(Hanya
sebuah cerpen)
Kebenaran Semakin Senja
Ia
menatap langit-langit ruangan yang telah dihuninya selama tiga belas tahun.
Kayu-kayu tua yang semakin senja layaknya dirinya, terus berjuang menantang
angin di setiap jamannya. Hening, sepi, hampa, begitulah si tua itu menikmati
dunia. Hal yang bisa membuatnya menangis juga meradang dengan alasan yang harus
ditelannya mentah-mentah, dan hanya sendiri. Lamat-lamat ia terbawa dalam
fikiran yang jauh. Jauh di dunia petualangan yang sadis tapi manis, semanis
sunggingan bibir putranya saat bola mata beranjak menelanjangi foto, setengah
meter dari kursi, tempat ia merebahkan keluh dan kesah. Ia semakin sulit
menerima apapun tawaran sekenario Tuhan. Tanpa terasa air asin meleleh melewati
pipi keriputnya, terus menghujani dunia batinnya. Entah apa yang harus
diutarakan? dari mana awalnya? ia tak mengerti. Semakin teringat jelas kejadian
tadi, seolah belati semakin bangga menyayat dada.
"Bapak
tidak setuju kalau kau benar-benar jadi Tentara, nak."
"Oow...
masih batukah hati dan pikiran bapak untuk negeri tercinta ini? sampai kapan
jiwa pemberontak bersemayam dalam sanubari bapak?!"
Ia terkejut seketika. Sembari berkerut dahinya, ia
mencoba melanjutkan, tapi terhenti.
"Aku
tak peduli dan akan tetap jadi Tentara!" Ungkapnya setengah berlalu.
***
Disana,
di sebuah permai, di sebuah kehijauan yang syahdu bersama angin yang tiada
enggan berhembus, Pandan Gadang, Sumatera Barat, selalu tersirat dalam
pikirannya. Kelahiran Datuk yang menebarkan cakrawala kesatria sejati,
membuatnya kian gigih atas bara tekadnya, mencari dan menjadi seperti beliau.
Perjuangannya
menyelinap lihai demi sampai di tanah Semarang, terlaksana sudah. Segera ia
turun dan berjalan jauh memasuki hutan. Hanya disinari matahari pagi dari celah-celah
pohon Jati yang tinggi, di sela-sela belantara. Ia bergerak menyelamatkan diri
dari truk pengangkut rempah-rempah pribumi bawaan Tentara Belanda. Bertahan
melewati malam demi malam, di bawah tumpukan karung-karung besar beraroma
cengkeh, kopi, dan semerbak aneka aroma lain yang tak dihafalnya. Untung saja
dari ketiga Tentara Belanda, tak satu pun menyadari keberadaannya.
Detik,
menit, jam, hingga hari genap kesebelas dalam perantauan, setelah perut tak
kuat lagi ingin memuntahkan daging rusa dan ular yang disantapnya. Teringat ia
akan rutinitas pagi buta. Di saat ia menahan lapar karena bekal ubi dari
kampung Minang telah habis. Ia seperti beradu keganasan dengan binatang buas
hutan untuk memanjakan perut yang kelaparan. Ia memejamkan mata. Terdengar
suara di semak-semak sebelah tenda kumuhnya. Entah berasal dari nyamuk-nyamuk
bringas yang berkecamuk di sekitar telinganya, anjing-anjing liar yang mengaum,
ataukah setan-setan belantara yang bergelayutan. Jiwa apa yang ada dalam
dirinya kala itu, rasanya roh raja hutan tengah bersemayam, tak ada lagi rasa
jijik dan belas kasihan. Ia tangkap ular yang merayap di pohon besar dan jatuh
ke atas tendanya. Ular belang itu mencoba melawan. Mulut penuh bisa siap
mencabik daging si perantau, tapi bumi berkata lain. Dengan belati tajam, ia
memotong dan menguliti. Lalu mengikat kepalanya dan menggantungnya pada pohon.
Setelah api melahap kayu-kayu menjadi abu, maka lenyap seketika rasa lapar itu.
Disantaplah ular bakar buatannya.
Sirnalah cerita hari itu, kemarin.
Sebenarnya semua peristiwa tak begitu dihiraukan, tak menarik perhatian, sebab
seluruh jiwa raganya padam kecuali harapan. Kini, barulah ia seakan ingin
berteriak sekeras-kerasnya, belari sekencang-kencangnya, demi meluapkan emosi rindu yang terpendam. Disana,
di depan gubuk tua, di sebuah desa kecil yang baru dijumpainya terdengar
seseorang menyebut nama "Tan Malaka".
Sungguh
wajah rupawan yang penuh keramahan, tiada pernah berhenti melukis kenangan
indah tentang sosok Datuk dalam dirinya. Persahabatan yang terjalin diantara
keduanya laksana lampu pijar yang siap tak redup menerangi sekeliling hutan
yang gulita.
"Teruslah
jadi penerang untuk rakyat, aku percaya kau bisa menjadi lebih dari aku,
Ibrahim!" Ucap Datuk penuh keyakinan yang terpancar tulus dan
berpengharapan, serta tepukan tangannya ke pundak Ibrahim membuat bulan di
malam itu seolah ikut menyanggupi secara jantan tanpa paksaan. Udara berhembus
mesra. Begitu lembut. Menjadikan nyanyian jangkrik hutan yang memamah kesunyian
terasa serasi dengan malam. Terdengar alunan seruling yang entah darimana,
menjajakan kemerduan, membawa kesejukan dan keindahan yang minta untuk
dipertahankan, seraya berkata; “Jangan biarkan Belanda menghanguskan kampungku,
anak muda”.
***
Dahulu,
ketika di ranah Minang, ia bersama kedua temannya selalu datang pagi-pagi demi
duduk di kursi depan, mencari perhatian Datuk agar lebih dahulu mengajari
mereka membaca dan menulis. Mereka selalu datang dengan kekosongan, tapi selalu
pulang dengan penuh kejutan, yakni ilmu yang membinasakan kebodohan segelintir
anak-anak Minang. Mereka bertigalah yang selalu rajin dan begitu memerhatikan
Datuk, serta bercita-cita yang terucap teguh; "Aku ingin seperti
Datuk." Meski dalam hati, hanya di dalam hati.
Dalam
setiap duka dan kerinduan akan tanah kelahirannya, ia selalu menampik dengan
rasa bangga dapat berjumpa dengan Datuk. Pasti jikalau kedua temannya
mengetahui, betapa besar iri hati ada di dada mereka. Teringatlah kembali ia
pada masa lalu:
"Datuk
itu hebat Man, beliau bisa berkelahi dengan jurus macam-macam, seperti ini;
hiaat...haat...hiaaaat!" Begitulah tingkah Mochtar setiap bercerita
tentang Datuk, penuh semangat. Gerakannya kacau seperti ayam kepanasan. Lain
halnya dengan Hasanudin yang selalu tersedu jika bertuah tentang Datuk.
"Aku
rindu pada Datuk, beliau begitu bermurah hati, aku selalu ingat beliau tak
marah saat aku tak bisa membaca. Dikala huruf A ku baca Be dan huruf C tak ku ingat lagi namanya, kecuali O yang
selalu ku ingat dari sebelum hingga sesudah tidur, karena aku suka sekali
telur." Begitulah ungkapan Hasanudin, sahabatnya yang selalu membuat
cerita selucu apapun menjadi kisah memilukan. Langit menjadi Mendung seketika.
Ingatan
masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa terus bermuara dalam kepalanya. Saat
kedua temannya tak berani pergi. Mereka lebih memilih bertani dan
beranak-pinak. Sedangkan dirinya terus berjuang mengejar mimpi untuk merantau,
mencari Datuk, dan menjadi kesatria. Tak rela membiarkan usia 15 tahunnya berlalu
sia-sia. Ia lambaikan tangan pada tanah Minangkabau dan hanya berbekal ilmu
pencak silat serta makanan seadanya.
***
Kedipan
matanya yang berat begitu melukiskan ketaksanggupanya mengingat kembali bumi
kelahiran. Yang ada hanyalah kepiluan yang membekas dalam hati, mengubah
seluruh hidupnya. Sungguh, ia tak memahami tentang Partai komunis. Ia hanya
mengajar membaca dan menulis murid-murid di sebuah gubuk bertuliskan
"Sekolah Rakjat." Bertahun-tahun sudah ditekuninya profesi yang di
perintahkan sang Datuk itu.
***
Hermawan Ibrahim kelahiran 1906,
akhirnya menemukan wanita yang dipersuntingnya di kemudian hari. Tentu setelah
citanya terjamah, yakni menemukan Datuk dan mengabdi pada negeri, menumpas
kebodohan.
Suara
radio tua bergemuruh dengan frekuensi naik turun seperti kabur diusir angin.
Berita yang terdengar sayup-sayup diseberang sana menjadi sedikit tak
memuaskan. Ia putar volume pengeras
suara ke puncak tertinggi, tapi tak begitu berpengaruh. Telinga dipasang
baik-baik, didekatkan persis pada radio sembari tangan yang terus bekerja.
Tembakau dan sedikit cengkeh ditatanya di sepotong kertas yang sangat langka.
Telapak tangan menjadi tumpuan sedangkan jari-jari lihai menggulung kertas itu
ke arah depan berkali-kali. Kertas itu terjelma seperti corong mungil. Lalu
dibakar sedikit ujungnya. Asap mengepul indah melewati kepalanya dan lenyap.
Keseriusannya menjadi-jadi. Kening berkerut tajam. Rokok buatannya itu nyaris
dilupakan. Ada sesuatu yang penting. Telinga seperti menegang. Otaknya pun
berputar berusaha menangkap apa yang terlontar di sana; kabar wafatnya datuk
tersiar, meski masih simpang-siur.
Kepergian sang datuk memang menyakitkan.
Si pejuang gagah dan cerdas itu dibawa Belanda dalam kondisi memprihatinkan.
Tubuhnya terlihat layu. Mata sembabnya disembunyikan. Berat bagi seluruh warga
desa terpencil itu melepasnya. Rindu pasti akan kembali menghantui Ibrahim.
“Datuk
berjanji akan kembali, jadi berita ini tidak mungkin benar... tidak mungkin..
ah, apakah Belanda bangsat itu membunuhnya?!” terasa sesak dadanya. Terasa ragu
baginya percaya akan kepergian Datuk selama-lamanya.
Tangisan
bayi menyibak alam lamunannya. Kelahiran anak pertamanya yang membahagiakan
ternodai duka. Tahun 1949 memupuskan harapannya pada sosok nyata Datuk.
***
Tak
pernah diketahui secara pasti: "Apakah semua yang telah dijalani adalah
salah. Dimana sudut keburukan itu?" Pertanyaan yang menghantuinya selama
tiga belas tahun. Pasca Gerakan 30 September, ia dianggap bersalah.
Peristiwa 1967 itu, tak akan pernah
hilang dalam ingatannya. ketika jeritan tangis anak dan istri yang harus
berpisah dengannya. Keluarga yang dahulu penuh suka cita telah menjadi
kenangan. Ia sangat ingin mengecup kening anak dan istrinya kembali. Tapi yang
dihadapinya hanya dinding bui yang dingin, sunyi, dan penuh kehampaan.
***
Ada secarik
surat jaminan kebebasannya. Di dalamnya tertulis bahwa ia
dinyatakan bebas dan dapat bertemu anak semata wayangnya. Rasa syukur penuh
bahagia mengaliri seluruh tubuhnya. Denyut nadi yang dahulu kelu dan nyaris
mati bergairah kembali. Bagaikan bayi yang siap dilahirkan ke muka dunia.
"Anakmu
telah aku besarkan, kau bisa menjadi bapak kembali. Aku mendapat perintah untuk
membebaskanmu." Seorang Tentara dengan nada datar.
Yang
terpenting baginya hanyalah bertemu dan membangun keluarga kembali bersama
putranya. Kesatria sejati memang telah mendaging jiwa dalam keutuhan diri,
meski tak disadarinya. Ia mampu menjalani hari dengan ikhlas. Meskipun hanya
sesekali sang anak mengunjunginya yang tinggal di bilik kusam dengan profesi cleaning sevice Lembaga Pemasyarakatan
Semarang.
***
Tatapannya
pada foto Ahmad terhenti. Ada rasa rindu semerbak ke seluruh sanubari, terus
membuatnya menyesal telah melarang sang buah hati. Suaranya tercekat di
kerongkongan sebab ia tak ingin meghancurkan masa depan Ahmad. Apalah jadinya
jika masyarakat mengetahui bahwa calon Tentara Ahmad adalah anak bekas tahanan.
Ia menulis surat, namun tak diselesaikannya. Nafsu
enggan menguasainya. Semenjak kemarin, si tua itu tak ingin lagi menjadi saksi
kebenaran yang semakin senja.
"Biarlah
semua berjalan semestinya, semoga esok jaman akan berubah." Gumamnya
sebelum roh terangkat ke langit tinggi, sangat tinggi hingga hilang segala yang
ada pada dirinya.
***Tamat***
Biodata
:
Nila Mega Marahayu, lahir 2 April
1988. Sedang meraih gelar master di
jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Menulis cerpen dan puisi sejak
SMP. Pernah meraih juara 2 lomba cipta
dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama Sepetak
dan pementasan monolog Teater Teksas Unsoed semasa menempuh gelar sarjana. Beberapa
puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi di RRI
Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.
Telpon: 081585146687
Email : nilamegamarahayu@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar