I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra adalah ilmu yang bernilai seni melalui hakikat imajinatifnya. Sastra merupakan sebuah ilmu yang menempatkan bahasa sebagai mediumnya yang bernilai estetik. Sastra mengenal adanya genre sastra atau jenis karya sastra. Sebagaimana Teeuw (1984:109) dalam Noor (2006:23) menyatakan bahwa menurut Aristoteles, karya sastra berdasarkan ragam perwujudannya terdiri atas tiga macam, yaitu epik, lirik, dan drama. Dalam makalah ini akan membahas tentang lirik. Ungkapan hati, ekspresi, ataupun curahan perasaan merupakan isi dalam Lirik, yang lebih dikenal dengan puisi.
Puisi memiliki makna implisit (makna tersembunyi) selain eksplisit (makna yang dapat dipahami langsung). Artinya, untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam puisi haruslah memahami keutuhan puisi secara mendalam. Jika langkah tersebut telah dilakukan, maka akan terlihat kepiawaian pengarang dalam menyiratkan pesan yang terkandung di dalamnya. Adapun memahami keutuhan puisi tersebut dapat memberikan keindahan bahkan pengalaman atau ajaran tertentu pengarang kepada pembaca. Sebagaimana pernyataan Pradopo (2007:13) bahwa puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Sukar untuk memberikan definisi puitis itu. Hanya saja sesuatu yang disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan.
Soe Hok-Gie, tokoh mahasiswa Universitas Indonesia di era 1960-an. Semasa hidupnya, banyak ktirik dan aksi demonstrasi yang menjunjung keadilan dan anti kediktatoran dilakukannya terhadap pemerintah. Beberapa puisi yang tertera dalam buku non fiksi, biografi Soe Hok-Gie...Sekali Lagi, Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya begitu menarik. Pasalnya, ketika para pakar dan pengamat politik dan sejarah mempelajari ideologi dan keturutsertaannya dalam jatuhnya rezim Soekarno. Bidang sastra mendapat kesempatan menjadikannya objek penelitian. Tentu saja, melalui kajian sastra, yakni puisi.
Ketiga puisi karya Soe Hok-Gie yang berjudul Pesan, Tentang Kemerdekaan, dan puisinya pada tanggal 29 Oktober 1968 yang belum sempat diberi judul, merupakan puisi yang kental terhadap keadaan sosial. Hal ini terletak dalam konflik dan ketimpangan sosial yang terkandung didalamnya.
Terlepas dari pribadi mendiang Gie yang terkenang humanis dan idealis, ketiga puisi yang sempat ditulisnya seolah mendeskripsikan eksistensi tokoh rakyat sebagai wujud mobilitas sosial. Kejenuhannya akan kehidupan bangsa yang terus dibayangi kekacauan atas ketegangan antara rakyat dan pemerintah. Rakyat yang akhirnya berani mengatakan tidak pada ketidakadilan, bukan diam dan manut saja pada pemerintahan, yang tersirat dalam puisi Pesan yang dikaji. Pemikiran tersebut sejalan dengan pernyataan Damono (1978:1) dalam Suroso,dkk (2009:103) menyatakan bahwa selain merupakan suatu eksperimen moral yang dituangkan melalui bahasa, sastra dalam kenyataannya menampilkan gambaran kehiupan; dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Kehidupan Pengarang yang tidak terlepas dari lingkungan sosial dapat menjadikannya pribadi yang mampu mengekspresikan segala pemikiran kedalam karya sastra. Sebagaimana karya sastra dapat lahir karena adanya kehidupan masyarakat dan kembali kepadanya, sebagai suatu yang bermanfaat. Ini merupakan penegasan pula bahwa sastra merupakan refleksi dari potret kehidupan masyarakat. Atar (1993:1) menyatakan bahwa sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra dalam peradaban tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya.
Atas segala pertimbangan di atas maka makalah dengan judul Kritik Sosial dalam Tiga Puisi Goresan Soe Hok-Gie diangkat. Diharapkan mampu berperan sebagai kajian pengetahuan baru dalam dunia kesusasteraan. Dan turut menjadi media kontemplasi, dalam memberikan sumbangsih moral dan ajaran kepada pembaca atau masyarakat untuk dapat berlaku bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah yang berjudul Kritik Sosial dalam Tiga Puisi
Goresan Soe Hok-Gie adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan lapis norma dan pembacaan semiotik pada puisi Pesan, Tentang Kemerdekaan, dan puisi pada tanggal 29 Oktober 1968 yang belum sempat diberi judul karya Soe Hok-Gie.
2. Mendeskripsikan kritik sosial yang terkandung dalam ketiga puisi Soe Hok-Gie tersebut?
C. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan metode serupa pernah dilakukan oleh Agus Salim, Sarjana Universitas Jenderal Soedirman dalam skripsinya. Hanya saja objek spesifik kami yang berbeda. Peneliti terdahulu melakukan analisis terhadap puisi karya WS.Rendra dalam buku Kumpulan Sajak Potret Pembangunan. Dalam penelitiannya, ia mendeskripsikan kritik sosial, begitu pun dalam makalah ini mengangkat kritik sosial yang tergambar dalam masyarakat. Namun, objek penelitian yang diangkat dalam makalah ini adalah puisi karya Soe Hok-Gie.
Puisi-puisi yang dianalisis tidak diadobsi dari buku fiksi berupa kumpulan sajak. Namun, berasal dari buku biografi Soe Hok-Gie...Sekali Lagi, Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya yang memaparkan siapa sebenarnya Gie. Beberapa puisi mendiang Gie diikut sertakan di dalamnya. Dan Tiga dari sembilan puisi yang ada, menjadi pedoman lahirnya makalah ini.
2. Landasan Teori
Puisi adalah bagian dari genre sastra yang memiliki nilai absurd di dalamnya. Nilai inilah yang harus dikupas demi memahami arti dan tujuan. Bahasa yang merupakan medium puisi, tentu menjadikannya pengetahuan yang memiliki cara tersendiri di dalam pengungkapan aspirasi, pengalaman, atau ajaran bijaksana dalam kehidupan. Pradopo (2007:7) mendeskripsikan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam, diekspresikan, dan dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan.
Dalam memahami puisi perlu dilakukan langkah-langkah analisis agar dapat memberikan gambaran jelas pesan apa yang sebenarnya tersirat. Sebagaimana hakikat kelahiran puisi adalah dari pengalaman manusia atau individual dalam masyarakat. Oleh karena itu, analisis terhadap struktur norma-norma dan pembacaan semiotik sangatlah diperlukan. Langkah tersebut memberikan cara memahami makna di setiap larik, baris, hingga keseluruhan puisi. Dengan demikian, pengetahuan absurd di dalam karya sastra dapat diketahui dan dipahami. Bahkan dijadikan kitab moral demi bijaksana dalam menghadapi problematika kehidupan masyarakat.
Strata atau lapis norma ingrden menurut Rene dan Wellek dalam Pradopo (2007:14) terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya lapis suara atau bunyi, lapis arti, lapis ketiga, lapis keempat, dan lapis kelima.
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi yakni rangkaian bunyi puisi pada saat dibacakan, sehingga dapat terdengar bunyi yang bernada pendek, panjang, yang memiliki tujuan untuk memberikan arti. Kemudian timbul lapis kedua, yakni lapis arti berupa rangkaian, fonem, suku kata, kata, hingga kalimat dan bait yang membentuk keutuhan puisi. Kesemuanya itu sangat berperan dalam memberikan makna puisi. Lapis selanjutnya adalah lapis ketiga. Lapis ini adalah lapis yang mencoba mengungkapkan objek, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Lapis keempat dalam Pradopo (2007:19) memiliki pengertian bahwa lapis dunia yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit. Rangkaian kata-kata yang ada dalam puisi telah memberikan gambaran makna yang secara implisit telah dikemukakan, sehingga tidak perlu dinyatakan ulang atau dibahas secara terperinci. Lapis kelima adalah lapis yang memberikan kebebasan kepada pembaca untuk menangkap isi atau pesan yang dibawa pengarang dalam karya sastranya. Disinilah pembaca melakukan perenungan atau kontemplasi.
Dari bagian-bagian yang dikemukakan di atas, terlihat pertimbangan penting untuk melakukan langkah analisis strata norma. Sebagaimana Pradopo (2007;20) berpendapat bahwa analisis strata norma di maksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian akan diapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas.
Demi melanjutkan misi memahami makna dan pesan dalam karya sastra puisi, maka diperlukan langkah selanjutnya berupa pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik memiliki tujuan untuk menghubungkan kembali sajak atau puisi ke dalam masyarakat dan kebudayaannya. Menurut Riffaterre pembacaan semiotik terbagi menjadi dua bagian yakni:
a) Heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau semiotika tingkat pertama.
b) Hermeneutik adalah ekspresi sajak atau makna sajak.
Kembali ke dalam tujuan karya sastra sebagai media dalam membantu perenungan atas moral dan perilaku luhur masyarakat, maka media bahasa yang puitik ini perlulah dikaji nilai-nilai implisitnya. Plato (427-347SM) dalam Suroso,dkk (2009:11) mengungkapkan bahwa setiap karya sastra yang dipandang baik harus mengandung ketiga syarat nilai utama:
1. Memberikan ajaran moral yang lebih tinggi,
2. Memberikan kenikmatan, dan
3. Memberikan ketepatan dalam ujud pengungkapannya.
Ketiga nilai utama tersebut menjadikan sebuah karya sastra menjadi sempurna, indah menawan penuh pesona, dan berguna bagi masyarakat. Sejalan pula dengan semboyan satra dulce et utile: menghibur dengan bahasanya yang puitik, indah dan menarik serta berguna untuk memberikan manfaat bagi pembaca melalui ajaran atau pesan yang terkandung di dalamnya. Disamping itu, hal tersebut memberikan jalan lahirnya ilmu kritik terhadap karya sastra demi tersampaikannya makna dan pesan pengarang kepada pembaca atau masyarakat.
Kritik sastra dianggap sebagai jembatan pemahaman karya sastra di mata masyarakat. Kritik sastra merupakan salah satu jenis esai yang memberikan pertimbangan baik dan buruk sesuatu karya sastra. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusasteraan. Sehingga memberikan keterangan dan kebenaran analisis suatu karya sastra. Meskipun karya sastra pada hakikatnya tidak sepenuhnya harus diyakini kebenarannya, sebab kenyataan sosial dalam karya sastra telah mendapat ramuan imajinasi pengarang. Kendati demikian, Suroso,dkk (2009:103) menegaskan bahwa bagaimanapun peritiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dan dirinya sendiri. Hubungan hakiki itulah yang kemudian melahirkan berbagai masalah yang dihadapi manusia: maut, tragedi, cinta, loyalitas, harapan, makna, dan tujuan hidup, hal-hal yang transsendental kekuasaan, politik, dan ideologi.
Melalui perhatian atau pendekatan sosiologi sastra, ketimpangan sistem sosial dalam puisi Pesan, Tentang Kemerdekaan, dan puisi pada tanggal 29 Oktober karya Soe Hok-Gie yang belum sempat diberi judul merupakan salah contoh karya sastra yang lahir dari potret sosial masyarakat. Hal ini tidak terlepas dalam eksistensi pengarang sebagai mobilitas sosial. Masyarakat sebagai pedoman lahirnya suatu bentuk ekspresi untuk menuangkan segala permasalahannya ke dalam karya sastra. Tujuannya tentu saja mencoba mengungkapkan ide, pemikiran, ataupun solusi yang seharusnya dilakukan untuk merdeka dari segala kemerosotan hidup atau penindasan dan kesewenang-wenangan atas nama kebenaran dan keadilan. Ratna (2008:337) mengungkapkan bahwa kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia, menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2004:53) mendeskripsikan bahwa metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
II. PEMBAHASAN
A. LAPIS NORMA INGARDEN
A1. PUISI I
Pradopo (1987:14) menjelaskan bahwa karya sastra itu tak hanya merupakan suatu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Adapun pembagian lapis norma yang diterapkan dalam menganalisis puisi Pesan karya Soe Hok-Gie adalah sebagai berikut:
1. Lapis suara
Lapis suara atau bunyi di dalam sebuah sajak ialah semua bunyi yang ada dalam puisi. Membicarakan lapis bunyi atau suara berarti membicarakan keistimewaan atau kekhususan yang mendukung lahirnya efek puitis. Dalam lapis suara mengenal dua pembagian yakni asonansi dan aliterasi. Penerapan analisis tersebut dalam puisi Pesan adalah:
A. Asonansi merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal dalam puisi atau sajak, yaitu:
a) Asonansi vokal i pada bait ke-1, menimbulkan pengucapan yang indah dengan irama lemah dan pendek. Bunyi tersebut ditimbulkan dari adanya kesedihan dan kekecewaan yang tersirat di dalam puisi. Asonansi tersebut adalah:
Hari ini aku lihat kembali, Yang berbicara tentang kemerdekaan, Dan demokrasi, Dan bercita-cita, Menggulingkan tiran.
b) Asonansi vokal a pada bait ke-2 larik ke-2 dan 3, menimbulkan bunyi yang padu dan enak didengar, yaitu :
Aku mengenali mereka, Yang tanpa tentara
c) Asonansi vokal u pada bait ke-3, menimbulkan bunyi yang padu dan enak didengar. Bunyi tersebut ditimbulkan dari rasa keindahan dan kedamaian dengan irama yang lemah dan rendah, yaitu:
Ku berikan padamu cintaku, Dan maukah kau berjabat tangan , Selalu dalam hidup ini.
B. Aliterasi merupakan pengulangan konsonan dan kata-kata yang berurutan.
Aliterasi konsonan s dalam bait ke-1 larik ke-2, menimbulkan bunyi desis yang indah, yaitu :
Halus yang keras.
2. Lapis Arti
Lapis arti merupakan satuan arti terdiri atas fonem, satuan fonem, kata, suku kata, kalimat, bait, hingga membentuk keutuhan puisi.
Dalam bait pertama puisi Pesan memiliki arti: aku melihat peristiwa atau keadaan yang pernah terjadi sebelumnya. Aku melihat orang-orang baik (rakyat kecil) berbicara tentang makna kemerdekaan, menuntut makna demokrasi diterapkan dalam tatanan negara, serta bercita-cita ingin menggulingkan pemerintah. Dapat diartikan mereka sedang melakukan aksi demonstrasi. Mereka ingin pemerintahan bubar dan diganti dengan harapan nasib akan menjadi lebih baik.
Bait kedua: aku mengenali orang-orang yang turun ke jalan itu. Mereka hanyalah rakyat kecil yang berani menentang pemerintah. Padahal mereka tidak memiliki kekuatan dan dukungan aparat atau orang-orang penting. Mereka yang tidak memiliki uang banyak atau bukan juragan dan pejabat kaya ingin menghentikan korupsi yang merajalela. Padahal mereka tidak dapat membeli pengacara demi terkabulnya tuntutan atau mendukung aksi mereka.
Bait ketiga: orang-orang itu adalah kawan-kawanku. Aku ingin memberikan cinta kepadamu (orang yang sedang di luar barisan demonstrasi), atau aku ingin mengajak melakukan jalan damai kepada mereka dalam menyelesaikan persoalan. Atau melakukan tuntutan dengan musyawarah, tanpa kekerasan. Aku ingin masyarakat dan pemerintah hidup berdampingan karena jenuh dengan kehidupan yang terus menegangkan tanpa perdamaian. Si aku takut keadaan semakin kacau hingga terjadi pertumpahan darah. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi Pesan berikut ini:
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
3. Lapis Ketiga
Lapis ini merupakan lapis norma yang berupaya mengungkapkan objek, pelaku, latar, dan dunia pengarang yang tertulis dalam sajak atau puisi. Adapun objek-objek yang dikemukakan dalam puisi Pesan yaitu: tiran, tentara, uang, mereka, wajah, kawan-kawan, cintaku. Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: hari ini, hidup ini.
Dunia pengarang adalah cerita puisi yang mendeskripsikan peranan objek-objek, pelaku, dan latar tempat. Aku melihat peristiwa yang pernah terjadi. Ia melihat rakyat berdemonstrasi menuntut arti kemerdekaan, demokrasi, dan bercita-cita ingin menggulingkan pemerintah. Mereka berharap pemerintahan dibubarkan dan direnovasi. Rakyat kecil itu sangat berani padahal tidak memiliki kekuasaan dan dukungan aparat negara, tidak mempunyai uang untuk membayar pengacara. Namun, menentang korupsi dan kediktatoran. Si aku takut keadaan semakin kacau hingga terjadi pertumpahan darah. Maka ia menawarkan kepada mereka yang keluar dari barisan untuk berdamai, atau melakukan tuntutan dengan cara damai seperti musyawarah. Sehingga hidup antara rakyat dan pemerintah dapat saling berdampingan. Berikut penggalan puisi yang mendukung analisis strata norma lapis ketiga adalah:
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
4. Lapis Keempat
Lapis keempat merupakan lapis dunia yang tidak memerlukan pengungkapan makna karena semua telah terungkap secara implisit. Dipandang dari sudut pandang tertentu bait ke-1, dan 2 menyatakan keadaan yang sedang penuh ketegangan, panas atau penuh emosi. Hal ini terjadi karena penyimpangan kekuasaan pemerintah. Dapat dikatakan pula pada bait itu sedang terjadi aksi demonstrasi. Pada bait ke-3 si aku terlihat mengajak damai antara rakyat dan pemerintah dan para demonstran untuk menempuh jalan damai atau musyawarah. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
5. Lapis Kelima
Lapis norma terakhir ini merupakan lapis analisis sajak dengan memberikan kebebasan kepada pembaca untuk berkontemplasi atau merenungi puisi. Dalam sajak ini penerapan analisis lapis kelima berupa seruan atau ajakan untuk saling hidup damai dan berdampingan antara rakyat dan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
A2. PUISI II
1. Lapis Suara
Lapis suara adalah keistimewaan atau kekhususan satuan suara yang mendukung lahirnya efek puitis. Lapis suara dalam puisi Tentang Kemerdekaan adalah:
A. Asonansi yang merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal dalam puisi atau sajak, yaitu:
a) Asonansi vokal a dalam bait ke-3, menimbulkan irama bunyi yang keras. Bunyi irama tersebut ditimbulkan karena adanya rasa yang menggebu atau penuh semangat yang tersirat di dalamnya. Asonansi tersebut adalah:
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan, Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas.
B. Penerapan analisis terhadap aliterasi yang merupakan pengulangan konsonan dan kata-kata yang berurutan dalam puisi, yaitu:
a) Aliterasi konsonan r dalam bait ke-2, menimbulkan bunyi yang padu dan enak didengar, yaitu:
Arus sejarah yang besar, alat dari derap kemajuan, dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra, seperti juga perjalanan di sisi penjara.
b) Aliterasi konsonan m dalam bait ke-3, menimbulkan bunyi yang indah dengan kepaduannya. Bunyi irama yang keras dan ada beberapa diantaranya menimbulkan irama yang panjang. Bunyi aliterasi tersebut ditimbulkan dari rasa menggebu-gebu dan semngat, yaitu:
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas
2. Lapis Arti
Lapis arti merupakan satuan arti terdiri atas fonem, satuan fonem, kata, suku kata, kalimat, bait, hingga membentuk keutuhan puisi. Lapis arti dalam bait pertama puisi Tentang Kemerdekaan adalah kita semua (seluruh anak bangsa) sebenarnya tengah berjalan dalam perjalanan sejarah. Aku adalah generasi penerus (muda) sedangkan generasi tua adalah para pahlawan atau orang-orang yang lahir dimasa sebelum si aku dilahirkan. Mereka atau generasi tua itu telah lebih dahulu berjuang hidup. Generasi selanjutnya yaitu generasi setelah aku akan hidup di kemudian hari. Tetapi semua generasi yang turun-temurun sebenarnya memiliki tugas menjaga bangsa dan negara. Dan dalam menjaganya generasi muda yang seusia dengan aku serta generasi selanjutnya, setelah angkatan si aku, harus memiliki keberanian untuk berjuang membela keutuhan dan keadilan di tanah air, seperti yang telah dilakukan oleh para golongan tua atau para pahlawan sebelumnya.
Dalam bait kedua: kita semua atau seluruh anak bangsa baik tua dan muda serta generasi selanjutnya setelah aku merupakan alat atau bagian penting dalam perjalanan sejarah (kehidupan). Kita semua adalah penentu sejarah kemerdekaan bangsa dan negara dalam segala aspek. Kemerdekaan sesungguhnya hak setiap individu atau warga negara dalam hidupnya. Kemerdekaan seperti bayangan (teman dekat) yang tidak dapat dipisahkan dari tubuh manusia. Dan dalam menentukan sejarah diperlukan perjuangan untuk bebas dari segala kesulitan, penindasan, kolonialisme, serta kediktatoran (kekuasaan pemimpin yang sewenang-wenang).
Dalam bait ketiga: kemerdekaan atau kebebasan bukanlah tuntutan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan (iseng) dan bosan terhadap pemerintahan atau keadaan yang ada. Kemerdekaan atau kebebasan adalah sebuah perjuangan untuk berani mengatakan ketidaksetujuan terhadap kediktatoran (kesewenang-wenangan) dan segala penindasan. Hakikat manusia dalam suatu bangsa adalah merdeka. Bahkan di setiap derap langkah, desas nafas kehidupan, dan dalam raung atau beraspirasi (menyuarakan pemikiran dan pendapat) adalah merdeka. Hingga manusia mati pun tidak dapat dilepaskan dari hakikat merdeka atau bebas. Atau dapat diartikan ketika manusia atau individu memilih diam atau tidak melakukan apa pun, tetap saja tindakan diam itu merupakan pilihan yang merdeka, tidak dapat diganggu gugat atau dipaksakan kehendak. Maka, melakukan penindasan atau pemaksaan kehendak berarti memenjarakan atau membatasi dan menghalangi kemerdekaan atau kebebasan manusia dalam hidupnya. Pendapat tersebut dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita adalah manusia merdeka
3. Lapis Ketiga
Lapis arti dalam puisi Tentang Kemerdekaan menimbulkan terciptanya lapis yang ketiga, yaitu berupa objek-objek yang dikemukakan: orang, kau, baris, benih-benih, kemerdekaan, penjara, orang-orang yang iseng, manusia, matinya. Pelaku atau tokoh yang dikemukakan adalah si aku sebagai pelaku atau tokoh utama. Latar tempat: di muka, di belakang, arus sejarah, sisi penjara. Dunia pengarang yang diciptakan oleh si pengarang, yang merupakan keterkaitan antara objek, pelaku, dan latar tampat, sehingga menjadi alur cerita dalam puisi tersebut adalah: kita semua (anak-anak bangsa) adalah penentu jalannya sejarah bangsa dan negara. Oleh karena itu, kita yang memiliki hakikat kemerdekaan sejak lahir hingga mati haruslah berani berjuang. Yakni memperjuangkan hak-hak untuk merdeka atau bebas dari segala bentuk kediktatoran atau kekuasaan yang sewenang-wenang, kolonialisme atau penjajahan, serta segala bentuk penindasan lainnya yang dilakukan pemimpin atau pemerintah. Penindasan tersebut dapat menyengsarakan rakyat. Maka, rakyat diharapkan tidak takut untuk memperjuangkan aspirasi dan hak-haknya seperti teladan para pahlawan atau generasi tua (generasi yang telah hidup sebelum zamannya si aku dan penerus selanjutnya), karena hal ini juga akan berpengaruh besar terhadap keutuhan dan perjalanan hidup bangsa dan negara. Kemerdekaan itu sendiri hak hakiki manusia hingga mati yang ada dalam diri mnusia seperti bayangan (teman sejati) yang tidak dapat dipisahkan. Berikut penggalan puisi yang mendukung analisis strata norma lapis ketiga:
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
4. Lapis Keempat
Lapis keempat merupakan lapis dunia yang tidak memerlukan pengungkapan makna karena semua telah terungkap secara implisit atau tersembunyi dalam baris-baris puisi. Dilihat dari sudut pandang tertentu bait ke-1 dan 2 menyatakan bahwa generasi muda sebagai penerus generasi tua atau orang-orang (pahlawan) yang hidup sebelumnya. Dalam kehidupan haruslah siap untuk berjuang menghadapi segala permasalahan. Segala keputusan yang terjadi akan menjadi cerita sejarah bagi bangsa dan negara. Bait ke-3 menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hakikat manusia sejak lahir hingga mati yang harus diperjuangkan. Penggalan puisi yang dianalisis dengan lapis norma keempat ini adalah sebagai berikut:
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita adalah manusia merdeka
5. Lapis Kelima
Lapis norma terakhir ini merupakan lapis analisis sajak dengan memberikan kebebasan kepada pembaca untuk berkontemplasi atau merenung. Dalam sajak ini, penerapan akan analisis lapis tersebut berupa kemerdekaan merupakan hak setiap manusia atau warga negara. Ketika kemerdekan itu ditindas dan diperlakukan tidak baik oleh siapapun, khususnya pemerintah. Maka setiap warga negara harus berani menentang dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Perilaku yang dapat mengubah keadaan ini juga akan menjadi teladan generasi selanjutnya (adik-adikku), seperti yang telah diajarkan generasi tua (pahlawan) di zaman kolonial. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
kita semua adalah orang-orang yang berjalan dalam barisan
yang tak pernah berakhir,
kebetulan kau baris di muka dan aku ditengah
dan adik-adikku di belakang,
tapi satu tugas kita semua,
menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
A3. PUISI III
1. Lapis Suara
Lapis suara adalah keistimewaan atau kekhususan satuan suara yang mendukung lahirnya efek puitis. Lapis suara dalam puisi yang ditulis pada tanggal 29 Oktober 1968 oleh Soe Hok-Gie adalah:
A. Asonansi yang merupakan kombinasi bunyi-bunyi vokal dalam puisi atau sajak diatas adalah:
a) Asonansi vokal a dan u pada bait ke-1, menimbulkan keindahan, yaitu dengan bentuk pengucapan yang indah dengan irama lemah dan pendek. Bunyi tersebut ditimbulkan karena adanya kemesraan atau perdamaian yang tersirat di dalamnya. Asonansi tersebut adalah:
Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Dimana ulama-buruh dan pemuda,
b) Asonansi vokal a dan o pada bait ke-1, menimbulkan keindahan, yaitu dengan bentuk pengucapan yang indah dengan irama keras dan panjang. Bunyi tersebut ditimbulkan karena adanya rasa yang menggebu-gebu dan marah terhadap keadaan yang ada, yang tersirat di dalam puisi tersebut. Asonansi tersebut adalah:
Bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.
B. Penerapan analisis terhadap aliterasi yang merupakan pengulangan konsonan dan kata-kata yang berurutan dalam puisi, yaitu:
a) Aliterasi konsonan p dan n terletak pada bait ke-3, menimbulkan keindahan, yaitu dengan bentuk pengucapan yang indah dengan irama keras dan pendek. Bunyi tersebut ditimbulkan karena adanya rasa yang menggebu-gebu dan menekan untuk menolak segala yang dapat menimbulkan keburukan, serta terdapat pula rasa keindahan atas kedamaian yang tersirat di dalam maknanya. Aliterasi tersebut adalah:
Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun.
b) Aliterasi konsonan n dalam bait ke-4, menimbulkan keindahan, yaitu dengan bentuk pengucapan yang indah dengan irama lemah dan pendek. Bunyi tersebut ditimbulkan karena adanya rasa penuh kemesraan dan perdamaian, karena kesejahteraan yang bermakna dalam puisi tersebut. Aliterasi tersebut adalah:
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
2. Lapis Arti
Dalam bait pertama memiliki arti: saya bermimpi tentang sebuah dunia dan tinggal di dalamnya. Dunia itu memiliki rakyat seperti ulama, buruh, dan pemuda yang sadar terhadap kebenaran dan keadilan (bangkit) demi keutuhan negaranya. Mereka atau rakyat di dunia itu berani menegakkan aspirasinya. Mereka bergerak menindak atau menghukum para kaum munafik demi membebaskan bangsanya dari segala kemunafikan, ketidakjujuran. Dan bergerak untuk menghentikan semua penindasan atau kesewenang-wenangan (pembunuhan) yang dilakukan oleh suatu golongan tertentu atas nama golongan yang dianutnya. Mereka para golongan (satu ras, suku, agama, bangsa tertentu) menjadi pemimpin atas golongannya dan hanya mementingkan golongannya, tidak peduli bahkan menindas selain golongannya.
Bait kedua memiliki arti: para ahli atau pengamat politik (politisi) dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sibuk melakukan tindakan kemanusiaan. Mereka sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras, untuk anak-anak yang kelaparan di benua-benua yang belum merdeka dari kemiskinan pangan (tiga benua). Mereka sangat sibuk dengan melakukan pertolongan sesuai nurani mereka terhadap orang-orang yang hidup dalam kemiskinan dan kesulitan hingga lupa akan diplomasi, atau mengesampingkan urusan politik atau negara beserta kedudukan atau jabatan. Semua dilakukan demi kepentingan rakyat diseluruh dunia tanpa memandang asal kelahiran, suku, ras, dan agama. Mereka lupa akan tugas mereka sebagai seorang yang gila kekuasaan, citra, harta, dan tahta.
Bait ketiga memiliki arti: dalam dunia itu tidak ada lagi rasa tidak saling mengasihi (benci) kepada siapa pun, agama apa pun yang mungkin dianut oleh setiap manusia di dalam negara tertentu. Yang berbeda-beda, baik ras apa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun.
Bait keempat memiliki arti: seluruh bangsa di dunia itu melupakan perang dan kebencian. Melupakan segala perbedaan pendapat yang dapat membawa konflik di dalam masyarakat dan dapat menumbuhkan segala kebencian, demi kepentingan golongan yang satu pemikiran dan tujuan. Seluruh bangsa di dunia tersebut hanyalah sibuk dengan pembangunan untuk kesejahteraan umat manusia secara merata, atau pembangunan dunia yang lebih baik.
Bait kelima memiliki arti: ternyata saya (si pelaku) hanya sedang bermimpi tentang dunia atau negara yang saling membantu, baik di dalam negara maupun antar negara, atau antar rakyat. Kesejahteraan di dalam dunia tersebut belum bahkan tidak pernah datang ke dalam dunia nyata (Indonesia). Hal diatas dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan- saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
3. Lapis Ketiga
Lapis ketiga adalah analisis terhadap objek-objek yang dikemukakan, pelaku, latar, dan dunia pengarang. Objek-objek yang dikemukakan adalah mimpi, dunia, ulama, buruh, pemuda, para politisi, PBB, gandum, susu, beras, anak-anak, benua, diplomasi, agama, ras, bangsa, perang, Tuhan. Pelaku atau tokoh: saya sebagai pelaku (si aku). Latar waktu: ketika si saya sedang bermimpi (mimpi), latar tempat: sebuah dunia, di PBB, di tiga benua. Dunia pengarang dalam puisi tersebut adalah saya (si aku) bermimpi tentang sebuah dunia. Para ulama, buruh, dan pemudanya sadar dan bergerak menindak semua kemunafikan rakyatnya lebih khusus pemimpinnya, atau para golongan yang hanya peduli pada golongannya saja dan menindas di luar golongannya. Para pejabat atau orang yang bergelut dalam bidang politik (politisi) di PBB melupakan kepentingan diplomasinya atau kedudukan (jabatannya) demi memperhatikan dan menolong pemberian gandum, susu, dan beras untuk anak-anak yang kelaparan di tiga benua. Tiada kebencian dalam diri mereka pada siapa pun, ras, agama, dan bangsa apa pun.yang ada dalam pemikiran rakyat di dunia tersebut hanyalah membangun dunia atau negara yang sejahtera dan lebih baik. Namun, ternyata saya kecewa dan hanya dapat mengadu kepada Tuhan bahwa dunia tersebut hanyalah mimpi yang tak pernah akan datang ke dunia nyata (tanah air Indonesia). Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan- saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
4. Lapis Keempat
Lapis keempat disebut dengan lapis dunia. Lapis norma yang tidak perlu menyatakan makna karena sudah tampak secara implisit. Bait ke-1 menyatakan bergerak menuntut atau menghentikan segala kemunafikan dan penindasan atas golongan apa pun. Bait ke-2: para pengamat politik atau pemimpin lebih mementingkan kepentingan umum berupa kemanusiaan dengan menolong pengiriman makanan kepada bangsa lain yang sedang kelaparan. Bait ke-3 berarti: tidak ada rasa benci dan membeda-bedakan agama, ras, suku serta bangsa. Bait ke-4: rakyat dan pemimpinnya sibuk dengan membenahi negara menjadi lebih baik dan sejahtera. Bait ke-5: negeri itu hanya impian. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Tuhan- saya mimpi tentang sebuah dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
5. Lapis kelima
Lapis kelima merupakan lapis yang mengajak pembaca atau masyarakat untuk berkontemplasi. Dalam puisi ini lapis kelima berupa kesedihan si aku (saya) karena Negara atau dunia yang sejahtera dengan bangsa yang menjunjung kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi (menjunjung kemanusiaan) tanpa membeda-bedakan ras, agama, dan bangsa apa pun, hanyalah impian. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi berikut ini:
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan- saya mimpi tentang sebuah dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
B. PEMBACAAN SEMIOTIK
Puisi merupakan kesatuan yang utuh, sehingga dalam melakukan analisis demi mendapatkan makna yang sempurna dan utuh, tidak dapat berhenti pada langkah strata norma ingarden saja. Tetapi dilanjutkan ke tahap analisis berikutnya, yaitu pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik terdiri dari dua bagian, yakni pembacaan heuristik dan hermeneutik.
1. Puisi I
a) Pembacaan Heuristik
//Hari ini/ aku (me-) lihat kembali/
Wajah-wajah halus yang keras/
Yang (sedang) berbicara tentang kemerdekaan/
Dan demokrasi/
Dan bercita-cita/
Menggulingkan tiran (-i)//
//Aku mengenali mereka/
(mereka) Yang tanpa tentara/
Mau (ingin) berperang melawan diktator (kesewenang-wenangan)/
Dan (mereka) yang (juga) tanpa (tidak ) (memiliki) uang/
Mau (ingin) memberantas korupsi//
//Kawan-kawan/
(a-) Ku (mem-) berikan (ke-) padamu cintaku/
Dan maukah (eng-) kau (saling) berjabat (-an) tangan/
Selalu (di-) dalam (ke-) hidup (-an) ini ?//
b) Pembacaan Hermeneutik
Aku melihat peristiwa demonstrasi yang pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang baik yang aku kenal. Merekalah rakyat kecil yang selama ini tidak pernah menentang dan diam. Namun, di hari ini aku melihat mereka berbicara (menuntut) kemerdekaan, yang selama ini tidak didapatkan rakyat seutuhnya. Mereka juga mennginginkan demokrasi diterapkan dalam tatanan negara. menggulingkan pemerintah adalah tujuan atau cita-cita agar pemerintahan segera diganti.
Aku mengenali orang-orang yang turun ke jalan itu. mereka hanyalah rakyat kecil yang kini berani menentang pemerintah. Mungkin karena mereka telah terlalu sabar dan lelah diam. Padahal mereka tidak memiliki kekuatan dan dukungan aparat atau orang-orang penting, yang mungkin saja dapat membantu mewujudkan aspirasi mereka. Mereka juga tidak memiliki uang untuk membayar pengacara untuk membela. Tetapi tetap ingin menghentikan korupsi di badan pemerintah yang merajalela.
Mereka (rakyat kecil) itu adalah kawan-kawanku. Aku bertanya dan ingin memberikan cinta kepadamu (orang yang sedang di luar barisan demonstrasi atau orang yang mau berhenti sejenak untuk mendengar pendapatku). Aku ingin mengajak kawan-kawanku itu menempuh jalan damai dalam menyelesaikan persoalan. Misalnya saja menggunakan cara musyawarah karena aku lelah dengan keadaan yang seperti ini.
2. Puisi II
a) Pembacaan Heuristik
//Kita semua adalah orang yang berjalan
dalam barisan (perjalanan sejarah)/
yang tak (tidak) (akan) pernah berakhir,/
(secara) Kebetulan (eng-) kau (ber-) baris di muka (di depan)
dan aku ditengah/
Dan adik-adikku (generasi muda atau penerus) di belakang,/
(te-) Tapi satu tugas (kewajiban) kita semua,/
Menanamkan benih-benih kejantanan (keberanian)
yang telah (eng-) kau (generasi tua atau pahlawan) rintis (sebelumnya)//
//Kita semua adalah alat dari (perjalanan) arus sejarah yang besar (panjang)/
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;/
Dan dalam berjuang/ kemerdekaan begitu (terasa) mesra berdegup/
seperti juga perjalanan di sisi penjara (penindasan atau kesulitan)//
//Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng (tidak memiliki pekerjaan
atau hanya bermain-main) dan pembosan/
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang/
Dalam derapnya,/ dalam desasnya,/ dalam raungnya/
kita adalah manusia (yang) merdeka//
Dalam matinya/ kita semua adalah manusia terbebas (paling bebas)//
b) Pembacaan Hermeneutik
Kita semua (seluruh anak bangsa) sebenarnya sedang berjalan dalam perjalanan sejarah dari awal hingga akhir nanti, entah kapan. Aku juga generasi penerus (muda) sedangkan engkau adalah generasi tua yang lahir lebih dahulu. Engkau juga telah lebih dahulu berjuang untuk hidup. Dan untuk kemerdekaan bangsa seutuhnya bahkan di zaman kolonial oleh bangsa lain. Generasi selanjutnya juga akan hidup dan berjuang dikemudian hari. Setelah zaman perjuangan atas kemerdekaan angkatan aku. Tetapi semua generasi sebenarnya memiliki tugas yang sama, yaitu menjaga bangsa dan negara untuk merdeka. Dan dalam menjaganya harus memiliki keberanian untuk berjuang membela keutuhan dan keadilan di tanah air, seperti yang telah dilakukan oleh golongan tua atau pahlawan sebelumnya.
Kita semua (anak bangsa) baik tua dan muda serta generasi selanjutnya merupakan alat atau penentu nasib bangsa dalam perjalanan sejarah atau kehidupan tanah air yang sejahtera. Kita semua adalah penentu sejarah kemerdekaan Indonesia dalam segala kemerdekaan. Dan kemerdekaan sesungguhnya hak setiap individu atau warga negara dalam kehidupannya. Kemerdekaan seperti teman dekat yang tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia. Dan dalam menentukan sejarah diperlukan perjuangan untuk bebas dari sisi penjara atau segara kesulitan, penindasan, kolonialisme, serta kediktatoran (kekuasaan sewenang-wenang ) yang bagai penjara.
Berbicara tentang kemerdekaan atau kebebasan bukanlah tuntutan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan (iseng) dan bosan terhadap pemerintahan (hanya bermain-main). Kemerdekaan atau kebebasan adalah hakikat manusia dalam suatu bangsa. Bahkan di setiap derap langkah, desas nafas kehidupan, dan dalam raung atau beraspirasi (menyuarakan pemikiran dan pendapat) hingga manusia mati pun tidak dapat dilepaskan dari hakikat itu.
3. Puisi III
a) Pembacaan Heuristik
//Saya (ber-) mimpi tentang sebuah dunia,/
Dimana ulama-buruh dan pemuda,/
Bangkit (sadar) dan berkata-stop semua kemunafikan,/
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.//
Dan para politisi (pengamat atau ahli politik) di PBB (keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa)//
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras,/
(untuk) Buat anak-anak yang (ke-) lapar (-an) di tiga benua,/
Dan lupa akan diplomasi.//
(tidak) Tak ada lagi (pe-) rasa (-an) benci (ke-) pada siapa pun,/
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun/
Dan melupakan (pe-) perang (-an) dan kebencian,/
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.//
Tuhan- saya (ber- ) mimpi tentang (sebuiah) dunia tadi,/
(dunia) Yang (tidak) tak pernah akan datang (ke dunia atau negara nyata).//
b) Pembacaan Hermeneutik
Saya bermimpi tentang sebuah dunia dan melihat kegiatan di dalamnya. Dunia itu memiliki rakyat seperti ulama, buruh, dan pemuda yang sadar terhadap kebenaran dan keadilan (bangkit) demi keutuhan negaranya. Mereka atau rakyat itu berani menegakkan aspirasinya. Mereka bergerak menindak atau menghentikan segala bentuk kemunafikan atau ketidakjujuran, ketidaktulusan atas kepentingan pribadi. Dan bergerak untuk menghentikan semua penindasan atau kesewenang-wenangan (pembunuhan) yang dilakukan oleh suatu golongan tertentu atas nama ras, suku, agama, bangsa tertentu terhadap golongan lainnya.
Para pengamat dan ahli politik (politisi) dalam keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sibuk melakukan tindakan kemanusiaan. Mereka sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras, untuk anak-anak yang kelaparan di benua-benua yang belum merdeka dari kemiskinan pangan (tiga benua). Mereka sangat sibuk dengan melakukan pertolongan sesuai nurani mereka terhadap orang-orang yang hidup dalam kemiskinan pangan dan kesulitan. sehingga lupa akan diplomasi. Lupa akan tugas mereka sebagain seorang gila kekuasaan atau jabatan, harta, dan citra. Mereka mengesampingkan urusan politik demi kepentingan rakyat di seluruh dunia tanpa memandang asal kelahiran, suku, ras, dan agama.
Di dalam dunia itu semua saling mengasihi, tidak ada rasa benci kepada siapa pun, agama apa pun, ras apa pun yang mungkin dianut oleh setiap manusia di dalam suatu negara.
Seluruh bangsa di dunia itu melupakan perang dan kebencian. Melupakan segala perbedaan yang dapat membawa konflik antar masyarakat, yang dapat menumbuhkan segala kebencian demi kepentingan golongan yang satu pemikiran dan tujuan. Seluruh bangsa di dunia tersebut hanyalah sibuk dengan pembangunan untuk kesejahteraan umat manusia secara merata, atau pembangunan dunia yang lebih baik.
Ternyata saya hanya sedang bermimpi tentang sebuah dunia atau negara yang saling menolong dan mengasihi serta melupakan kekuasaan dan jabatan priibadi. Kesejahteraan di dalam dunia itu tidak pernah datang ke dalam dunia nyata saya.
C. KRITIK SOSIAL
Kritk sastra sebagai jembatan dalam memerangi segala kegelapan makna yang terkandung di dalam suatu karya sastra. Artinya bahwa kritik terhadap karya sastra, merupakan cara yang tepat dalam memerangi kesulitan dalam mengetahui dan memahami makna puisi yang utuh. Kritik sastra dapat diterapkan ke dalam berbagai pendekatan penelitian psikologi, sosiologi, metodologi, antropologi, dan lain sebagaimya. Kritik sosiologi merupakan induk lahirnya kritik sosial. Bahwasanya kritik sosial merupakan pandangan kritis terhadap gambaran masyarakat dalam karya sastra, dan lebih menekankan pada problematika kehidupan.
Lahirnya kritik terhadap sosial disebabkan adanya penyimpangan atau tidak berjalannya suatu sistem dalam masyarakat dengan baik. Keadaan demikian akan membawa kehidupan yang jauh dari kesejahteraan karena nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang tumbuh dengan minim. Salah satu alasan adanya keterkaitan antara sastra dengan masyarakat, menurut Ratna (2004:332) adalah bahwa karya sastra hidup dalam masyarakat menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
Kritik sosial dalam puisi Pesan, Tentang Kemerdekaan, dan satu karya Soe Hok-Gie yang belum sempat diberi judul, yang telah dianalisis sebelumnya dengan analisis lapis norma dan pembacaan semiotik adalah sebagai berikut:
1. Kritik terhadap hubungan antara rakyat dan pemerintah yang tidak sejalan dan penuh ketegangan. Rakyat melakukan aksi demonstrasi atau tuntutan-tuntutan dalam kritik dan segala protes terhadap pemerintah. Pemerintah pun tidak memberikan solusi yang tepat dalam ketegangan tersebut. Ketegangan sebagai bukti tidak harmonisnya antara rakyat dan pemerintah. Pemerintah adalah penopang segala aspirasi rakyat dan bekerja demi kesejahteraan rakyat. Namun dini ini, pemerintah bekerja dengan sewenang-wenang. Mereka memanfaatkan kekuasaan atau kedudukan sebagai sarana untuk kepentingan pribadi. Meskipun awalnya para masyarakat tidak mengetahui dan memahami, tetapi ketika kebenaran tersebut terungkap, tentu saja seluruh masyarakat akan menuntut keadilan dan kebenaran yang diselewengkan para pejabat negara. Alhasil, konflik panjang terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi I bait ke-I, yaitu:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
2. Kritik terhadap penyelewengan jabatan pemerintah demi kepentingan pribadi. Para pejabat negara lupa akan tugas mereka menjadikan seluruh bangsa dan negara sejahtera. Lupa akan aspirasi masyarakat yang harus diperjuangkan. Lupa akan pembangunan negara demi kesejahteraan seluruh bangsa. Uang rakyat dikorupsi, rakyat-rakyat miskin dan lemah ditindas dengan kediktatorannya. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi I bait ke-2 sebagai berikut ini:
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
3. Kritik terhadap keadaan atau kehidupan bangsa yang kacau dan menjenuhkan. Korupsi, kediktatoran, dan kejahatan para pejabat pemerintahan lainnya membuat hidup kenegaraan menjadi tidak berjalan secara semestinya. Selalu terjadi demonstrasi sebagai protes rakyat diseluruh penghujung negeri. Semua oknum pemerintah bahkan rakyat yang terjerumus suap misalnya saling salah menyalahi (tuding). Hal demikian tentu saja mampu membawa bangsa dan negara makin melarat. Kehidupan menjadi sangat buruk dan penuh ketegangan konflik antara rakyat dan pemerintah yang diktator. Keadaan seperti ini membuat sebagian masyarakat lelah dan mendambakan perdamaian. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi I bait ke-3 berikut ini:
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini ?
4. Kritik terhadap perubahan pola pikir masyarakat terhadap tindakan pemerintah. Masyarakat awalnya diam dan tidak terlalu mempersoalkan, tetapi dengan adanya kesewenang-wenangan pemerintah yang sangat merugikan, rakyat pun menjadi sangat peduli. Bahkan turun langsung atau berdemonstrasi demi hak mereka yang ditindas. Terdapat pula perubahan pola pikir salah seorang masyarakat yang enggan melakukan protes dengan jalan keras. Namun, melakukan tuntutan dan protes dengan jalan lebih damai seperti musyawarah. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi I bait ke-1 dan 3 berikut ini:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini ?
5. Kritik terhadap monopoli kekuasaan tentara terhadap rakyat. Rakyat berani menentang padahal mereka bukan Tentara. Di rezim orde baru, tentara layaknya jabatan hebat kedua setelah kursi kabinet dan legislatif. Dikatakan demikian karena tentara yang patuh memiliki hak spesial, yakni dwifungsi ABRI. Tentara dapat berkedudukan sebagai tentara dan dapat pula duduk di kursi kabinet maupun legislatif. Rakyat pun sebelumnya mempresidenkan tentara sebab takut diadukan sebagai pemberontak kepada pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam puisi I bait ke-2 berikut ini:
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
6. Kritik terhadap pentingnya perjuangan dan menjaga keutuhan negara dengan persatuan dan kesatuan. Menjaga keutuhan bangsa dan negara sudah seharusnya tidak memandang generasi apa pun. Kita semua (seluruh anak bangsa) baik tua dan muda serta generasi selanjutnya, generasi setelah kita merupakan kesatuan alat atau bagian penting dalam perjalanan sejarah (kehidupan). Dikatakan demikian karena kita semua adalah penentu sejarah kemerdekaan bangsa dan negara dalam segala aspek. Tentu demi peradaban tanah air yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi II bait ke-1 sebagai berikut:
Kita semua adalah orang-orang yang berjalan dalam barisan
yang tak pernah berakhir,
kebetulan kau baris di muka dan aku ditengah
dan adik-adikku di belakang,
tapi satu tugas kita semua,
menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
7. Kritik terhadap hakikat manusia yang merdeka. Kita semua (anak-anak bangsa) adalah penentu jalannya sejarah bangsa dan negara. Oleh karena itu, kita yang memiliki hakikat kemerdekaan sejak lahir hingga mati haruslah berani berjuang. Yakni memperjuangkan hak-hak untuk merdeka atau bebas dari segala bentuk kediktatoran atau kekuasaan sewenang-wenangan, kolonialisme, serta segala bentuk penindasan lainnya yang dilakukan pemimpin atau pemerintah, yang dapat menyengsarakan rakyat. Maka, rakyat diharapkan tidak takut untuk memperjuangkan aspirasi dan hak-haknya seperti teladan para pahlawan atau generasi tua. Hal ini juga akan berpengaruh besar terhadap keutuhan dan perjalanan hidup bangsa dan negara. Kemerdekaan itu sendiri adalah hak hakiki manusia hingga mati yang ada dalam diri manusia seperti bayangan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat dalam puisi II bait ke-3 sebagai berikut:
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas
8. Kritik terhadap minimnya solidaritas dan kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Indahnya ketika setiap manusia menjunjung tinggi solidaritas dan kemanusiaan. Hal ini dapat dilakukan dengan saling tolong-menolong terhadap manusia lain yang sedang membutuhkan bantuan atau dalam kesulitan, seperti kemiskinan pangan. Menjadi bermanfaat untuk orang lain seharusnya tertanam dalam setiap bangsa. Sehingga mampu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa dan negara tanpa memandang perbedaan apa pun. Hal ini dapat dilihat dalam puisi III bait ke-2 sebagai berikut:
Dan para politisi di PBB
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.
9. Kritik terhadap manusia untuk tidak mementingkan golongan. Mereka, para golongan (satu ras, suku, agama, bangsa tertentu) cenderung menjadi pemimpin atas golongannya dan hanya mementingkan golongannya, tidak peduli bahkan menindas selain golongannya. Padahal yang seharusnya mementingkan kepentingan umum atau bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan adalah jalan menuju kesejahteraan negara atau dunia. Namun kenyataannya, hal demikian masih sekedar impian belaka. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi III bait ke-3, yaitu:
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan- saya mimpi tentang sebuah dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
10. Kritik terhadap keegoisan atau keindividuan manusia yang tinggi membuat manusia lainnya terlupakan. Ketika orang-orang yang bernasib baik sibuk menjalankan kejidupannya yang terus menuntut kekuasaan dan kekayaan pribadi, menjadi kemungkinan besar rakyat miskin atau marjinal menjadi terlupakan. Keadaan ini membuat manusia lain yang tidak bernasib baik atau rakyat miskin menjadi semakin tertinggal. Alangkah mirisnya ketika masih terdapat masyarakat yang kelaparan di zaman ini. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi III bait ke-2, sebagai berikut ini:
Dan para politisi di PBB
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.
11. Kritik terhadap kesadaran akan keadilan dan bertindak memerangi segala permasalahan sosial. Permasalahan tersebut berupa kemunafikan, ketidakbenaran atau penyimpangan sosial, dan segala bentuk pembunuhan. Pembunuhan yang di maksud adalah pembunuhan atas kemerdekaan sebagai hak asasi manusia untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Keadaan demikian haruslah ditanamkan dalam diri setiap anak bangsa agar kehidupan yang permasalahan menyimpang dapat dihentikan. Hal ini dapat dilihat dalam penggalan puisi III bait ke-1 berikut ini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Dimana ulama-buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebuah karya sastra tidaklah dapat dipandang hanya sekedar bahan bacaan. Karya sastra merupakan refleksi dari berbagai macam pengalaman jiwa pengarang, berbagai pokok pikiran yang akan disampaikan kepada pembaca, dan dapat memberikan sesuatu kepada pembaca yang kritis. Sesuatu tersebut tidak lain adalah pengetahuan, ajaran, ataupun pesan yang dapat turut serta dalam pembangunan moral manusia dalam masyarakat yang lebih baik. Hal demikian dapat terwujud tentu saja dengan melakukan analisis sebagai pemahaman yang sempurna terhadap suatu karya sastra, khsusunya puisi atau sajak yang membutuhkan cara pandang tersendiri terhadap makna keindahan dan kegunaan dengan mengupas nilai dari makna absurdnnya.
Membaca, menyimak, menganalisis, dan berkontemplasi terhadap puisi Pesan, Tentang Kemerdekaan, dan satu puisi karya Soe Hok-Gie yang belum sempat diberi judul adalah membaca kehidupan sosial masyarakat. Yakni munculnya sebelas kritik terhadap kehidupan sosial masyarakat, diantaranya adalah:
1. Kritik terhadap hubungan antara rakyat dan pemerintah yang tidak sejalan dan penuh ketegangan.
2. Kritik terhadap penyelewengan jabatan pemerintah demi kepentingan pribadi.
3. Kritik terhadap keadaan atau kehidupan bangsa yang kacau dan menjenuhkan.
4. Kritik terhadap perubahan pola pikir masyarakat terhadap tindakan pemerintah.
5. Kritik terhadap monopoli kekuasaan tentara terhadap rakyat.
6. Kritik terhadap pentingnya perjuangan dan menjaga keutuhan negara dengan kesatuan dan persatuan.
7. Kritik terhadap hakikat manusia yang merdeka.
8. Kritik terhadap minimnya solidaritas kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat.
9. Kritik terhadap manusia untuk tidak mementingkan golongan.
10. Kritik terhadap keegoisan atau keindividuan manusia yang tinggi membuat manusia lainnya terlupakan.
11. Kritik terhadap kesadaran akan keadilan dan bertindak memerangi segala permasalahan sosial. Dengan demikian, gambaran kehidupan masyarakat yang ada membuat kehidupan bangsa dan negara tidak harmonis dan sejahtera. Kehidupan bangsa penuh dengan kekacauan dan konflik berkepanjangan.
Melalui analisis demi mendapatkan kesempurnaan makna dan pesan yang disampaikan Soe Hok-Gie melalui karya puisinya tersebut, semoga mampu membenahi kedaan masyarakat dan pemerintah, bangsa dan negara yang lebih baik. Terlepas dari idealis, humanis, dan soaialis seorang Gie, maka karya sastra puisi ini sangat memberikan gambaran kehidupan sosial yang kacau. Dan membutuhkan para pelopor yang mampu menyanggupi lahirnya reformasi demi kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat sejati.
Dengan demikian, karya sastra pun dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pengabdi masyarakat. Dari masyarakat sastra dapat lahir dan manfaatnya kembali kepada masyarakat itu sendiri. Sehingga ajaran moral yang baik turut mampu menjadi referensi kontemplasi atau perenungan dan kembali membangun peradaban masyarakat yang jauh lebih baik dan bijaksana.
B. Lampiran
1. PUISI I
Pesan
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Ku berikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini ?
(Soe Hok Gie, dalam Harian Sinar Harapan 1973)
2. PUISI II
Tentang Kemerdekaan
Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang,
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
.....
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas
(Soe Hog-Gie, dalam Soe Hok-Gie ...Sekali Lagi Buku,Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya)
3. PUISI III
Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Dimana ulama-buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.
Dan para politisi di PBB
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
yang lebih baik.
Tuhan - saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
(Soe Hok-Gie, 29 Oktober 1968)
SOE HOK-GIE , 1942 – 1969
IV. Daftar Pustaka
Farmasi-unej.forumsline. 2010. Puisi-Puisi Soe Hok-Gie.
(http://farmasi-unej.forumsline.com/puisi-f25/pesan-puisi-oleh-soe-hok-gie-t100.htm). Diakses tanggal 18 Febuari 2010.
Google.2010. Biografi-soe-hok-gie.
(http://Tokoh Sastrawan Indonesia\biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html). Diakses tanggal 20 Febuari 2010.
Google.2010.Soe-Hok-Gie.
(http://www. Masboi.com/2008/01/misteri-hidup-soe-hok-gie/). Diakses tanggal 18 Febuari 2010.
Hadidarsono, Kusneni. Kritik Sastra Buku Ajar. Purwokerto: Universitas Jenderal soedirman .
Noor, Redyanto. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Yogyakarta. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rudy Badil,Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R. (ED.).2009. Soe Hok-gie
....Sekali Lagi Buku,Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Suroso, Puji Santoso, Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra, Teori, Metodologi, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wikipedia.2010.Soe_Hok_Gie.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie). Diakses tanggal 18 febuari 2010.
s
Baca lagi tulisan penelitian ini bkin saia teringat lagi waktu dulu bikin buat tugas makalah sosiologi sastra..
BalasHapusSaya inget banget dosen saya benar2 menolak judul saya tsebut.. Beliau minta saya tuk meneliti puisi sastrawan2 yg udah ternama.. Tapi waktu tu saya ngotot tetap gie karena menurut saya, dunia sejarah&politk sudah kenal dgn gie melalui kritik2nya.. Dan ketika saya tau gie punya puisi2 ya knapa gak buat para pecinta puisi&sastra buat menjadikan puisi gie tsbut sebagai jembatan bahwa kita mahasiswa sastra juga bisa kenal gie lewat kritik sosialnya dalam puisi. Dan ternyata saya bisa buktiin ke dosen tu penelitian tu layak n benar.. Alhamdulh saya dapet nilai A buat makalah nie.. Sungguh tu pengalaman menakjubkan.. Nikolas saputra pernah bilang di buku yg memuat puisi yg saya teliti tu bahwa saat memerankan gie, dy sperti kerasukan n jd orang yg tiba2 kritis n bnyak protes waktu kuliah,, dan kayaknya tu jg terjadi pada saya yg protes n bangkit buat nunjukin bahwa saya benar karena saya mampu dan saya pintar (sperti kata gie dalam naskh skenario gie) dan akhirnya pjuangan saya berhasil dapet nilai A. Saya inget banget pjuangan saya bolak2ik ke perpus buat teori n nyari data dri gie lewat internet.. Saya bjuang mati2an pada makalah yg blum pernah dibuat oleh teman2 saya sekelas tu, saya berani ambil peneltian puisi dan gie.. Benar2 gie slalu buat saya jatuh hati. Gie memang blum pernh saya temui tapi smangatnya seolah menghidupkan saya waktu tu, bahkan sampai skarang saya slalu ingin seperti gie.. Apa ya jadinya kalo saya hdup djaman gie n dket dgn dia.. Atau apa ya jadinya kalau dia yg hdup djaman skarang? ? Pasti saya udah jatuh hati:-D
(nila mega marahayu,SS
17 juli 2011)