Negeri yang terpenjara
Suara maling teriak maling
berhias diri
Tontonan untuk anak bangsa
Menu bagi pemilik negeri
Kue dalam adonan petinggi siap untuk dibagi
Maling teriak maling menjadi judul cerita
Gunjingan
Olok-olok
Bahasan
Diskusi yang dibayar tunai
Berita utama
Catatan kaki
Rubrik opini
Seragam judul
Maling teriak maling lagi itu kisahnya
Satu tuding yang lain
Sumpah serapah paling jitu
Mencibir
Terbelalak
Meludah
Puihhhhh
Ini dia mainan gundu petinggi negeri
Sodok sana
Gulingkan sini
Melirik yang itu merangkul yang ini
Puahsisiehhh
***
A. Pemaknaan sajak “Negeri yang Terpenjara”
1. Pembacaan heuristik
Judul dari sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik atau pembacaan dengan konvensi bahasa atau konvensi tingkat pertama adalah sebagai berikut.
Judul sajak “Negeri yang Terpenjara” merupakan adanya sebuah negeri yang terdapat dalam penjara. Dapat dikatakan bahwa disebuah negeri yang memiliki penjara yang mengelilinginya.
Pada bait pertama pembacaan sajak “Negeri yang terpenjara” secara heuristik adalah ada sebuah suara yang keluar dari mulut seorang maling yang setelah itu ia berhias diri agar tidak diketahui orang lain bahwa dirinya adalah maling (suara maling teriak maling berhias diri). Para anak bangsa menonton atau menyaksikan akan tindakan si maling tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Kemudian adanya menu atau suatu resep yang dimiliki oleh pemilik negeri atau raja atau presiden. Dalam menunya tersebut terdapat kue yang belum menjadi kue secara utuh, yaitu ia masih berbentuk adonan yang tinggi atau banyak. Adonan tesebut siap untuk dibagi-bagikan kepada orang lain oleh si pemilik negeri atau maling (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Entah kenapa keadaan tersebut menciptakan sebuah cerita dengan judul maling yang teriak maling.
Pada bait kedua sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah terdapat gunjingan, olok-olok, dan pembahasan (bahasan) yang dilakukan di dalam sebuah diskusi. Diskusi tersebut ternyata menggunakan dana dalam pelaksanaannya (diskusi yang dibayar).
Pada bait ketiga sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah bahwa adanya berita utama, catatan kaki, yang memiliki judul yang seragam atau diseragamkan atau disamakan. Keadaan tersebut mengisahkan cerita tentang maling yang teriak maling lagi (maling teriak maling lagi itu kisahnya).
Pada bait keempat sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya satu tudingan yang mnuding yang lain (satu tuding yang lain). terjadilah sumpah serapah dalam tuding-menuding tersebut sebagai cara yang paling jitu (sumpah serapah paling jitu). Keadaan itu penuh dengan orang yang mencibir, adapula yang terbelalak, ada pula yang meludah hingga terdengar puihhh dari mulutnya.
Pada bait kelima sajak “Negeri yang Terpenjara” secara heuristik adalah adanya seseorang yang atau dia yang sedang bermain gundu milik petinggi negeri (ini dia mainan gundu petinggi negeri). Dalam permainan gundu tersebut ada adegan sodok sana, gulingkan sini, melirik yang itu dan merangkul yang ini. Kemudian terdengar adegan meludah dengan mengeluarkan bunyi puahsisiehh dalam bermain gundu tersebut.
2. Pembacaan hermeneutik
Judul sajak “Negeri yang terpenjara” secara hermeneutik atau pembacaan dengan konvensi sastra dapat dimaknai yaitu sebagai negeri yang terkurung oleh korupsi yang merajalela atau adanya sebuah negeri yang tidak dapat terbebas dari permasalahan korupsi (Negeri yang terpenjara).
Pada bait pertama sajak secara hermeneutik memiliki makna yaitu, ada pemimpin atau koruptor yang berpura-pura baik dalam mengemban jabatannya agar tidak ada yang mengetahui dirinya korupsi. Koruptor tersebut disebut sebagai maling negara yang menuduh orang lain sebagai maling agar dirinya tidak terkena sasaran pemeriksaan. Ia begitu pandai dalam menyembunyikan identitasnya sebagai maling atau koruptor (suara maling teriak maling berhias diri). Keadaan tersebut menjadi permasalahan yang tidak kunjung selesai. Seolah menjadi tontonan yang tidak ada akhirnya. Seolah tidak ada yang bersalah atau disalahkan untuk dijatuhi hukuman. Bangsa atau rakyat tidak dapat memutuskan apa-apa terhadap urusan yang tidak kunjung berakhir tersebut (tontonan untuk anak bangsa). Keadaan tersebut atau tindakan melakukan korupsi merupakan menu bagi pemimpin atau pemilik negeri. Hal ini seolah halal untuk dilakukan tanpa perasaan bersalah sedikitpun (menu bagi pemilik negeri). Korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negeri tersebut dibagi-bagikan berapa bagian-bagiannya dalam menguasai harta rakyat tersebut. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun dari pemimpin negeri tersebut, bahkan harta haram tersebut bagaikan kue dalam adonan yang siap untuk dibagikan merata kepada pemimpin-pemimpin atau menteri-menteri lainnya (kue dalam adonan tinggi siap untuk dibagi). Sungguh tidak ada maling teriak maling dalam keadaan tersebut. Tidak ada pengakuan atas kesalahannya mencuri uang negara atau rakyat. Permasalahan korupsi tidak akan ada akhirnya dan tidak akan menjadi sebuah cerita atau kasus yang tuntas diselesaikan hukum (maling teriak maling menjadi judul cerita).
Pada bait kedua sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu apabila akan adanya gunjingan, olok-olok, pembahasan (bahasan) atau diskusi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi. Maka koruptor itu telah mempersiapkan diri dengan uang untuk suap dan mungkin jabatan yang lebih tinggi untuk orang-orang yang mau menyembunyikan tindakan korupnya. Ia akan sesegera mungkin membayar diskusi tersebut agar tuduhan yang tertuju padanya tidak jadi terungkap (diskusi yang dibayar).
Pada bait ketiga sajak secara hermeneutik dapat dimaknai yaitu permasalahan korupsi yang sempat didiskusikan tersebut pada keesokannya akan menjadi berita hangat untuk dibicarakan rakyat diseluruh negeri. Cerita itu akan menjadi berita utama di surat kabar atau televisi, menjadi catatan kaki di sebuah buku, menjadi rubrik opini di surat kabar. Berita yang tengah hangat diperbincangkan itu begitu hebatnya karena memiliki judul yang sama, opini yang sama, atau kisah cerita yang sama dari surat kabar satu ke surat kabar lain, dari catatan kaki yang satu ke catatan kaki yang lain, dari rubrik opini yang satu ke rubrik opini yang lain. Semua isi berita adalah permintaan si pemilik suap yang minta untuk merekayasa kebenaran hingga semua tulisan pada berita itu adalah hasil komandonya (seragam judul). Tentu hal itu terjadi dari keberhasilan suap yang dilakukan atau diskusi yang dibayar. Maka, koruptor yang dapat dikenai hukuman dengan mengakui kesalahannya adalah impian atau sindiran (maling teriak maling itu kisahnya).
Pada bait keempat sajak secara hermenutik dapat dimaknai yaitu adanya tuduhan-tuduhan yang dilakukan kepada rekan kerjanya si koruptor agar mereka saling lempar kesalahan dan tanggung jawab. Hal ini dilakukan sebagai cara menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor (satu yuding yang lain). sumpah serapah dilakukan pula sebagai cara yang dianggap pas untuk menolak atau memungkiri tuduhan telah berkorupsi (sumpah serapah paling jitu). Keadaan yang kacau tersebut penuh dengan orang-orang yang saling mencibir. Ada pula yang terbelalak dengan keadaan saling tuding tersebut jika tudingannya tertuju padanya. Para pemimpin negeri itu akan saling melindungi diri atau identitas kesalahannya dengan berpura-pura marah atau tersinggung. Mereka pun akan meludah dengan penuh kebencian karena takut kesalahannya terungkap. Kebencian tersebut jelas nyata terlihat dengan adanya ekspresi meludah ; puihhh dalam sajak ini.
Pada bait kelima sajak dapat dimaknai secara hermenutik yaitu keadaan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan yang dilakukan pemimpin negeri bagaikan mainan gundu petinggi negeri. Hal ini terlihat dengan adanya tuduhan atau saling tuding pada si ini dan si itu. pemimpin tertinggi pun siap dengan strategi-strategi baru, barangkali salah satu dari mereka yang jujur akan mendapatkan fitnah atau tudingan sebagai koruptor atau barangsiapa yang berani membongkar identitas si koruptor maka akan mendapatkan hukumna. Hukuman tersebut berupa diberhentikan atau dipecat dari jabatannya (sodok sana, gulingkan sini). Kemudian si koruptor akan kembali mencari kawan untuk diajaknya bekerjasama baik dalam berkorupsi dengan membagi hasil atau dengan memberikan suap agar tidak membongkar identitasnya sebagai koruptor (melirik yang itu merangkul yang ini). Kebencian si koruptor terhadap orang-orang jujur tersebut atau kebencian orang jujur terhadap koruptor tersebut terlihat jelas dengan meludah yang jelas diwujudkan dalam sajak ini dengan ekspresi “puahsisieh”.
a) Matriks
Matriks dalam sajak ini adalah ‘korupsi menguasai segalanya atau korupsi menguasai negeri’.
b) Model
Matriks diatas ditranformasikan menjadi model yaitu “Negeri yang terpenjara”. Dalam hal ini, makna dari terpenjara tersebut adalah terkurung oleh suatu masalah yaitu korupsi. Dengan kata lain, negeri tidak dapat terbebas dari korupsi.
c) Varian
Model diatas merupakan kiasan metafora inplisit. Matriks dalam sajak ini sebagai hipogram intern yang ditransformasikan menjadi varian-varian pada setiap bait dalam sajak. Varian pertama pada bait pertama, mengungkapkan adanya koruptor yang disimbolkannya dengan “maling”. Koruptor tersebut dengan bebas atau merdeka dalam melakukan aksi korupsinya. Ia membagi-bagikan nhasil korupsinya atau bersekongkol, sehingga banyak orang yang akan membantunya dalam menyembunyikan identitasnya sebagai koruptor. Kata “maling” menunjukkan nada kecurangahn atau kelicikan dalam melakukan berbagai cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Penggunaan metafora ”maling” merupakan tanda yang mengekspresikan kecurangan atau kelicikan yang diungkapkan pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan kekacauan di negeri tersebut, sehingga menjadikan negeri tidak dapat membebaskan diri dari korupsi yang menguasainya.
Varian pada bait kedua adalah menggambarkan kelicikan atau kecurangan dengan melakukan suap agar korupsi yang dilakukan si koruptor tidak terungkap. Hal ini terlihat dalam baris yang mengatakan “diskusi yang dibayar”. Keadaan ini adalah suatu gambaran hubungan tidak sehat dalam kebebasan berpendapat untuk mengungkapkan kebenaran. “diskusi yang dibayar” merupakan metafora yang menunjukkan hubungan yang tidak seimbang sehingga menimbulkan tidak berjalannya suatu kebenaran atau sesuatu yang seharusnya terjadi. Penggunaan metafora tersebut sebagai sarana untuk menyuarakan ketidakbebasan karena korupsi.
Varian pada bait ketiga adalah gambaran perasaan yang tidak bebas karena kelicikan koruptor dalam mengatur segala sesuatu agar sesuai kehendaknya. Pengggunaan metafora “Seragam judul” merupakan refleksi keterbungkaman suatu nilai-nilai kebenaran dan betapa koruptor merupakan sosok yang luar biasa, yaitu mampu melakukan apapun sekehendak hatinya, dan semua tunduk padanya.
Varian pada bait keempat adalah gambaran tentang kekuatan atau kehebatan seorang koruptor dalam memutar balikkan fakta. Dalam hal ini, penggunaan metafora “tuding yang lain” menunjukkan kekuatan seseorang yang lebih superior dari sosial lainnya.
Varian pada bait kelima adalah gambaran tentang kekuatan dari suatu kekuasaan karena uang meski didapatnya dari korupsi. Dalam hal ini koruptor memiliki kekuasaan dalam menentukan jabatan orang lain. ia mampu menggulingkan atau menjatuhkan lawan atau orang yang bertentangan dengannya. Penggunaan metafora “mainan gundu” menunjukkan betapa yang berkuasa mampu mendeskriminasi yang dibawahnya atau yang dianggapnya lebih rendah. Dalam hal ini menjatuhkan seseorang baginya seperti sebuah permainan yang mudah dilakukannya.
d) Hipogram
Sajak “Negeri yang Terpenjara” memiliki hipogram yaitu sebuah negeri yang tidak bebas, tidak merdeka dari suatu permasalahan. Negeri tersebut terkurung dalam suatu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Permasalahan yang dimaksud adalah korupsi.strike>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar