BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias atau imajinatif (Waluyo, 2005:1). Gadamer (dalam Palmer, 2003:251) menyatakan bahwa puisi bersifat puitis. Adapun puisi yang puitis adalah puisi yang bermakna spekulatif. Sifat puitis tersebut terdapat dalam puisi, jika puitis itu tidak hanya mengandung makna eksplisit, tetapi juga menghadirkan kepada pembaca pandangan baru dari dunia baru dalam mediasi imajinatif. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa puisi memiliki makna implisit, yaitu makna yang terkandung di dalam puisi meskipun tidak dinyatakan secara jelas atau terang-terangan. Puisi juga memiliki makna eksplisit yaitu makna yang terkandung di dalam puisi dan dinyatakan secara jelas. Puisi dapat diketahui maknanya dengan paham keutuhan puisi secara mendalam. Pradopo (2007:13) menambahkan bahwa puisi bersifat puitis bila puisi tersebut dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan.
Ukuran utama yang digunakan dalam menilai puisi adalah rasa. Hal ini menunjukkan bahwa puisi tidak dapat terlepas dari hakikatnya. Adapun hakikat puisi menurut Richards (dalam Tarigan, 1993:10) terdiri atas ; (1) tema (sense); (2) rasa (feeling); (3) nada (tone); (4 )amanat atau tujuan (intention).
Tema merupakan gagasan pokok atau pokok permasalahan. Tema biasanya diselubungkan oleh pengarang dalam karya sastranya. Tema harus ditemukan dan dipahami oleh pembaca atau penikmat karya sastranya.
Rasa adalah sikap penyair dalam mengolah pokok permasalahan dalam karya sastranya, sehingga karya sastranya tersebut terasa lebih hidup atau bermakna tidak kosong. Sikap penyair dalam mempresentasikan makna dalam satu puisi akan membuka pendapat atau pemikiran yang berbeda dari penyair lainnya.
Nada adalah sikap penyair terhadap keberadaan pembaca atau penikmat karya sastranya. Nada yang dikemukakan oleh penyair tentu saja akan memiliki keterkaitan dengan tema dan rasa dalam puisi yang bersangkutan. Nada lemah atau rendah biasanya dikemukakan dalam puisi yang bertema kedukaan, kegalauan, kekecewaan dan sebagainya. Nada kuat, keras atau tinggi biasanya dikemukakan dalam puisi bertema kegembiraan bahkan kemarahan. Nada-nada dalam puisi tersebut mendukung tersampaikannya rasa dalam diri penyair kepada pembaca, sehingga makna dalam karya sastranya dapat terungkap.
Tujuan berfungsi sebagai dorongan penyair dalam menciptakan karya sastra. Tujuan puisi diciptakan bergantung pada pandangan hidup, pendapat, atau ideologi penyairnya. Suatu tujuan dapat tersampaikan melalui puisi karena puisi dapat berperan sebagai media. Sayuti (1985:18) menjelaskan bahwa dalam puisi seseorang itu berbicara sesuatu untuk menyampaikan tujuannya kepada pembaca atau pendengar. Sesuatu yang ada dalam jalinan bahasa yang disebut puisi itu diungkapkan oleh tiap-tiap penyair dengan teknik masing-masing.
Taufiq Ismail lahir pada 25 Juni 1935 di Bukit tinggi, Sumatera Barat. Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 dan penghargaan American Field Service International Scholarship pernah diraihnya untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat pada 1956 hingga 1957. Ia pendiri majalah sastra Horison pada 1966 dan Dewan Kesenian Jakarta pada 1968.
Karya-karya seorang anak bangsa yang mencintai budaya membaca sejak kecil ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Prancis. Karya-karya puisinya telah dibukukan dan diterbitkan di antaranya adalah Manifestasi pada 1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andang Jaya, dll, Benteng pada 1966, Tirani pada 1966, Puisi-Puisi Sepi pada 1971, Buku Tamu Museum Perjuangan pada 1972, Sajak Ladang Jagung pada 1974, Puisi-Puisi Langit pada 1990, Tirani dan Benteng pada 1993, Ketika Kata Ketika Warna pada 1995, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia diterbitkan pertama pada 1998.
Buku kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia terus mengalami cetak ulang. Buku tersebut berisi seratus puisi karya Taufiq Ismail yang terdiri atas tiga bagian yaitu “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, “Kembalikan Indonesia Padaku”, dan “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung”. Buku tersebut mengandung makna atau pesan yang disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisi-puisi di dalamnya. Makna dalam puisi-puisi tersebut diungkapkan dengan mengangkat rasa malu sebagai simbol ketidakseimbangan dan kekecewaan penyair terhadap bangsa dan negaranya. Puisi-puisi karya sarjana kedokteran hewan dan peternakan yang lulus pada 1963 ini dilatarbelakangi oleh rasa jenuh terhadap kehidupan tanah air. Oleh sebab itulah, ia ingin mencoba mengembalikan Indonesia ke dalam norma atau ajaran yang baik dan benar, kembali ke dalam ajaran Allah. Hal ini tidak terlepas dari karya-karyanya yang meskipun bernuansa kritik sosial, namun kekhasan karyanya masih banyak yang menunjukkan ajaran-ajaran islam. Hal ini tidak terlepas dari mayoritas penduduk Indonesia adalah seorang muslim. Dalam hal ini, melalui karyanya ia menginginkan Indonesia kembali menjadi negara yang berbudi luhur seperti dalam ajaran nabi Muhammad SAW. dan hadist. Alasan-alasan tersebut menjadikan penelitian terhadap puisi-puisi Taufiq Ismail dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (selanjutnya ditulis dengan MAJOI) ini menarik.
Dalam penelitian ini penulis hanya mengambil dua sampel puisi, yaitu “Sajadah Panjang” dan “Aisyah Adinda Kita” untuk dianalisis. Hal ini dianggap cukup untuk mewakili makna atau ajaran islam yang terkandung dalam MAJOI. Dimana makna tersebut memberikan kesan tersendiri bagi pembaca, karena bagaimanapun suatu karya sastra menjadi bermakna karena pembaca. Inilah yang menjadikan pembaca tidak dapat dilepaskan dari karya sastra. Karya sastra lahir dari masyarakat dan akan kembali pula ke dalam masyarakatnya. Dengan demikian penelitian dengan judul “Transformasi Ajaran Islam dalam Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail, Intertekstual” ini diangkat.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan intertekstual antara teks MAJOI sebagai teks transformasi dengan teks Alquran dan Hadist nabi sebagai hipogramnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara teoretis diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu sastra. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan hubungan interteks antara teks MAJOI dengan teks Alquran dan Hadis nabi sebagai hipogramnya.
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu dalam memberikan penjelasan terhadap makna implisit maupun eksplisit dalam puisi, khususnya puisi pada kumpulan puisi MAJOI karya Taufiq Ismail. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam menangkap makna ataupun pesan yang dikemukakan penyair, sehingga dapat dijadikan media kontemplasi untuk dapat berlaku bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan.
1.4. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap kumpulan puisi MAJOI pernah dilakukan oleh Nila Mega Marahayu berupa skripsi di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Judul penelitian tersebut adalah Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail. Penelitian ini mendeskripsikan pembacaan semiotik terhadap tujuh puisi Taufiq Ismail dan mendeskripsikan kritik sosial yang termuat pada tujuh puisi karya Taufiq Ismail. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah melakukan analisis dengan pendekatan struktur pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik. Analisis selanjutnya dengan pendekatan sosiologi sastra. Hasil analisis pertama dan kedua tersebut membantu dalam pendeskripsian kritik sosial pada kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Analisis dengan pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik dilakukan terhadap puisi yang relevan dengan nilai-nilai sosial. Diperoleh lima klasifikasi sasaran kritik sosial dari analisis tersebut. Pertama adalah kritik terhadap bidang politik. Kedua, kritik terhadap bidang ekonomi. Ketiga, kritik terhadap bidang hukum. Keempat kritik terhadap bidang pendidikan, serta kelima adalah kritik terhadap kebebasan berpendapat.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa selain memberikan kritik, Taufiq Ismail juga memberikan pendapatnya terhadap lima sektor tersebut. Bentuk pendapatnya tersebut antara lain pemerintah harus mengembalikan kekuasaan negara kepada rakyat, membuat kebijakan dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), negara harus memiliki supremasi hukum demi HAM dan keamanan, pemerintah harus melakukan pemerataan pendidikan sampai ke daerah pelosok di Indonesia, dan melakukan musyawarah yang sehat.
Penelitian terhadap kumpulan puisi MAJOI juga pernah dilakukan oleh Daroe Iswatiningsih berupa jurnal penelitian sosial. Penelitian tersebut diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang pada 2005. Judul penelitian tersebut adalah “Telaah Semiotika Ragam Bahasa Sastra Taufiq Ismail dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik eksploratif tekstual, yaitu menelusuri teks-teks puisi yang di dalamnya mengandung tanda-tanda. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa puisi pada kumpulan puisi MAJOI secara struktural pada unsur pencitraannya memiliki beberapa penanda yang menyatakan hubungan alamiah (ikon), hubungan kausalitas (indeks) maupun simbol. Makna puisi dalam penelitian tersebut dianalisis berdasarkan semiotik. Prinsip analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut menekankan pada faktor ketandaan, yaitu penanda kata (signifier) dan petanda makna (signified), bukan faktor pembacaan semiotik berupa pembacaan heuristik maupun hermeneutik.
1.5 Landasan Teori
A. Pembacaan Semiotik
Analisis secara struktural merupakan pendekatan mikrosastra yang bertujuan untuk menganalisis unsur intrinsik karya sastra. Karya sastra puisi dapat diteliti dengan pendekatan teori strata norma Roman Ingarden, namun penelitian dengan teori tersebut lebih tepat digunakan untuk menganalisis karya sastra lama yang masih memperhatikan keestetikaan sajak melalui irama, bunyi, rima, dan lain sebagainya. Semenjak lahirnya angkatan 45, karya sastra lebih menekankan pada isi atau makna dan pesan di dalamnya kepada pembaca.
Pembacaan semiotik memiliki tujuan untuk menghubungkan kembali sajak atau puisi ke dalam masyarakat dan kebudayaannya. Pembacaan semiotik merupakan bagian dari metode semiotik yang dianggap lebih dekat (khusus) dalam meneliti suatu karya sastra. Pengertian semiotik atau semiotika menurut Preminger (dalam Pradopo, dkk., 2001:71) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Fungsi dari semiotik tersebut untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Hal ini bersangkutan dengan pemahaman puisi bahwa puisi tersebut merupakan suatu teks yang tersusun atas tanda-tanda. Maksud tanda-tanda di sini adalah suatu yang memiliki makna di dalamnya dan dapat diketahui hanya dengan memahami dan menganalisis puisi tersebut. Hirsch (dalam Allen, 2004:209) menyatakan bahwa jelas ada suatu artian yang di dalamnya pembaca tidak bisa mengevaluasi sebuah teks maupun menetapkan apa maksudnya “bagi pembaca, sekarang ini” sebelum pembaca memahami dengan betul apa yang dimaksud.
Riffaterre menyatakan (dalam Pradopo, 2009:134-135) bahwa untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif. Penjelasan terhadap pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif adalah sebagai berikut.
a) Pembacaan Heuristik
Pembacaan Heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasa atau semiotika tingkat pertama. Pradopo (2009:135) menjelaskan bahwa pembacaan heuristik merupakan pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Analisis terhadap karya sastra khususnya puisi dengan pembacaan heuristik bertujuan untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya, kemudian diletakkan pada tanda kurung. Begitu juga struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya di balik untuk memperjelas arti (Pradopo dkk., 2001:85). Pemenggalan puisi dilakukan dengan membubuhkan (/) sebagai tanda koma, sedangkan (//) sebagai tanda titik untuk memperjelas susunan kalimatnya (Pradopo, 2009:135).
b) Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan Hermeneutik merupakan bagian dari ilmu hermeneutik atau hermeneutika, yaitu proses penguraian yang berawal dari isi dan makna pada suatu teks. Isi dan makna tersebut terdapat di dalam makna yang terpendam atau tersembunyi yang biasanya disebut dengan makna implisit.
Palmer (2003:8) menyatakan bahwa fokus penelitian menurut cakupan hermeneutik terdiri atas:
1) peristiwa pemahaman teks;
2) persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi itu dalam suatu teks.
Objek interpretasi hermeneutik adalah teks yang berarti simbol. Hal ini menunjukkan hakikat keberadaan hermeneutik menurut Palmer (2003:48) yaitu bahwa hermeneutik harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki banyak makna. Hermeneutik dapat berhubungan dengan puisi karena puisi merupakan karya sastra berupa teks simbolik, sehingga puisi membutuhkan hermeneutik untuk menjelaskan makna di dalamnya. Hermeneutik dapat juga dikatakan sebagai ekspresi sajak atau makna sajak. Pengertian pembacaan hermeneutik secara lebih jelas adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2009:135). Konvensi sastra tersebut adalah konvensi tambahan atau konotasi yang ditambahkan dari konvensi bahasa yang sebenarnya.
B. Resepsi Sastra
Resepsi sastra pada hakikatnya mengkaji bagaimana pembaca memberi makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberi reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus,1985:1; segers,1978:40) dengan resepsi sastra terjadi peralihan kecenderungan dalam penelitian sastra : dari pengarang dan karya kepada karya dan pembaca (Holub,1984:xxi).
Ada dua kemungkinan reaksi pembaca menurut Jausz, yaitu reaksi aktif yang tampak dalam bentuk orang mencipta suatu karya sastra yang lain, yang menekankan aspek perkembangannya, yaitu :
a) Perkembangan estetika dengan hakikat estetika tertentu pada suatu masa tertentu yang berbeda dengan atau bertentangan dengan hakikat dari masa sebelum (dan sesudahnya nanti).
b) Perkembangan pandangan terhadap suatu unsur budaya pada suatu zaman tertentu yang berbeda dari atau bertentangan dengan pandangan yang ada sebelumnya yang juga menyebabkan adanya pandangan yang berbeda sesudahnya (Jausz dalam Junus, 1985:34-35).
Reaksi pasif hanya mengomentari atau mungkin hanya menyukai. Ini juga dapat memperlihatkan bagaimana suatu karya diterima dalam suatu masyarakat. Dalam teorinya, Jausz memperkenalkan konsep horison harapan yaitu perangkat mental yang menyusun penyimpangan-penyimpangan dan penyesuaian-penyesuaian dengan sensitivitas yang dibesar-besarkan (Gombrich dalam Halub, 1984:59). Konsep horison harapan menjadi kata kunci teori Jausz. Seterusnya horison harapan ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
a) Pengetahuan norma-norma generik yang timbul pada teks-teks yang sudah dibaca pembaca.
b) Pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang teks-teks yang sudah dibaca sebelumnya.
c) Kontras antara fiksi dan realitas ; kemampuan pembaca untuk menikmati sebuah teks baru dalam horison “sempit” harapan sastra dan dalam horison “luas” pengetahuan tentang hidup (jausz dalam Segers 1978:41).
Nilai sastra suatu teks menurut Jausz terletak pada kemampuannya mempertemukan horison pembaca atau mendahuluinya. Khususnya pada waktu teks itu ditulis atau disiarkan. Kesenjangan antara horison harapan sastra dan kenyataan teks yang muncul disebut “jarak estetika” atau disebut juga “perubahan horison”. Jarak estetika ini secara historis dapat diukur dengan reaksi masyarakat pembaca. Bila jarak teks yang baru sangat dekat dengan harapan-harapan masyarakat, teks baru itu lebih bersifat populer (Jausz dalam Segers, 1978 :41 dan Holub, 1984:62).
Pemikiran jausz yang penting dalam rangka resepsi sastra adalah bahwa peneliti sastra dan sejarah sastra bertugas menelusuri resepsi karya sastra sepanjang zaman (dalam Teeuw, 1984 :197). Pernyataan ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa konsep horison harapan memegang peranan pusat dalam teori Jausz, maka rekosntruksi horison harapan ini adalah suatu soal utama dalam sejarah resepsi dan disediakan sebagai rangka referensi konstruksi suatu sistem sastra. Jausz menilai kualitas kesusasrteraan tergantung kepada kemampuannya memutuskan horison harapan pembaca (dalam Fokkema, 1977:149).
Dengan demikian, riset resepsi harus lebih daripada menggambarkan struktur karya individual. Riset resepsi hendaklah dapat menggambarkan bagaimana sebuah karya pada waktu munculnya menjadi kerangka acuan berdasarkan harapan-harapan pembaca. Prince (1980:9) mengelompokkan tiga macam pembaca, yaitu :
a) Pembaca riil, orang yang membaca buku,
b) Pembaca sebenarnya (virtual reader), yaitu pembaca yang dituju oleh penulis, yang dibantunya dengan kualitas, kapasitas, dan selera tertentu.
c) Pembaca ideal. Yaitu seorang yang memahami teks secara sempurna dan menyetujui setiap nuansanya.
Dalam hal ini, dapat ditentukan sesuai prinsipnya bahwa pembaca terbagi menjadi dua macam, yaitu yang diluar teks dan yang didalam teks. Pembaca yang diluar teks adalah yang disebut pembaca biasa atau pembaca riil. Pembaca yang di dalam teks yaitu pembaca yang diharapkan dapat menemukan petunjuk dalam teks bagaimana membaca teks yang bersangkutan. Ini adalah pembaca implisit. Pembaca eksplisit juga termasuk pembaca yang di dalam teks, yaitu pembaca yang tegas-tegas di katakan dalam teks, pembaca yang dituju oleh teks. Dengan pengertian inilah, analisis resepsi terhadap objek dilakukan.
C. Hubungan Intertekstual
Penelitian resepsi sastra akan membawa pembaca pada hubungan intertekstual. Ada hubungan yang erat antara resepsi sastra dan intertekstualitas (Teeuw,1984 :213; Junus, 1985:87). Teeuw menambahkan bahwa dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus merupakan resepsi.
Intertekstualitas mempunyai pusat persmasalahan ganda. Hubungan intertekstualitas adalah hubungan antarkarya dan juga penandaan partisipasinya dalam lingkup diskursif budaya. Tempat sastra menjadi bagiannya dan pada gilirannya budaya diberi tempat dalam teks sastra (Kristeva,1978:36).
Intertekstualitas adalah himpunan pengetahuan teks bermakna. Dan makna suatu teks tergantung pada teks-teks lain yang diserap dan ditransformasikannya. Intertekstualitas terlihat di tempat intersubjektif bertemu. Intertekstualitas menandai segala yang memungkinkan seseorang untuk mengenali pola dan makna dalam teks. Dengan demikian, terdapat kemungkinan-kemungkinan yang menunjukkan intertekstual ini menjadi semakin jelas bahwa teks tidak dapat dibaca terlepas dari teks-teks lain, baik teks bahasa maupun bukan bahasa.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan riset kepustakaan. Metode yang digunakan adalah metode struktural. Metode ini diterapkan untuk menganalisis struktur karya yang menjadi objek penelitian dengan pendekatan heuristik dan hermeneutik. Selanjutnya digunakan pula metode resepsi sastra, yaitu mempelajari tanggapan membaca terhadap karya sastra yang dibacanya. Penelitian ini diteruskan dengan pendekatan intertekstualitas.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis menjadi tiga bab yakni sebagai berikut.
Bab 1 Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II Pembahasan mengenai materi transformasi kajian islam dalam MAJOI untuk mengungkapkan ajaran islam dalam teks MAJOI.
Bab III Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II PEMBAHASAN
Transformasi Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Kumpulan Puisi
Malu Aku Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail
Intertekstual
2.1 Analisis Pembacaan Semiotik
Pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap dua puisi karya Taufiq Ismail yang termuat dalam MAJOI adalah sebagai berikut.
1. Pembacaan Semiotik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”
Puisi “Aisyah Adinda Kita” ditulis oleh Taufiq Ismail pada 1984. Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi bagian kedua dalam buku MAJOI yaitu “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut merupakan puisi kedua puluh satu dalam susunan redaksional kumpulan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut maupun puisi Taufiq Ismail lainnya lebih menekankan kejelasan isi serta keteraturan peristiwa. Pemaparan puisi tersebut dengan analisis pembacaan semiotik adalah sebagai berikut.
a. Pembacaan Heuristik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”
//Aisyah/ Adinda Kita/ yang sopan dan jelita/
Angka SMP dan SMA sembilan rata-rata/
Pandai mengarang dan berorganisasi/
Mulai muharram satu empat nol satu/
Memakai jilbab menutup rambutnya/
Busana muslimah amat pantasya//
//Aisyah/ adinda kita yang sopan/ dan jelita/
Indeks prestasi tertinggi/ tiga tahun lamanya/
Calon insinyur dan bintang di kampus/
Bulan Muharram/ satu/ empa/t nol/ empat/
Memakai jilbab menutup rambutnya/
Busana muslimah amat pantasnya.//
//Aisyah/ adinda kita/
Tidak banyak dia berkata/
Dia memberi contoh saja.//
//Ada sepuluh Aisyah/ ada saeratus Aisyah/
Ada sejuta Aisyah/ Aisyah adinda kita/
Berbusana muslimah/
berbusana muslimah/
berbusana muslimah/
b. Pembacaan Hermeneutik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”
Aisyah, adalah adinda kita yang sikapnya sopan dan ia juga berparas jelita. Ia memiiliki angka (nilai) di SMP dan SMA rata-rata sembilan atau ia nyaris memiliki kesempurnaan. Ia pandai mengarang dan berorganisasi. Pada Muharram satu empat nol satu (1401 M) ia mulai memutuskan dirinya untuk memakai jilbab menutup rambutnya (auratnya). Ia yang sudah jelita dan baik, menggunakan busana muslimah dan terlihat amat cantik. Dia terlihat sangat pantas mengenakan busana itu.
Aisyuah, adalah adinda kita adalah adik kita, bimbingan kita yang sikapnya sopan dan berparas jelita. Ia selalu ,mendapatkan indeks prestasi tertinggi selama tiga tahun (ketika SMA). Ia adalah calon insinyur dan bintang kampus. Akhirnya bulam muharram 1404 (1404 m) brelalu dan ia tetap berjilbab dan menutup auratnya. Busana muslimah memang pantas dikenakannya.
Aisyah adalah adinda kita yang tidak banyak bicara, tetapi ia dapat menunjukkan kebaikannya, kesuksesannya, kepandaiannya, melalui tindakannya (dia memberi contoh saja).
Di sini, ada sepuluh, seratus, sejuta, Aisyah yang berbusana muslimah (ada sepuluh gadis yang bernasib seperti Aisyah) yanag tertekan di negeri sendiri, di negeri yang tidak memberikannya kebebasan untuk mengenakan jilbab.
2. Pembacaan Semiotik Puisi
“Sajadah Panjang”
Puisi “Sajadah Panjang” ditulis oleh Taufiq Ismail pada 1984. Puisi tersebut terdapat dalam kumpulan puisi bagian kedua dalam buku MAJOI yaitu “Kembalikan Indonesia Padaku”. Puisi tersebut merupakan puisi kedua puluh dua dalam susunan redaksional kumpulan puisi “Kembalikan Indonesia Padaku”. Pemaparan puisi tersebut dengan analisis pembacaan semiotik adalah sebagai berikut.
a. Pembacaan Heuristik Puisi
“Sajadah Panjang”
//Ada sajadah panjang terbentang/
Dari kaki buaian/
Sampai ke tepi kuburan hamba/
Kuburan hamba bila mati//
//Ada sajadah panjang terbentang/
Hamba tunduk dan sujud/
Di atas sajadah yang panjang ini/
//Diselingi sekedar interupsi/
Mencari rezeki/ mencari ilmu/
Mengukur jalanan sehariaan/
Begitu terdengar suara azan/
Kembali tersungkur hamba//
//Ada sajadah panjang terbentang/
Hamba tunduk dan rukuk/
Hamba sujud/ dan tak lepas kening hamba/
Mengingat dikau/
Sepenuhnya//
c. Pembacaan Hermeneutik Puisi
“Aisyah Adinda Kita”
Sebuah sajadah panjang telah terbentang di atas tanah atau lantai. Sajadah itu seolah penuh makna, seolah hidup hingga memberikan buaian ketentraman dan ketenangan (dari kaki buaian). Hingga terasa seolah sampai pada saat hamba menyerahkan diri atau menghadap Allah (sampai ke tepi kuburan hamba, kuburan hamba bila mati)
Ada sebuah sajadah yang panjang terbentang atau dapat dikatakan adanya seseorang hamba tengah melaksanakan sholat. Hamba tunduk dan sujud di atas sajadah yang panjang ini.
Ketika sholat yang hamba lakukan hanyalah atau lenih banyak memohon sesuatu atau berdoa (Deselingi sekedar interupsi). Hamba itu memohon rezeki dan meminta manfaat atas pencarian ilmu di sepanjang hidupnya atau kesehariannya. Ketika tengah sibuk dengan segala urusan pekerjaan duaniawi, hamba mendengar suara azan. Dan segeralah hamba sholat (kembali tersungkur hamba).
Ada sebuah sajadah panjang yang terbentang di atas lanta atau tanah. Disanalah hamba tunduk dan rukuk. Dikala itulah hamba sujud dan tidak lepas kening hamba mengingat dikau sepenuhnya. Atau hamba selalu mengingat Allah dan hamba selalu menunaikan sholat. Hamba takut pada Allah. Hamba pasrahkan kehidupan pada Allah (sepenuhnya).
2.2 Analisis Resepsi Sastra dan Intertekstualitas
Nilai-nilai ajaran Islam terkandung dalam MAJOI yang bersumber dari ayat-ayat suci Alquran dan hadist nabi. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut.
1) Ajaran selalu mengingat Allah atau takwa.
Allah adalah Tuhan bagi umat islam atau muslim. Mengingat Allah adalah sesuatu yang diharuskan kepada umat muslim agar selamat dunia dan akhirat, karena dengan mengingat Allah, dalam hal ini bertakwa kepada Allah maka akan diberikannya segala kebaikan kepadanya.
Kata taqwa ( التَقْوَى ) berasal dari Wiqoyah ( الوِقَايَة ) yaitu kalimat yang menunjukkan penolakan terhadap sesuatu. Al-Wiqoyah berarti apa yang menghalangi sesuatu. Maka, taqwa seorang hamba kepada Robbnya berarti menjadikan penghalang antara dia dengan apa yang ditakuti dari Robbnya berupa kemurkaan, kemarahan dan siksaanNya yaitu dengan cara mentaatiNya dan menjauhi maksiat kepadaNya. Ajaran tentang takwa atau mengingat Allah tersebut dapat dilihat pada nilai-nilai yang disampaikan melalui ayat-ayat suci Alquran seperti berikut.
Alloh Swt berfirman:
"Dan bertakwalah kepada Alloh yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al Maa-idah: 96).
Hal itu juga dapat dilihat dalam berikut.
Rosululloh saw bersabda:
"Takutlah (bertaqwalah) kepada kedzoliman karena kedzoliman akan menjadi kegelapan pada hari qiyamat. Dan takutlah (taqwalah) kepada kekikiran, karena kekikiran telah membinasahkan orang-orang sbelum kalian sehingga membawa mereka menumpahkan darah dan merobek-robek kehormatan". (HR. Muslim: 16/134 Syarah An-Nawawi).
Nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam MAJOI mengenai takwa atau mengingat Allah merupakan pentransformasian dari H.R. Muslim dan Ayat suci Alquran tersebut. Dalam puisi “Sajadah Panjang” penulis seolah begitu membakan tokoh “aku” atau “hamba” begitu mengingat akan Allah, begitu mengisyaraktan bahwa ia adalah seorang yang bertakwa. Hingga ketika ia bersujud dalam gerakan sholat, ia dapat merasakan benar-benar keberadaan Allah. Ia begitu mengingat akan sepenuhnya hidupnya dan kebesaran akan Allah. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan dari puisi “Sajadah Panjang” berikut.
“Hamba sujud dan tak lepas kering hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.”
(MAJOI, 2005:121)
2) Ajaran tentang pentingnya menjalankan shalat.
Sholat adalah tiang agama. Sholat pulalah yang dapat membedakan kemusliman seseorang dari yang lain. Pada penggalan puisi di atas juga tengah syarat berbicara tentang ajaran islam tentang sholat yang begitu berharga. Begitu nikmatnya seseorang “hamba” bertemu dengan Tuhannya kala bersujud atau kala sholat. Hal ini dapat dilihat melalui Abu Hurairah r.a., katanya:
"Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu di-hisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu, sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rusak, sungguh-sungguh menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat ini." (Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan”).
Ajaran islam tentang pentingnya sholat ini juga dapat dilihat dari puisi “Sajadah Panjang”. Pada judul dari puisi ini pun sudah sarat dengan makna sholat, dimana sajadah itu sendiri merupakan suatu alat sebagai mediasi untuk melaksanakan sholat. Diceritaknnya bahwa tokoh “hamba” tersebut begitu tulus menghadap Tuhan dan menjalankan ibadah sholat itu tanpa paksaan sedikitpun. Bahkan ketika didengarnya suata azan, ia sesegera mungkin menunaikan sholat. Dan dalam sujudnya begitu ia menyerahkan dirinya pada Tuhan. Ia menyerahkan akan rezeki yang didapatkannya serta ilmu yang tengah dijalaninya dalam hidup. Di atas sajadah panjang tersebut, ia berdoa. teringat akan kegiatan yang dihabiskannya pada satu atau setiapa hari dengan bekerja atau mencari ilmu. Dan kala sholat, ia kembalikan semua itu kepada Tuhan. Hal ini menjelaskan tentang nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam MAJOI mengenai ajaran sholat yang merupakan pentransformasian dari hadist dan Ayat suci Alquran. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi “Sajadah Panjang” berikut.
“Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba..
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk...”
(MAJOI, 2005:121)
3) Ajaran kepada kaum wanita untuk memakai jilbab.
Islam mengajarkan kepada perempuan untu menjaga dirinya dengan jilbab. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat Alquran maupun hadist berikut.
Firman Allah“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya serta tidak menampakkan perhiasannya kecuali ( yang biasa ) nampak darinya. Dan hendakkah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka” (QS. 24 : 31)
Yaitu tidak menampakkan sedikitpun perhiasannya kepada orang-orang asing ( bukan muhrim ) kecuali sesuatu yang tidak mungkin disembunyikan berupa pakaian yang tidak menyolok, dan hendaklah menjulurkan penutup kepalanya (jilbab) sampai ke dadanya sehingga tertutup.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. ia berkata. “Semoga Allah merahmati wanita-wanita pertama yang berhijrah( muhaajiraat), yaitu ketika Allah menurunkan firmanNya : “ Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dalam mereka” ( QS. 24 : 31).
Hal tentang ajaran memakai jilbab ini juga tergambar pada puisi karya Taufiq Ismail pada MAJOI ini. Dimana seorang Aisyah begitu terlihat sempurna setelah memakai jilbab. Ia adalah seorang gadis yang sopan dan berparas jelita, ia juga cerdas dengan diraihnya prestasi di sekolahnya. Ia dikatakan sebagai calon insinyur dan bintang di kampus. Dan kebagusan yang diberikan Tuhan kepadanya itu nyaris disempurnakannya yaitu dengan memakai jilbab. Dalam puisi ini penulis seolah mencerminkan atau menggambarkan betapa seorang perempuan muslim yang berjilbab adalah sesuatu keharusan dan telah banyak pula yang menjejaki hal serupa di tempat lain di Indonesia. Pada keadaan itu pula dikisahkan akan pada 1404 m jilbab itu mulai dikenakan Aisyah bahkan di tanah air telah banyak digunakan bahkan hingga sejuta Aisyah ada di Indonesia. kebaikan akhlak dan kebagusan tindakan dan oemikiran ini disimbolkannya dengan seorang perempuan yang berjilbab. Simbol jilbab ini begitu menekankan makna tentang pentingnya menggunakan jilbab. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan puisi “Aisyah Adinda Kita” sebagai berikut :
“Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMA sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai muharram satu empat nol satu
Menutup jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya..
“...Ada sejuta Aisyah..
Berbusana muslimah”
(MAJOI : 2005:119)
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
MAJOI merupakan karya seorang Taufiq Ismail yang memiliki nilai-nilai ajaran islam di dalamnya. Meskipun karya sastra ini bergenre puisi, namun bukan berarti makna atau pesan yang mencoba disampaikan kepada pembaca terasa tidak sampai. Melalui karya ini, pembaca tentu mampu menangkap betapa khas atau nuansa islam dibalik puisi-puisi heroik Taufiq ini begitu terasa dalam MAJOI. Hal ini juga tidak terlepas dari biografi seorang penulisnya yang merupakan seorang muslim. Taufiq Ismail, melalui karya-karya puisi yang ringan ini memberikan horisaon harapan kepada pembaca. Dimana pembaca mayoritas penduduk tanah air adalah muslim. Kembali pada kritik-kritik terhadap kecarut-marutan bangsa dan negara, maka Taufiq Ismail hadir dengan karyanya yang mencoba untuk memenuhi horison pembaca tentang suatu keindahan dari kebaikan budi. Kebaikan budi tentu akan membawa bangsa dan negara menjadi lebih baik.
Kebaikan budi atau akhlak itu sendiri tentu tidak lepas dari peranan kepercayaan akan kebesaran Tuhan. Melalui nafas-nafas islam, akhlak yang berbudi luhur itu mencoba ditawarkan kepada pembaca oleh Taufiq. Ia pun hadir dengan karyanya dalam “Sajadah Panjang” dan “Aisyah Adinda Kita” sebagai simbolik atas suatu kebaikan akhlak. Transformasi akan ayat-ayat Alquran dan hadist mencoba disampaikan secara implisit oleh Taufiq Ismail. Adapun hasil dari transformasi terhadap nilai-nilai keislaman dalam MAJOI yang telah diungkap dari analisis ini adalah sebagai berikut.
1. Ajaran selalu mengingat Allah atau takwa.
2. Ajaran tentang pentingnya menjalankan shalat.
3. Ajaran kepada kaum wanita untuk memakai jilbab.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Pamela. 2004. Membaca, dan Membaca lagi: (Re)interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995: Terjemahan Bakdi Soemato. Magelang: Indonesia Tera.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2007. Alquran dan terjemahannya 30 Juz. Solo : PT Qomari Prima Publisher.
Holub, Robert C. 1984. Reception Theory. New York : Methuen.
Ismail, Taufiq. 2005. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta Timur: PT Cakrawala Budaya Indonesia.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language : A Semiotic Approach to Literature. (Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Thomas Gora, Alice Jardine dan Leon S. Roudiez). London. Basil Blackwell.
Palmer, E. Richard. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi: Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
___________. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
___________. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prince, Gerald. 1980. “Introduction to the Study of the Narrate” dalam Jane P. Tompkins (ed.) Reader-Respnose Criticism : The John Hopkins University Press, 7-25.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
LAMPIRAN
Puisi 1
Aisyah Adinda Kita
Karya Taufiq Ismail
Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Angka SMP dan SMP sembilan rata-rata
Pandai mengarang dan berorganisasi
Mulai Muharram satu empat nol satu
Memakai jilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya
Aisyah adinda kita yang sopan dan jelita
Indeks prestasi tertinggi tiga tahun lamanya
Calon insinyur dan bintang di kampus
Bulan Muharram satu empat nol empat
Tetap berjilbab menutup rambutnya
Busana muslimah amat pantasnya
Aisyah adinda kita
Tidak banyak dia berkata
Dia memberi contoh saja
Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah
Ada seratus Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah
Ada sejuta Aisyah
Aisyah adinda kita.
1984
Puisi 2
Sajadah Panjang
Karya Taufiq Ismail
Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat dikau sepenuhnya
1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar