Selasa, 23 Juli 2013

Kebenaran Semakin Senja

(Hanya sebuah cerpen)   
Kebenaran Semakin Senja  
            Ia menatap langit-langit ruangan yang telah dihuninya selama tiga belas tahun. Kayu-kayu tua yang semakin senja layaknya dirinya, terus berjuang menantang angin di setiap jamannya. Hening, sepi, hampa, begitulah si tua itu menikmati dunia. Hal yang bisa membuatnya menangis juga meradang dengan alasan yang harus ditelannya mentah-mentah, dan hanya sendiri. Lamat-lamat ia terbawa dalam fikiran yang jauh. Jauh di dunia petualangan yang sadis tapi manis, semanis sunggingan bibir putranya saat bola mata beranjak menelanjangi foto, setengah meter dari kursi, tempat ia merebahkan keluh dan kesah. Ia semakin sulit menerima apapun tawaran sekenario Tuhan. Tanpa terasa air asin meleleh melewati pipi keriputnya, terus menghujani dunia batinnya. Entah apa yang harus diutarakan? dari mana awalnya? ia tak mengerti. Semakin teringat jelas kejadian tadi, seolah belati semakin bangga menyayat dada.
            "Bapak tidak setuju kalau kau benar-benar jadi Tentara, nak."
            "Oow... masih batukah hati dan pikiran bapak untuk negeri tercinta ini? sampai kapan jiwa pemberontak bersemayam dalam sanubari bapak?!"
Ia terkejut seketika. Sembari berkerut dahinya, ia mencoba melanjutkan, tapi terhenti.
            "Aku tak peduli dan akan tetap jadi Tentara!" Ungkapnya setengah berlalu.
***
            Disana, di sebuah permai, di sebuah kehijauan yang syahdu bersama angin yang tiada enggan berhembus, Pandan Gadang, Sumatera Barat, selalu tersirat dalam pikirannya. Kelahiran Datuk yang menebarkan cakrawala kesatria sejati, membuatnya kian gigih atas bara tekadnya, mencari dan menjadi seperti beliau.  
            Perjuangannya menyelinap lihai demi sampai di tanah Semarang, terlaksana sudah. Segera ia turun dan berjalan jauh memasuki hutan. Hanya disinari matahari pagi dari celah-celah pohon Jati yang tinggi, di sela-sela belantara. Ia bergerak menyelamatkan diri dari truk pengangkut rempah-rempah pribumi bawaan Tentara Belanda. Bertahan melewati malam demi malam, di bawah tumpukan karung-karung besar beraroma cengkeh, kopi, dan semerbak aneka aroma lain yang tak dihafalnya. Untung saja dari ketiga Tentara Belanda, tak satu pun menyadari keberadaannya.
            Detik, menit, jam, hingga hari genap kesebelas dalam perantauan, setelah perut tak kuat lagi ingin memuntahkan daging rusa dan ular yang disantapnya. Teringat ia akan rutinitas pagi buta. Di saat ia menahan lapar karena bekal ubi dari kampung Minang telah habis. Ia seperti beradu keganasan dengan binatang buas hutan untuk memanjakan perut yang kelaparan. Ia memejamkan mata. Terdengar suara di semak-semak sebelah tenda kumuhnya. Entah berasal dari nyamuk-nyamuk bringas yang berkecamuk di sekitar telinganya, anjing-anjing liar yang mengaum, ataukah setan-setan belantara yang bergelayutan. Jiwa apa yang ada dalam dirinya kala itu, rasanya roh raja hutan tengah bersemayam, tak ada lagi rasa jijik dan belas kasihan. Ia tangkap ular yang merayap di pohon besar dan jatuh ke atas tendanya. Ular belang itu mencoba melawan. Mulut penuh bisa siap mencabik daging si perantau, tapi bumi berkata lain. Dengan belati tajam, ia memotong dan menguliti. Lalu mengikat kepalanya dan menggantungnya pada pohon. Setelah api melahap kayu-kayu menjadi abu, maka lenyap seketika rasa lapar itu. Disantaplah ular bakar buatannya.
Sirnalah cerita hari itu, kemarin. Sebenarnya semua peristiwa tak begitu dihiraukan, tak menarik perhatian, sebab seluruh jiwa raganya padam kecuali harapan. Kini, barulah ia seakan ingin berteriak sekeras-kerasnya, belari sekencang-kencangnya, demi  meluapkan emosi rindu yang terpendam. Disana, di depan gubuk tua, di sebuah desa kecil yang baru dijumpainya terdengar seseorang menyebut nama "Tan Malaka".  
            Sungguh wajah rupawan yang penuh keramahan, tiada pernah berhenti melukis kenangan indah tentang sosok Datuk dalam dirinya. Persahabatan yang terjalin diantara keduanya laksana lampu pijar yang siap tak redup menerangi sekeliling hutan yang gulita.
            "Teruslah jadi penerang untuk rakyat, aku percaya kau bisa menjadi lebih dari aku, Ibrahim!" Ucap Datuk penuh keyakinan yang terpancar tulus dan berpengharapan, serta tepukan tangannya ke pundak Ibrahim membuat bulan di malam itu seolah ikut menyanggupi secara jantan tanpa paksaan. Udara berhembus mesra. Begitu lembut. Menjadikan nyanyian jangkrik hutan yang memamah kesunyian terasa serasi dengan malam. Terdengar alunan seruling yang entah darimana, menjajakan kemerduan, membawa kesejukan dan keindahan yang minta untuk dipertahankan, seraya berkata; “Jangan biarkan Belanda menghanguskan kampungku, anak muda”.
***
            Dahulu, ketika di ranah Minang, ia bersama kedua temannya selalu datang pagi-pagi demi duduk di kursi depan, mencari perhatian Datuk agar lebih dahulu mengajari mereka membaca dan menulis. Mereka selalu datang dengan kekosongan, tapi selalu pulang dengan penuh kejutan, yakni ilmu yang membinasakan kebodohan segelintir anak-anak Minang. Mereka bertigalah yang selalu rajin dan begitu memerhatikan Datuk, serta bercita-cita yang terucap teguh; "Aku ingin seperti Datuk." Meski dalam hati, hanya di dalam hati. 
            Dalam setiap duka dan kerinduan akan tanah kelahirannya, ia selalu menampik dengan rasa bangga dapat berjumpa dengan Datuk. Pasti jikalau kedua temannya mengetahui, betapa besar iri hati ada di dada mereka. Teringatlah kembali ia pada masa lalu:
            "Datuk itu hebat Man, beliau bisa berkelahi dengan jurus macam-macam, seperti ini; hiaat...haat...hiaaaat!" Begitulah tingkah Mochtar setiap bercerita tentang Datuk, penuh semangat. Gerakannya kacau seperti ayam kepanasan. Lain halnya dengan Hasanudin yang selalu tersedu jika bertuah tentang Datuk.
            "Aku rindu pada Datuk, beliau begitu bermurah hati, aku selalu ingat beliau tak marah saat aku tak bisa membaca. Dikala huruf A ku baca Be dan huruf  C tak ku ingat lagi namanya, kecuali O yang selalu ku ingat dari sebelum hingga sesudah tidur, karena aku suka sekali telur." Begitulah ungkapan Hasanudin, sahabatnya yang selalu membuat cerita selucu apapun menjadi kisah memilukan. Langit menjadi Mendung seketika.
            Ingatan masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa terus bermuara dalam kepalanya. Saat kedua temannya tak berani pergi. Mereka lebih memilih bertani dan beranak-pinak. Sedangkan dirinya terus berjuang mengejar mimpi untuk merantau, mencari Datuk, dan menjadi kesatria. Tak rela membiarkan usia 15 tahunnya berlalu sia-sia. Ia lambaikan tangan pada tanah Minangkabau dan hanya berbekal ilmu pencak silat serta makanan seadanya.
***
            Kedipan matanya yang berat begitu melukiskan ketaksanggupanya mengingat kembali bumi kelahiran. Yang ada hanyalah kepiluan yang membekas dalam hati, mengubah seluruh hidupnya. Sungguh, ia tak memahami tentang Partai komunis. Ia hanya mengajar membaca dan menulis murid-murid di sebuah gubuk bertuliskan "Sekolah Rakjat." Bertahun-tahun sudah ditekuninya profesi yang di perintahkan sang Datuk itu.
***
Hermawan Ibrahim kelahiran 1906, akhirnya menemukan wanita yang dipersuntingnya di kemudian hari. Tentu setelah citanya terjamah, yakni menemukan Datuk dan mengabdi pada negeri, menumpas kebodohan.
            Suara radio tua bergemuruh dengan frekuensi naik turun seperti kabur diusir angin. Berita yang terdengar sayup-sayup diseberang sana menjadi sedikit tak memuaskan. Ia putar volume pengeras suara ke puncak tertinggi, tapi tak begitu berpengaruh. Telinga dipasang baik-baik, didekatkan persis pada radio sembari tangan yang terus bekerja. Tembakau dan sedikit cengkeh ditatanya di sepotong kertas yang sangat langka. Telapak tangan menjadi tumpuan sedangkan jari-jari lihai menggulung kertas itu ke arah depan berkali-kali. Kertas itu terjelma seperti corong mungil. Lalu dibakar sedikit ujungnya. Asap mengepul indah melewati kepalanya dan lenyap. Keseriusannya menjadi-jadi. Kening berkerut tajam. Rokok buatannya itu nyaris dilupakan. Ada sesuatu yang penting. Telinga seperti menegang. Otaknya pun berputar berusaha menangkap apa yang terlontar di sana; kabar wafatnya datuk tersiar, meski masih simpang-siur.
Kepergian sang datuk memang menyakitkan. Si pejuang gagah dan cerdas itu dibawa Belanda dalam kondisi memprihatinkan. Tubuhnya terlihat layu. Mata sembabnya disembunyikan. Berat bagi seluruh warga desa terpencil itu melepasnya. Rindu pasti akan kembali menghantui Ibrahim.
            “Datuk berjanji akan kembali, jadi berita ini tidak mungkin benar... tidak mungkin.. ah, apakah Belanda bangsat itu membunuhnya?!” terasa sesak dadanya. Terasa ragu baginya percaya akan kepergian Datuk selama-lamanya.
            Tangisan bayi menyibak alam lamunannya. Kelahiran anak pertamanya yang membahagiakan ternodai duka. Tahun 1949 memupuskan harapannya pada sosok nyata Datuk.
***
            Tak pernah diketahui secara pasti: "Apakah semua yang telah dijalani adalah salah. Dimana sudut keburukan itu?" Pertanyaan yang menghantuinya selama tiga belas tahun. Pasca Gerakan 30 September, ia dianggap bersalah.
Peristiwa 1967 itu, tak akan pernah hilang dalam ingatannya. ketika jeritan tangis anak dan istri yang harus berpisah dengannya. Keluarga yang dahulu penuh suka cita telah menjadi kenangan. Ia sangat ingin mengecup kening anak dan istrinya kembali. Tapi yang dihadapinya hanya dinding bui yang dingin, sunyi, dan penuh kehampaan.
***
Ada secarik surat jaminan kebebasannya. Di dalamnya tertulis bahwa ia dinyatakan bebas dan dapat bertemu anak semata wayangnya. Rasa syukur penuh bahagia mengaliri seluruh tubuhnya. Denyut nadi yang dahulu kelu dan nyaris mati bergairah kembali. Bagaikan bayi yang siap dilahirkan ke muka dunia.
            "Anakmu telah aku besarkan, kau bisa menjadi bapak kembali. Aku mendapat perintah untuk membebaskanmu." Seorang Tentara dengan nada datar.
            Yang terpenting baginya hanyalah bertemu dan membangun keluarga kembali bersama putranya. Kesatria sejati memang telah mendaging jiwa dalam keutuhan diri, meski tak disadarinya. Ia mampu menjalani hari dengan ikhlas. Meskipun hanya sesekali sang anak mengunjunginya yang tinggal di bilik kusam dengan profesi cleaning sevice Lembaga Pemasyarakatan Semarang.
***
            Tatapannya pada foto Ahmad terhenti. Ada rasa rindu semerbak ke seluruh sanubari, terus membuatnya menyesal telah melarang sang buah hati. Suaranya tercekat di kerongkongan sebab ia tak ingin meghancurkan masa depan Ahmad. Apalah jadinya jika masyarakat mengetahui bahwa calon Tentara Ahmad adalah anak bekas tahanan.
            Ia menulis surat, namun tak diselesaikannya. Nafsu enggan menguasainya. Semenjak kemarin, si tua itu tak ingin lagi menjadi saksi kebenaran yang semakin senja.
            "Biarlah semua berjalan semestinya, semoga esok jaman akan berubah." Gumamnya sebelum roh terangkat ke langit tinggi, sangat tinggi hingga hilang segala yang ada pada dirinya.
***Tamat***

                                 
Biodata :
Nila Mega Marahayu, lahir 2 April 1988.  Sedang meraih gelar master di jurusan Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Menulis cerpen dan puisi sejak SMP.   Pernah meraih juara 2 lomba cipta dan baca puisi 2007 se-Jabotabek. Pernah aktif dalam pementasan drama Sepetak dan pementasan monolog Teater Teksas Unsoed semasa menempuh gelar sarjana. Beberapa puisinya juga pernah diperdengarkan dalam acara Sambal Terasi di RRI Purwokerto, dan Radio Elgangga Bekasi.  
Telpon: 081585146687
Email : nilamegamarahayu@yahoo.co.id         



    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar