Rabu, 28 Maret 2012

Sebuah Catatan untuk Cerpen Godlob Karya Danarto Oleh Nila Mega Marahayu

Membaca cerpen Godlob sesungguhnya adalah sebuah pengalaman yang menarik. Bahwasanya hasrat membaca telah ada atau bermula dari membaca judul Godlob. Kata Godlob itu sendiri merupakan kata yang asing bagi saya, dan sayapun belum pernah mendengar adanya kata tersebut dalam bahasa Indonesia maupun jawa-dalam pengetahuan kosa kata jawa yang saya tahu. Salah satu hal yang ingin saya ketahui tentunya makna atau arti Godlob itu sendiri, yang kemudian oleh penulis dijadikan sebagai diksi untuk judul cerpennya tersebut. Setelah selesai membaca cerpen tersebut ada hasrat yang belum tertuntaskan, dalam hal ini adalah adanya pertanyaan yang belum terjawab, yakni apa sebenarnya Godlob itu. Penulis sama sekali tidak menyinggung kata Godlob dalam cerita. Sehingga kata tersebut sulit diterka maknanya. Namun, asumsi saya bahwa Godlob itu adalah sebuah simbol yang secara hermeneutik adalah suatu keadaan yang bobrok yang aneh yang mistik yang terjadi dalam alur cerpen tersebut. Dimana dikisahkan seorang pemuda yang ingin menjadi prajurit atau tentara tetapi dilarang oleh ayahnya. Ketika adanya peperangan di desanya maka ia (pemuda) ikut berperang dan sama-sama terluka layaknya para tentara. Hanya bedanya ia selamat karena diselamatkan oleh ayahnya, sedangkan yang lainnya tewas dan dimakan para gagak. Dalam keadaan itu ia dan ayahnya menaiki gerobak kerbau hingga tengah malam. Perjalanannya tidak bertujuan (oleh penulis tidak diceritakan akan kemana mereka). Sepanjang perjalanannya sang ayah terus berbicara dengan pemikirannya sendiri, entah sebuah penyesalan atau apa, yang jelas ia sangat bangga atas sajak pahlawan. Disinilah ia melakukan ide jahatnya, sebuah ide cerita yang nyaris tidak terduga, inilah sebuah kejutan yang diberikan Danarto dalam cerpennya tersebut. Ia membunuh anaknya yang tengah lemah menahan luka dan sempat dimakan gagak. Hal ini dilakukannya agar esok hari anaknya juga ikut dikubur secara massal oleh pemerintah dengan gelar pahlawan. Kedudukan anaknya dengan mayat-mayat lainnya yang berpangkat sebagai tentara adalah sama, yakni sama-sama menjadi pahlawan.
Keesokan harinya seorang ibu membawa mayat anak lelakinya ke balaikota. Tentu hal ini membuat para pejabat heran dan teganya seorang ibu yang mengambil mayat anaknya dari kuburan yang telah bergelar pahlawan bersama mayat-mayat yang gugur di medan perang lainnya. Sang ibu itu protes bahwa anaknya tidak berhak mendapat gelar pahlawan karena matinya karena dibunuh oleh bapaknya sendiri. Keadaan mmenjadi gaduh dan dari pinggangnya ditembakkannya peluru yang diambilnya dari peluru para mayat tentara, yang kemudian ditembakkannya ke suaminya atau bapaknya anak tersebut.
Betapa kejujuran telah dibongkar oleh seorang ibu. Ibu disini lengkap dengan keadaan yang ada seolah merupakan sebuah simbol. Simbol tersebut secara hermeneutik bermakna bahwa ia merupakan rakyat atau negara yang tidak menginginkan adanya dusta dalam perjalanan sejarah. Tidak menginginkan adanya sejarah palsu di negara tersebut. Hasrat akan adanya kejujuran dan nasionalis betapa melekat dalam cerpen tersebut melalui sosok ibu yang digambarkan penulis.
Dengan demikian cerpen tersebut dapat dikatakan sebagai wujud protes akan sebuah sejarah negara yang belum tentu benar adanya atau mungkin adanya renovasi sejarah yang dilakukan oleh orang-orang yang gila hormat, gila gelar seperti ayah pemuda tersebut. Dalam hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya yakni, sudahkah kita mengenali pahlawan yang ada di negara ini secara jelas dan pasti.
Penulis dalam hal ini tentu tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial, dimana lingkungan sosial tersebutlah yang dapat membawanya memiliki long atau kekurangan-kekurangan atas sesuatu yang ada dalam realitas. Kekurangan tersebut adalah ketidakjujuran atau adanya kepalsuan dalam sejarah negara. Atau dalam hal ini adalah adanya kemungkinan sejarah yang direnovasi oleh orang-orang tertentu. Bahkan para pemimpin pun, jika dalam cerpen tersebut adalah para pejabat kota yang tidak tahu asal-usul mayat-mayat mana yang patut atau tidak dijadikan pahlawan. Hal ini tentu terjadi karena adanya faktor kurang peduli terhadap keadaan yang ada di lapangan. Tentu penulis dalam hal ini menginginkan adanya pertimbangan atau perenungan kembali tentang adanya sejarah di negara ini. Mungkin tentang adanya kesewenangan pemerintahan yang menjadikan perenoivasian sejarah atau menjadikan tidak terbongkarnya kebenaran sejarah karena takut dianggap penghianat atau pembuat gaduh di era cerpen tersebut tercipta, mungkin pada masa orde baru.
Beberapa artikel yang membicarakan tentang Godlob, ada yang memaknai bahwa godlob itu merupakan singkatan dari kata God yang berarti Tuhan dan Lob adalah love dalam lafal orang Indonesia, sehingga menjadi cinta Tuhan. Dalam hal ini, cerpen tersebut seolah membawa kita dalam perenungan akan cinta sebagai anugerah Tuhan. Cinta yang diberikan kepada umat manusia untuk saling menyayangi antar sesama tanpa adanya sebuah peperangan apalagi pembunuhan yang dilakukan ayahnya sendiri demi sebuah kehormatan. Atau mungkin demi sebuah keuntungan karena sudah empat anaknya mati tanpa mendapat sentuhan apapun dari pemerintah, maka ia merasa rugi, dan pada naknya yang terakhir irulah ia tidak mau mendapat rugi. Gelar pahlawan adalah kehormatan yang dinantinya agar pemerintah dan mungkin masyarakat disekitarnya pun memperdulikannya, menjunjungnya atau mengelu-elukannya, dirinya sebagai ayah dari seorang pahlawan.
Pada artikel lain bahkan dosen saya mengatakan bahwa mungkin saja kata Godlob itu merupakan kata dari Bahasa Arab, yang berarti kemurkaan. Hal ini juga tidak terlepas dari cerita yang ditawarkan penulis tentang sebuah keadilan dan kemakmuran yang tidak ada dalam dunia dalam Godlob tersebut. Terlepas dari itu, Danarto adalah seseorang yang memegang teguh agama, tentunya ia mengetahui beberapa kosakata bahasa Arab, sehingga terdapat keterkaitan antara judul dan isi cerpen ini dengan sosiologi pengarangnya tersebut.
***
ditulis pada Rabu, 28 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar