Sabtu, 23 Agustus 2014

Cerpen "Permintaan Ringgana" oleh Nila mega marahayu


            Jendela kamar dibuka perlahan. Angin senyap dari luar rumah memasuki ruang, yang beraroma pengap setelah sembilan jam dikunci rapat-rapat. Tubuh bocah perempuan gemetar, berancang-ancang melompati jendela. Kulitnya kusam dan hidungnya ingusan, berhasil keluar rumah. Tangannya penuh dengan kuku-kuku hitam secara lambat menutup jendela. Telinganya menajam dan memastikan tidak ada suara sekecil apapun terdengar oleh orang-orang dewasa dalam rumah. Samar-samar angin menerbangkan suara parau dari seorang mbah.  
            “Nduk, dibuka to pintunya, dari pagi tadi kamu belum makan, emang ndak mau salim sama bapak dan mamak ? [1]Ndang keluar cah ayu.”
***
            Langit dilengkapi awan berwarna kehitaman membuat bumi remang. Remang merasuki bocah perempuan yang tengah berlari kuat-kuat. Berlari menghindari kecamuk di dadanya. Barangkali kesenangan, kebahagiaan, kerinduan, ketakutan, kekecewaan, bahkan amarah telah mejadi segumpal luka. Tapi ia terlalu kecil untuk mencerna keadaan. Tidak memahami bagaimana bersikap wajar. Airmata berjatuhan ke tanah yang kering menjadi retakan-retakan seperti kakinya yang tak beralas. Suara gelegar langit pertanda hujan akan tiba memacu kakinya untuk lebih keras lagi berlari. Dingin menghapus peluh. Hingga tersimpuh di tepi sungai dekat sawah. Padi kering tumbuh disana, tidak akan ada panen penduduk kampung Sosoran, pelosok Temanggung, kali ini.
            Ia menoleh ke belakang. Jejak-jejak kakinya masih terpahat di tanah. Sorot mata nyala seperti menemukan gambar. Sosok mbah timbul tenggelam diantara padi-padi. Mbah terlihat semangat memangkas rerumputan demi kambing. Kambing itu dibeli dari uang pemberian bapak dan mamak setelah satu setengah tahun menjadi buruh pabrik di Jakarta.
Pak Tukul, tetangga rumah yang seorang guru Sekolah dasar menyampaikan kiriman wesel kepada mbah. Beberapa hari setelahnya foto dan surat juga ikut dikirim. Ia dan mbah ternganga karena kurang mengenali wajah bocah perempuan kecil yang ternyata adiknya telah tumbuh cantik dan berpipi gembul. Mbah sering sesunggukan saat guru dengan kumis lebatnya itu membacakan kalimat-kalimat berita dan rindu dalam surat. Setelah itu mbah membisikkan nasihat.
“Nduk, kamu harus pinter sekolah, jadi pegawe. Bapak dan mamak bekerja ke Jakarta biar kamu dan adikmu bisa sekolah.”
            Memang uang kiriman bapak dan mamak tidak pernah absen setiap bulan, tapi harus digunakan untuk makan, biaya sekolah, uang jajan, biaya listrik, iuran kumpulan warga, belum lagi kondangan, melayat, dan [2]tilek bayi yang dalam seminggu bisa sampai empat kali.
***
            Air sungai yang disentuh jemari tangan kanan bocah perempuan itu membangunkannya dari lamunan. Rintik-rintik hujan juga mulai menyentuh tubuh yang terbungkus tulang. Gigil merayap dari kaki hingga ubun-ubun kepala. Kali ini sedikit lelah terhadap kecamuk yang terpendam. Ia ingin pulang ke rumah tua milik mbah. Mengulangi kejadian-kejadian biasa yang dihabiskan bersamanya. Membakar ubi dan tales yang diambil dari sawah satu-satunya peninggalan [3]kakung sebelum dulu menghadap Tuhan karena batuk sepanjang tahun dan mengeluarkan darah. Atau bermain ayunan yang dibuatkan mbah dengan selendangnya, di dua pohon belimbing yang tumbuh di halaman rumah. Ia akan terlelap di ayunan itu sambil mendekap boneka lusuh satu-satunya. Lalu terbangun ketika mbah pulang dari merumput meski terkadang diputuskannya berlari menyusul mbah di sawah.
            Sampai di rumah, mbah akan segera memandikan cucunya dengan air hangat. Air itu dimasak dalam kendil di atas api yang nyala dari batang pohon cabai dan jagung yang kering di jemur juga bambu. Sabun warna biru yang berukuran besar dan keras seperti balok kecil juga selalu menjadi andalan untuk mengharumkan badan saat mandi.
Dihadapan cermin, mbah segera menyisir rambut panjang cucunya sambil menyanyi, begitu syahdu. Tapi lirik lagu yang dinyanyikan sering salah, terkadang terlihat disengaja. Bocah perempuan itu akan tertawa girang. Rumah berlatar sepi itu akan menciptakan ramai dan meredakan sunyi.
            Kesunyian tidak akan didapat bocah perempuan itu di sekolah. Asik bermain perosotan dan bercanda dengan teman baik, midah namanya. Sesungguhnya, ia tidak tahu mengapa harus sekolah dan belajar. Yang diketahui hanya jawaban agar jadi pintar dan kelak menjadi pegawai bahkan dokter bukan bodoh dan buruh tani, begitulah nasehat mbah sebelum berangkat sekolah,terngiang dikepalanya seperti sebuah hafalan.  
Mbah selalu mengantar dan menjemput ke sekolah. Ketika jam pelajaran berlangsung biasanya mbah tengah merumput di sawah atau menjadi buruh bayaran, memetik cabai atau tembakau milik tetangga kampung ketika panen. Uang yang dihasilkan tidak seberapa dibandingkan dengan peluh yang mengalir di sela-sela caping yang dikenakannya, dan peluh dari rongga kulit punggungnya yang bungkuk, yang membuatnya berjalan sedikit tergopoh-gopoh. Namun semangat mbah tetap kokoh seperti tiang bendera dari bambu yang tegak berdiri di lapangan sekolah Taman Kanak-Kanak Darmawanita.
Terkadang ketika suara bel istirahat berbunyi tidak hanya para murid yang langsung berlari keluar kelas dan berebut bermain perosotan, satu-satunya permainan yang ada. Bu Guru Seneng, guru satu-satunya di sekolah akan sibuk ke kamar mandi, berganti pakaian lengan panjang dan mengenakan caping seperti mbah. Segera merumput di sawah belakang sekolah hingga jam istirahat berakhir dan berganti pakaian seragam abu-abu kembali. Guru perempuan dengan rambut yang selalu di [4]gelung itu memberikan pelajaran mengenal huruf dan angka. Pelajaran yang sudah tiga tahun lamanya diulang-ulang dan diajarkannya pada murid yang tidak lebih dari tujuh jumlahnya.
***
(dimuat dalam Harian Joglosemar )

Bocah perempuan itu suka sekali dengan susu kemasan. Kata mbah, kegemarannya itu dimulai sejak mamak tidak dapat menyusuinya. Entah kenapa tubuh mamak kurus sekali bahkan dokter Puskesmas mengatakan kalau mamak kekurangan gizi dan payudaranya tidak dapat memproduksi kelenjar susu secara baik. Mamak tentu tidak dapat menyusui anak perempuan pertamanya yang lahir saat kandungan belum genap tujuh bulan. Alhasil si sulung itu dijuluki anak sapi oleh tetangga karena minum susu kemasan seperti para anak piyayi.
Dulu ketika masih bayi, tubuhnya berwarna biru. Kedua telinganya sering mengeluarkan darah. Kata mbah Botok, seorang dukun bayi ternama di kampung, kalau si bayi akan terus sakit-sakitan karena keberatan nama bahkan mbah yang selalu mengunyah sirih itu menyarankan bapak dan mamak untuk mengubah namanya menjadi Botok. Tentu saja wajah bapak memerah menahan kesal.
“Ringgana itu nama yang bagus mbah, saya dapatkan dari bertapa suci di gunung Sumbing, selama tiga hari tiga malam tanpa makan. Lalu dalam mimpi saya bertemu dengan kakek yang penuh dengan jenggot putih. Tersenyum menghampiri saya dan langsung mengucap “Ringgana”. Jadi anak saya tidak mungkin keberatan nama.”        
***
            Suara takbir menggema dari langgar dekat rumah bu Nyai. Seruan kepada Gusti Allah dibawakan para santri melalui pengeras suara dan hinggap di rumah-rumah penduduk, menyelinap ke kampung sebelah dan sepanjang sawah. Terus mengalun sampai pada isak tangis dan jerit. Suara mbah semakin parau, air mata mamak pun jatuh dan meresap di gaun merah milik anak bungsu yang digendongannya. Bapak beserta pak Bayan turun ke sungai dan menggendong bocah perempuan. Tubuhnya beku diselimuti kabut penjemput malam.
Obor yang dibawa para tetangga mencoba menawarkan hangat dan cahaya, meski tidak seberapa, dan tak mampu menembus kelu dalam batin mbah dan bocah yang tengah tidak sadarkan diri itu. Ia terpeleset dari jembatan bambu yang licin dibanjiri hujan dan sungai yang tiba-tiba deras. Kepalanya terantuk batu dan mengeluarkan darah. Suara panik  mencakar relung dada sampai angkasa.
            “owalah nduk nduk tak kira masih di kamar malah udah kabur. Baru mau diiming-imingi baju dan sepatu baru biar mau ikut mamak dan bapaknya ke Jakarta biar sekolahnya nambah ndak TK terus.” dengan gemetaran mamak bercerita pada istri pak Bayan yang berjalan disampingnya menuju rumah.
***
            Bocah perempuan itu menembang bersama mbah. Sembari tangan perempuan tua dan bungkuk itu dengan begitu kasih menyisir rambut cucunya. Persis seperti biasanya di depan cermin. Si bocah tersenyum dan menahan sesak tangis yang tertahan saat terlintas dipikirannya nama Jakarta.
Mimpi pun pecah ketika mbah membangunkannya. Ia telah terbaring di amben dan demam tinggi. Batinnya berontak, tidak ingin membuka mata.
“Kamdulilah” ucap mbah, bapak, dan mamak.
***
Yogyakarta, 8 Desember 2013 (Dimuat dalam harian Joglosemar pada 2014)




[1] Ndang : segera
[2] Tilek bayi : menjenguk bayi yang baru lahir
[3] Kakung : kakek
[4] Gelung : konde 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar