I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah karya yang imajinatif, baik karya lisan maupun tertulis. Karya sastra ialah karya yang bersifat fiktif (rekaan). Sebuah karya sastra meskipun bahannya (inspirasinya) diambil dari dunia nyata, tetapi sudah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan realitas dunia nyata. Sebab, realitas dalam karya sastra sudah ditambah sesuatu oleh pengarang (Noor, 2006 :11).
Cerpen adalah cerita pendek. Cerpen sebagai karya fiksi yang mempunyai persamaan dengan novel karena keduanya dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama. Cerpen dan novel sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2010:10). Perbedaan antara cerpen dan novel dapat dilihat dari segi panjang cerita.
Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Ia juga pernah menulis tentang situasi di Timor-Timur tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Seno Gumira Ajidarma adalah penulis yang aktif dalam penulisan cerpen di kolom kompas. Salah satu cerpennya adalah Cintaku Jauh di Pulau Komodo. Cerpen tersebut menceritakan tentang seorang pemuda yang mencintai seekor komodo. Pemuda itu menganggap komodo tersebut adalah kekasihnya yang tengah menjelma. Bagi si pemuda ini, cintanya pada komodo itu adalah cinta abadi. Ia tidak akan pernah berhenti mencintai komodo itu, cintanya tidak akan mati.
Sebagai seekor komodo, kekasihnya menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi di sungai. Tapi karena ada undang-undang dari pemerintah, maka komodo tersebut tidak dibunuh, tetapi diasingkan di pulau flores. Dan akhirnya komodo itu dapat tinggal di pulau Komodo.
Pemuda itu ingin sekali menemui komodo yang dianggapnya kekasih itu. maka ia datang jauh-jauh ke pulau komodo tersebut, yaitu dari Labuan Bajo ke Komodo. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah komodo, akhirnya ia bertemu dengan seekor komodo yang diyakini sebagai kekasihnya. Rupanya kekasihnya menjadi seekor komodo jantan.
Ia sedang mendaki ketika melihat komodo kekasihnya itu merayap ke arahnya di bawah kerimbunan semak-semak. Ia berharap kekasihnya yang cantik jelita itu memandangnya dengan mata penuh cinta, tapi hanya terlihat pandangan kosong. Sudah jelas komodo itu tampak kelaparan, dan ia merasa komodo itu tidak mengenalinya, tetapi ia tetap bersikukuh mempertahankan cinta. Walaupun sempat ragu apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada. Namun, ia pun sangat mencintai komodo itu. Akhirnya ia terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulut komodo itu yang menganga. Kaki kirinya sudah masuk ke mulut komodo itu dan langsung patah beberapa bagian. Ia pun dimakannya.
Cerpen ini terasa unik karena adanya seorang pemuda yang teramat mencintai seekor komodo. Oleh sebab itu, analisis ini diangkat dengan judul Makna Cinta dalam Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, Kajian Psikoanalisis Lacan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah makna cinta yang ada dalam Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo dengan pendekatan Psikoanalisis Lacan.
C. Landasan Teori
Lacan merupakan psikoanalisis pascastrukturalis. Teorinya banyak dikembangkan dari psikoanalisis Freud. Lacan termasuk kategori postrukturalis karena menggunakan logika yang lebih cenderung dekonstruktif dibanding Freud. Misalnya, Freud yakin bahwa kajian tentang objek manusia itu merupakan representasi dari libido (yang tertuang dalam id, ego, superego), maka Lacan menganggap subjek manusia tidak sebatas itu. Seorang manusia juga sangat terpengaruh oleh kehidupan sosialnya dan bagaimana proses dia mengenali dirinya melalui proses refleksi.
Lacan memasukkan adanya fase cermin yang merupakan bagian dari fase imajiner dalam teorinya. Ada tiga kategori yang dikemukakan oleh Lacan, yakni: (1) real/real 1; (2) simbolik; (3) realitas/real2. Kategori tersebut juga dapat dipahami sebagai: (1) alam khayal; (2) alam lambang; (3) alam nyata.
1. Real/real 1
Alam real /real 1 dalam pemahaman Lacan merupakan tahap awal dari keadaan psike manusia yang belum mendapat pengaruh dari dunia luar. Pada real 1 ini Lacan menyebutnya sebagai alam khayal atau imajiner. Imajiner adalah istilah yang digunakan Lacan untuk menyebut struktur pengalaman subjek yang didominasi identifikasi dan dualitas. Dalam skema Lacanian, imajiner tidak hanya mendahului struktur simbolik yang memperkenalkan subjek pada bahasa dan triangulasi Oedipal, tetapi kemudian terus hidup berdampingan dengan struktur simbolik itu. Struktur imajiner tampak pada cermin (Sarup,2008:27-28).
2. Fase Simbolik
Pada fase inilah seseorang belajar mengenal bahasa. Mengenal bahasa adalah suatu keharusan, bahkan orang hidup tidak dapat lepas dari bahasa. Inilah yang dimaksud bahasa sebagai penjara, atau sebagai tuan. Pada fase ini, seorang individu memperoleh subjektivitas yang sadar dan bergender. Namun, kepuasan individu atas tuntutan dan keinginan atau hasrat (desire) yang ada padanya belum terwujud. Kebutuhan, permintaan, hasrat-bagaimana kaitan ketiga kategori? Seorang anak menangis. Ia dapat menggunakan rasa lapar fisiknya sebagai sarana komunikasi. Kadang makanan dapat memuaskan kebutuhan fisik, meskipun juga dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi simbolik (Sarup,2008:24-25)
3. Real 2/Realitas
Munculnya real2 ini, yaitu dengan adanya proses pengontrolan hasrat dan represi yang selalu ditekan. Hasrat kemudian diusahakan untuk diangkat pada tataran simbolik. Pada real 2/realita, ketidaksadaran yang direduksi itu selalu ingin muncul, maka ia dapat dimunculkan yakni melalui asosial bebas, fantasi-fantasi yang diwujudkan dengan pengalihan (displacement) dan penyederhanaan (condesation). Dengan demikian, maka dapat di mengerti bahwa fonemena sosial, baik yang melingkupi seni maupun budaya yang muncul dalam tatanan simbolik merupakan subjek-subjek yang ingin berbicara atau tanda-tanda.
Hasrat merupakan prinsip dari perwujudan kekurangan (lack) yang dialami individu. Kekurangan ini berkaitan dengan ketidakpuasan individu untuk memenuhi hasratnya, karena selalu berbentur dengan aturan-aturan sosial. Hasrat diungkapkan menggunakan bahasa, tetapi bahasa juga mengekang manusia sehingga selalu hasrat tidak terpenuhi. Hal inilah yang akhirnya melahirkan adanya simbolik.
Menurut Lacan bahasa adalah kondisi dari ketidaksadaran. Bahasa menciptakan dan membangkitkan ketidaksadaran. Di sinilah akhirnya semiotika Lacanian berlaku, yang melihat ketidaksadaran sebagai sebuah ‘tanda’, dan ‘’tugas dari manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut dan mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda”.
II. PEMBAHASAN
Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo dianalisis dengan teori Lacanian untuk menemukan makna cinta. Ada tiga kategori dalam teori Lacanian, yaitu (1) real1 atau alam khayal atau imajiner; (2) simbolik; (3) real 2 atau kenyataan. Berikut penjabaran cerpen tersebut, bertolak dari ketiga kategori Lacan, yaitu :
1) Real 1 atau alam khayal atau imajiner
Pada tahap ini cerpen tersebut dianalisis pada kelahiran atau kemunculannya. cerpen ini mungkin saja merupakan suatu permasalahan dalam diri penyair, kemudian ia mendapatkan tekanan dan mengekspresikan apa yang dihasratkannya. Dalam hal ini, Lacan (dalam Sarup, 2008:25) menyatakan bahwa ketika muncul keraguan atau kesenjangan yang tidak dapat ditutup. Hasrat muncul dari ketidakpuasan dan mendorong seseorang (penyair) untuk memunculkan permintaan lain. Bisa saja, penyair dalam hal ini tidak dapat merasakan cinta seperti apa yang diinginkannya, pada kenyataannya, ia hanya mendapatkan ketidakbahagiaan. Oleh sebab itu melalui cerpennya, ia mengangkat tokoh pemuda yang mencintai seekor komodo.
Melalui tokoh pemuda itu, tokoh pemuda itu tidak dapat merasakan cinta seperti apa yang dirasakan orang lain. maka ini alasan ia bisa mencintai seekor komodo dan bukan seorang gadis manusia. Dan melalui komodo itu, ternyata ia pada kenyataannya tidak mendapatkan kebahagiaan atau cinta yang dia inginkan dari kekasihnya itu. justru ia malah menjadi korban karena dimakan oleh komodo yang dianggapnya kekasih. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian”.
Dari cerita tersebut, pemuda itu tidak mungkin mendapatkan cinta si komodo. Tidak mungkin seorang pemuda atau manusia dapat saling mencintai dengan seekor komodo atau binatang. Hal ini karena komodo itu tidak punya perasaan yang dimilikinya hanya insting untuk makan. Artinya, tidak mungkin si komodo itu adalah kekasih si “aku” atau si pemuda itu. karena komodo tidak mungkin mencintai si pemuda itu.
Apabila hal ini dikaitkan kembali ke pengarangnya, maka dapat dirasakan si pengarang atau penulis ingin mencari cinta yang sesuai dengan apa yang dirasakannya. Namun cinta itu tidak datang atau tidak dirasakannya seutuhnya atau sepenuhnya. Maka ketidakbahagiaan itu menjadi sesuatu ide yang dikhayalkan atau diimajinasikan penyair ke dalam karya sastra.
2) Simbolik
Cerpen tersebut memiliki simbol makna pada cerita unik yang kisahkan. Makna simbolik dari cerpen itu adalah cinta. Hal ini karena cinta inilah yang kemudian menjadi dasar permasalahan. Cinta yang tidak biasa atau tidak normal, yaitu seorang pemuda yang mencintai seekor komodo. Dalam kehidupan pemuda tersebut mengharapkan cinta seperti apa yang dirasakannya, maka ia berjuang untuk mendapatkan cinta itu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“ kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi”.
Hal tersebut di atas menjadikan makna dari cinta sebagai problematik dalam kehidupan, dari kebahagiaan. Dan makna cinta inilah yang memperkuat permasalahan yang ada tersebut.
3) Real 2 atau kenyataan
Cerpen tersebut merupakan cerpen yang lahir karena adanya permasalahan akan makna cinta yang hakiki. Sehingga pada cerpen tersebut, pemuda itu dapat jatuh cinta dengan seekort komodo karena adanya imajinasi atau khayalan-khayalan yang dinginkannya ada. Dalam hal ini, si pemuda itu ingin mendapatkan cinta yang hakiki, yang abadi, seperti yang diinginkannya tetapi baginya kekasihnya itu adalah bayang-bayang. Mungkin saja dapat dikatakajn pemuda tersebut kesepian. Sehingga muncullah ketidaksadaran pada dirinya karena telah terbelenggu oleh hasrat cinta yang diinginkannya. Hal ini membuat makna cinta tersebut menjadi kosong atau lack atau kurang. Karena akhirnya si pemuda itu merasakan bahwa ia ragu akan cintanya si komodo itu terhadapnya. Namun keraguan itu sudah terlambat akrena ia sudah terlanjur dimakan oleh si komodo. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru”.
Dengan demikian, si pemuda itu meragukan akan dirinya yang dahulu merasakan dan mengimajinasikan bahwa komodo itu adalah kekasihnya. Atau yang imajiner adalah kekasihku adalah komodo. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku, jikakekasihku itutelah menjadi komodo?”
Sebenarnya dalam kutipan tersebut, si pemuda itu sudah merasakan keraguan. Ia merasakan ada yang kurang dari dirinya. Ia merasakan hasrat cintanya berbeda dengan apa yang terjadi pada kenyataan. Namun, ia hanya mencoba memungkirinya. Ia mencoba mengokohkan akan anggapan cintanya. Dalam hal ini cinta itu terasa tidak sepenuhnya ada, tidak seabadi dari apa yang diinginkannya.
Apabila pandangan kembali diarahkan pada pengarang atau penulisnya. Maka dapat diketahui bahwa ia merasakan hasrat cinta yang kurang. Atau mungkin apabila hal ini dikaitkan dengan keadaan dimana pengarang itu hidup dengan lingkungan, maka itulah yang akan membentuknya. Dalam hal ini, ada pendapat bahwa hal ini atau keadaan ini merupakan sebagai bentuk kritik yang terbagi atas makna cinta yang berbeda, yaitu :
a) Makna cinta yang benar-benar cinta terhadap manusia. Dalam hal ini pengarang memiliki suatu problem baik yang ada pada dirinya sendiri maupun keadaan ssosial masyarakat. Bahwa di lingkungannya tinggal ia tidak mendapatkan kasih sayang atau cinta yang diinginkannya. Maka dari itu si pengarang ini merasa lack akan cinta. Ia akhirnya berfikir ketika cinta itu tidak dapat lagi dirasakan sebagai cinta lalu tidakkah lebih baik seperti binatang saja yang hanya memiliki insting. Seperti binatang yang tidak perlu sama sekali merasakan cinta. Dan karena tidak merasakan cinta maka tidak akan merasakan kehilangan cinta atau sakit karena cinta. Mungkin dalam hal ini pengarang melihat dalam kehidupannya bahwa disekitarnya masih banyak penindasan, kasus kekerasan, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya yang jelas-jelas dilakukan oleh manusia yang seharusnya memiliki cinta. Hal inilah yang memunculkan adanya tokoh pemuda yang mencintai seekor komodo dalam cerpen tersebut. Ini menjadi suatu bentuk kritik atau protes terhadap perilaku manusia yang tidak lagi berbudi luhur dan berperasaan, yang tidak lagi memiliki cinta jika cinta itu dimaknai sebagai sesuatu yang hakiki yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman.
b) Makna cinta yang ditujukan sebagai kritik terhadap ulah manusia terhadap lingkungan alam dan mahluk Tuhan yang lain, dalam hal ini binatang. Kemungkinan pengarang dalam hal menciptakan adanya cerpeen tersebut sebagai wujud kritik bahwa manusia haruslah cinta terhadap lingkungan, dan apabila terjadi sesuatu pada manusia maka itu salah dari manusia itu sendiri. Artinya disini bahwa manusia terlalu sibuk dengan kekayaan diri tanpa pedulu dengan lingkungan. Misalnya mungkin, upaya bisnis untuk memperkaya diri dengan kulit binatang sehingga banyak menimbuilkan kepunahan binatang. Atau dihabiskannya lahan hutan dan sebagainya yang merupakan bahan makanan bagi binatang sehingga binatang kelaparan. Maka dalam cerita tersebut terjadi tragedi si pemuda itu dimakan oleh komodo. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang ingin memangkitkan rasa cinta untuk peduli terhadap lingkungan sekitar.
Makna cinta tersebut dapat saja lahir dari faktor-faktor ketidakbahagiaan atau ketidaksehatan cinta, ketidaksadaran, ketidakpedulain, dan lain-lain yang menjadi tema cinta tersebut diangkat penyair ke dalam karya sastra. Dalam hal ini, bisa saja faktor tema tersebut lahir dari kehidupan penyair yang merasakan tekanan atau ketidakbahagiaan, atau dapat saja tema tersebut diangkat dari adanya realitas sosial di Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang relevan dengan kenyataan di ruang alam Indonesia. penyair dalam hal ini telah terlepas sebagai individual yang utuh, karena penyair dalam tahap ini telah mendapatkan pengaruh sosial lingkungannya. Dengan kata lain, dapat saja penyair menuliskan kembali tragedi dalam kenyataan ke dalam karya sastra yang dicampuradukkan dengan alam imajinasi.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Lacan, memiliki teori sama seperti pendahulunya, yaitu Sigmund Freud bahwa dalam teori psikoanalisisnya ini juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real). Dinyatakan oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka. Dalam cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, tokoh “aku” mengalami dinamika kehidupannya yang tidak lepas dari hasrat dan impian untuk pembuktian diri. Penggambaran tokoh “aku” ini digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa gejolak semangat cinta yang tak kenal henti, tetapi justru ternodai oleh akhir hidup yang mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam meraih “misi hidup”. Hal ini menunjukkan bahwa posisi “aku” dalam cerpen ini amatlah penting, seiring dengan topik pembahasan dalam penulisan ini. Kepribadian “aku” yang notabene sangat berbeda dengan perilaku masyarakat pada umumnya, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang sangat kuat untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang sedang jatuh cinta. Meskipun pengakuan ini diinginkannya adalah dari komodo itu. Namun, keinginan atau hasrat seperti itu terlihat sulit untuk dipenuhi. Tetapi meskipun demikian, tokoh “aku” tersebut mengisyaratkan akan simbol kekuatan, yang dalam hal ini adalah kekuatan cinta yang dimilikinya.
Lacan menegaskan bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo, menggambarkan tentang konsep cinta yang digambarkan melalui ekspresi dari tokoh “aku”. Cinta yang dirasakan oleh tokoh “aku” tidak dapat menggambarkan cinta yang sesungguhnya dirasakan oleh si “aku”. Cinta akan mengalami sesuatu yang kurang apabila dimaknai hanya dalam sekedar bahasa. Hal ini menunjukkan betapa penulis atau Seno Gumira Ajidarma begitu mengagungkan cinta, bahkan sampai cinta itu sulit untuk dimaknai dalam bahasa. Bagi penulis cinta itu sesuatu yang nonsen atau akan kosong maknanya jika diungkapkan melalui bahasa. Secara tidak langsung dengan Cerpen ini, penulis ingin menunjukkan kepada pembaca akan makna cinta lebih dari apa yang pembaca tahu. Bahwa cinta itu adalah abadi, tulus, suci, yang hanya ada melaui perasaan dan bukan kata-kata atau bahasa. Melaui cerpen ini penulis menginginkan apa yang dirasakannya juga dirasakan pembaca akan makna cinta tersebut.
Makna cinta itu dapat disimpulkan dengan dua makna, yaitu (pertama) cinta yang merupakan cinta yang ditujukan kepada manusia. Ini merupakan bentuk kritik terhadap antarmanusia yang sering menyakiti orang lain, seperti berkelahi, pembunuhan, dan lainnya yang melupakan bahwa manusia itu memiliki cinta dan bukan insting seperti binatang. (kedua) cinta yang merupakan cinta yang ditujukan kepada manusia untuk pedulu terhadap lingkungan dan sesama mahluk Tuhan. Dalam hal ini merupakan kritik terhadap karakusan manusia untuk kekayaan pribadi. Sehingga melupakan, menelantarkan, mahluk lainnya yang akan berakibat buruk juga kepada manusia. Melalui simbol komodo cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo ini, pengarang mengaharapkan cinta terhadap lingkungan seharusnya berada pada posisi yang sama seperti cinta seorang pemuda terhadap kekasihnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. “Cerpen Cintaku Jauh di Pulau Komodo”, http://cerpenkompas.wordpress.com/2003/08/17/cintaku-jauh-di-komodo/, diakses pada Rabu, 18 Januari 2012.
Noor, Redyanto. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme: Terjemahan Medhy Aginta Hidayat. Yogyakarta: Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar