Membaca Kemiskinan Moral Masyarakat Ibu Kota
Cerita pendek “Catatan Harian Gembel Cilik” karya Nursalam AR. (dalam buku kumpulan cerpen The Regala 204 terbitan Gapuraja Media, Agustus 2006) sesungguhnya merupakan kisah yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat pinggiran. Banyaknya golongan masyarakat seperti dalam cerpen tersebut memang dekat dengan segala aspek kemiskinan, yakni ekonomi, pendidikan, religiusitas, bahkan moralitas. Namun, terdapat keunikan yang sebenarnya sangat nyata di dunia relitas kita, yaitu kemiskinan yang justru ada pada rakyat golongan atas. Misalnya para pejabat pemerintah atau negara, aparat keamanan negara, para konglomerat atau bisnisman, karyawan, bahkan tidak di sadari mungkin dalam diri kita sendiri. Melalui cerpen itu, kita diberi suguhan relitas kehidupan tanah air yang makin melarat dan kacau. Seolah-olah kita diberikan kesempatan untuk merenung. Tetapi, haruslah ada tindakan lebih lanjut selain merenungkan perjalanan hidup dan sekeliling kita. Walaupun entah bagaimana caranya. Dalam cerpen itu, dituturkan tentang Jono, gembel berusia sembilan tahun yang tinggal dengan emaknya. Kehidupan yang miskin mejadikan profesi emaknya sebagai pelacur.Emak melacur kepada Kimong, penjual VCD porno, berusia dua belas tahun di arena stasiun. Hasilnya dipakai untuk membayar jasa Emak. Kata-kata kasar dan menonton VCD porno sering dilakukan Kimong dan Tino. Merokok juga kebiasaan mereka begitupun Jono.
Hal diatas tentulah jauh dari nilai-nilai moral yang baik, yang juga minim dipegang masyarakat non pinggiran. Hanya saja masyarakat yang tidak hidup kumuh ataupun tinggal di perkampungan kumuh, dekat jembatan, pinggiran jalan raya, atau dekat arena stasiun, dari mereka juga dapat ditemukan bekerja secara normal bukan gembel, meskipun tidak jauh berbeda melaratnya. Misalnya saja kehidupan para buruh, pedagang asongan atau kaki lima. Kesemuanya itu tetap mau bersikeras mempertahankan harga diri di tengah kerasnya kehidupan ibu kota. Permasalahan akan moralitas tidak hanya dapat dipandang dalam satu sisi saja. Misalnya, anggapan bahwa para gembel dengan segala eksistensinya dalam muka bumi adalah oarang-orang yang memang gembel, harus dijauhi oleh masyarakat diatasnya. Namun , relita adanya tindakan abnormal yang sudah marajalela di negara kita, justru banyak dilakukan oleh masyarakat berpendidikan tinggi, berharta melimpah yang berlaku korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kesejahteraan pribadi. Atau mungkin para aparat keamanan yang sudah terlewat batas, seperti yang diceritakan dalam tokoh seorang tentara dalam cerpen tersebut. Jono meludah saat menyapu di gerbong kereta. Tidak sengaja ludahnya mengenai seorang tentara. Tendangan sepatu lars panjang pun mendarat ke kepalanya. Meski ia telah meminta maaf hingga menunduk. Namun, situasi tidak lebih baik. Para penumpang kereta hanya diam dan menonton. Tidak ada satu pun yang bergerak sebagai wujud belas kasihan. Mendapatkan pembelaan atau hadirnya sang pembela kebenaran di tanah air nyaris sekedar dongeng. Semua penumpang tersebut dari segala profesi dan usia tentu akan lebih memilih diam, menonton, atau bahkan pura-pura tidak tahu. Inilah kehidupan nyata sosial masyarakat kita.
Permainan akan rasa dan nurani juga sering terjadi disekitar ibu kota yang diikuti masyarakat pinggiran di daerah lainnya. Pengarang dalam cerpen itu juga sedikit menyinggung akan keadaan tersebut. Terlihat dalam kelihaian Tino dalam membuat luka buatan untuk mendapat simpati dan belas kasihan penumpang. Dalam sepintas cerita itu, tentu saja mengajak kita untuk sedikit berhati-hati. Pasalnya, memang pengarang memberikan cerita bahwa apapun yang mereka (masyrakat pinggiran) lakukan adalah tidak terlepas atas kehidupan serba sulit dan keras. Mereka halalkan cara hanya demi sesuap nasi. Penuh keprihatinan memang. Namun, tetap saja hal tersebut tidaklah dapat dibenarkan. Sebab ketulusan pemberian sedikit materi atas rasa belas kasih para penumpang ternyata terdustai oleh sebuah luka buatan. Kemiskinan moral pun lagi-lagi terjadi.
Tokoh-tokoh yang digambarkan berhati bagai kacau dan saling tumpang tindih memang telah tergambarkan. Ternyata pengarang juga memberikan penciptaan terhadap satu manusia suci di tengah-tengah kehidupan yang bagai neraka. Tokoh tersebut adalah Mas Awang yang sangat baik hati dan soleh. Ditunjukkan dengan perilakunya yang sering mengajaran sholat kepada Jono dan Emak. Kendati masih ada seorang yang berhati luhur seperti mas Awang yang memberikan petuah agama kepada Jono dan Emak serta Kimong. Sayangnya, warga pinggiran kebanyakan ini masih menganggap bahwa nama Allah sangatlah jauh dari dirinya.
Suatu hari keadaan stasiun terasa agak aneh. Suasana kumuh berubah menjadi agak rapih. ternyata karena akan ada pejabat yang datang mengontrol stasiun. Gembel-gembel diberi baju bagus oleh kepala stasiun melalui petugas keamanannya. Tentu saja, hal ini sangat lah berbeda 190 derajat, sebab hukum atau peraturan tiba-tiba menjadi ketat. Tergambar dalam kisah Emak dan Kimong yang diangkut ke penjara akibat terkena razia sedang melakuakan mesum di WC. Pada saat itu Jono merasa kesal karena Kimong telah mempermalukan Emaknya. Ternyata kasih sayang seorang anak masih terasa kental salam cerpen ini. Meskipun ia sering berperilaku abnormal dari anak-anak seusianya. Tidak seperti aparat negara tadi yang bermain hantam tanpa melihat situasi dan persoalan. Sama halnya dengan kejadian selanjutnya dalam kehidupan Jono. Ia datang membawa besi untuk menghajar Kimong di tengah-tengah kerumunan warga mnonton kedatangan pejabat. Ternyata besi itu terjatuh dan serta merta dituduhlah ia sebagai teroris. Jono pun di penjara tanpa alasan jelas. Sungguh nasib para mayarakat kelas bawah yang sering terjadi. Dalam memandang situasi itu, hukum dengan pasal undang-undangnya begitu diperhatikan. Mungkin mencoba di junjung tinggi untuk memberi efek jera kepada masyarakat miskin. Sedangkan pejabat atau masyarakat beruang akan mudah memanipulasi data, bermain suap dengan para parata hukum hingga bebas dan tinggal melakukan pembenaran citra. Keadaan penuh misteri kembali digambarkan pengarang sebagai penutup cerita. yakni keesokan harinya suasana stasiun yang sempat elok kembali seperti biasa. Begitupun para petugas keamanan terhadap gembel seperti mereka. Pembenaran atas nilai-nilai moral pun semakin jauh. Hal diatas seolah memberikan argumen pada kita berupa, kalau memang tatanan kehidupan dari segala aspek, terutama di mulai dari nurani sebagai pemegang moral manusia haruslah di-upgrade demi kesejahteraan sejati tanah Indonesia.
Kemiskinan Moral
Salah satu penyakit yang ada di masayarakat Indonesia sejak dahulu hingga saat ini adalah kemiskinan. Banyak perhatian tertuju pada kemiskinan harta benda atau sandang, pangan, dan papan demi mengarungi kehidupan. Namun, sesungguhnya kemiskinan moralitaslah yang lebih penting. Pasalnya ini merupakan hakikat manusia sebagai mahluk yang berkedudukan tinggi atas akal pikirannya yang dibingkai dengan budi pekerti. Jika kemiskinan dapat sedikit demi sedikit diberantas dengan memberikan pekerjaan layak, atau pemberian kebutuhan pangan, sandang, dan papa dari para dinatur (para rakyat diatas garis kemiskinan alias beruang), tentu saja tidak hanya menuntaskan realitas kemiskinan tetapi juga pendidikan, religiusitas,. Yang kemudian akan berdampak pada moralitas mansuia. Yang menjadi penting adalah ketika masyarakat indonesia kurang memahami adanya pihak mana yang harus dibela atas kebenaran ataupun dijauhi atas kesalahan cerpen tersebut memang memberikan kesempatan diri untuk merenung akan manfaat diri untuk kesejahteraan lingkungan. Melalui cerpen tersebut kita tentu saja dapat merasakan belas kasihan kepda rakyat pinggiran ibu kota yang minim ekonomi, pendidikan, religiusitas, dan budi pekerti atau moral.
Nilai-nilai moral memang semakin senja usianya di makan zaman yang penuh segala kemiskinan diatas kekayaan para manusia yang terus memperkaya diri dan kekuasaan. Para pejabat yang seharusnya benar Kisah yang diceritakan dalam Cerpen “Catatan Harian Gembel Cilik” Karya Nursalam AR ini ada dalam kehidupan di sekitar kita. Khususnya kehidupan orang-orang pinggiran atau marjinal. Kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan keburukan saling tumpang tindih dan bercampur menjadi suatu pelengkap atas kemiskinan.
Nilai-nilai moral yang miskin terlihat melalui perilaku tokoh-tokoh dalam cerpen “Catatan Haarian Gembel Cilik” adalah sebagai berikut:
• Perhatian tentang perilaku menyimpang juga tergambarkan melalui Jono. Di usia sembilan tahunnya, ia telah merokok, dan melakukan tindakan asusila seperti mengintip lawan jenis sebayanya di kamar mandi.
• Kehidupan keras menjadikan ritual mengenal Tuhan sekedar dongeng. Mencari uang demi mendapat makan hari ini dan esok jauh lebih penting.
• Perilaku menipu bang Tino demi mencari uang melalui belas kasihan penumpang agar mendapat uang banyak.
• Kekerasan yang dilakukan seorang aparat Negara di depan umum terhadap anak kecil sangatlah tidak baik.
• Para petugas keamanan dan kepala stasiun sebagai tokoh yang seharusnya jauh mengenal hukum dan mampu menjadi teladan atas supremasi hukum.
• Pejabat dalam cerpen ini tidak dapat terlepas dari golongan manusia yang mengidap kemiskinan moral. Pasalnya, mereka hanya melakukan pengamatan sesaat dan tidak tegas, karena tertipu sikap bawahan yang menujunjung hukum dengan pamrih.
• Pejabat tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan ekonomi yang membuat pendidikan dan agama jauh dari rakyat marjinal ini.
• Kebijakan dan keadilan dalam memutuskan suatu perkara negeri ini haruslah ditindak dengan bukti yang jelas dan benar. Jangan sampai terjadi kasus penangkapan rakyat kecil dengan alasan yang hanya dugaan saja.
• Penuntasan kemiskinan seharusnya tidak hanya sesaat. Seharusnya kehidupan yang lebih baik dengan keadilan, ketegasan hukum, dan pembenaran atas segala sesuatu haruslah berjalan terus. Bukan sesaat.
Cerpen karya Nursalam AR. ini memandang masyarakat marjinal atau pinggiran sebagai korban. Kita diajak untuk sedikit menghargai eksistensi mereka dalam berjuang untuk hidup. Sehingga Cerpen “Catatan Harian Gembel Cilik” layak untuk dibaca. Dengan cerpen semacam ini semoga dapat membuat pembaca untuk menghayati dan peduli pada kemiskinan moral yang ada. Bahkan mungkin kita juga termasuk dalam golongan yang miskin moral tersebut.
Pejabat atau pemerintahlah yang harus dipandang sebelah mata para penumpang dalam cerpen tersebut, atau bagi mereka, pembaca yang memegang tinggi kebenaran dan keadilan dalam Hak Asasi Manusia dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Pengarang dalam cerpen tersebut bukanlah seorang yang juga lebih baik dari tokoh-tokoh yang digambarkannya, yang penuh kemiskinan moral kecuali Mas Awang. Namun, setidaknya upayanya dalam membangkitkan rasa nurani dan kemauan untuk merenung demi kehidupan masyarakat yang jauh lebih baik, terlepas dari hiruk-pikuk kehidupan adalah sesuatu yang patut diberikan sambutan baik. Penarang melalui cerpen ini kembali memberikan kebebasan kepada pembaca untuk melakukan sesuatu, merombak keadaan atau tetap diam dan mengangguk mengikuti arus zaman yang semakin senja. Oleh karena itu cerpen tersebut tidaklah diberikan suatu penuntasan atas permasalahan yang ada di ibu kota tersebut. Semua tetap kembali pada hati dan pemerhati moralitas tanah air.
(Nila Mega Marahayu,Purwokerto, 5 Juni 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar