseorang kesini, kenapa tidak bawakan ibu calon menantu?.”
Seperti biasa perempuan manis itu tidak akan menanggapi. Dan ibunya pun tidak akan bertanya atau menasehati apapun lagi. Sepertinya jawaban telah terpancar dari sorot mata sendu anak perempuannya itu. Bidadari kecilnya yang telah terlalu dewasa. Perempuan itu pun seakan dapat menerka apa yang ada dalam batin ibunya; kalimat doa kembali bertebaran ke udara tentang permasalahan yang berputar pada itu-itu saja setiap hari, jam, menit, dan detik. Doa yang terasa membosankan dan membuatnya ingin berteriak dan mual. Doa tentang jodoh dan sebuah pernikahan.
Ada batin yang tersayat dan memberontak untuk mengenal lelaki apalagi menyerahkan tubuhnya, dirinya, hidupnya, harapannya, kebahagianyaa, juga dunianya. Pada pelukan sang ibu, perempuan itu akan menarik nafas dalam dan dengan belaian tangan dari bayangan hitam yang membuntutinya. Di saat itulah ia akan kembali berkata lirih di dalam hati.
“Ibu, aku baik-baik saja, jangan khawatir karena hidupku sudah sangat sempurna tanpa kehadiran lelaki. Bahkan tanpa kehadiran ayah semenjak ia meninggalkanmu ketika aku masih menjadi embrio dalam rahimmu.”
Batinnya pun kembali berpendapat. “Lalu alasan apalagikah yang memuliakan kepentingan adanya seorang lelaki dalam rumah kita, dunia kita. Karena selamanya kita akan baik-baik saja. Tanpa mahluk seperti itu di dunia, kau mampu menjajakan kue-kue lalu membangun sebuah kios yang kini menjalar ke beberapa kota di pulau jawa ini. Karena cinta dan kegigihanmu aku mampu hidup dengan kemewahan dan menjadi seorang direktur dan wartawan handal yang bergelar doktor sastra dari universitas ternama di Yogyakarta. Sekali lagi, bagian hidupku yang mana yang akan kau perbolehkan untuk dihancurkan oleh mahluk bernama lelaki. Dan tidak akan aku biarkan sedikitpun ia menyentuh kulit apalagi hatiku.”        
Sorot matanya yang sendu kembali menangkap bayangan hitam itu berjalan mengelilingi seisi kamar ibunya. Lalu ia seolah berteriak memecahkan lampu-lampu kristal, kaca rias, dan meruntuhkan dinding-dinding. Lalu tidak akan ada lagi yang akan terasa hampa dan kosong. Semua kembali menjadi senja dan hitam. Seperti hatinya yang kini terlalu kebal tertembus cahaya cinta asmara. Damailah ia pada keniscayaan hidup. Bahkan kelak pada suatu akhir zaman, tidak akan ada lagi ditemukannya sebuah musim. Kecuali musim tanpa matahari.   
***
Yogyakarta, 29 Maret 2013, 11:17

Biodata:  
Nila Mega Marahayu, lahir 2 April 1988.  Sedang meraih gelar master di jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Menulis novel, cerpen dan puisi sejak SMP. Pernah meraih juara 2 lomba cipta dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama Sepetak dan pementasan monolog teater Teksas UNSOED di masa menempuh gelar sarjana. Beberapa puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi di RRI Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.    
Telpon: 081585146687
Email : nilamegamarahayu@yahoo.co.id        


  
  

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar