Matanya menembus cermin
dalam-dalam. Rasanya ia hafal benar siapa yang ada disana, sorot mata yang
penuh mantra, sorot mata yang penuh kenangan, sorot mata yang sendu, bahkan
sorot mata yang terasa basah, dan selalu basah. Rasanya itu saja yang
dimilikinya, tidak lebih, tidak juga kurang, tetapi entah dimana pun ia
bernaung selalu saja ada lelaki yang mendekatinya –terpikat katanya. Mungkin
karena bayang matanya selalu bertutur lembut bagai suara angin yang samar-samar
membelai rambutmu dalam siang yang terik, atau matanya yang sarat dengan
identitas jawanya –terlihat eksotis, entahlah. Yang pasti dan sebenar-benarnya
jelas ialah hanya matanya; mata yang berpinsip, prinsip untuk hidup bahagia.
Suara
klakson mobil diluar sana membuyarkan sekejap lamunannya yang entah berkelana
ke negeri entah berantah. Hanya cermin dalam genggamannya yang sempat menangkap
sorot matanya yang gugup dan terkejut, sebelum kemudian diletakkannya cermin
itu ke dalam tas batiknya. Tas yang setia menemaninya berangkat ke kantor surat
kabar setiap hari. Ia kemas segala bayang-bayang yang sempat keluar dari
matanya, yang kembali mengajaknya bicara. Biasanya bayang matanya itu akan
mengajaknya berdialog, berargumen masing-masing, hingga sudah biasa pula pertengkaran
sengit terjadi. Kebencian menikam, semua dengan mudah dapat direlai hanya
dengan mata dan sedikit menelan ludah, pahit.
Ia kembali melanjutkan perjalanannya,
menginjak gas mobilnya dan melaju cepat. Ia berusaha melihat pemandangan di luar
kaca mobilnya, atau kaca sepionnya. Dan kembali ia harus menginjak rem karena
lampu lalu lintas berwarna merah kembali dihadapinya. Udara dingin melalui ac
mobilnya kembali diresapinya. Mungkin kau juga tahu, sebentar lagi waktu akan
kembali membuatnya beku bahkan seperti batu ketika bayang-bayang kembali keluar
dari persembunyiannya, dari matanya yang hitam. Memang tak butuh waktu lama,
bayangan itu telah keluar satu persatu seperti gumpalan asap yang menyusup dari
balik matanya. Bayangan itu duduk disampingnya, kemudian kembali mengajaknya
bicara, berdialog, dan bahkan sebentar lagi akan terjadi pertengkaran hebat.
***
“ya
ya ya, aku tahu sangat tahu. Tapi bagaimana, harus bagaimana ??!!” suaranya
keras nyaris berteriak dan menimbulkan dentum di bumi, memecahkan kaca-kaca
mobil di sekitarnya, bahkan kaca-kaca gedung bertingkat, juga kaca-kaca kereta
dan di sepanjang stasiun.
Pertengkaran
memang terjadi disana, pertengakaran yang tidak perlu diucapkan tapi cukup
lewat raut wajah penuh murka, hingga tak ada lagi sorot mata dewa bersembunyi
di sana. Ia tahu, lelaki di sampingnya tengah bosan padanya. Rasanya dunia
bagaikan berhenti seperti jam tangannya yang kali ini melambat dan mati. Ia nyaris
tidak tahu bahkan memang sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Memaki, memohon
untuk kembali,atau bahkan menangis. Entahlah, yang ada hanya jiwanya yang
melayang menyentuh awang-awang dan menembus atap kereta.
Ia
hanya mengetahui posisinya dalam keadaan tidak tepat untuk berlari menghindari
lelakinya. Mereka memang sejak lama bercita-cita akan berangkat ke Baturaden
untuk melakukan foto. Ya, foto yang dibayangkannya romantis dibawah air terjun
curuk-curuk di sana. Tentu saja, pertengkaran itu telah menggagalkan tujuan perjalanannya
kali ini. Tetapi apa dikata, lelakinya baru saja mengatakan kejujuran. Baginya,
tentu saja kejujuran itu adalah penting dalam sebuah hubungan. Apalagi ia
bersama lelakinya itu akan melakukan pemotretan untuk undangan hari bahagia
cintanya. Kejujuran yang dinyatakan pujaan hatinya kali ini justru membuatnya
remuk redam, lemas, dan gemetar, bahkan sampai tidak dapat lagi sepatah katapun
keluar dari bibir bergincunya. Ia mendengar kata “selesai” dari bibir
lelakinya.
Tidak
ada satu pun telinga penumpang lain yang lengah dari pertengkarannya dengan
lelaki tambun di sebelahnya. Namun, mereka semua hanya diam dan berpura-pura
tidak mendengar. Padahal sungguh dalam hati mereka bertanya-tanya apa penyebab
pertengkaran itu. Sedang diantara itu, kereta Sawunggalih bisnis terlanjur
berjalan menyusuri rel. Lalu melewati gedung-gedung, rumah-rumah kumuh, sampah
yang berserak, dan kini tinggal kesunyian sawah-sawah kering tanpa panen.
***
Sekejap
peristiwa pahit terlintas dalam ingatannya. Ia kembali berusaha menahan sakit
di dadanya dan menahan air mata agar tidak lagi menetes di pipinya. Sangat
terlihat begitu keras kemauannya untuk bangkit kali ini, namun sayangnya setiap
hari ia akan mengalami hal itu. Pada malam ia akan terbangun oleh bayangan
hitam yang bergelayut pada mimpinya, mengusiknya untuk kembali merindu dan
terhempas pada kenyataan pahit.
Kisah cintanya dengan
lelaki pujaannya yang telah terjalin selama lima tahun itu harus kandas. Harus
lenyaplah segala janji hidup bersama. Pada pagilah kemudian ia akan kembali
mengharapkan fajar membawa kenangannya pergi dan menyejukkannnya dengan
hembusan angin pada kebahagiaan sebagai seorang singgel.
Ia
tahu, apa yang dihadapinya adalah kisah yang bukan membunuhnya saja, tetapi
setiap manusia di bumi pun pernah mengalaminya, lalu bangkit hingga menemukan
pendamping yang jauh lebih baik. Rasanya hal itu hanyalah omongan-omongan
klasik yang terus menempel di udara. Begitu sayup dan nyaris tidak bisa
digenggamnya sebagai motivasi hidup. Justru yang ada hanyalah menyesali
peristiwa kegagalan itu terjadi hingga menghujat akan keberadaan Tuhan. Bahkan
kali ini tidak ada sedikitpun ketertarikannya pada lelaki. Ia bersumpah pada
dirinya, bahwa tidak ada lelaki pun dunia akan baik-baik saja.
Hujatnya
pada Tuhan akan keberadaan lelaki di alam jagad kembali berapi-api ketika
melihat foto pertunangannya dengan sang mantan kekasih. Foto itu masih
terpampang di meja kamarnya. Kemudian matanya akan kembali menyapu pandang pada
benda melingkar berwarna perak yang seharusnya masih melingkar di jemari
manisnya. Entah masih ada harapan biarpun kecil dan terselip di rongga dadanya
yang remang-remang. Barangkali harapan kecil itulah yang membuatnya menyesalkan
kepergian lelakinya. Perasaan yang timbul tenggelam bagaikan perahu pada sebuah
samudera tanpa nelayan itu penyebab alasannya menyimpan apa-apa yang dapat
mengingatkannya pada lelakinya itu.
Jika demikian, ia akan
kembali merasa terasing pada dunia kenyataan. Tumpahlah kembali air mata pada
mata sendunya. Entah harus berapa lama kepedihan itu dapat hilang darinya. Yang
diketahui hanyalah waktu terus berjalan cepat tanpa menunggunya sampai merasa
benar-benar kuat menghadapi kehadiran lelaki itu.
Telpon genggamnya kembali dijamah, ada pesan
yang masuk pagi ini. Pesan dari seorang lelaki yang masih dipujanya dalam
ingatan indah, meskipun tidak peduli
bagaimana lelaki itu memandangnya kini. Pesan yang dianggapnya adalah harapan
baik, dimana kisah mereka akan terjalin kembali. Harapan tentang pernikahan
akan kembali terjadi dalam hidupnya. Harapan akan makna dirinya yang belum
sirna.
Sayangnya
air matanya tumpah lagi kali ini. Mata itu kembali basah dan tertutup cahaya
gelap. Pesan itu membawa kabar kegembiraan di sisi lelaki. Pesan yang berbicara
tentang kebahagiaan dan rasa syukur dari lelaki itu karena telah bertemu dengan
seorang gadis. Hatinya pun bertanya-tanya gadis seperti apakah yang telah
membuat lelakinya itu menghempaskannya. Benarkah gadis itu lebih cantik,
anggun, menarik, bahkan lebih layak kelak jadi istri dan ibu dari anak-anak
lelaki itu. Ada kegetiran kembali menusuk relung dadanya lebih tajam dan
berkali-kali.
Seketika dilemparnya
telpon genggam itu ke sudut kamar, ke sebuah dinding yang dingin. Ia sangat
menyadari harapannya untuk kembali telah runtuh. Lima bulan lamanya menunggu
lelaki itu menghubunginya telah terjadi. Namun, bukan untuk memintanya kembali
menjalin hubungan sebagai kekasih.
Memang,
semua terjadi begitu cepat. Lelaki yang begitu dikaguminya itu tidak lain
adalah sahabat kecilnya. Telah lama mereka menjalin hubungan sahabat hingga
akhirnya saling jatuh cinta dan berakhir pada kegagalan. Entah apa alasannya.
Perbedaan karakter yang selalu membuat mereka tidak pada satu pemikiran dan
bertengkar hampir setiap waktu dianggap sebagai alasan. Tentu ada rasa tidak
diterima dalam batinnya, bukankah sejak dulu semasa jadi sahabat mereka selalu
menjadi anjing dan kucing? Karakternya yang lembut dan lelaki itu yang keras.
Mengapa ini menjadi alasan ?
Pertanyaan
demi pertanyaan mengalir bagai air sungai yang tidak pernah berhenti menemukan
ujung muaranya. Lelah ia jalani malam demi malam penuh rindu dan benci. Hingga
tidak ada lagi daya baginya untuk kembali menatap fajar yang selalu
mengintipnya malu-malu dari balik jendela. Tidak ada lagi terik matahari yang
mampu menembus dadanya. Karena semua telah menjadi senja yang tidak berbatas.
Semua telah menjadi udara dingin yang terus membeku tanpa gigil. Aroma
kehidupan telah musnah dari dirinya.
***
Waktu telah membawa
tubuhnya berjalan melewati sebuah zaman. Ia tidak lain menjadi manusia yang
hidup dari pahatan seorang seniman. Ia telah menjadi patung. Ya, patung
perempuan yang tidak lagi menaruh hati pada kedamaian dan gairah akan kehadiran
mahluk yang bernama lelaki. Ia bagaikan hasil karya manusia yang dapat
berjalan, tersenyum, tertawa, dan menangis tanpa rasa yang penuh. Ia telah
kehilangan jiwa. Ia telah kehilangan darah. Ia telah membiru seperti mayat yang
terapung di lautan.
Tidak
ada lagi wajah dengan harapan utuh tentang sebuah mahligai pernikahan. Baginya
pernikahan atau mengenal lelaki adalah sebuah penjajahaan. Menaruh perasaan
kepada mahluk lelaki adalah sebuah kesalahan yang akan menghepaskan perempuan
pada keruntuhan zaman bahkan kutukan dunia. Tidak akan ada lagi sebuah dunia
kebebasan. Tidak akan ada lagi sebuah kebahagiaan hidup. Bahkan ia telah
berprinsip untuk terus mengejar kebahagiaan dalam kesuksesan karir, sedang
pernikahan adalah akhir dari segala cita-cita di muka bumi.
Kepahitan dalam drama
cintanya membuatnya menjadi perempuan singgel selama tiga puluh lima tahun.
Usia yang membuatnya sebagai perawan tua, begitu rekan-rekan kerjanya
menyebutnya. Beberapa lelaki telah datang menyapa kekosongan hatinya. Tetapi
semua sia-sia karena hatinya telah lebih keras dari batu. Tidak ada hujan atau petir
sekalipun yang mampu mengetuknya, lalu memberinya sedikit nafas asmara.
Semua hasrat telah hilang
darinya. Hilang sangat jauh. Ia hanya memiliki imajinasinya tentang kesejatian
dan keabadian hidup. Dan sepertinya bayangan hitam telah kembali membawanya
terbang meninggalkan dunianya. Ia telah terbang bersama sayap-sayap dari
gumpalan hitam yang tengah duduk menemaninya di mobil pagi itu. bahkan bayangan
itu akan meliriknya tajam lalu membisikkannya begitu mesra. Hingga tidak ada
lagi alasan baginya untuk tidak sempurna.
Suara klakson mobil dan
motor di belakang mobilnya mulai ramai berteriak bising memekakkan telinga.
Menimbulkan kegaduhan. Lalu menenggelamkan kicauan sekumpulan burung gereja
yang bertengger di sepanjang kabel listrik, rumah-rumah kumuh, usang, dan reyot
di bawah jembatan layang. Barulah menyadarkannya untuk kembali menginjak gas
dan melaju perlahan.
Pandangan dari mata
sendu dan basahnya lurus menembus kaca mobilnya, terasa tanpa sekat sedikitpun.
Para kaki lima yang menjajakan koran di sepanjang trotoar pun tidak lagi
menarik perhatiannya. Ada yang ia lewatkan kali ini. Seorang tampan dan
bertubuh agak tambun berdiri di antara pedagang asongan dan banci jalanan. Ada
seorang lelaki tampan yang tengah beradu nasib. Roda persaingan kerja dan kekuasaan
telah membawa lelaki itu terhempas pada kemelaratan.
Andai ia menoleh
sedikit saja pada kaca spion yang memantulkan sosok lelaki yang pernah
dikenalnya. Seorang lelaki yang nyaris sepuluh tahun lalu hilang dari
kehidupannya. Ya, semenjak lelaki itu terakhir kali menghubunginya untuk
memberitahu pesta bahagianya. Lelaki yang bekerja pada sebuah perusahaan yang
kabarnya telah gulung tikar.
Ia pasti masih sangat
mengenali lelaki lusuh dengan rompi bertuliskan sponsor surat kabar tempatnya
bekerja. Ia pasti masih sangat hafal serak suara, deru nafas, aroma badannya,
bahkan rayuan dan kenangannya. Sayangnya, di dalam mobil ber-ac itu ia sangat
terhanyut pada sebuah kenangan pahit. Terhanyut pada gurauan dan makian pada
sosok hitam yang tiba-tiba muncul dari balik sorot matanya. Bayangan yang akan
terus menopang lelahnya dan kedukaannya karena kehadiran lelaki. Bayangan
itulah yang akan membuntutinya kemanapun ia singgah.
Pada fajar di hari
berikutnya, bayangan itu akan kembali menghampirinya lalu memeluknya erat.
Bayangan itu pulalah yang akan merangkulnya ketika air matanya kembali jatuh,
jantungnya kembali rapuh, dan hatinya kembali pecah bagaikan serpihan kaca
menjadi keping-keping tidak beraturan. Tanpa bentuk. Hal itu akan kembali
terjadi menjadi kekuatannya merangkai kata-kata di hadapan ibunya, ketika ia
harus mengunjungi ibunya yang telah tidak sabar lagi untuk kehadiran seorang
menantu laki-laki di rumahnya. Yang akan menanamkan benih –darah daging
keturunannya kepada anak perempuannya itu.
“Nduk, sekali-kali
bawalah seseorang kesini, kenapa tidak bawakan ibu calon menantu?.”
Seperti biasa perempuan
manis itu tidak akan menanggapi. Dan ibunya pun tidak akan bertanya atau
menasehati apapun lagi. Sepertinya jawaban telah terpancar dari sorot mata
sendu anak perempuannya itu. Bidadari kecilnya yang telah terlalu dewasa. Perempuan
itu pun seakan dapat menerka apa yang ada dalam batin ibunya; kalimat doa
kembali bertebaran ke udara tentang permasalahan yang berputar pada itu-itu
saja setiap hari, jam, menit, dan detik. Doa yang terasa membosankan dan
membuatnya ingin berteriak dan mual. Doa tentang jodoh dan sebuah pernikahan.
Ada batin yang tersayat
dan memberontak untuk mengenal lelaki apalagi menyerahkan tubuhnya, dirinya,
hidupnya, harapannya, kebahagianyaa, juga dunianya. Pada pelukan sang ibu,
perempuan itu akan menarik nafas dalam dan dengan belaian tangan dari bayangan
hitam yang membuntutinya. Di saat itulah ia akan kembali berkata lirih di dalam
hati.
“Ibu, aku baik-baik
saja, jangan khawatir karena hidupku sudah sangat sempurna tanpa kehadiran
lelaki. Bahkan tanpa kehadiran ayah semenjak ia meninggalkanmu ketika aku masih
menjadi embrio dalam rahimmu.”
Batinnya pun kembali
berpendapat. “Lalu alasan apalagikah yang memuliakan kepentingan adanya seorang
lelaki dalam rumah kita, dunia kita. Karena selamanya kita akan baik-baik saja.
Tanpa mahluk seperti itu di dunia, kau mampu menjajakan kue-kue lalu membangun
sebuah kios yang kini menjalar ke beberapa kota di pulau jawa ini. Karena cinta
dan kegigihanmu aku mampu hidup dengan kemewahan dan menjadi seorang direktur dan
wartawan handal yang bergelar doktor sastra dari universitas ternama di Yogyakarta.
Sekali lagi, bagian hidupku yang mana yang akan kau perbolehkan untuk
dihancurkan oleh mahluk bernama lelaki. Dan tidak akan aku biarkan sedikitpun
ia menyentuh kulit apalagi hatiku.”
Sorot matanya yang
sendu kembali menangkap bayangan hitam itu berjalan mengelilingi seisi kamar
ibunya. Lalu ia seolah berteriak memecahkan lampu-lampu kristal, kaca rias, dan
meruntuhkan dinding-dinding. Lalu tidak akan ada lagi yang akan terasa hampa dan
kosong. Semua kembali menjadi senja dan hitam. Seperti hatinya yang kini
terlalu kebal tertembus cahaya cinta asmara. Damailah ia pada keniscayaan
hidup. Bahkan kelak pada suatu akhir zaman, tidak akan ada lagi ditemukannya
sebuah musim. Kecuali musim tanpa matahari.
***
Yogyakarta,
29 Maret 2013, 11:17
Biodata:
Nila
Mega Marahayu, lahir 2 April 1988.
Sedang meraih gelar master di jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah
Mada. Menulis novel, cerpen dan puisi sejak SMP. Pernah meraih juara 2 lomba
cipta dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama
Sepetak dan pementasan monolog teater Teksas UNSOED di masa menempuh gelar
sarjana. Beberapa puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi
di RRI Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.
Telpon:
081585146687
Email
: nilamegamarahayu@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar